Oleh DOTY DAMAYANTI dan EVY RACHMAWATI
Hidup Syamsiah dan Hasbiah, ibu-ibu warga Kampung Atas Air, Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, lebih inovatif sejak mereka beralih bahan bakar dari minyak tanah ke elpiji kemasan tiga kilogram. Ada saja masalah yang membuat mereka harus cepat tanggap dan kreatif.
yamsiah mencontohkan ia berinisiatif menyimpan karet pengaman katup tabung yang bagus. Alasannya sederhana, tidak semua karet cocok dengan kepala regulator selang yang ia punya. ”Kalau karetnya tidak bagus, sering ada suara mendesis tanda ada gas keluar,” ujar dia.
Setiap memasak, pintu dapur ia buka lebar-lebar untuk mengantisipasi jika ada kebocoran. Tabung elpiji tidak langsung diletakkan di lantai kayu, tetapi dialasi kain pel. ”Air payau di sini gampang membuat tabung berkarat,” kata Syamsiah.
Lain lagi dengan Hasbiah. Tiap kali membeli elpiji, dia meminta penjual menimbang tabung untuk memastikan isinya sesuai. Dalam enam bulan terakhir ia sudah tiga kali mengganti regulator tabung karena rusak. ”Saya sampai beli yang harganya Rp 100.000, eh, rusak juga,” kata Hasbiah.
Masyarakat tidak punya pilihan selain belajar berimprovisasi mengatasi masalah yang muncul dalam penggunaan elpiji karena alternatif bahan bakar lain sulit diperoleh atau lebih mahal. Kondisi ini terjadi sejak program konversi energi digulirkan tahun 2006.
Dalam Kebijakan Energi Nasional yang dikeluarkan tahun 2006, program konversi energi secara garis besar mencakup pengurangan pemakaian bahan bakar minyak, memperbanyak penggunaan energi fosil yang lebih efisien, mendorong penggunaan energi terbarukan. Sesuai rencana konversi minyak tanah ke elpiji, minyak tanah ditargetkan hanya digunakan untuk keperluan penerangan dan atau untuk daerah terpencil.
Sayangnya, program konversi minyak tanah ke elpiji tidak didasari perencanaan dan persiapan matang. Program itu muncul lebih disebabkan tekanan situasi akibat harga minyak yang tinggi tahun 2005-2006. Pemerintah kemudian lebih mengedepankan aspek penyelamatan anggaran daripada diversifikasi dan konservasi energi.
Dari perhitungan di atas kertas, penggunaan elpiji menggantikan minyak tanah bisa menghemat anggaran subsidi cukup signifikan. Ketika program konversi mulai berjalan penuh tahun 2007, pemerintah masih mengeluarkan subsidi minyak tanah Rp 37 triliun. Jika berhasil mengganti 90 persen minyak tanah ke elpiji, pemerintah hanya perlu mengeluarkan subsidi elpiji Rp 20 triliun per tahun.
Penghematan ini semula ditargetkan bisa dicapai pada 2010, tetapi karena banyak masalah yang muncul, diperkirakan program konversi baru akan selesai tahun 2011. Data PT Pertamina menyebutkan, sampai akhir Agustus 2010 penghematan subsidi dari program konversi baru mencapai Rp 9 triliun dari target Rp 13 triliun.
Luput
Fakta program yang menyasar 52-55 juta konsumen rumah tangga ataupun usaha kecil hanya dalam waktu tiga tahun itu akan menjadi program yang sedemikian masif, luput dari antisipasi pemerintah.
Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Huzna Zahir menilai, implementasi program konversi mengabaikan aspek keselamatan, adaptasi masyarakat, keadilan, dan kemandirian energi. Menurut Husna, dalam penyediaan energi, apalagi untuk rumah tangga, pemerintah harus melihat aspek efisiensi, keterjangkauan, dan sebisa mungkin menyediakan sendiri tanpa mengimpor.
”Ini yang menurut saya menjadi kunci karena kita berbicara tentang kontinuitas ketersediaan. Di sisi lain, persoalan pilihan mungkin perlu dipertimbangkan juga. Apakah memang kita benar-benar hanya menetapkan satu bahan bakar, yakni elpiji? Sudah tepatkah? Elpiji mungkin akan jadi pilihan yang mampu secara ekonomi dan sosial. Untuk masyarakat umum yang merupakan tanggung jawab negara untuk menyubsidi mereka, harus dipilih produk-produk paling efisien,” papar Husna.
Pengamat energi, Pri Agung Rakhmanto, sepakat dalam program konversi elpiji negara tidak memberikan alternatif bahan bakar bagi rakyat. Atas nama penghematan anggaran subsidi, rakyat dipaksa beralih menggunakan sumber energi yang belum tentu sesuai dengan kondisi ekonomi, taraf pendidikan, dan cara hidup rakyat saat ini.
Sayangnya, kebijakan ini, oleh sebagian besar kita, dianggap solusi ampuh. Padahal, lanjut Pri Agung, sisi positif penghematan anggaran dari kebijakan konversi elpiji hanya jangka pendek, yaitu ketika volume pemakaian elpiji masih rendah.
Penerapan kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji yang tidak dilakukan secara tertutup dari awal, jelas siapa saja akan menggunakan elpiji subsidi. Konsekuensinya, volume pemakaian akan meningkat dengan cepat.
Hal tersebut tidak saja akan menghilangkan dengan cepat sisi positif penghematan anggaran, tetapi juga akan segera berdampak pada jaminan ketersediaan. Sejak konversi digulirkan tiga tahun lalu, konsumsi elpiji meningkat hampir tiga kali lipat. Kenaikan konsumsi itu tidak dibarengi dengan peningkatan produksi elpiji dalam negeri. ”Sekitar 50 persen pasokan elpiji kita sekarang dari impor. Jika tidak diatasi, kita akan mengulangi kesalahan subsidi BBM,” kata Pri Agung.
Tidak serius
Penyediaan infrastruktur bahan bakar menjadi masalah krusial yang tidak ditangani serius pemerintah. Hal ini menjadi ironi bagi pemerintahan yang memiliki program utama pembangunan ketahanan energi dan pangan untuk mencapai kesejahteraan rakyat.
Pri Agung mengemukakan, infrastruktur energi seyogianya jadi tanggung jawab pemerintah, bukan pasar. Artinya, jika mekanisme pasar tidak bekerja, pemerintah harus turun tangan. Kalaupun tidak langsung membangun sendiri, pemerintah dapat memakai mekanisme penjaminan. ”Sekarang ini, membangun sendiri pun tidak, memberikan penjaminan pun enggan. Bagaimana infrastruktur bisa ada,” kata Pri Agung.
Meskipun implementasi di lapangan babak belur, pemerintah mengaku memiliki rencana lengkap agar diversifikasi dan konservasi energi berjalan, termasuk dimensi penyediaan energi ke depan akan berpijak pada penggunaan sumber energi paling dekat. Caranya, mengoptimalkan potensi lokal dan lepas dari ketergantungan pada BBM.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Darwin Zahedy Saleh mengatakan, ada dua idiom ke depan yang kalau dilakukan serius akan membawa Indonesia menuju sesuatu yang indah: diversifikasi dan konservasi.
Namun, dalam menuju yang indah itu pemerintah tidak dalam kondisi ideal membuat keputusan. Sejumlah kondisi tidak ideal itu, antara lain, jebakan subsidi bahan bakar minyak yang sulit dilepaskan dan keterbatasan kemampuan keuangan pemerintah dalam menyediakan infrastruktur energi.
Ia membantah penilaian bahwa program konversi dilakukan tanpa perencanaan matang. Pemerintah, katanya, sebenarnya sudah melaksanakan kesiapan dan membuat sistem karena menyangkut subsidi dalam jumlah besar. Jadi, sebenarnya ketergesa-gesaan itu sudah disertai persiapan baik. ”Kalau dilihat, angka kecelakaan dibandingkan jumlah penerima konversi sebenarnya jauh sangat kecil. Tetapi, memang urgensi mengatasi subsidi saat program itu dibuat kuat sekali. Waktu itu harga minyak di atas 100 dollar AS per barrel. Kalau subsidi BBM sampai menembus Rp 100 triliun, sulit dibayangkan,” papar Darwin.
Yang indah itu belum juga kelihatan, sementara masyarakat masih harus berkutat dengan ledakan gas dan rencana kenaikan harga elpiji. Penyelamatan anggaran dapat menjadi pembenaran hilangnya nyawa rakyat, bahkan satu jiwa sekali pun.
0 komentar:
Posting Komentar