BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Tawaduk Harus, Takabur Boleh

Tawaduk Harus, Takabur Boleh

Written By gusdurian on Senin, 13 September 2010 | 14.01

Moh. Mahfud M.D.:
Ada anak bertanya pada bapaknya

Buat apa berlapar-lapar puasa, ...

Lapar mengajarmu rendah hati selalu

ITULAH potongan syair lagu karya Trio Bimbo yang berjudul Anak Bertanya pada Bapaknya. Lagu itu begitu populer sejak 1970-an karena selalu dikumandangkan secara meluas, terutama pada hari-hari keagamaaan bagi umat Islam di Indonesia. Seperti halnya lagu Tuhan, lagu Anak Bertanya pada Bapaknya setiap hari-hari besar Islam dinyanyikan, tidak hanya oleh Trio Bimbo, tetapi juga oleh penyanyi-penyanyi lain yang membawakan dengan begitu syahdu dan menyentuh kalbu, dengan berbagai aransemen musik. Lebih-lebih pada bulan puasa seperti sekarang ini.

Sengaja saya ambil potongan syair yang mengatakan bahwa beribadah puasa itu berguna untuk mengajarkan kita selalu rendah hati. Tentu, karena tulisan ini dibuat untuk rubrik khusus di bulan puasa.

Istilah rendah hati adalah terjemahan dari kata dalam bahasa Arab, yakni tawadhu' yang dilawankan dengan kata takabbur yang berarti tinggi hati (sombong). Islam mengajarkan agar kita selalu tawaduk dan menjauhkan diri dari sikap takabur. Syair lagu Trio Bimbo tersebut secara harafiah bukanlah bunyi ayat Alquran atau hadits Nabi. Tetapi, ia merupakan salah satu ajaran penting yang dapat di-istinbath (digali) dari Quran maupun hadits Nabi. Yakni, ajaran agar selalu berusaha tawaduk dan menjauhi takabur dalam hidup ini.

Kesadaran untuk hidup dengan tawaduk ini penting karena banyak di antara kita yang lupa diri dan menjadi sombong atau takabur karena sedikit kelebihan yang kita miliki. Menurut Bimbo, berpuasa merupakan metode untuk belajar hidup dengan tawaduk. Dengan berpuasa, kita bisa belajar berempati atau ikut merasakan penderitaan orang-orang yang sering lapar karena fakir dan miskin. Maka, menjadi tidak tepat apabila di siang hari kita berpuasa, tetapi setelah magrib dan saat bersahur kita bermewah-mewah dengan biaya menu makan yang jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan saat tidak berpuasa.

Dengan berpuasa, kita dapat belajar untuk tidak merasa paling pandai karena di atas orang yang pandai selalu ada orang lain yang lebih pandai. Maka, menjadi tidak tepat apabila ibadah puasa ini tidak membangkitkan kesadaran bahwa betapa tinggi pendidikan dan banyak gelar yang dimiliki oleh seseorang, sebenarnya ilmu yang dimilikinya sangatlah sedikit jika dibandingkan dengan jagat raya ilmu yang diciptakan oleh Allah. Di dalam cerita-cerita silat Asmaraman S. Kho Ping Hoo, sering diungkapkan bahwa ''di atas langit masih ada langit''. Kalau menurut Quran, semakin tinggi ilmu seseorang, semakin kuat tingkat keimanannya, dan bukan semakin sombong.

Begitu juga, dengan berpuasa, kita dapat mempertajam nurani kita untuk tidak bersikap sewenang-wenang, menghina orang lain, dan sok paling berkuasa karena sebenarnya apa pun yang kita miliki dan setinggi apa pun jabatan kita di tengah-tengah masyarakat hanyalah titipan yang sewaktu-waktu bisa diambil oleh penitipnya (Allah) tanpa bisa dihalangi dengan apa pun.

Tawaduk adalah salah satu prinsip dasar dalam ajaran Islam dalam bidang akhlak. Orang yang akhlaknya bagus pastilah akan selalu bersikap tawaduk dan tak akan pernah merendahkan orang lain, tak akan pernah merasa paling pandai dari orang-orang lain, dan tak akan pernah bersikap sewenang-wenang terhadap orang lain karena kedudukan atau jabatannya. Bahkan, orang yang tawaduk akan lebih merendah jika ada orang yang merendahkan hati kepadanya. Saya pernah mau mencium tangan seorang kiai besar sebagai rasa hormat ala tradisi pesantren karena kealiman dan kharismanya. Tetapi, sang kiai besar itu justru lebih dulu memeluk saya karena tak mau tangannya saya cium.

Bagi orang Islam, bersikap tawaduk itu adalah keharusan. Sedangkan bersikap takabur adalah larangan. Tetapi, bolehkah kalau sekali-sekali kita bersikap takabur? Baik di dalam Alquran maupun di dalam hadits sahih tidak ada pembolehan takabur. Namun, ada pendapat yang masuk akal untuk mengatakan bahwa sebenarnya dalam keadaan tertentu takabur itu boleh dilakukan, yakni, dalam keadaan kita menghadapi orang takabur yang sulit disadarkan.

Terhadap orang yang selalu takabur itu kita dibolehkan sekali-sekali bersikap takabur sebatas bertujuan menghentikan ketakaburannya agar menjadi tawaduk. Terhadap orang yang selalu merasa paling pandai, kita boleh mengatakan bahwa kita lebih pandai. Terhadap orang yang selalu merasa paling hebat, kita dapat mengatakan bahwa kita lebih hebat. Terhadap orang yang selalu merasa paling kuat dan berkuasa, kita boleh mengatakan bahwa kita lebih kuat dan mempunyai kekuasaan yang tak kalah besar.

Di dalam kitab al-Ta'liem al-Mutaallim ada dalil yang bukan berasal dari Quran maupun hadits sahih, tetapi lebih merupakan kata-kata mutiara islami tentang kebolehan bersikap takabur karena keadaan atau alasan-alasan seperti itu. Dalil itu berbunyi, ''Barang siapa yang bersikap tawaduk terhadap orang yang tawaduk, maka orang itu mendapat pahala seperti bersedekah, dan barang siapa bersikap takabur terhadap orang yang selalu takabur, maka orang itu mendapat pahala seperti bersedekah,'' (man tawaadha'a mutawaadhi' fahuwa shadaqah, wa man takabbara mutakabbir fahuwa shadaqah). Dengan demikian, tawaduk itu ''wajib'', sedangkan takabur itu ''boleh'' asalkan dimaksudkan untuk menghentikan ketakaburan orang lain.

Di negeri ini sekarang banyak orang takabur karena merasa paling pandai sehingga merasa dirinyalah yang paling benar pendapatnya. Di negeri ini tidak sedikit juga orang takabur karena kedudukan dan kekuasaan jabatannya sehingga merasa boleh melakukan apa saja terhadap orang lain. Dengan niat menghentikan ketakaburan orang lain, sambil beristighfar, boleh saja sekali-sekali kita bersikap takabur terhadap orang-orang yang seperti itu.

Dalam hal demikian, kita boleh berkata, ''Saya lebih menguasasi ilmu ini daripada kamu,'' atau ''Saya juga mempunnyai kekuasaan untuk menghentikan kesewenang-wenanganmu.'' Sekali lagi, takabur seperti itu hanya boleh sekali-sekali dilakukan asalkan dimaksudkan untuk menghentikan ketakaburan orang lain.(*)

Moh. Mahfud M.D. , Ketua Mahkamah Konstitusi RI

http://jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=153525
Share this article :

0 komentar: