Oleh Novri Susan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengirim surat resmi kepada Perdana Menteri Malaysia. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan merangkum isi surat itu: sengketa dua negara harus diselesaikan dengan baik dan ”kedua pemimpin berusaha menyejukkan suasana” (Kompas, 28/8).
Ada harapan yang membuncah di hati warga ketika Presiden menyatakan akan mengirim surat resmi kepada Malaysia: pemerintah tegas dan dihormati oleh Malaysia. Namun, harapan itu menipis, bahkan muncul keraguan pada daya tempur surat yang ditulis setelah Menteri Luar Negeri Malaysia mengeluarkan protes keras tentang demonstrasi anti-Malaysia dan mengumumkan rencana saran kepada warganya untuk tak mengunjungi Indonesia.
Surat Presiden seperti memohon kepada Malaysia agar mau berdialog damai dengan Indonesia. Pahit rasanya karena gaya konflik pemerintah tetap cenderung membahayakan kepentingan nasional.
Beban efek ekstrem?
Ada kondisi obyektif yang mungkin sedang menggelayuti pemerintah saat ini yang membuatnya tak bisa tegap dan tegas pada pelecehan kedaulatan bangsa oleh Malaysia. Berdasarkan data Bank Dunia, ada sekitar dua juta TKI legal yang bekerja di negeri serumpun itu. Jumlah ini sangat besar. Itulah barangkali yang mendasari pemerintah khawatir bakal ada efek ekstrem jika Indonesia bersikap tegas. Hubungan bilateral memburuk dan bisa saja terjadi deportasi TKI. Artinya, akan ada tambahan dua juta orang di negeri ini yang tidak memiliki pekerjaan.
Negara merasa belum mampu menyediakan lapangan kerja untuk mereka bila kembali di Tanah Air sebab 23 juta penganggur yang saat ini tinggal di dalam negeri saja belum bisa ditangani. Keadaan ini harus disepakati sebagai beban tersendiri bagi pemerintah. Pada saat bersamaan ada efek ekstrem lain yang mungkin ditakuti pemerintah. Para TKI Malaysia termasuk penyumbang devisa negara yang cukup besar. Pada tahun 2009 saja pengiriman uang TKI dari Malaysia ke Indonesia sekitar Rp 50 triliun. Pemerintah tentu takut kehilangan devisa ini.
Kondisi obyektif bahwa ada dua juta TKI di Malaysia memang benar. Namun, kemungkinan efek ekstrem mengenai deportasi TKI pulang ke Indonesia juga berlebihan. Malaysia saat ini jelas banyak bergantung pada TKI yang bekerja di berbagai sektor industri dan domestik rumah tangga.
Bisa dilihat bahwa pengaruh TKI terhadap dinamika konstruktif perekonomian Malaysia terlampau besar. Selain tenaga kerja murah yang memberi keuntungan dalam peningkatan akumulasi kapital industri di Malaysia, para TKI merupakan tumpuan kelancaran proses berproduksi. Bayangkan saja kerugian mereka bila dua juta TKI tiba-tiba berhenti dari peran mereka mendukung aktivitas industri Malaysia. Sangat mungkin: sehari saja dukungan tersebut dicabut, maka perekonomian Malaysia akan terguncang. Apalagi jika hal itu ditambah dengan pencabutan semua izin usaha perkebunan sawit Malaysia yang mencapai 2,1 juta hektar di Indonesia.
Efek ekstrem dengan pengertian yang negatif ini jelas tidak hanya akan mengimbas Indonesia, tetapi juga berdampak pada Malaysia. Seharusnya keberadaan para TKI di negeri serumpun itu dan ketergantungan ekonomi Malaysia pada berbagai investasi di Indonesia dijadikan sebagai amunisi diplomasi yang menggetarkan. Sayang, paham pemerintahan SBY ini terbalik dan terlalu merendahkan kekuatan sendiri.
Gaya konflik
Studi konflik mengenal istilah gaya konflik suka bertengkar yang berarti tegas dan berprinsip pada kepentingan internal. Gaya konflik suka bertengkar ini sangat dibutuhkan, apalagi bila pihak lawan gemar menggunakan gaya konflik yang serupa untuk mempertahankan eksistensi internal kelompok atau negara dengan kepentingan. Secara idealis ini bisa menciptakan ayunan posisi politik ke tengah ketika pihak lawan bersedia melakukan negosiasi yang menguntungkan (Zartman, 2009).
Rezim negeri jiran tampaknya lebih menyadari konsep gaya konflik itu daripada Pemerintah Indonesia. Untuk itulah mereka selalu berani bertengkar ria dengan menangkap staf Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang sedang bertugas di wilayah kedaulatan sendiri dan lantang memprotes demonstrasi anti-Malaysia tanpa meminta maaf atas kesalahan mereka. Sebenarnya bisa diprediksi kemauan Malaysia dengan gaya suka bertengkarnya seperti itu: mengayun Indonesia ke proses negosiasi yang menguntungkan mereka dalam sengketa perbatasan.
Pemerintah perlu menepis ketakutan berlebihannya jika menyadari kekuatan yang ia miliki. Ini tentu bukan semata dikarenakan prinsip diplomasi seribu teman tak ada lawan. Namun, lebih disebabkan kegelisahan terhadap efek ekstrem jika hubungan bilateral kedua negara memburuk. Akibat kegelisahan itu, gaya konflik Pemerintah Indonesia saat ini menjadi kerdil dan kompromistis, yang ditandai oleh pragmatisme dalam menghadapi situasi konflik.
Tukar guling pencuri dari Malaysia dengan petugas KKP dan sikap takut tegas pada tingkah buruk Malaysia adalah buktinya. Kegelisahan tersebut jelas salah dan harus segera diperbaiki. Pemerintah tidak perlu ragu menggunakan gaya konflik suka bertengkar karena Indonesia mampu memberi efek ekstrem kepada Malaysia. Publik masih mengharap surat SBY kepada Perdana Menteri Malaysia memiliki daya tempur yang melindungi kepentingan nasional. Toh Indonesia tidak sedang mengajak berperang fisik.
Novri Susan Pengajar di Departemen Sosiologi FISIP Unair, Surabaya
0 komentar:
Posting Komentar