Desa Sidayu, Kecamatan Binangun, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, adalah contoh kemurahan Tuhan terhadap bumi Indonesia. Namun, desa itu juga menjadi saksi kesendirian rakyat menghadapi tantangan hidupnya.
Tanah di Desa Sidayu yang dihuni sekitar 900 keluarga itu subur. Sebagian sawah beririgasi teknis sehingga bisa ditanami sepanjang tahun. Sawah sisanya, yang masih tadah hujan, setahun bisa dua kali ditanami padi. Berbagai tanaman pohon produktif, seperti kelapa, juga memenuhi kebun warga.
Sekitar 2 kilometer ke arah selatan dari desa itu terdapat pantai yang indah. Ombaknya bisa dipakai berselancar. Pasir pantainya tak hanya lembut dan bersih karena belum dikunjungi banyak orang, tetapi sebagian juga adalah pasir besi. Sejak beberapa tahun terakhir, di daerah itu mulai datang investor untuk menambang pasir besi.
Namun, berbagai anugerah di Desa Sidayu itu tetap tak cukup bagi Jamilah (43) untuk hidup di dalamnya. ”Saya tidak punya sawah yang luas untuk bertani. Jika ada yang membutuhkan tenaga saat panen atau tanam padi, saya menjadi buruh tani dengan upah Rp 30.000 sehari,” katanya.
Untuk bekerja di bidang lain di Cilacap, Jamilah kesulitan. ”Apa ada pabrik di Cilacap atau Jakarta yang mau menerima lulusan SD seperti saya?” tanya dia.
Berbagai tekanan itu membuat Jamilah tahun 1998 memutuskan pergi ke Arab Saudi, menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI). Dua anaknya yang saat itu masing-masing berumur 10 tahun dan 7 tahun ditinggal di Sidayu, diurus suaminya. ”Saya tiga tahun ke Mekkah. Tahun 2002, saya pergi ke Riyadh (Arab Saudi) selama lima tahun. Pulang sebentar, pergi lagi ke Riyadh. Namun, dari kontrak dua tahun, yang terakhir ini hanya kuat satu tahun tiga bulan karena pekerjaannya banyak,” papar Jamilah tentang pengalamannya menjadi pembantu di negeri orang.
Saat bekerja di Mekkah, dia digaji 600 riyal (kurs saat ini sekitar Rp 1,4 juta). Ketika bekerja di Riyadh, ia digaji 700 riyal (Rp 1,68 juta) dan 800 riyal (Rp 1,9 juta). ”Pulang dari Mekkah, saya membeli tanah seharga Rp 9 juta. Ketika pulang dari Riyadh, saya membeli lagi tanah Rp 20 juta,” tuturnya.
Jamilah sadar, pendapatan sebagai TKI sering kali tidak sebanding dengan risiko yang dihadapi. Cerita perlakuan sewenang-wenang yang dialami TKI menjadi menu rutin. Ia juga tahu ada tetangga desanya yang meninggal karena jatuh saat bekerja di Arab Saudi.
Data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Perisai Kebenaran, Kabupaten Banyumas, daerah yang bertetangga dengan Cilacap, mencatat, dua warga Banyumas, yaitu Eni Supriani dan Dewi Usianah, hampir 11 tahun tidak diketahui keberadaannya. Terakhir, mereka diketahui menjadi TKI di Malaysia.
”TKI itu untung-untungan. Jika majikannya baik, ya aman saja,” kata Jamilah tentang nasib buruk yang menimpa sebagian rekannya sesama TKI.
Dengan pertimbangan itu, juga sulitnya mencari pekerjaan di Cilacap, Jamilah mengizinkan Nurjanah, anak pertamanya, untuk mengikuti jejaknya menjadi TKI. Sejak 2,5 tahun lalu, Nurjanah, yang saat itu berumur 20 tahun, pergi ke Taiwan, menjadi pembantu rumah tangga. ”Tiga bulan lalu Nurjanah pulang, lalu membeli motor. Sekarang ia sudah ke Jakarta, akan ke Taiwan lagi,” ucapnya lagi.
Bukan satu-satunya
Jamilah dan Nurjanah bukan satu-satunya warga Desa Sidayu yang memutuskan menjadi TKI. Suhardi, Kepala Desa Sidayu, menuturkan, dari sekitar 3.350 warganya, sekitar 40 persen di antaranya pernah atau sedang menjadi TKI. ”Melihat ada TKI yang pulang membawa uang membuat warga lain
tertarik menjadi TKI. Apalagi, mencari pekerjaan di sini tidak mudah,” tuturnya.
Saking banyaknya warga Sidayu yang menjadi TKI membuat Suhardi tak hafal warganya. ”Ada yang tiba-tiba muncul karena katanya baru pulang dari luar negeri, tetapi juga ada yang tiba-tiba menghilang karena menjadi TKI,” ujarnya.
Bahkan, Suhardi sering kali baru sadar bahwa warganya menjadi TKI ketika ada pengacara yang datang ke rumahnya untuk mengurus surat cerai. Sebab, salah satu pihak yang bercerai menjadi TKI. Selain itu, banyak orangtua di desanya mengasuh anak kecil yang adalah cucunya karena orangtua anak itu menjadi TKI.
Suhardi mengaku sering gelisah ketika melihat dampak negatif dari warganya yang menjadi TKI, berikut risiko dari pekerjaan itu. Dia berharap ada pejabat Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Cilacap yang bertanya, mengapa banyak warga desanya menjadi TKI. ”Saat itu saya akan jawab, karena di sini tidak ada pekerjaan,” katanya.
Namun, ditunggu sampai sekarang, jawaban nyata yang ditunggu Suhardi berupa lapangan pekerjaan bagi warganya tidak kunjung datang. Akibatnya, fenomena menjadi TKI yang dimulai di Desa Sidayu sejak 1980 terus berlangsung sampai kini.
Setahun lalu, Suhardi berusaha mengurangi pengiriman TKI dari desanya dengan mengembangkan kerajinan batik. Ia mengundang perajin batik dari Pekalongan, Jateng, untuk melatih warga membatik. Sebanyak 15-25 wanita di desanya sekarang mulai pintar membatik.
Namun, masalah lain menghadang gagasan Suhardi itu. ”Kami kesulitan menjualnya. Pernah batik itu kami coba jual di pasar, tetapi susah tembus. Sekarang kami hanya menjualnya di pameran. Akibatnya, hasilnya belum bisa untuk hidup,” tuturnya.
Gagasan Suhardi sebenarnya sama dengan pemikiran Wakil Bupati Cilacap Tatto Suwarto Pamudji untuk menggairahkan usaha kecil menengah sebagai jalan keluar menekan pengiriman TKI asal Cilacap. (Madina Nusrat/M Hernowo)http://cetak.kompas.com/read/
0 komentar:
Posting Komentar