BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Masa Jabatan Presiden Cukup Satu Periode

Masa Jabatan Presiden Cukup Satu Periode

Written By gusdurian on Senin, 13 September 2010 | 14.10

Jeffrie Geovanie ANGGOTA KOMISI I DPR RI

Mengapa masa jabatan presiden harus dibatasi?
Sebab, jika tidak diba tasi, berpotensi menjadi alat yang efektif untuk melanggengkan otoritarianisme kekuasaan. Itulah sebabnya, pembatasan masa jabatan presiden menjadi salah satu agenda prioritas gerakan reformasi. Ketika Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat digelar pertama kali pascaOrde Baru, Oktober 1999, pembatasan masa jabatan presiden sudah menjadi salah satu ketetapan dalam amendemen pertama UndangUndang Dasar 1945.

Dalam Pasal 7 UUD 1945 sebelum diamendemen disebutkan, presiden dan wakil presiden memegang jabatannya selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Ketentuan inilah yang membuat Presiden Soeharto dipilih terus-menerus hingga periode ketujuh. Andaikan tak ada gerakan reformasi, sangat mungkin Soeharto bisa menjadi presiden seumur hidup.

Setelah diamendemen, Pasal 7 UUD 1945 menjadi "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan". Dengan ketentuan ini, masa jabatan presiden dan wakil presiden dibatasi maksimal dua periode.

Dengan demikian, memunculkan wacana untuk memperpanjang masa jabatan presiden menjadi tiga periode sama artinya dengan mengusulkan amendemen (kembali) Pasal 7 UUD 1945. Sebagai wacana, tak ada salahnya. Tapi, untuk menyetujuinya, tentu akan menjadi masalah besar.

Membuka peluang amendemen (kembali) UUD 1945 sama artinya dengan membuka peluang (pula) bagi upaya mengembalikan UUD 1945 ke naskah aslinya. Bila ini yang terjadi, berarti arah jarum jam reformasi yang sudah berdetak kencang itu harus kita tarik kembali ke belakang. Kita bisa terperangkap kembali dalam rezim otoriter yang tanpa batas.

Soal masa jabatan presiden, menurut saya untuk dua periode saja sudah terlalu lama dan bisa dipastikan kurang efektif karena pada jabatan periode kedua biasanya lebih buruk daripada periode pertama. Kondisi ini bisa kita pahami, karena pada periode pertama presiden merasa dituntut bekerja lebih baik karena ada harapan untuk bisa terpilih kembali pada periode berikutnya. Sedangkan untuk periode keduanya, harapan itu sudah tidak ada lagi.

Usulan untuk memperpanjang masa jabatan presiden hingga periode ketiga patut dicurigai: pertama, karena ia betul-betul menikmati jabatan itu dengan segala fasilitas dan protokoler yang mengistimewakan dirinya sehingga tak mau melepaskannya kepada orang lain. Ibaratnya, sekali duduk, karena merasa nikmat, ia lupa berdiri.

Kedua, mungkin juga karena ia tak punya lahan pengabdian (pekerjaan) selain menjadi presiden.
Sehingga, ketika berhenti dari jabatan Presiden, hal itu dianggap sebagai akhir dari segalanya. Ketiga, mungkin ia haus kekuasaan.
Bagaikan pengembara di gurun pasir, kekuasaan menjadi seperti telaga pelepas dahaga.

Kemungkinan yang paling buruk, usulan perpanjangan masa jabatan bisa juga karena dilandasi rasa bersalah. Bila jabatannya berakhir, kesalahan-kesalahannya akan terungkap. Dengan kata lain, bila sudah tak punya kekuasaan lagi, siapa pun bisa mengungkap kesalahan-kesalahannya. Tapi, bila masa jabatannya diperpanjang, ia masih punya waktu yang panjang pula untuk menghapus kesalahan, atau untuk merekayasa secara hukum agar kesalahan-kesalahannya bisa dimaafkan.

Sebagai arena pengabdian, jabatan presiden, seperti juga gubernur, bupati, dan wali kota, seyogianya cukup dijalankan dalam satu periode. Dalam satu periode itulah pengabdian bisa dimaksimalkan agar selanjutnya bisa memberikan peluang lebih banyak kepada orang lain untuk memberi pengabdian yang sama. Dan hasil kerja maksimal dalam satu periode yang ia lakukan bisa menjadi contoh yang baik bagi para penggantinya.

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/09/02/ArticleHtmls/02_09_2010_011_003.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: