Penyelesaian dengan perang terhadap suatu sengketa memang harus dilakukan untuk menegakkan wibawa dan kehormatan bangsa. Kesuksesan menjajah Tunggarana, belum membuat Boma Himantaka puas."
PERINGATAN Prokla masi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus tahun ini seharusnya memunculkan rasa kebanggaan dan patriotisme bangsa. Tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berhasil menggelandang tujuh nelayan Malaysia yang melanggar wilayah perbatasan dan diduga sedang mencuri ikan.
Namun, apa yang terjadi?
Mereka justru diborgol petugas patroli Malaysia di wilayah perairan Indonesia. Aksi petugas Malaysia itu jelas-jelas telah menampar harga diri dan martabat Bangsa Indonesia yang sedang merayakan hari ulang tahun ke-65 kemerdekaan.
Peristiwa itu mirip dengan kearifan budaya lokal, yakni dalam cerita wayang Rebutan Kikis Tunggarana. Kocap kacarita, Tunggarana merupakan wilayah yang subur, gemah ripah loh jinawi di bawah pemerintahan Kerajaan Pringgondani, sejak zaman Raja Trembaka, kemudian Arimba hingga Raden Gatutkaca. Yang memimpin daerah otonom istimewa Tunggarana itu adalah Prabu Kala Pustaka dengan patihnya, Samber Katon.
Pada suatu ketika, Kerajaan Pringgondani sedang disibukkan dengan masalah ekonomi yang morat-marit. Seluruh nayaka praja bersama rakyat berjuang keras untuk mengatasi masalah tersebut. Celakanya, di saat semua energi negara dicurahkan untuk memulihkan kondisi ekonomi, muncullah rongrongan politik dalam negeri akibat ulah Brajadenta. Ia memberontak karena tidak menerima kekuasaan Pringgondani jatuh ke tangan keponakannya, Raden Gatotkaca, anak kakak perempuannya, Arimbi.
Tanpa diduga, instabilitas ekonomi dan politik yang me landa bumi Pringgondani itu dimanfaatkan penguasa negara lain. Prabu Boma Himantaka dari Kerajaan Trajutrisna secara terbuka merebut wilayah Tunggarana dari kekuasaan Pringgondani.
Tanpa kesulitan, Prabu Boma sukses menganeksasi Tunggarana sekaligus membunuh rajanya, Prabu Kala Pustaka.
Mudahnya Boma menaklukkan Tunggarana itu karena Pringgondani yang membawahi wilayah tersebut sibuk dengan persoalan dalam negeri.
Setelah berhasil merebut, Prabu Boma kemudian menyerahkan kekuasaan atas wilayah jajahannya itu kepada anak turun Kala Pustaka sendiri, yakni Prabu Kahana.
Kesuksesan menjajah Tunggarana, belum membuat Boma Himantaka puas. Nafsu imperialisnya terus membara dan ingin memperluas jajahan lagi ke negara lainnya. Target berikutnya adalah menaklukkan Kerajaan Dwarawati.
Namun, tampaknya kali ini Boma kurang perhitungan. Ia tidak paham bahwa kekuatan pertahanan Dwarawati jauh lebih besar jika dibandingkan dengan Tunggarana.
Raja Dwarawati Prabu Kresna cukup mengutus anaknya, Raden Suteja, untuk menghadapi Raja Trajutrisna tersebut.
Singkat cerita, Boma, raja yaksa yang penuh nafsu angkara dan adigang adigung itu tewas di tangan Suteja. Kemenangan itu tentu saja menjadikan Kerajaan Trajutrisna dan segala isinya menjadi barang rampasan.
Prabu Kresna kemudian memberikan Kerajaan Trajutrisna kepada Suteja dengan gelar Prabu Boma Narakasura.
Kisruh Tunggarana Menurut sejarahnya, setelah Prabu Boma Himantaka tewas, Tunggarana semestinya kembali menjadi wilayah andahan (kekuasaan) Pringgondani. Menurut hukum perang, Raden Suteja hanya berhak mendapatkan Kerajaan Trajutrisna peninggalan Prabu Boma Himantaka. Sementara itu, Tunggarana tidak termasuk wilayah Kerajaan Trajutrisna.
Namun, Suteja bersikap lain.
Menurutnya, Tunggarana termasuk kekuasaannya karena wilayah tersebut pernah ditaklukkan atau jajahan Prabu Boma Himantaka. Perbedaan persepsi itulah yang menjadi benih perseteruan lebih lanjut.
Sebagai sebuah wilayah, Tunggarana memang menarik minat bagi siapa pun untuk menguasainya. Selain tanahnya subur, perairannya kaya akan mina atau ikan.
Karena itulah, tidak aneh jika setiap hari para nelayan dan punggawa dari Kerajaan Trajutrisna keluar masuk secara ilegal ke wilayah Tunggarana untuk mencuri ikan. Aksi illegal fishing atau perompakan tangkapan hasil laut para begundal Trajutrisna itu memang sudah diketahui Raja Pringgondani Gatotkaca. Untuk menghentikan aksi mereka, Gatotkaca telah berkali-kali melayangkan nota protes dan surat teguran kepada Prabu Boma Narakasura. Namun, berbagai teguran tersebut tidak digubris Prabu Boma.
Meski demikian, Gatotkaca masih tetap sabar dan tidak pernah lelah untuk mencari cara-cara diplomatis untuk menyelesaikan masalah tersebut. Di antaranya dengan cara kekeluargaan, mengingat antara dirinya dengan Boma Narakasura masih serumpun.
Namun, berbagai cara itu ternyata tetap tidak membuahkan hasil. Boma malah cenderung meremehkan martabat bangsa Pringgondani.
Misalnya, ketika para wadyabala Pringgondani menangkap para maling ikan dari Trajutrisna di perairan Tunggarana, Prabu Boma bukan meminta maaf, melainkan malah mengirimkan surat tantangan kepada Gatotkaca.
Bahkan surat tantangan itu diselipkan ke telinga para wadyabala Pringgondani yang sempat diculiknya.
Namun, meskipun tantangan Prabu Boma bernada keras, Gatotkaca masih dapat mengendalikan diri dan tidak bertindak gegabah. Karena merasa sulit, Gatotkaca meminta petunjuk para sesepuh Pandawa, bagaimana cara penyelesaian yang terbaik.
Di luar dugaannya, para pepundennya (orang yang dihormati) Pandawa itu menyetujui penyelesaian wilayah atau Kikis Tunggarana dengan cara perang tanding. Yakni perang antara Prabu Gatotkaca dari Pringgondani dan Prabu Boma Narakasura dari Trajutrisna.
Prabu Kresna, orang tua Boma, pun menerima cara penyelesaian kemelut perebutan tanah itu. Namun, Kresna meminta siapa pun tidak boleh membantu kedua raja yang akan bertarung tersebut. Kalau terbukti ada yang membantu, yang dibantu itu dinyatakan kalah.
Kedua belah pihak sepakat pula bahwa siapa yang memenangi pertarungan itu, ialah yang berhak atas wilayah Tunggarana.
Solusi perang Arena pertempuran di blabar kawat sudah disiapkan. Gatotkaca siap mati untuk menjaga wibawa dan martabat Kerajaan Pringgondani. Begitu pula, Boma, dengan nada sombong, ia pun siap hancur lebur untuk mengalahkan Gatotkaca.
Dalam hitungan hari, perang tanding berlangsung sama kuat. Namun, kemudian Gatotkaca tahu kelemahan Boma, yakni bahwa lawannya itu tidak akan berdaya kalau pertempurannya dilakukan tidak di atas tanah.
Hal itu mengingat Boma ada lah anak Prabu Kresna dengan Dewi Pertiwi, dewinya Bumi.
Jadi selama Boma menginjak Bumi atau Pertiwi, ia tidak akan bisa dikalahkan karena akan selalu ada kekuatan yang melindunginya.
Tanpa buang waktu, Gatotkaca langsung menarik Boma ke angkasa. Pertarungan di atas Bumi itu pun berlangsung sengit. Namun, dengan kedigdayaannya, Gatotkaca akhirnya mampu mengalahkan Boma.
Dan dengan kemenangan itulah, wilayah Tunggarana kembali masuk wilayah kekuasaan Kerajaan Pringgondani.
Dudutan atau benang emas dari cerita itu bahwa persoalan ekonomi dan politik yang terus menerus menerpa Kerajaan Pringgondani, tanpa disadari dapat mengakibatkan lepasnya Kikis Tunggarana.
Penyelesaian dengan perang tanding tidak selamanya buruk, asalkan untuk menegakkan wibawa, martabat, dan kehormatan bangsa serta kedaulatan negara.
Namun, perang tanding di blabar kawat itu juga bisa diar tikan peperangan di atas meja tanpa intervensi atau campur tangan dari pihak mana pun.
Yakni bernegosiasi dengan segala kekuatan untuk memenangkannya.
Atau apakah kita tetap pasrah kehilangan lagi kedaulatan wilayah kita seperti Pulau Sipadan dan Ligitan? Sumangga...
http://anax1a.pressmart.net/
0 komentar:
Posting Komentar