BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Sekali Lagi, Soal Seksualitas

Sekali Lagi, Soal Seksualitas

Written By gusdurian on Senin, 13 September 2010 | 14.05

KEHIDUPAN



Sekelompok pengamen berdandan menor muncul dari kegelapan di perempatan jalan di Kemang, Jakarta Selatan, sekitar pukul 22.00, pekan lalu. Mereka menyebar ke arah mobil yang berhenti menunggu lampu lalu lintas berubah hijau, lalu menyanyi dengan alat musik seadanya, dan menari dengan gaya ekspresif.

”Begitulah cara kami menyambung hidup,” ujar Oni (21). Ia baru bangun tidur ketika dijumpai sekitar pukul 09.30, di rumah kosnya di Jakarta Pusat. Rias wajahnya masih melekat dan dia terlihat masih sangat mengantuk. Dengan celana pendek, kaus oblong, dan rambut tergerai sebahu, Oni terlihat sebagai laki-laki bersuara lembut meski ketika berbicara dengan temannya suara baritonnya sesekali muncul.

”Baru pulang jam empat pagi. Tadi malam dapat dua tamu, setelah beberapa hari tidak ada tamu,” ujar Oni. ”Biasanya kami keluar jam 12 atau jam satu siang, sampai malam. Lalu pulang, mandi, dan ke jalan lagi sampai subuh,” sambung Hanna (21).

Oni, Hanna, Donna, adalah nama yang mengubur nama asli mereka sebagai laki-laki. ”Saya pergi dari rumah karena orangtua malu punya anak seperti saya,” tutur Devi, sebut saja begitu, yang mengenyam pendidikan khusus agama setingkat SMP.

Diskriminasi berganda mulai dari rumah, lingkungan terdekat, masyarakat luas, sampai negara membuat mereka tinggal berkelompok di tempat yang mau menerima mereka. Sebagian pernah bekerja di salon, ada yang menjadi penjaga toko, tetapi sebagian lainnya hanya mengenal jalanan sebagai tempat kerja sekaligus mengekspresikan diri.

”Susah mendapat pekerjaan berkesinambungan dan aman karena penolakan terhadap kami,” ujar Lulu (27) dari Srikandi Sejati, organisasi nonpemerintah oleh dan untuk kelompok transjender, yang secara luas dikenal sebagai waria (wanita-pria)

Tak diakui

Masyarakat yang didominasi norma hitam-putih heteronormativitas yang hanya mengakui laki-laki dan perempuan secara biologis sulit mengakui kenyataan ”abu-abu” dalam seksualitas dan orientasi seksual. Situasi ini membuat mereka yang ada di wilayah itu dianggap liyan. Hak-haknya diingkari.

”Yang sulit mengakui ini adalah institusi agama,” ujar Nadia Ilmira (30) dari Jawa Tengah, yang mendapat pengesahan secara hukum sebagai perempuan setelah operasi pergantian kelamin (M to F trans-sexual) di Surabaya. ”Padahal, secara medis masalah itu bisa dijelaskan dan oleh hukum pun diakomodasi.”

Penolakan terhadap mereka, menurut Dr Risa Permanadeli, ilmuwan yang bergelut dengan teori representasi sosial, merupakan lahan subur bagi hipokrasi. ”Klien mereka laki-laki, sebagian malah laki-laki beristri,” ujar dia.

Ketika melakukan FGD dengan kelompok transjender terkait proses perancangan KUHAP tentang semua proses hukum di Semarang, menurut Soka Handinah Katjasungkana dari LBH APIK Semarang, terungkap mereka juga mengalami pelanggaran dalam banyak hal, termasuk pelecehan seksual dalam proses penangkapan dan penahanan.

Banyak kisah tragis menimpa mereka. Seperti dituturkan Handinah, kliennya, perempuan dengan orientasi seksual laki-laki (F to M transgender) dihukum lima tahun penjara dari 15 tahun tuntutan jaksa dengan tuduhan melakukan hubungan seks dengan anak perempuan remaja. Dalam proses pengadilan, kliennya mengalami pelecehan terkait kondisi keperempuanannya.

”Kami seperti terperangkap di tubuh yang salah,” ujar Nadia yang memutuskan operasi pergantian kelamin setelah psikolog dan psikiater menyatakan dirinya memenuhi berbagai persyaratan operasi.

”Ada beberapa tahapan konseling dan tes sebelum operasi. Dokter tidak begitu saja mau mengoperasi kalau belum ada hasil tes,” ujar Nadia, yang kini kuliah lagi di fakultas hukum sebuah universitas swasta di Semarang.

Menurut Nadia, transjender dan trans-seksual berbeda. ”Kondisi psikologis trans-seksual lebih kompleks karena mereka tidak merasa nyaman dengan alat kelaminnya. Tidak semua transjender adalah trans-seksual. Dokter tak mau begitu saja melakukan operasi meski dibayar mahal kalau hasil tes psikologi tidak memenuhi syarat.”

Dukungan keluarga

Yang terpenting, menurut Nadia, dukungan keluarga. ”Saya selalu sedih saat mendengar kisah teman-teman yang terpaksa berada di jalanan. Sebagai warga negara seharusnya hak-hak kami juga dijamin,” ujar Nadia yang bertahun-tahun terlibat kegiatan pemberdayaan perempuan di pedesaan.

Transjender dan trans-seksual memiliki sejarah panjang. Pun operasi pergantian kelamin, baik laki-laki menjadi perempuan atau sebaliknya. Raja Henry III dari Perancis (1570-an) sering mengenakan gaun dan disapa sebagai paduka ratu. Ratu Christina dari Swedia (1654) sering mengenakan pakaian laki-laki dan menyebut dirinya Pangeran Dohna. Chavalier D’Eon adalah Charles D’Eon saat dilahirkan. Dia duta besar dan mata-mata Perancis terkemuka.

Pada tahun 1945, dua dokter bedah plastik terkemuka Inggris, Sir Harold Gillies dan Ralph Millard, melakukan operasi kelamin pertama dari perempuan menjadi laki-laki terhadap aristokrat muda, Michael Dillon. Sembilan tahun kemudian ia melakukan operasi trans-seksual laki-laki menjadi perempuan pertama terhadap Roberta Cowell.

”Seksualitas manusia tak bisa didikotomikan hitam-putih. Tuhan menciptakan keberagaman, juga secara seksual,” ujar Muhajir Darwin dari Pusat Studi Kependudukan Universitas Gadjah Mada dalam dialog internasional untuk menjembatani jurang antara riset soal seksualitas dan advokasi tentang hak-hak seksual di Yogyakarta, beberapa waktu lalu. ”Diskriminasi atas dasar orientasi seksual adalah pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.” (Maria Hartiningsih)

http://cetak.kompas.com/read/2010/09/03/03172938/sekali.lagi.soal.seksualitas
Share this article :

0 komentar: