BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Mainkan Perkara, Datanglah Uang

Written By gusdurian on Selasa, 30 November 2010 | 11.32

Mainkan Perkara, Datanglah Uang

RANCANGAN peraturan penanganan jaksa-jaksa bermasalah itu sudah
kelar di tingkat Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan. Awal Desember
ini, draf itu akan dibahas dalam rapat kerja di Cipanas, Bogor, untuk
dirumuskan menjadi Peraturan Jaksa Agung.

Inilah peraturan yang diharapkan bakal membuat taring bidang
pengawasan Kejaksaan lebih tajam. Sebab, isinya tak hanya mengatur
soal pedoman penjatuhan hukuman, tapi juga memberikan wewenang bidang
pengawasan menyidik jaksa yang diindikasi korupsi. "Kalau satu atap,
penanganannya lebih cepat," kata Jaksa Agung Muda Pengawasan Marwan
Effendy.

Selama ini penanganan dugaan korupsi yang dilakukan para jaksa
ditangani kepolisian atau bagian pidana khusus Kejaksaan. Karena tak
punya kewenangan menyidik itulah, bidang pengawasan dianggap tak
bertaji. Alhasil, sanksi yang dijatuhkan sebagian besar hanya bersifat
administratif dan paling tinggi berupa pencopotan dari jabatan
fungsional dan struktural.

Jumlah jaksa yang melakukan pelanggaran berat atau perbuatan
tercela dari tahun ke tahun terus meningkat. Tahun ini saja, dalam
catatan Kejaksaan, jumlahnya 119 kasus atau naik dua kali lipat
dibanding tahun lalu. Pelanggaran paling banyak, menurut sumber Tempo,
memeras orang-orang yang terlibat perkara. Sanksi yang diberikan
umumnya pencopotan dari jabatan struktural atau fungsional. Hanya,
kendati terindikasi pidana, para jaksa yang mendapat sanksi itu tetap
aktif.

Marwan memastikan para jaksa yang terlibat pemerasan itu tak
bakal mendapat promosi. "Ini termasuk pelanggaran berat, sulit
mendapat kedudukan strategis," katanya. Dari ratusan kasus jaksa nakal
pada 2010, menurut seorang jaksa yang kini ditempatkan di luar
kejaksaan, hanya dua yang dibawa ke ranah pidana. Kasusnya kini tengah
diselidiki kepolisian.

Kasus pertama adalah dugaan pemalsuan rencana penuntutan perkara
penggelapan pajak Gayus H. Tambunan oleh jaksa Cirus Sinaga di
Pengadilan Negeri Tangerang. Ini diduga erat kaitannya dengan upaya
pemerasan terhadap Gayus. Cirus kini berstatus tersangka.

Kasus kedua terjadi di Medan. Di sini jaksa Mara Sutan Harahap,
jaksa di Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, diduga memeras Kepala Dinas
Pekerjaan Umum Kota Medan Marga Lubis. Jaksa berpangkat IIId itu
mengancam akan membongkar praktek korupsi di Dinas Pekerjaan Umum jika
Marga tidak menyetor duit ratusan juta rupiah. Marga melaporkan Mara
ke bagian pengawasan Kejaksaan. Oktober lalu, Mara dicopot sebagai
jaksa dan dilaporkan ke Kepolisian Resor Kota Medan.

Marwan tidak menampik sedikitnya jaksa nakal yang dipidanakan.
Menurut dia, pihaknya mengalami kendala sulitnya menemukan bukti awal
yang bisa membawa para jaksa nakal itu ke ranah pidana. Karena itulah,
kata dia, jika usul kewenangan penyidikan dugaan korupsi jaksa di
bagian pengawasan nanti disetujui pada rapat di Puncak itu, pihaknya
kelak memiliki senjata untuk menyelidiki jaksa yang melakukan korupsi.

Marwan juga mengakui para jaksa yang dicopot itu umumnya karena
melakukan pemerasan. Cara pemerasan ini aneka macam. Kalau
terorganisasi dari pusat, polanya menggunakan rencana penuntutan.
Kasus Cirus, contohnya. Jaksa biasanya meminta sejumlah uang kepada
terdakwa dengan jaminan bakal menuntut ringan atau bahkan bebas.
Menurut Marwan, pola ini sudah tidak terjadi di pidana khusus karena
rencana penuntutan sudah ditiadakan. "Di pidana umum masih ada, tapi
saya usulkan dihilangkan karena rawan dipermainkan."

Modus lain adalah membongkar kasus lama seorang pejabat dan
meminta sejumlah uang kepada pejabat itu jika tak ingin jadi
tersangka. Ini, misalnya, dilakukan tiga jaksa di Kejaksaan Tinggi
Kalimantan Timur. Tiga jaksa itu kini sudah dicopot dari jabatan
mereka. Modus seperti ini, menurut Marwan, yang paling banyak terjadi.

Ada juga jaksa yang memanfaatkan kewenangan penahanan. Ini
dialami Sreedharam P. Sreejith, tersangka dugaan penggelapan uang
perusahaan di Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur. Saat berkas
dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Larantuka, menurut pengacara
Sreedharam, Petrus Bala Pattyona, kliennya dimintai uang oleh sejumlah
jaksa kalau ia tidak mau ditahan. Padahal di kepolisian, kata Petrus,
kliennya tak ditahan. Karena uang tak diberikan, ujar Petrus, kliennya
langsung ditahan. Senin pekan ini, Petrus akan melaporkan upaya
pemerasan itu ke Kejaksaan Agung.

Komisi Kejaksaan mempunyai catatan sendiri perihal cara-cara
jaksa memeras ini. Menurut Komisi, dari sejumlah laporan yang masuk,
cara yang paling kerap dipakai adalah mengulur-ulur waktu pelimpahan
berkas ke pengadilan atau tidak melaksanakan putusan eksekusi
pengadilan.

Menurut Pelaksana Tugas Ketua Komisi Kejaksaan Amir Hasan
Ketaren, pihaknya sudah berkali-kali merekomendasikan agar persoalan
jaksa nakal tidak berhenti pada sanksi profesi. Lembaganya meminta
dugaan pidananya juga diusut. Tapi usul ini tak pernah mendapat
tanggapan.

Hasan berharap Presiden sungguh-sungguh merealisasi tekadnya
memperkuat Komisinya. Selama ini, kata Hasan, Komisi Kejaksaan seperti
lembaga pengaduan, tidak seperti Komisi Yudisial yang punya kewenangan
memeriksa hakim. Akibatnya, lembaganya itu mandul dan tidak bisa
mengerem praktek jaksa nakal.

Indonesia Corruption Watch menilai Kejaksaan memang tidak pernah
serius mempidanakan jaksa yang diduga melakukan pemerasan. Menurut
Wakil Koordinator ICW Emerson Yuntho, kesan yang muncul justru
Kejaksaan Agung melindungi korpsnya. Emerson setuju jika bagian
pengawasan Kejaksaan memiliki kewenangan menyidik jaksa-jaksa nakal.
"Karena pemerasan pasti ada unsur pidananya," katanya.

Anton Aprianto

Mereka Dicopot

Terbukti menyalahgunakan wewenang, sejumlah jaksa dicopot dari
jabatannya. Inilah sejumlah jaksa yang diberhentikan pada 2010.

Andi Dahrin
Dicopot sebagai Kepala Subseksi Penuntutan Kejaksaan Negeri
Makassar.

Ia memeras Teksuyanto, terdakwa kepemilikan 2.500 pil ekstasi,
sebesar Rp 60 juta.

Aharuddin Karim, Andi Makmur, dan Mukhtar Temba
Ketiganya dicopot dari jabatannya sebagai jaksa fungsional
Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan.

Mereka memeras Jusmin Dawi, Direktur PT Aditya Reski Abadi,
sebesar Rp 200 juta. Jusmin tersangka kasus korupsi kredit fiktif
pengadaan kendaraan mobil dan motor di Bank BTN Syariah Cabang
Makassar sebesar Rp 44 miliar.

Cirus Sinaga
Dicopot dari jabatannya sebagai Asisten Tindak Pidana Khusus
Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah.

Ia disangka menghilangkan pasal korupsi kasus mafia pajak Gayus
Halomoan Tambunan dan diduga menerima uang dari Gayus.

Baringin Sianturi, Amsir Huduri, dan Eko Nugroho
Masing-masing dicopot dari jabatannya sebagai Asisten Pidana
Khusus, Asisten Intel, dan Kepala Seksi Penyidikan Pidana Khusus
Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur.

Ketiganya memeras Direktur Utama Bank Kalimantan Timur Aminuddin
sebesar Rp 2 miliar. Para pejabat bank itu tengah terjerat kasus
pidana korupsi markup pemberian kredit bank.

Resmi Nawangsih
Dicopot dari status jaksa fungsional di Kejaksaan Negeri Jawa
Timur.

Dia memeras Jeanette Austin, terdakwa pemilik perusahaan
pengangkut bahan bakar minyak oplosan, senilai Rp 165 juta.

Sukirno dan Selliyana
Dicopot sebagai jaksa fungsional di Kejaksaan Tinggi Lampung.

Keduanya meminta uang dari Purwaningsih, istri terdakwa
perampokan, Rp 11 juta. Uang itu telah dikembalikan oleh kedua jaksa
setelah Purwaningsih mengamuk di pengadilan dan menyebut telah
diperas.

Poltak Manulang
Dicopot dari jabatannya sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku.

Bersama Cirus, Poltak diduga merekayasa pasal dalam kasus
Gayus.



http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/11/22/KRI/mbm.20101122.KRI135174.id.html

Menyulut Padi dan Langit

Menyulut Padi dan Langit

ACARA Jakarta Lawyer Club yang disiarkan TVOne, Selasa malam
pekan lalu, menjadi panggung curahan hati Aburizal Bakrie. Ketua Umum
Partai Golkar ini menganggap kabar dia bertemu dengan Gayus Halomoan
Tambunan di Bali sengaja diembuskan. "Untuk memperburuk citra Partai
Golkar pada Pemilu 2014," kata Aburizal dalam acara yang ditayangkan
langsung dan dipandu Karni Ilyas, pemimpin redaksi televisi miliknya
itu.

Menurut Aburizal, ada skenario untuk mengendalikan partainya
yang "semakin kuat". "Seperti padi yang kian menguning tapi langit
tetap saja biru," katanya bertamsil, "jadi perlu cara mendiskreditkan
partai."

Aburizal mengatakan, bersama keluarganya ia memang ke Bali
menonton pertandingan tenis Commonwealth Bank Tournament of Champions,
Sabtu dua pekan lalu. Sehari sebelumnya, ia mengatakan berada di
Palembang dan baru pada Sabtu dinihari, pukul 01.00, tiba di Bali. Dia
mengaku tak kenal Gayus. "Cuma lihat di media massa, katanya pakai
wig," ujarnya.

Seorang politikus Beringin menganggap rumor pertemuan Aburizal
dengan Gayus muncul karena bekas pegawai Direktorat Pajak itu menyeret
perusahaan milik keluarga Bakrie di persidangan. Gayus mengatakan
menerima dana Rp 100 miliar dari PT Kaltim Prima Coal, PT Arutmin, dan
PT Bumi Resources untuk membereskan persoalan pajak perusahaan-
perusahaan itu.

Setelah "liburan" Gayus dan keluarganya ke Bali terkuak, publik
menghubungkannya dengan Aburizal, yang menonton pertandingan tenis di
tempat sama. Para politikus Partai Demokrat getol berkomentar. Didi
Irawadi Syamsuddin, ketua partai itu, misalnya, mendesak polisi
menyita kamera keamanan Hotel Westin Bali, tempat Gayus menginap.
"Kita khawatir bukti dihilangkan," kata Didi.

Ketua Bidang Pemberantasan Korupsi dan Mafia Hukum itu menilai
penghilangan barang bukti sangat mungkin terjadi. Sebab, ia
melanjutkan, di balik kasus Gayus diduga ada kekuatan besar mafia
pajak. "Jangan hanya memeriksa polisi dan jaksa, tapi juga pengusaha
besar di balik Gayus," kata Didi.

Priyo Budi Santoso, politikus Beringin, mengatakan rumor
pertemuan Gayus dengan Aburizal telah beredar terlalu jauh. Ia
menganggap politisasi itu tak menguntungkan. "Polisi bersikap
profesional saja agar clear, tak memicu fitnah," kata Wakil Ketua
Dewan Perwakilan Rakyat ini.

Menurut Priyo, dari hari ke hari serangan kian liar. Tujuannya,
mendegradasi Golkar pada Pemilu 2014. Tentang partai yang dicurigai,
Priyo tak mau menyebutkan. "Yang pasti, sejauh ini belum mempengaruhi
koalisi. Meskipun aroma politiknya kental," kata dia.

Sikap Golkar membuat Partai Demokrat merasa sebagai pihak yang
disasar. "Demokrat tak punya kemampuan bikin rekayasa seperti itu,"
kata Ahmad Mubarok, anggota dewan pembina partai itu. Menurut dia,
Demokrat minim kemampuan membuat intrik. "Seharusnya Golkar tak perlu
kebakaran jenggot," kata Mubarok.

Diakuinya, sikap Golkar bisa merembet ke masa depan koalisi.
Menurut Mubarok, koalisi memang tak solid. Targetnya berakhir pada
2014. "Koalisi itu memang tak memuaskan. Jika ada partai yang ingin
membubarkan, harganya terlalu mahal," kata dia. "Buat apa dikait-
kaitkan dengan soal Gayus."

Mubarok maklum jika Aburizal mumet. Menurut dia, Aburizal
gelisah soal pajak dan lumpur Lapindo, sehingga berusaha menutupinya
dengan jargon-jargon. Tentang isu pertemuan Gayus-Aburizal, dalam
pandangan Mubarok, itu merupakan masalah internal Golkar. "Silakan
Golkar cari kambing hitam, saya tak kaget," katanya.

Dwidjo U. Maksum, Nalia Rifika, Mahardika S. Hadi



http://majalah.tempointeraktif.com//id/arsip/2010/11/22/LU/mbm.20101122.LU135188.id.html

Seandainya Gayus Dibunuh

Oleh Imam Anshori Saleh

Beruntung Gayus HP Tambunan masih hidup. Bagaimana seandainya dia
dibunuh saat ”pelesiran” ke Bali atau sebelumnya, saat-saat mangkir
dari Rumah Tahanan Brimob Kelapa Dua?

Pertanyaan ini bukan mainmain. Mengingat spektrum kasus ”mafia pajak”
sekaligus ”mafia peradilan” Gayus HP Tambunan (sebut saja Gayus)
sangat luas dan melibatkan banyak pihak, bukan tidak mungkin ada pihak-
pihak yang terkait dengan kasus Gayus ingin aman dengan cara
menghabisi Gayus.

Sejumlah pengamat dan pengacara Gayus, Adnan Buyung Nasution, menilai
proses peradilan Gayus tidak mengungkap semua pihak yang terkait. Tak
semua wajib pajak penyuap Gayus diungkap di pengadilan.

Yang terkait dengan kasus Gayus selain para wajib pajak yang belum
sempat disebut di pengadilan, bisa juga para pegawai pajak atasan
Gayus, para jaksa, para polisi, dan para hakim yang terkait dengan
rekayasa pajak dan rekayasa peradilannya. Sebagaimana diberitakan
media massa, polisi yang dinyatakan bersalah dalam perekayasaan
peradilan Gayus dan sudah divonis baru Komisaris Polisi Arafat dan
Ajun Komisaris Polisi Sri Sumartini, di pihak hakim yang mengadili
hanya Ketua Majelis Hakim Muhtadi Asnun yang dijatuhi hukuman, belum
ada jaksa yang dijatuhi hukuman.

Belum lagi yang berkaitan dengan bocornya rencana tuntutan hukuman
Gayus yang sedang dalam proses penyidikan, dan yang terlibat upaya
rekayasa dalam rangka merintangi penyidikan kasus Gayus dan seterusnya
dan seterusnya.

Pertanyaan di atas juga muncul karena menurut pengakuan Gayus maupun
Kepala Rutan Brimob Komisaris Polisi Iwan, Gayus berkali-kali keluar
tahanan tanpa pengawalan petugas dari Rutan Brimob sebagaimana
mestinya. Karena itu, jika ada pihak yang ingin menghabisinya bisa
melakukannya dengan sangat mudah tanpa terlacak jati dirinya. Dengan
demikian, tamatlah riwayat penuntasan ”mafia pajak” dan ”mafia
peradilan” yang selama ini menyita perhatian kita dan melibatkan
Satgas Anti Mafia Hukum, kepolisian, kejaksaan dan lain-lain.

Bisa buntu

Yang terjadi seandainya Gayus dibunuh, semua pengusutan kasus mafia
pajak dan mafia peradilan bisa buntu. Orang-orang yang terlibat
(”mafioso”) dalam kasus Gayus, baik dalam perpajakannya, penyidikan di
kepolisian, penuntutan di kejaksaan, peradilan di pengadilan,
pemberian izin ”pelesiran” di rutan, semuanya bisa lolos. Dan yang
terpenting, kasus Gayus gagal dijadikan momentum untuk memberantas
”mafia perpajakan” dan ”mafia peradilan”.

Kita kembali melihat mengapa Gayus dan para terdakwa lainnya ditahan
dalam rumah tahanan. Dalam bahasa yang lebih umum, apa sebenarnya
tujuan penahanan. Pasal 21 (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) kita mengatur ada tiga alasan penahanan. Pertama, agar
terdakwa tidak melarikan diri; kedua, agar tidak menghilangkan barang
bukti; dan ketiga, agar tidak mengulangi perbuatannya. Dengan begitu
mudahnya Gayus meninggalkan rutan dan tanpa pengawalan, kemungkinan
melarikan diri dan menghilangkan barang bukti itu begitu gampang
dilakukannya. Dengan demikian, tujuan penahanan di rutan tidak
tercapai lagi.

Nyatanya Gayus tidak melakukan ketiga hal tersebut. Dia berkali-kali
keluar rutan dan berkali-kali kembali lagi. Kalau saja dia tidak
terjepret fotografer harian Kompas, barangkali dia masih akan
mengulang lagi keluar masuk tahanan tanpa diketahui publik.

Tetapi bagaimana jika seandainya Gayus dibunuh atau mengalami
kecelakaan dan meninggal? Maka, kasus tewasnya Nasrudin Zulkarnanen,
Direktur PT Rajawali Banjaran, yang melibatkan Ketua KPK Antasari
Azhar, akan terulang. Dalam kasus tewasnya Nasrudin, banyak sisi gelap
tentang isu pelemahan KPK yang tidak terungkap. Dalam kasus Gayus ini,
seandainya Gayus dibunuh, banyak kasus di seputar ”mafia perpajakan”
dan seputar ”mafia peradilan” hanya menjadi cerita tak berujung. Para
”mafioso” akan menari-nari dan bebas melakukan praktik permainan pajak
dan permainan peradilan bersama ”Gayus-Gayus” lainnya.

Tak tepat sasaran

Setelah kecolongan ”pelesiran” Gayus dari rutan lalu ada gerakan ramai-
ramai para akademisi dan praktisi dengan mensimplifikasikan solusi
”pemiskinan” terhadap para tahanan atau narapidana koruptor agar
mereka tidak bisa seenaknya mengatur para oknum penegak hukum. Tentu
usulan ini tidak tepat sasaran, terutama dalam konteks Gayus, karena
belum pasti orang seperti Gayus itu keluar tahanan atas kehendak dan
biaya sendiri.

Dalam kasus-kasus korupsi yang melibatkan banyak pihak dan berskala
besar bisa dipastikan banyak pihak yang mempunyai kepentingan. Selama
dapat mengamankan dirinya dan menyelamatkan praktik busuknya dengan
mengeluarkan dana berapa pun bagi mereka tidak menjadi soal. Mungkin
bagi mereka dana yang dikeluarkan untuk ”rekanan koruptor” itu
dianggap sekadar pengeluaran dana taktis atau dana pengembangan usaha.

Yang terpenting bagi mereka bisa melangsungkan usaha dan terlepas dari
ancaman penjara. Bukankah dalam kamus kejahatan berlaku rumus
kebohongan yang satu ditutup dengan kebohongan lainnya, kejahatan
ditutup dengan kejahatan pula. Bahkan, kalau perlu, membunuh pun bisa
jadi pilihan.

IMAM ANSHORI SALEH Mantan Anggota Komisi III DPR RI

http://cetak.kompas.com/read/2010/11/22/04405144/seandainya.gayus.dibunuh

Suap Sebagai Kejahatan Korupsi

Oleh Dr Eddy Rifai, SH, MH Staf Pengajar Fakultas Hukum Unila



PADA umumnya orang beranggapan suatu ke jahatan korupsi meru pakan
kejahatan yang merugikan keuangan negara.
Hal itu karena beberapa pasal tindak pidana korupsi dalam Undang-
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUTPK) merumuskan adanya
unsur `merugian keuangan negara'. Tetapi, untuk kejahatan suap-menyuap
tidak ada kaitannya dengan kerugian uang negara, meskipun perbuatan
tersebut dikualifikasikan sebagai kejahatan korupsi.

Para pelaku suap mungkin bertanya-tanya, negara yang tidak dirugikan
uangnya sepeser pun mengancamkan sanksi pidana yang cukup tinggi dan
mengecap mereka sebagai koruptor, perbuatannya disamakan dengan para
pelaku korupsi yang merugikan uang negara miliaran rupiah. Apa yang
telah mereka rugikan sehingga mereka diperlakukan demikian sering
dilontarkan para pelaku suap yang merasa tidak bersalah kepada negara.

Suap sebagai kejahatan korupsi memang merupakan suatu ketentuan baru
yang diatur dalam UUTPK yang mulai diundangkan dengan UU No 3 Tahun
1971 dan kemudian diganti dengan UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun
2001.
Tetapi semua ketentuan tentang suap tersebut dioper dari KUH Pidana
dalam kaitan dengan tindak pidana jabatan (ambs delicten). Pasal-pasal
KUHP yang dioper ke UUTPK adalah Pasal 209 KUHP yang mengatur
penyuapan aktif (actieve omkooping atau active bribery) terhadap
pegawai negeri dan Pasal 419 KUHP yang mengatur penyuapan pasif
(passieve omkooping atau passive bribery) yang meng ancam pidana
terhadap pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji. Kemudian
Pasal 210 KUHP yang mengatur penyuapan terhadap hakim dan penasihat
hukum di pengadilan serta Pasal 420 KUHP yang mengatur tentang hakim
dan penasihat hukum yang menerima suap.

Perluasan tindak pidana suap dalam bentuk gratifi kasi yang diatur
dalam Pasal 418 KUHP kemudian juga dioper menjadi tindak pidana
korupsi dengan merumuskan gratifi kasi sebagai pemberian hadiah yang
luas dan meliputi pemberian uang, barang, rabat/diskon, komisi,
pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan,
perjalanan wisata, pengobatan cuma-Cuma, dan fasilitas lainnya.

Tetapi, tidak semua suapmenyuap adalah kejahatan korupsi. Beberapa
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan suap-menyuap
merumuskan perbuatan itu sebagai tindak pidana suap saja, misalnya
suap yang menyangkut kepentingan umum, baik aktif maupun pasif,
seperti diatur dalam UU No 11 Tahun 1980.

Suap terhadap pejabat bank yang diatur dalam UU No 10
Tahun 1998 dan suap dalam kaitan dengan pemilihan umum dan pemilihan
kepala daerah (money politics), yang dalam praktik penegakan hukum
tindak-tindak pidana suap ini kurang terangkat ke permukaan, karena
jarang kaan, karena jar digunakan penegak hukum sekalipun perbuatan
suap-menyuap semacam itu marak terjadi di masyarakat.
Suap yang tercela Suap-menyuap (bribery) bukanlah suatu tindak pidana
biasa. Dalam teori hukum pidana, perbuatan ini dikategorikan sama
dengan tindak pidana pembunuhan, pemerkosaan, dan pencurian. Perbuatan
suap merupakan mala per se atau mala in se dan bukan mala prohibita.
Konsep mala per se yang dilandasi oleh pemikiran natural wrongs
menganggap bahwa kejahatan-kejahatan tertentu merupakan kejahatan yang
berkaitan dengan hati nurani dan dianggap tercela bukan karena
peraturan perundangundangan telah melarangnya.
Tetapi memang sudah dengan sendirinya salah.

Adapun konsep mala prohibita bertitik tolak dari pemikiran bahwa
perbuatan dianggap tercela atau salah karena perundang-undangan telah
melarang nya, sehingga disebut sebagai regulatory offenses. Contohnya
ialah pelbagai peraturan tata tertib di pelbagai bidang kehidupan yang
diperlukan dalam rangka untuk menegakkan ter tibnya kehidupan modern.

Tindak pidana suap merupakan mala per se karena penyuap an selalu
mengisyaratkan adanya maksud untuk memengaruhi (influencing) agar yang
disuap (misalnya menyangkut diri seorang pejabat) berbuat atau tidak
berbuat yang bertentangan dengan kewajibannya.

Atau juga karena yang disuap telah melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu yang bertentangan de ngan kewajibannya. Para pelaku,
baik `aktor intelektual' maupun `aktor pelakunya', telah melakukan
sesuatu yang bertentangan baik dengan norma hukum maupun norma-norma
sosial yang lain (agama, kesusilaan, dan ke sopanan).

Dunia internasional mengkriminalisasikan suap-menyuap sebagai
kejahatan korupsi.

Menurut Muladi (2005), banyak sekali instrumen regional (misalnya EU,
Inter-American, African Union, Southern African Development Community)
ataupun organisasinya (misalnya OECD, GRECO) yang merumuskan untuk
mencegah dan memberantas korup si termasuk suap-menyuap. Dalam
pertumbuhannya, instrumen-instrumen itu mengerucut dalam bentuk UN
Convention Against Corrup
tion, Vienna, 2003.

Dalam Konvensi PBB, ruang lingkup bribery diperluas dan mencakup
penyuapan terhadap pejabat publik, termasuk pejabat publik asing dan
pejabat publik dari organisasi internasional, baik aktif maupun pasif.

Bahkan dianjurkan pula mengkriminalisasikan perbuatan suap di
lingkungan swasta (bribery in the private sector) dalam kegiatan
komersial, ekonomi, dan fi nansial, termasuk juga pelbagai bentuk suap
yang dapat mengganggu proses peradilan yang jujur dan independen
(obstruction of justice).
Upaya pemerintah Upaya pemerintah untuk memberantas perbuatan suap-
menyuap telah di lakukan dengan sungguh sungguh. Di samping mengadakan
peraturan perundang-undangan tersebut (UUT PK, UU Suap, money poli
tics), juga meng u n dang kan UU No 28 Ta h u n 1999 ten t a n g Penye
enggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bebas KKN, UU Pencucian
Uang, dan UU Pembentukan Komi si Pemberantasan Korupsi (KPK). In
donesia pun turut DI menan data ngani UN Convention Against
Corruption, Vienna, 2003, yang dalam konvensi ini terdapat empat hal
yang menonjol, yaitu penekanan pada unsur pencegahan, kriminalisasi
yang lebih luas, kerja sama internasional, dan pengaturan lembaga
asset recovery untuk mengembalikan aset yang dilarikan ke luar negeri.

Banyak pelaku suap yang dijebloskan ke penjara, mulai dari gubernur,
bupati, wali kota, pejabat Bank Indonesia (termasuk besan Presiden
SBY), dan pejabat-pejabat eksekutif lainnya; kalangan legislatif
(anggota DPR dan DPRD) serta aparat penegak hukum (hakim, jaksa,
polisi, petugas LP), dan sebagainya.

Namun, kasus suap-menyuap tampaknya terus terjadi dan meningkat dari
tahun ke tahun, termasuk kasus suap yang dilakukan Gayus Tambunan yang
sekarang tengah menghebohkan negeri ini. Persoalan yang cukup kompleks
adalah adanya budaya suap yang seolah-seolah menjadi suatu ‘way of
life’ dalam kehidupan masyarakat kita. Mengatasi budaya suap ini
bukanlah persoalan mudah, melainkan memerlukan adanya suatu penegakan
hukum yang keras sebagaimana dilakukan beberapa negara lain yang pada
masa lalu tingkat kejahatan suapnya cukup tinggi seperti Hong Kong dan
Filipina.

Masalahnya, untuk menegakkan hukum terhadap kejahatan suap, haruslah
dilakukan aparat penegak hukum yang jujur dan bersih. Karena, apabila
aparat penegak hukumnya kotor, tidak mungkin membersihkan barang kotor
dengan air yang kotor.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/11/23/ArticleHtmls/23_11_2010_021_016.shtml?Mode=0

Hukum untuk Kepentingan Kekuasaan

Oleh Muhammad Sarmuji Sekjen Angkatan Muda Partai Golkar

Aroma politis yang merebak di balik insiden pelesiran Gayus adalah
wujud totalitarianisme kekuasaan yang hendak mengaburkan makna hukum
yang berlandaskan asas kepastian dan keadilan."
AJAH penegakan hukum di Indonesia di bawah pemerintahan Susilo Bambang
YudhoyonoBoediono belum juga usai menampakkan inkonsistensi tugas dan
perannya untuk menempatkan hukum sebagai panglima. Setelah rekomendasi
skandal Century tidak menuai kelanjutan politis dan yuridis yang jelas
dan tegas, serta kasus Bibit-Chandra dan mafi a pajak yang terus menuai
polemik, publik kembali dihebohkan insiden pelesiran Gayus Tambunan ke
Bali.

Bukan kali pertama fenomena insan pesakitan sekelas Gayus bisa
melenggang hilir mudik keluar tahanan dan menikmati kehidupan bagaikan
di alam bebas. Kejadian serupa, meski dengan modus yang berbeda,
pernah dilakoni Artalyta Suryani yang menikmati kehidupan tahanan
dengan fasilitas yang serbaluks. Kenikmatan yang sama mungkin saja
dinikmati tahanan-tahanan lainnya, meski luput dari perhatian publik.

Persoalan utama tidak hanya terletak pada subjek hukum, tapi juga pada
institusi penegakan hukum, mulai hulu hingga hilir, yang tidak
konsisten menegakkan prinsip-prinsip hukum.

Inkonsistensi itulah yang menurunkan legitimasi dan kredibili
Politisasi Ironisnya, inkonsistensi itu tidak menjadi perhatian utama
di kala publik mempertanyakan tindak lanjut penyelesaikan hukum
berbagai kasus besar di awal pemerintahan SBY-Boediono. Rekomendasi
DPR tentang skandal Century masih terbengkalai dan tertumpuk di meja
kepolisian dan kejaksaan.

Alih-alih menindaklanjuti hasil rekomendasi DPR yang menegaskan
terjadinya penyimpangan dalam proses bailout kepada Bank Century,
kedua institusi penegakan hukum tersebut justru menyibukkan diri
dengan persoalan lain yang tidak mendominasi aspirasi publik.

Kasus Bibit-Chandra yang terus menjadi polemik tidak menguak tuntas
berbagai rekayasa yang terendus oleh penciuman publik. Sementara itu,
kasus mafi a pajak yang menempatkan Gayus sebagai aktor utama justru
lebih kental menyudutkan pihak tertentu tertentu ketimbang mengungkap
secara terang benderang seluruh pihak yang terlibat di dalamnya.

Semua terbenam dan kembali memuncak saat Presiden Yudhoyono
mempertanyakan tindak lanjut kasus Gayus da
lam rapat kabinet 16 November yang lalu. Setelah itu, insiden
pelesiran Gayus berkembang secara politis dengan mengaitkan pertemuan
Gayus dengan Aburizal Bakrie di Bali, melebihi keprihatinan dan
kesadaran terhadap kebobrokan institusi penegakan hukum.

Sulit memungkiri kuatnya aroma politik yang mengitari keputusan hukum
di negeri ini.

Selain karena institusi kejaksaan dan kepolisian masih berada di bawah
kendali lembaga eksekutif, berbagai fakta hukum yang begitu mendesak
untuk ditandaklanjuti sering kali terabaikan tatkala fakta tersebut
melibatkan lingkaran kekuasaan. Sebaliknya, kekuasaan dengan mudahnya
memolitisasi dan merekayasa persoalan yang tidak menyentuh fakta hukum
saat melibatkan lawanlawan politiknya.

Jika sekiranya kekuasaan hendak membuktikan dirinya sebagai pihak yang
menjunjung tinggi asas hukum dan keadilan, seharusnya ia lebih
mendahulukan pembenahan sistem penegakan hukum yang bobrok di mata
publik.

Kepolisian dan kejaksaan sebagai institusi di bawah presiden harus
meng usut tuntas pihak internal yang turut terlibat dalam mencoreng
dan mendelegitimasi kepercayaan publik terhadap kedua institusi
tersebut. Bukan berlindung di balik opini politis yang mengaburkan
substansi persoalan yang justru
lebih penting untuk dituntaskan. Kepentingan hukum Gagasan tentang
hukum begitu ideal untuk sekadar diungkapkan secara retoris. Hukum
merupakan instrumen agar keadilan bisa dicapai sesuai dengan harapan
publik. Namun, proses penegakan keadilan melalui instrumen hukum
selalu diterpa dilema yang tak berkesudahan. Tarik-menarik kepentingan
hukum dengan kepentingan di luar hukum mengayun pendulum keadilan yang
sering kali tidak memosisikan diri pada porsi yang semestinya.

Tarik-menarik kepentingan itulah yang membuat kekuasaan dengan mudah
memanipulasi kenyataan, dengan yang baik menjadi buruk karena
ditafsirkan atau sengaja ditafsirkan secara keliru. Kiranya itulah
yang sedang terjadi dalam polemik tentang pertemuan Gayus dengan
Aburizal Bakrie. Tidak sulit untuk ditebak, popularitas Partai Golkar
yang sedang menanjak seiring dengan ketegasannya dalam menyikapi
skandal Century serta suara kritisnya dalam lingkaran sekretariat
bersama membawa pada pilihan risiko yang tidak kecil.

Padahal tak ada yang keliru dari sikap kritis Partai Golkar di bawah
nakhoda Aburizal Bakrie terkait dengan skandal Century dan berbagai
perbedaan pandangan dalam sekber selain
upaya merealisasikan cita-cita ideal kepartaian sebagai perpanjangan
tangan dan katalisator aspirasi publik. Justru yang keliru adalah
tindakan yang mengaitkan energi kritis tersebut dengan tudingan,
tuduhan, dan fi tnah yang tidak bertanggung jawab.

Memengaruhi opini publik yang seharusnya lebih cerdas untuk sekadar
menurunkan legitimasi Partai Golkar yang berusaha mewujud sebagai
partai yang modern, mandiri, dan profesional.

Tanpa data dan fakta yang
jelas, selain rekayasa imajinatif, Aburizal Bakrie dikaikan de ngan
berbagai kasus yang melibatkan Gayus. Imajinasi tersebut bahkan
melampaui kebenaran serta menutupi substansi persoalan yang
sesungguhnya. Kekuasaan telah menghalalkan segala cara untuk
menghardik lawan politik dan merendahkan martabat hukum di mata
publik.

Bukankah sistem ketatanegaraan kita telah menetapkan dengan tegas
bahwa negara ini adalah negara hukum (rechtsstaat). Keadilan dibangun
sesuai dengan cita hukum (rechtidee), bukan negara kekuasaan
(machtsstaat). Logika hukum memiliki logika yang jelas dan tegas,
bertanggung jawab atas keputusannya, dan tidak sekadar bersifat
subjektif atas dasar kepentingan kekuasaan.

Kita tentu tidak menafikan pentingnya kekuasaan politik dalam
menegakkan hukum.

Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, sementara kekuasaan tanpa
hukum adalah zalim.

Karena itulah, hukum ha rus didukung kekuasaan yang bertanggung jawab
sesuai dengan peran dan posisinya. Hukum menjadi nyata jika
aparaturnya berfungsi dengan baik serta memenuhi dan menepati aturan
yang telah dibakukan.

Tapi di balik itu, hukum tidak bersandar pada kepentingan politik
untuk mencapai tujuannya. Politik berdimensi multidimensional,
berkembang secara pragmatis sesuai dengan proyek
si dan kebutuhan kekuasaan.

Sementara itu, hukum bertolak dari fakta dan renung an manusia yang
cerdas dan rasional sebagai subjek hukum.

Hukum bukanlah ‘sapi perah’ dan ‘peternakan’ kepentingan kekuasaan
karena ia berjalan di atas rel yang jelas dan tidak spekulatif. Atas
dasar itulah, kita percaya pada fungsi hukum sebagai pelindung dan
panglima.

Agar kepentingan terlin dungi, hukum harus dilaksanakan secara
profesional, tidak bersumber pada dugaan dan rekayasa.

Penegakan hukum menghendaki kepastian karena dengan kepastianlah warga
negara akan hidup dengan tertib, aman, dan damai. Argumen itulah yang
seharusnya dipahami institusi penegakan hukum sebab hukum adalah
kepentingan setiap warga negara, tanpa terkecuali. Pada gilirannya
hukum menghadirkan manfaat, tidak menimbulkan keresahan dan
ketidakpastian.

Politisasi hukum hanyalah segelintir dampak dari sistem penegakan
hukum yang setengah hati. Aroma politis yang merebak di balik insiden
pelesiran Gayus adalah wujud totalitarianisme kekuasaan yang hendak
mengaburkan makna hukum yang berlandaskan asas kepastian dan keadilan.
Dengan realitas seperti itu, jangan pernah berharap hukum akan membawa
manfaat bagi kehi dup an kita, selain sebagai pelindung dan panglima
bagi kekuasaan.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/11/23/ArticleHtmls/23_11_2010_021_032.shtml?Mode=0

Korupsi dan Industrialisasi Pilkada

Korupsi dan Industrialisasi Pilkada
Hanta Yuda A.R., ANALIS POLITIK THE INDONESIAN INSTITUTE


Fenomena kian menyebarnya korupsi F di daerah mengindikasikan ada yang
keliru dalam sistem pemilihan kepa la daerah (pilkada) selama ini.
Pasalnya, selain sistem pemilihan langsung mensyaratkan modal besar
yang harus dimiliki seorang calon kepala daerah, pilkada kerap
disertai dengan praktek politik uang dan pemakelaran pencalonan kepala
daerah. Politik uang dan pemakelaran inilah yang menyebabkan biaya
pilkada semakin menggelembung dan ongkos demokrasi semakin tinggi.

Fenomena ini tampaknya memiliki korelasi dengan temuan Indonesia
Corruption Watch (ICW), di mana sektor keuangan daerah menjadi
penyumbang potensi kerugian negara terbesar akibat kasus korupsi yang
terjadi dalam semester pertama tahun 2010, sekitar Rp 596,23 miliar,
dari total Rp 1,2 triliun kerugian negara akibat korupsi.

Kondisi seperti ini memunculkan semacam paradoks antara tingginya
ongkos pilkada dan tuntutan pemerintahan yang bersih dari korupsi.
Sebab, untuk menjadi seorang gubernur, misalnya, dibutuhkan dana
sekitar Rp 100 miliar, padahal gaji gubernur hanya Rp 8,7 juta per
bulan. Situasi ini memunculkan pertanyaan penting: mengapa biaya
pilkada semakin menggelembung, faktor apa yang menjadi sumber
pemicunya, lalu bagaimana solusi jalan keluarnya?
Industrialisasi pilkada Paling tidak ada satu jawaban tunggal untuk
menjawab pertanyaan mengapa ongkos pilkada menjadi sangat tinggi:
karena pilkada dimaknai sebagai industri politik yang kental dengan
politik transaksional. Logika transaksional ini selanjutnya melahirkan
praktek pemakelaran dan menyuburkan praktek mafia dalam pilkada.
Paling tidak, ada lima potensi lokus transaksi biaya politik yang
menjadi potret tentang fenomena politik transaksional dan
industrialisasi pilkada.

Pertama, transaksi antara elite ekonomi (pengusaha penyandang dana
politik) dan calon kepala daerah. Kedua, transaksi politik antara
calon kepala daerah dan elite partai pendukung untuk membeli "tiket
sewa perahu". Ketiga, transaksi antara tim kampanye (calon kepala
daerah) dan penyelenggara atau petugas pilkada di lapangan--praktek
kolutif semacam inilah yang mendorong terjadinya kecurangan.
Keempat, transaksi antara calon kepala daerah dan konsultan
pemenangan. Kelima, transaksi politik antara tim kampanye (calon
kepala daerah) dan pemilih. Siklus politik transaksional ini membentuk
semacam jaringan "mafia pilkada", yang aktornya terdiri atas calon
kepala daerah, cukong politik (pengusaha penyandang dana), elite
partai, penyelenggara atau petugas pilkada, serta tim sukses calon
kepala daerah sebagai perantara atau calo politik.
Praktek mafia dan siklus balas jasa seperti inilah yang menyebabkan
tingginya ongkos politik di pilkada dan memicu maraknya kasus korupsi
kepala daerah.
Sumber pemicu Ada empat sumber pemicu terjadinya praktek politik uang
dan tingginya ongkos politik dalam pilkada: imbas dari liberalisasi
sistem pilkada; efek dari kegagalan partai dan calon kepala daerah
mengikat dan memikat pemilih; dampak dari menguatnya pragmatisme
pemilih dan kader partai; serta implikasi dari rapuhnya sistem
rekrutmen calon kepala daerah di lingkup internal partai.

Sistem pemilihan kepala daerah yang kian liberal tak hanya menyebabkan
biaya penyelenggaraan (KPUD), pengawasan (Panwaslu), dan pengamanan
(Kepolisian) menjadi tinggi, tetapi juga memerlukan biaya politik dan
kampanye calon kepala daerah yang sangat tinggi. Kegagalan par tai
dalam mengikat konstituen dan ketidaksanggupan calon kepala daerah
memikat pemilih juga menyebabkan semakin tingginya biaya politik di
pilkada. Karena akan mendorong para elite partai dan calon kepala
daerah menggunakan cara instan melalui politik uang.

Menguatnya pragmatisme pemilih dan merosotnya militansi kader partai--
yang menyebabkan mesin partai tidak dapat berjalan optimal--juga
mendorong suburnya politik uang. Sebab, pendekatan kekuatan uang lagi-
lagi dijadikan strategi instan untuk menggerakkan mesin partai atau
pengganti kinerja mesin partai dalam kampanye pilkada. Hal ini tentu
juga menyebabkan biaya pilkada semakin mahal.

Peluang politik uang dan penggelembungan biaya pilkada juga didorong
oleh rapuhnya sistem rekrutmen calon kepala daerah di lingkup internal
partai. Sistem perekrutan calon kepala daerah yang tidak dilakukan
secara demokratis dan transparan akan memunculkan politik uang dalam
proses pencalonan. Para petinggi partai cenderung memasang tarif
tinggi dalam pencalonan kepala daerah, karena setoran dari calon
kepala daerah sekaligus menjadi sumber pemasukan bagi elite dan
organisasi partai.

Keempat faktor inilah penyebab semakin suburnya praktek politik uang
dan semakin mahalnya ongkos pilkada. Kondisi ini akan semakin
menggerogoti kualitas dan integritas kepala daerah yang terpilih.
Sebab, sistem penjaringan calon kepala daerah yang bertumpu pada
kekuatan uang akan menjadi pintu masuk bagi perilaku koruptif para
kepala daerah. Calon kepala daerah yang mengeluarkan biaya tinggi juga
sudah hampir pasti berpikir bahwa biaya politik yang dikeluarkannya
harus kembali. Di titik inilah, korupsi keuangan daerah akan menjadi
jalan pintas untuk mengembalikan kapital yang telah dikeluarkan para
kepala daerah.
Penyederhanaan pilkada Fenomena maraknya korupsi para kepala daerah
akibat tingginya biaya politik di pilkada mengindikasikan perlunya
penataan ulang sistem penyelenggaraan pilkada, karena biaya politik
perlu ditekan agar tidak menjadi pemicu korupsi. Karena itu,
setidaknya ada tiga aspek yang perlu ditata ulang. Pertama, aspek
sistem penyelenggaraan, diperlukan penyederhanaan sistem pemilu, yaitu
penyatuan pemilu eksekutif dan legislatif di tingkat nasional/lokal
dengan penyerentakan pelaksanaan pilkada kabupaten/kota di seluruh
Indonesia. Itu artinya, hanya ada dua kali pemilu, yaitu pemilu
nasional (pemilu presiden/wakil presiden dan pemilu DPR/DPD) dan
pemilu lokal (pemilihan bupati/wali kota, dan pemilihan anggota DPRD.
Sementara gubernur--sebagai perwakilan pemerintahan pusat di daerah--
perlu dikaji apakah cukup dipilih melalui mekanisme di DPRD.

Kedua, dari aspek dana kampanye, diperlukan penyederhanaan biaya
kampanye melalui aturan pembatasan pengeluaran belanja kampanye calon
kepala daerah, agar pelaksanaan pilkada semakin murah dan relatif
adil. Hal ini untuk meminimalkan terjadinya praktek korupsi keuangan
daerah, karena calon kepala daerah cenderung ingin mengembalikan modal
ketika terpilih. Ketiga, dari aspek mekanisme penjaringan, diperlukan
penyederhanaan sistem rekrutmen melalui kesadaran internal partai--
atau dipaksakan melalui regulasi perundangan--untuk menerapkan sistem
penjaringan calon kepala daerah secara demokratis dan transparan.
Selain itu, partai-partai harus menjalankan fungsi pendidikan politik
bagi kader dan konstituennya. Karena itu, membereskan persoalan bangsa
ini, termasuk di pilkada, harus dimulai dengan mereformasi kelembagaan
dan perilaku partai politik.

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/11/23/ArticleHtmls/23_11_2010_011_003.shtml?Mode=1

Jangan Jadi Gayus

Reza Indragiri Amriel, DOSEN PSIKOLOGI KEPRIBADIAN UNIVERSITAS BINA
NUSANTARA, JAKARTA

Prestasi adalah hasil ikhtiar kolaboratif. Itulah yang akan melahirkan
etos di dalam diri anak-anak kita untuk lebih mengutamakan merangkul
ketimbang menaklukkan pihak lain.
Foto-foto mirip Gayus, walau membuat ngilu hati, dapat memberi ilham.
Barangkali akan sangat baik apabila saat ini semua rumah dan lembaga
pendidikan menjadikan Gayus sebagai maskot tentang kebobrokan tabiat
dan perilaku manusia! Tentu, bahasan tentang Gayus tidak cukup hanya
sampai pada gambaran tentang kepribadiannya. Ini barangkali dapat
menjadi penawar atas ketidakyakinan kita bahwa penindakan hukum
terhadap pegawai negeri golongan IIIA dengan kekayaan miliaran rupiah
itu akan bebas manipulasi. Juga, pertanyaan yang perlu dibahas adalah
bagaimana agar anak-anak kita tidak menjadi Gayus; tidak tumbuh
sebagai manusia yang menjadikan manipulasi sebagai gaya berpikir,
sebagai watak, sebagai cara menuntaskan semua masalah.

Walau kemungkinan jawabannya bisa banyak, saya berpendapat lapis
paling dasar terletak pada seberapa serius kita menjalani peran selaku
orang tua. Apakah kita full-time parent ataukah part-time parent?
Apakah kita memantau perkembangan anak-anak kita secara kontinu
ataukah ala pemadam kebakaran yang baru penuh perhatian ketika anak-
anak bikin permasalahan? Jikalau sebagian besar kerut dahi lebih
ditujukan untuk perkara kantor, dan urusan anak sekadar memanfaatkan
sisa-sisa energi, tak bisa diingkari: kita adalah orang tua paruh
waktu.

Setelah poin di atas terjawab, yang perlu diintrospeksi kembali adalah
ke mana fokus pengasuhan kita. Andai kita melulu menaruh perhatian
pada penajaman kognitif, kelak mungkin anak-anak kita akan terbentuk
sebagai sosok pintar, kritis, dan menunjukkan ciri-ciri ketajaman akal
pikiran lainnya.

Persoalannya, saya teringat pada salah satu pertanyaan yang saya
lontarkan kepada para guru peserta pelatihan mengidentifikasi gaya
belajar di Pekanbaru, beberapa hari lalu,“Siapa di antara kita yang
berani mengatakan bahwa para koruptor adalah orang dungu?”Para
koruptor adalah orang-orang pintar. Pintar tapi—na’udzubillah—busuk
budi pekerti.

Jadi, jelas sudah, di samping dimensi kognitif, pengasuhan yang kita
terapkan terhadap anak-anak kita tidak semestinya mengabaikan
pengembangan sisi afektif—olah rasa, olah batin. Dengan afeksi yang
terbina, anak-anak kita seolah akan selalu membawa cermin di hadapan
mereka. Cermin yang menjadi bekal bagi mereka untuk bermuhasabah,
memotret kedalaman diri mereka sendiri plus menyelami perasaan
orangorang di sekitar mereka.

Cermin diri adalah poin penting. Pasalnya, para koruptor yang pintar-
pintar itu pada saat yang sama justru miskin hati, tumpul nurani. Itu
sebabnya, walau lihai berpatgulipat, mereka seenaknya sendiri.

Masyarakat, apalagi penegak hukum, kita pun belum sepenuhnya sadar
akan bencana yang dihadirkan oleh para koruptor. Itu tidak terlepas
dari masih kuatnya kesan bahwa korupsi adalah kejahatan tanpa korban
(victimless crime). Berbeda dengan terorisme, yang selalu identik
dengan banjir darah, hilangnya nyawa, dan kerugian harta benda,
kejahatan kerah putih tidak pernah secara nyata berbau anyir. Padahal,
dibandingkan dengan terorisme, korupsi punya magnitude kehancuran yang
jauh lebih dahsyat. Kurangnya kesadaran dunia penegakan hukum
kita akan bahaya korupsi itulah yang menghasilkan fakta bahwa, ketika
vonis mati bagi teroris sudah beberapa kali dijatuhkan, hingga kini
belum satu pun hakim di negeri kita yang bernyali mengantar pelaku
korupsi ke gerbang kematian lebih cepat.

Selanjutnya, kita--para orang tua--juga perlu menimbang-nimbang
kembali konsep berprestasi yang sering kita tanamkan ke anak-anak
kita. Kita dorong mereka sebagai orang yang berprestasi, yang lebih
unggul, lebih superior. Persoalannya, berprestasi yang kita coba
tanamkan ke mereka adalah prestasi seorang diri. Kemenangan yang
meninggalkan orang lain. Jadi, kita mewariskan konsep bahwa prestasi
hanya bisa ditelurkan lewat kompetisi, lewat pertarungan menaklukkan
orang lain. Prestasi laksana singgasana yang diperuntukkan bagi sosok
tunggal, dan tidak mungkin diisi bersama dengan sosok-sosok lain.

Prestasi seperti itu memang tidak salah.
Tapi jangan-jangan kita selama ini salah kaprah, karena konsep
berprestasi sedemikian rupa, yang merupakan tularan dari negara Barat
semacam Amerika, tampaknya telah mencabut kita dari akar batiniah kita
sendiri. Bagi kita di sini, barangkali prestasi perlu dikemas ulang
sebagai pencapaian lewat jalan kebersamaan. Dengan pemahaman baru yang
lebih ulayat itu, anak-anak akan kita dorong menjadi manusia yang
guyub. Semakin mereka guyub, semakin sukses pula mereka. Dengan kata
lain, prestasi adalah hasil ikhtiar kolaboratif. Itulah yang akan
melahirkan etos di dalam diri anak-anak kita untuk lebih mengutamakan
merangkul ketimbang menaklukkan pihak lain.

Kesalahkaprahan kita juga mewujud dalam skala lebih luas. Seorang
profesor dari Universitas Boston, Steve Prothero, suatu ketika
mengintroduksi istilah "religious literacy"."Melek agama", begitu
terjemahan bebasnya. Istilah "melek agama"diangkat Prothero setelah
melihat betapa dunia, ter masuk lingkungan politik, ditandai oleh
semakin pentingnya kedudukan agama. Karena itulah, sangat wajar jika
kita—warga dunia—juga semakin atau bahkan kembali melek agama.

Pandangan Prothero tentang pentingnya agama sebenarnya bukan hal baru.
Sejumlah pemikir, termasuk mereka yang termasuk dalam gelombang
spiritualitas, semakin deras membanjiri kita dengan buku-buku bacaan
dan sesi-sesi seminar tentang dunia ketuhanan atau dunia
spiritualitas. Itu yang terjadi di belahan dunia Barat; dunia yang
selama ini sering kita identikkan dengan komunitas sekuler, bahkan
ateis.

Justru kita, bangsa Timur yang kerap menyebut diri masyarakat
religius, nyatanya bergeser pasti ke sekularisme. Tidak sedikit
kalangan yang menganggap ajaran ketuhanan sebagai hal yang puritan,
bahkan ketinggalan zaman. Alhasil, benar kata Tuhan, ajaran tentang
rahmat bagi semesta alam datang sebagai agama yang asing, dan nantinya
akan kembali menjadi benda yang asing. Tuhan menggunakan kata
“nantinya”, tapi rasanya kata itu sudah menjadi nyata sekarang ini
juga.

Tidak meleknya kita terhadap agama bukanlah sesuatu yang dibesar-
besarkan. Ambil contoh sederhana; kita berulang kali gundah setiap
kali tahun ajaran baru tiba.

Berapa syarat minimal nilai matematika? Nilai bahasa asing? Nilai
fisika? Nilai matematika? Tapi pernahkah terdengar ada yang
bertanya,“Berapa persyaratan nilai agama?” Jadi, mari kita ingsutkan
peran dan fokus pengasuhan kita. Dari part-time parent ke full-time
parent, dari kognitif ke afektif, dari prestasi tunggal ke prestasi
bersama, dan dari salah kaprah yang mengagungkan Barat tanpa reserve
ke keaslian akar-akar kepribadian kita. Dengan itulah, mudah-mudahan,
kita tidak akan melihat anak-anak kita sebagai sekumpulan orang yang
berwajah mirip Gayus. ●


http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/11/23/ArticleHtmls/23_11_2010_012_011.shtml?Mode=1

Menanti Intervensi Presiden

Oleh Donal Fariz

Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk tidak campur tangan
dalam penuntasan kasus Gayus HP Tambunan dikhawatirkan hanya untuk
membungkus ketidakberanian Presiden untuk membongkar simpul besar para
mafioso hukum di negeri ini. Republik kita tidak boleh dikalahkan oleh
seorang Gayus.

Disadari atau tidak, eskalasi konflik kasus mafia pajak Gayus Tambunan
sesungguhnya teramat luas. Ada banyak lapisan kepentingan yang
membonceng biduk ke hilir dalam penuntasan kasus tersebut. Namun,
segala kepentingan politik yang ada di baliknya tidak boleh determinan
daripada upaya penegakan hukum dan agenda pemberantasan para mafioso
pajak.

Jika diuraikan, paling tidak ada lima lapisan kelompok yang berada
dalam pusaran konflik kasus Gayus. Di antaranya kepolisian, kejaksaan,
Direktorat Jenderal Pajak, wajib pajak, dan terakhir para politikus.
Tarik-menarik kepentingan ini membuat penegakan hukum menjadi mandul,
sementara pada sisi berseberangan posisi tawar Gayus melambung tinggi
karena memiliki kartu truf masing-masing pihak.

Kondisi ini tentu membuat upaya penegakan hukum menemui jalan buntu.
Penuntasan kasus ini hingga menjerat aktor intelektual dipastikan
hanyalah angan belaka karena berada pada tangan yang salah. Yang ramai
justru skandal demi skandal sebagai efek domino karena tidak seriusnya
aparat penegak hukum dalam menangani kasus ini.

Sepuluh kejanggalan

ICW mencatat setidaknya ada sepuluh fakta kejanggalan dalam proses
penegakan hukum dari awal hingga kondisi terakhir kasus ini bergulir.
Yang teranyar tentu desain sistematis kepolisian untuk menghindar dari
simpul besar kasus mafia pajak yang turut melilit para petinggi di
institusi tersebut.

Hal ini bisa dilihat dari kasus yang didakwakan kepada Gayus yang
justru tidak ada kaitannya dengan asal-muasal kasus ini mencuat ke
permukaan.

Tidak terbayang di benak publik sedikit pun kalau Gayus justru akan
dijerat dengan kasus PT SAT yang nilai kerugiannya hanya Rp
570.952.000, sementara kasus utama (main case) rekening sebesar Rp 28
miliar dan safety box sebesar Rp 75 miliar tidak jelas ujung
pangkalnya. Di mata kepolisian, seolah-olah ikan teri lebih besar
daripada ikan paus.

By design, pilah-pilih kasus ini dicurigai sebagai upaya kepolisian
untuk melokalisasi keterlibatan para petinggi di institusinya. Cara-
cara lama yang sebenarnya amat mudah untuk diteropong oleh publik.
Buktinya hingga kini yang terjerat hanyalah pemain tambahan, bukan
”pemain inti” di kepolisian.

Kondisi sengkarut ini seharusnya diurai secara cepat oleh Presiden.
Sebagai kepala negara, beliau harus terlibat dalam membenahi ini
semua. Dalam kasus Gayus, kepolisian tidak mungkin lagi dipertahankan
untuk menuntaskannya, karena mustahil memercayakan sebuah proses hukum
pada sistem yang ”rusak”.

Maka, tindakan intervensi dari Presiden menjadi sesuatu yang teramat
penting. Tindakan intervensi tersebut pada prinsipnya bukanlah sebuah
”dosa” yang perlu ditakutkan. Sepanjang itu positif bagi pemberantasan
korupsi, publik pasti akan mendukung untuk itu.

Justru yang seharusnya ditakutkan Presiden adalah tidak terungkapnya
kasus ini hingga tuntas. Karena kegagalan kepolisian sejatinya adalah
kegagalan Presiden juga sebagai seorang kepala negara.

Langkah intervensi Presiden sesungguhnya bisa dimaknai sebagai bagian
dari upaya memperbaiki institusi kepolisian yang kadung salah arah
dalam menangani kasus ini. Karena Presiden-lah yang paling memiliki
legitimasi untuk itu. Hal yang tidak kalah penting, tentu ini bagian
dari upaya untuk menuntaskan skandal mafia pajak Gayus Tambunan.

Langkah pertama yang bisa dilakukan Presiden adalah memerintahkan
kepada kepolisian untuk bekerja sama dan menyerahkan kasus ini kepada
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sembari itu, Presiden harus
menahan arus resistensi dari kelompok-kelompok tertentu jika kasus ini
diambil alih.

Termasuk jika resistensi itu muncul dari internal kepolisian. Langkah
ini menjadi amat penting untuk memperkuat KPK yang mengalami beban
traumatis jika harus berhadapan dengan kepolisian. Luka-luka ”cicak”
ketika berhadapan dengan ”buaya” belum sepenuhnya terobati.

Momentum perubahan

Penuntasan kasus Gayus ini seharusnya dijadikan momentum perbaikan
oleh Presiden. Baik arahnya ke luar maupun ke dalam. Perbaikan ke luar
ditujukan sesungguhnya untuk memperbaiki institusi kepolisian. Jika
proses hukum kasus Gayus bisa tuntas di tangan KPK—hingga kemudian
menjerat oknum petinggi kepolisian yang santer disebut-sebut oleh Gayus
—maka sejatinya ini bentuk konkret dari reformasi kepolisian yang
sedang digulirkan.

Adapun perbaikan ke dalam, tentu di tujukan bagi kinerja (performance)
Presiden sendiri dalam upaya pemberantasan korupsi. Satu tahun
kepemimpinan Yudhoyono dalam upaya pemberantasan korupsi sebenarnya
telah membuat publik jengah. Tidak ada hasil konkret yang ditorehkan.

Yang ramai justru polesan dan kosmetik pemberantasan korupsi melalui
pidato belaka. ICW sendiri pernah mencatat, setidaknya selama satu
tahun kepemimpinan Yudhoyono, sebanyak 76 persen pernyataannya justru
tidak terealisasi.

Sesungguhnya Presiden telah memiliki semua amunisi yang diperlukan
untuk melakukan perang terhadap para mafioso hukum. Kewenangan
konstitusional ditambah dengan legitimasi politik sudah lebih dari
cukup untuk melakukan itu semua. Belum lagi pion-pion Presiden untuk
melakukan perlawanan terhadap mafia hukum semacam satuan tugas. Yang
kurang saat ini barangkali komitmen dan kesungguhan untuk melawan
mafia, tanpa lagi terjebak dengan kepentingan politis kelompok
tertentu.

Jika Presiden lamban, dipastikan para mafioso akan semakin menyandera
negeri ini. Publik sudah menanti intervensi Presiden, bukan basa-basi
pemberantasan korupsi.

Donal Fariz Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch, Divisi Hukum
dan Monitoring Peradilan

http://cetak.kompas.com/read/2010/11/23/04053859/menanti.intervensi.presiden

Mengapa Negara Kaya Sumber Alam Miskin?

KONFERENSI ANTIKORUPSI (4)



Oleh Ahmad Arif

Mengapa negara-negara kaya sumber daya alam tidak bisa menjadi negara
kaya, bahkan cenderung miskin, dan sering bergantung kepada bantuan
asing? Korupsi dan koalisi jahat antara perusahaan ekstraktif, yang
kebanyakan perusahaan multinasional, dan pejabat pemerintah bermental
buruk dituding sebagai penyebabnya.

Ironi sejumlah negara kaya yang jatuh miskin dan bergantung kepada
bantuan negara lain dan lembaga donor menjadi salah satu sorotan dalam
Konferensi Antikorupsi ke-14 di Bangkok, Thailand, 10-13 November
2010.

Salah seorang pembicara dalam diskusi panel, Eleanor Nichol dari
Global Witness, menyebutkan, dukungan yang paling dibutuhkan sejumlah
negara miskin sebenarnya adalah memastikan tiadanya korupsi dalam
pengelolaan sumber daya alam mereka, bukan dengan terus
menggelontorkan bantuan.

Dia menunjukkan sejumlah negara yang digolongkan miskin sebenarnya
memiliki kekayaan besar. ”Pada 2006, ekspor minyak dan mineral dari
Afrika senilai sekitar 249 miliar dollar AS, hampir enam kali dari
nilai bantuan internasional sebesar 43 miliar dollar AS,” katanya.

Eleanor menyebutkan, kekayaan alam yang tinggi dari sejumlah negara
miskin itu hanya dinikmati para elite dan perusahaan ekstraktif.

Dia mencontohkan skandal korupsi yang dilakukan mantan Presiden
Turkmenistan Niyazovterus yang baru-baru ini meninggal. Niyazovterus
ketahuan menyimpan dana hingga 3 miliar dollar AS dari pendapatan
kilang minyak dan gas lepas pantai. Uang itu disimpan di sejumlah
nomor rekening, yang terbesar di Deutsche Bank, Frankfurt, Jerman.

”Hanya Niyazovterus yang memiliki kontrol tunggal atas dana tersebut.
Seorang mantan Ketua Bank Sentral Turkmenistan menggambarkan dana itu
sebagai ’uang saku pribadi’ Niyazovterus. Padahal, 58 persen dari
populasi rakyatnya hidup dalam kemiskinan,” ujarnya.

Contoh lain adalah Angola, salah satu negara termiskin di dunia. Satu
dari empat anak di negara tersebut meninggal sebelum berusia lima
tahun. Satu juta penduduk negeri ini bergantung kepada bantuan
internasional. ”Namun, dari penyelidikan IMF pada 2004, ditemukan
dokumen yang menunjukkan, lebih dari 1 miliar dollar AS per tahun dari
pendapatan minyak negara itu (sekitar seperempat dari pendapatan
tahunan negara) ditransfer ke luar negeri sejak 1996,” ungkapnya.

Kuncinya transparansi

Alexandra Gillies, peneliti dari Universitas Cambridge, Inggris,
mengatakan, sektor sumber daya alam berpotensi besar untuk dikorupsi.
Oleh karena itu, desain sistem antikorupsi harus memahami kerentanan
sektor ini serta kondisi spesifik negara atau daerah masing-masing.

Kerentanan korupsi dalam sektor sumber daya alam itu, menurut Gillies,
di antaranya disebabkan oleh teknis pengelolaan sumber daya alam cukup
rumit, mulai dari eksplorasi, lisensi, kontrak, aturan, harga,
distribusi, hingga penjualan.

”Industri sumber daya alam cenderung tersentralisasi dan tidak banyak
pemainnya. Kontrol atas sumber daya alam juga menjadi hak negara atau
pemerintah daerah. Di negara korup, sektor ini menjadi alat untuk
mencapai tujuan politik partai atau pribadi pemegang kekuasaan,”
ucapnya.

Di sisi lain, sebagian industri ekstraktif selama ini justru merasa
diuntungkan oleh iklim koruptif di negara-negara yang kaya sumber daya
alam. Oleh karena dengan itu, mereka bisa mendapatkan kontrak yang
menguntungkan, cukup dengan menyuap sejumlah pejabat setempat.

Gillies menyebutkan, transparansi merupakan kunci untuk mengurangi
korupsi di sektor sumber daya alam. ”Kini sejumlah perusahaan sudah
menerapkan Extractive Industries Transparency Initiative (EITI),”
katanya. Selain itu, sejumlah lembaga keuangan multinasional saat ini
juga mewajibkan industri agar turut berkomitmen terhadap pemberantasan
korupsi.

EITI merupakan inisiatif sejumlah perusahaan internasional membayar
negara atas sumber daya alam yang mereka eksplorasi melalui proses
yang transparan dan melibatkan banyak pihak untuk memantaunya.
Sebanyak 21 negara telah mengikutinya, lima di antaranya yang sudah
teruji adalah Azerbaijan, Ghana, Liberia, Mongolia, dan Timor Leste.
Bagaimana dengan Indonesia?

Menurut the Revenue Watch Index, beberapa negara, seperti Kazakhstan
dan Azerbaijan, memiliki skor tinggi dalam hal transparansi, tetapi
korupsi di negara tersebut tetap tinggi. ”Bagaimana transparansi
menghasilkan lebih banyak akuntabilitas dalam konteks seperti itu? Hal
itu karena sering kali data dan laporan kurang dimanfaatkan atau tidak
dapat diakses oleh publik,” kata Gillies.

Oleh karena itu, akses terhadap informasi menjadi kunci penting
setelah transparansi. Ezequiel Nino, pendiri ACIJ, salah satu
organisasi nonpemerintah Argentina, mendorong publik mengkaji kasus
korupsi dan menyebarluaskannya kepada publik.

http://cetak.kompas.com/read/2010/11/23/04154220/mengapa.negara.kaya.sumber.alam.miskin

Negara cuma Sibuk Bikin Tim TKI

Belum jelas Ketua Tim Menteri Linda Gumelar berangkat, pemerintah
membentuk tim baru yang diketuai Menteri Muhaimin Iskandar.
DI tengah mencuatnya kemarahan publik terhadap kekerasan yang dialami
tenaga kerja Indonesia di Arab Saudi, Sumiati binti Salan Mustapa, 23,
pemerintah RI terkesan kelabakan menghadapi kasus tersebut. Pemerintah
sibuk membuat tim yang berbeda-beda untuk kasus tersebut.

Belum jelas keberangkatan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Lin da Amalia Sari Gumelar ke Arab Saudi karena
belum memperoleh visa, pemerintah membentuk tim yang diketuai Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar.

"Tim advokasi dan pendampingan itu diketuai Menakertrans, dengan
anggota Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang
merangkap pendamping karena korbannya wanita, Dirjen AHU (Administrasi
Hukum Umum) dari Kementerian Hukum dan HAM, serta Direktur
Perlindungan Warga dari Kementerian Luar Negeri," kata Menko Polhukam
Djoko Suyanto via pesan pendek seusai rapat di Jakarta, kemarin.

Djoko membantah ada tim yang diketuai Menteri Linda Gumelar. "Belum
ada tim (sebelum ini). Ya, ini timnya. Bu Linda disuruh ikut karena
TKI-nya itu wanita," jelasnya.

Sebelumnya, seusai rapat terbatas di Istana Negara, Selasa (16/11),
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan Menlu Marty Natalegawa
untuk membentuk tim khusus yang akan mendampingi korban kasus
kekerasan Sumiati selama proses menjadi saksi pengadilan.

Kemudian, Presiden juga memerintahkan Menteri Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari Gumelar untuk berangkat ke
Arab Saudi.

Linda menjadi Ketua Tim Gabungan yang beranggotakan Tatang B Razak
(Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Internasional Kemenlu),
Syafrudin (Deputi Meneg Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak),
Wisantoro (Kemenakertrans, mantan Atase Tenaga Kerja RI di Kuwait),
dan Syaiful Idhom (Direktur Perlindungan dan Advokasi untuk Kawasan
Timur Tengah, Afrika, dan Eropa BNP2TKI).
Belum dapat visa Menurut Kepala Badan Nasional Penempatan dan
Perlindungan TKI (BNP2TKI) Moh Jumhur Hidayat, anggota tim tersebut
bertolak ke Arab Saudi tadi malam, pukul 00.15 WIB, menggunakan
pesawat Emirates. "Sementara Ketua Tim Gabungan (Menteri Linda
Gumelar) akan berangkat menyusul," kata Jumhur tadi malam.

Ketua Tim Linda Gumelar belum jelas kapan berangkat karena belum
memperoleh visa. "Sampai saat ini saya belum menerima visa dari
pemerintah Arab Saudi melalui kedubesnya di Jakarta," kata Linda. (Tlc/
HA/X-6)

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/11/22/ArticleHtmls/22_11_2010_001_033.shtml?Mode=0

Pelarangan atau Pembatasan Bahan Aditif Rokok Diterapkan 2012

Punta Del Este, Uruguay, Gelaran WHO Framework Convention for Tobacco
Control (WHO FCTC) di Uruguay telah usai. Dari semua kesepakatan yang
dihasilkan yang paling menarik adalah regulasi pembatasan bahan aditif
(tambahan) pada rokok yang akan diterapkan pada 2012. Caranya bisa
dikurangi atau dilarang.

WHO FCTC memang ingin target pembatasan bahan aditif rokok ini
dipercepat. Namun tarik ulur dengan asosiasi tembakau internasional
disepakati kebijakan pelarangan atau pengurangan bahan aditif rokok
akan dimulai 2012.

Rekomendasi ini dihasilkan WHO FCTC dalam pertemuan marathon di
Uruguay dari tanggal 15-20 November 2010 yang diikuti oleh sekitar 171
negara.

Para delegasi ini menyetujui proposal untuk membatasi atau melarang
penggunaan aditif tembakau yang bisa meningkatkan rasa enak dari
rokok, serta membuat konsumen untuk merokok dalam jumlah yang lebih
besar lagi.
Seperti diketahui rokok mengandung banyak zat aditif yang membuat
rasanya menjadi enak dan ketagihan.

Keputusan lain adalah mengagendakan pembahas tentang pajak yang lebih
keras untuk produk tembakau, tanaman alternatif bagi para petani
tembakau dan peraturan tanpa asap untuk rokok elektronik yang membuat
nikotinnya menguap pada pertemuan berikut.

"Kami sudah mampu mengambil konferensi ini ke tingkat lain," ujar
Thamsanqa Dennis Mseleku, selaku pemimpin pertemuan WHO ini, seperti
dikutip dari Reuters, Selasa (23/11/2010).

Dari 4.000 lebih bahan kimia yang terdapat dalam rokok, hanya sekitar
60 saja yang benar-benar teridentifikasi peneliti yang diketahui
sebagai zat berbahaya dan karsinogenik. Dari jumlah 4.000 bahan itu
ada sebanyak 599 bahan aditif yang terdapat di dalam rokok.

Zat aditif ini diantaranya seperti magnesium karbonat, menthol,
valine, pyridine, acetophenone, benzaldehyde, benzyl alcohol, kafein,
karbondioksida dan bahan lainnya.

Meskipun bahan-bahan ini diketahui sebagai bahan aditif, tapi produsen
tidak melakukan uji coba bagaimana hasilnya jika dibakar. Karena
umumnya jika dibakar, bahan ini akan berubah menjadi lebih berbahaya.
Lebih dari 4.000 senyawa kimia dihasilkan oleh rokok, seperti karbon
monoksida, nitrogen oksida, hidrogen sianida dan amonia.

WHO FCTC juga merekomendasikan tindakan kampanye pendidikan dan juga
kesadaran masyarakat akan bahaya merokok. Karena berdasarkan data dari
WHO, diketahui sejak tahun 1999 sudah lebih dari 51 juta orang
diseluruh dunia meninggal karena penyakit yang terkait dengan
tembakau.

Risiko kematian akibat kanker paru-paru pada laki-laki yang merokok
lebih besar 23 kali. Sedangkan untuk wanita yang merokok sebesar 13
kali lipat dibandingkan dengan yang tidak merokok. Dan sepertiga dari
perokok tersebut meninggal, dengan rata-rata waktu meninggal 15 tahun
lebih cepat dibandingkan yang tidak merokok.

Data lain menunjukkan rokok telah membunuh 250 juta anak-anak dan
remaja setiap harinya, yang rata-rata sudah mulai merokok sebelum
berusia 10 tahun. Dan setiap tahun jumlahnya selalu meningkat. Selain
itu, perokok pasif juga memiliki risiko yang hampir sama dengan
perokok aktif.

Meski demikian, rekomendasi untuk membatasi kadar aditif dalam rokok
mendapat kritikan dari Asosiasi petani tembakau internasional
(International Tobacco Growers Association). Asosiasi ini menyatakan
bahwa hal tersebut dapat menyakiti para petani yang berhasil
membudidayakan varietas tembakau tertentu.

http://us.health.detik.com/read/2010/11/23/105454/1500033/763/pelarangan-atau-pembatasan-bahan-aditif-rokok-diterapkan-2012?l991101755

Selesaikan Konflik dengan Mendengar, Bukan Berdebat

Prof SW Littlejohn: Selesaikan Konflik dengan Mendengar, Bukan
Berdebat
Nurvita Indarini - detikNews



Jakarta - Konflik merupakan bagian dari hidup manusia, mulai dari
gesekan antar anggota DPR, sampai konflik dalam skala lebih besar
bernuansa SARA. Ada kalanya kelompok manusia yang satu merasa lebih
benar dari yang lain sehingga rasa penghormatan berkurang, karena yang
dikedepankan adalah ego. Ketika konflik muncul, maka saluran untuk
berkomunikasi perlu dibuka seluas-luasnya.

Pengamat komunikasi yang pernah beberapa kali menjadi mediator
konflik, Prof Stephen W Littlejohn, mengatakan, dialog antar kelompok
yang bertikai atau rentan bertikai perlu dilakukan secara kontinyu.
Karena tanpa mendengar, satu sama lain tidak akan pernah memahami
masalah apa yang menjadi keluhan.

Berikut ini wawancara detikcom dengan professor bidang komunikasi dan
jurnalisme di University of Mexico dan penulis sejumlah buku
komunikasi ini, usai Indonesia International Conference on
Communication, ‘Global Challenge to The Future of Communication:
Digital Media and Communication Freedom in Public Discourse’ di Hotel
Bidakara, Jl Gatot Subroto, Jakarta, Senin (22/11/2010):

Bagaimanakah komunikasi terbaik di daerah konflik?

Kita percaya pada dialog. Dialog berarti kesempatan untuk berbicara
antara satu dengan yang lain tentang isu pada level personal untuk
mencapai penyelesaian. Kelompok-kelompok membutuhkan dialog.
Komunikasi berarti mendengar baik-baik satu sama lain.

Kadang daerah yang multietnik dan sangat heterogen tidak mudah untuk
berdialog?

Komunikasi adalah salah satu cara untuk berbicara mengenai kisah-kisah
personal, kegamangan, dan sebagainya. Mereka ini hidup, jadi apa yang
terjadi dalam hidupnya? Bagaimana sejarah dalam hidup mereka?
Dengarlah, dan jangan berdebat, jangan menyalahkan. Mulailah mendengar
kisah yang lain daripada berdebat.

Ini memang membutuhkan fasilitasi yang panjang, butuh arahan untuk
berproses. Yang jelas pihak-pihak yang bertikai setara. Penting untuk
lebih menaruh perhatian pada komunikasi daripada kepentingan tertentu.

Mungkin akan ada ketidaksetujuan dengan pendapat yang lain. Namun
dengarkan saja, karena itulah yang mereka rasakan. Kalau masing-masing
mengerti dan memahami perasaan yang lain, lalu dicari akar munculnya
perasaan itu, saya rasa akan ditemukan solusinya, akan ada
kesepakatan. Saat melakukan dialog untuk mengekspresikan kisah dan
perasaannya, bisa dilakukan dengan setiap orang menuliskan perasaannya
pada kartu atau semacam itu. Yang penting perasaan dan kisah masing-
masing bisa diketahui.

Terkadang konflik di suatu daerah datang dan pergi, namun bila konflik
terjadi penyebabnya hampir selalu sama. Ini karena kegagalan
komunikasi di antara mereka?

Satu ketika konflik memang bisa mereda, namun di saat lain muncul.
Untuk yang rentan semacam itu, lebih banyak peluang untuk berdialog
lebih baik. Jagalah untuk tetap melakukan dialog. Mau baik atau buruk
hubungannya, tetaplah bercakap-cakap agar semakin mengetahui satu sama
lain.

Bagaimana dialog yang baik di daerah konflik atau rentan konflik?

Didukung oleh para pemimpin, lingkungan yang aman diperoleh melalui
fasilitasi yang kuat, pandangan setiap orang dilihat serius, semua
pihak dengan jujur mengungkapkan harapannya untuk masa depan,
partisipan mendapatkan sesuatu yang lebih dari sekadar melihat adanya
perbedaan di antara mereka, tradisi budaya lokal juga perlu dimasukkan
dalam dialog, dan dialog itu merupakan upaya menciptakan perdamaian
yang berkelanjutan, terus menerus.

Untuk dialog ini, semua pihak butuh kontak langsung, saling
berhadapan. Ini penting untuk menciptakan perdamaian. Memang
perkembangan teknologi bisa memfasilitasi live dialog, tapi bertemu
muka akan lebih baik.

Dialog harus rutin?

Ya. Diperlukan semacam guideline juga yang mempromosikan keterbukaan
dan seperti saya katakan tadi, mendengar dan menghormati.

Dialog semacam itu perlu keterlibatan pihak dari luar?

Bisa saja disponsori NGO, baik lokal maupun internasional agar netral.
Karena kadang banyak pihak lain yang peduli pada masyarakat, karena
mereka banyak bersentuhan dengan masyarakat setempat sehingga memiliki
hubungan baik.

Apa masalah krusial dalam komunikasi manusia di daerah konflik atau
rentan konflik?

Kadang kita merasa paling benar. Sehingga sering kali kita menggunakan
komunikasi untuk mengekspresikan pandangan kita sendiri tanpa
menghormati yang lainnya. Jangan terjebak pada yang seperti ini.
Dengarlah kata yang lain, dan jangan memancing perdebatan atau argumen
yang isinya seolah-olah kita yang paling benar.
(nvt/fay)


http://us.detiknews.com/read/2010/11/23/110555/1500046/158/prof-sw-littlejohn-selesaikan-konflik-dengan-mendengar-bukan-berdebat?991101605

Akar Masalah TKI di Dalam Negeri?

Oleh Sonny Harry B Harmadi Kepala Lembaga Demografi FEUI


B ERITA penyiksaan Sumiati dan kematian Kikim Komalasari, dua tenaga
kerja Indonesia (TKI) di Arab Saudi, memunculkan `luka lama' yang
selalu berulang dari waktu ke waktu. Hampir setiap tahun kita
mendengar penyiksaan TKI di luar negeri yang melampaui batas
perikemanusiaan. Jika kita bertanya tentang jumlah kasus penyiksaan
dan berbagai masalah TKI di luar negeri, mungkin hanya Tuhan yang
tahu, karena masih banyak kasus lain yang tidak terungkap.

Dalam perjalanan saya dari Jakarta ke Yunani pertengahan 2008 lalu,
saya berkesempatan transit di Dubai (Uni Emirat Arab) selama 6 jam dan
bertemu begitu banyak TKI yang tidur dan duduk di sepanjang koridor
dalam bandara.

Naluri sebagai peneliti muncul dengan memanfaatkan waktu transit untuk
mewawancarai para TKI. Hal yang mengejutkan, hampir seluruh TKI yang
menjadi `sampel' wawancara saya mengungkapkan berbagai masalah yang
memprihatinkan. Dari mulai tidak menerima gaji sama sekali, bekerja 20
jam per hari, disiksa majikan, hingga ditipu para calo yang
berkeliaran di bandara. Apakah para TKI tersebut melaporkan masalahnya
ke pihak berwenang? Ternyata tidak. Jawaban paling sederhana, tidak
tahu bagaimana caranya dan apa manfaatnya.
Kesempatan kerja Perekonomian Indonesia mengalami surplus tenaga
kerja. Jumlah penawaran tenaga kerja melampaui permintaannya.
Pemerintah memperkirakan angka pengangguran turun dari 7,9 persen di
tahun 2009 menjadi 7,6% pada 2010. Tetapi sebenarnya masih banyak
orang dengan status bekerja, namun melakukan pekerjaan yang tidak
layak.

Sebelum krisis ekonomi 1997, angka elastisitas penyerapan tenaga kerja
cukup tinggi. Setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi menyerap lebih dari
400 ribu tenaga ker ja baru.

Sementara pada masa puncak krisis (1998-2000), penyerapan tenaga kerja
menurun drastis hingga di bawah 200 ribu penyerapan untuk setiap
persen pertumbuhan ekonomi. Meskipun saat ini sudah membaik,
penyerapan tenaga kerja belum sebaik sebelum krisis.

Pertumbuhan penawaran tenaga kerja jelas dipengaruhi pertumbuhan
penduduk. Sensus Penduduk 2010 menunjukkan kecenderungan naiknya
pertumbuhan penduduk Indonesia periode 2000-2010 dibanding 10 tahun
sebelumnya.

Ini akan membebani pasar kerja dalam beberapa tahun mendatang. Setiap
tahun sekitar 2,5 juta tenaga kerja baru masuk ke pasar kerja.

Jika angka penyerapan tenaga kerja saat ini sekitar 250 ribu untuk
setiap 1% pertumbuhan ekonomi, setidaknya 10% pertumbuhan ekonomi
dibutuhkan. Padahal kenyataannya, pertumbuhan
ekonomi Indonesia saat ini jauh di bawah angka 10%.

Sulitnya memperoleh pekerjaan di dalam negeri mendorong sebagian
pekerja "mengadu nasib" di luar ekonomi Indonesia saat ini jauh di
bawah angka 10%.

Sulitnya memperoleh pekerjaan di dalam negeri mendorong sebagian
pekerja “mengadu nasib” di luar negeri. Tekanan penduduk (population
pressure) dalam beberapa tahun mendatang akan semakin besar. Sekitar
56% pekerja Indonesia hanya lulusan SD k e b a w a h . S e makin
sedikit kesempatan kerja untuk para lulusan SD.

Hal ini diperburuk tidak adanya sistem jaminan sosial. Se tiap orang
bertanggung jawab atas dirinya sen diri.

Tidak ada pilihan l a i n , s e h i n g g a harus be kerja termasuk ke
luar negeri.

Aliran pekerja ke luar negeri m e n j a d i s a l a h satu solusi
untuk mengatasi surplus tenaga kerja dalam negeri. Tetapi, jika tidak
dikelola d e n g a n b a i k , maka akan terus m e n i m b u l k a n
masalah. Data Bad a n N a s i o n a l Penempatan dan Perlindungan TKI
(BNP2TKI) menunjukkan ada nya tren kenaikan TKI bermasalah dari
sekitar 14% pada 2008 menjadi lebih dari 20% pada 2009.
nunjukkan adanya tren kenaikan TKI bermasalah dari sekitar 14% pada
2008 menjadi lebih dari 20% pada 2009. Awal masalah Pemerintah
mensyaratkan bahwa TKI harus legal, dikirim melalui agen resmi yang
membantunya untuk membuat paspor dan visa, memperoleh surat keterangan
kesehatan, membayar asuransi dan kewajiban lainnya, memiliki kete
rampilan dan kemampuan bahasa.

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans)
memperkirakan pada
2010 terdapat sekitar 2,7 juta TKI bekerja di luar negeri.

Namun jumlahnya dapat lebih besar mengingat banyak TKI
ilegal tidak tercatat. Sekitar 45% TKI memilih bekerja di Malaysia
karena kemudahan komunikasi. Sementara 35% TKI bekerja di Arab Saudi.
TKI berperan besar ilegal tidak tercatat. Sekitar 45% TKI memilih
bekerja di Malaysia karena kemudahan komunikasi. Sementara 35% TKI
bekerja di Arab Saudi. TKI b e r p e r a n b e s a r bagi perekonomian
Indonesia. Nilai remitansi TKI tahun 2008 mencapai sekitar Rp60
triliun per tahun (15% PDB Indonesia).

M a s a l a h T K I muncul sejak proses awal di Indonesia. Umumnya pen
y a l u r a n T K I melalui agen tenaga kerja, baik yang legal maupun
ilegal. Agen TKI mengontrol hampir s e l u r u h p ro s e s awal,
mulai dari rekrutmen, paspor dan aplikasi visa, pelatihan, transit,
dan penempatan TKI.

Banyak TKI baru pertama kali ke luar negeri, dire k ru t m a k e l a r
yang datang ke desanya, dengan janji upah tertentu, pilihan pekerjaan
yang banyak, dan menawarkan bantuan kemudahan proses. Rendahnya
pendidikan calon TKI mengakibatkan mereka menghadapi risiko mudah
ditipu pihak lain. Mereka tidak m e m a h a m i a t u r a n d a n
persyarat an untuk bekerja di luar ne geri.

Rendahnya laporan TKI
PATA AREADI dah ditipu pihak lain. Mereka tidak memahami aturan dan
persyaratan untuk bekerja di luar negeri.

Rendahnya laporan TKI yang mengalami kasus tertentu ke pihak berwenang
juga didasarkan kekhawatiran mereka karena memiliki identitas palsu.
Banyak TKI usianya masih terlalu muda, namun demi kelancaran proses,
usia di dokumen dipalsukan. Pemalsuan tidak hanya usia, tetapi juga
nama dan alamat.

Oleh karena itu, tidak mudah melacak para TKI bermasalah di luar
negeri.
Langkah ke depan Pemerintah perlu menertibkan para agen TKI ilegal
untuk menghindari permasalahan sejak proses awal. Kita semua perlu
menyadari bahwa permasalahan TKI berawal dari dalam negeri, meskipun
akar masalah di luar negeri juga tidak bisa diabaikan.

Rendahnya kesempatan kerja dan tingginya pertumbuhan penduduk sebagai
akibat mengendurnya berbagai kebijakan kependudukan berdampak pada
meningkatnya aliran pekerja dengan pendidik an rendah ke luar negeri.

Selain itu, perlu koordinasi yang lebih baik antara BNP2TKI dan
Kemenakertrans. Pemerintah harus lebih fokus untuk mengungkapkan
solusi dan bukan sekadar mengungkapkan masalah.

Semua pihak harus segera duduk bersama. Instrumen kebijakan untuk
mengatasi masalah TKI tidak harus terkait langsung dengan urusan TKI i
t u s e n d i r i . K a re n a p a d a dasarnya, Indonesia saat ini
membutuhkan komitmen kebijakan kependudukan yang kuat dan secara tidak
langsung akan mengatasi masalah TKI pada jangka panjang.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/11/24/ArticleHtmls/24_11_2010_021_016.shtml?Mode=0

Demokrasi dan Negative Liberty

Oleh Max Regus Alumnus Pascasarjana Sosiologi UI

Membangun jarak kritis atas kekuasaan yang ada dalam genggaman
merupakan langkah penting untuk meluputkan pelaku dan tubuh kekuasaan
dari rasa enak yang menyuburkan kejahatan politik dan hukum."

KASUS Gayus HP Tambunan, sejak awal hingga kepergian ke Bali,
merupakan simpul dari beberapa persoalan mendasar bangsa ini. Pertama,
ini berkaitan secara serius dengan problem desolasi demokrasi di
negeri ini. Kehancuran yang mendera aspek-aspek utama kehidupan
kebangsaan dan kenegaraan.

Hukum yang melempem.

Kewibawaan kekuasaan yang lumpuh. Perilaku para pejabat yang memukul
publik dengan hinaan.

Pada aras ini, kasus Gayus telah membangun semacam persekitaran sosial
di antara oknum-oknum yang telah meraih privelese politik di dalamnya.
Mutualisme ekonomi yang mengalir dari persekongkolan tengik ini
meninggalkan luka yang semakin parah pada tubuh bangsa. Bukan saja
pada aspek rasa keadilan masyarakat, tetapi juga pada titik
konsistensi negara demokratik untuk menjamin perlindungan politik dan
hukum bagi semua warga negara.

Kedua, kebalikan dari hal pertama di atas, kasus Gayus semestinya
menjadi titik sasa
ran awal untuk memulai proses restorasi kehidupan bangsa.

Namun, ini hanya dapat terjadi manakala lingkaran pejabat negara yang
bermukim di posisi-posisi puncak kekuasaan memiliki kehendak politik
yang kuat untuk menyelesaikan silang sengkarut persoalan Gayus dengan
jernih dan adil. Yang diandaikan dalam konteks ini bukan hanya
kesungguhan tersamar membedah tragedi ini, melainkan juga membangun
pertanggungjawaban politik konkret.

Pada titik ini, penjelasanpenjelasan rasional yang bergerak dalam
jangkauan rasa keadilan publik amat dibutuhkan untuk membersihkan
ruang sosial dari luapan-luapan apatisme politik. Dalam bahasa yang
sederhana dapat diungkapkan demikian.

Bahwa para penyelenggara negara harus menyadari dan mengakui garis
batas perilaku mereka dengan mempertimbangkan dan menghargai
keseluruhan hak-hak sosial, ekonomi, dan politik masyarakat. Tanpa
kesadaran semacam ini, kasus Gayus akan menjadi contoh yang baik bagi
kejahatan-kejahatan politik yang menunggu di banyak tikungan jalan.
Chaos Ketiga, bergerak menuju desolasi atau restorasi amat ditentukan
aspek kemauan dan kemalasan politik para penguasa. Di atas kepentingan
mana (siapa) mereka menunjukkan sikap politik. Posisi ini akan
menentukan seberapa besar harapan publik berkaitan dengan perbaikan
kehidupan bersama mendapatkan jawaban yang benar dari ruang kekuasaan.
Dalam ungkapan yang jelas, apa yang sudah kelihatan gamblang dalam
kasus Gayus, sepertinya dibuat menjadi suram, tidak terjamah.

Berbelit-belit.

Soal berikutnya jelas terungkap dalam Editorial Media Indonesia
(20/11). Bagaimana mungkin para pelaku kekuasaan mampu meretas
kebuntuan yang ada ketika tangantangan kekuasaan politik terborgol
dalam kasus-kasus busuk di negeri ini.

Usaha meluruskan apa yang mengalami kebengkokan luar biasa dalam
segenap perilaku politik kekuasaan bagaikan menumbuk lutut sendiri.
Tidak ba nyak yang bisa diharapkan dari praktik hukum dan politik
sampai sejauh ini.
Apa yang sedang dibisikkan publik beberapa hari terakhir ini adalah
kebutuhan yang semakin mendesak atas kualitas kepemimpinan politik di
level negara. Gambaran yang persis adalah keberanian para pemimpin
politik dalam mengurus bencana hukum dan politik yang ada. Seperti
pengaduan Editorial Media Indonesia (18/11) agar pimpinan negara ke
luar dari persembunyian kekuasaan untuk meng urus negara dengan
wewenang politik yang ada.

Menganggap remeh keluhan publik akan menimbulkan keadaan yang semakin
runyam. Jika masih ada kejujuran untuk memberikan kesaksian tentang
politik kekuasaan di negeri barangkali salah satu ungkapan yang tepat
adalah situasi chaotic yang tidak bisa dihentikan. Melubernya masalah
hukum, korup si, mafi a pajak dan perilaku pejabat publik yang
merisaukan merupakan penjelasan yang tidak terbantahkan dari kondisi
political-chaotic ini. Kekuasaan yang terborgol memurukkan kehidupan
bersama. Total Sekali lagi terbukti bahwa demokrasi di negeri ini
belum mampu menjamin tumbuhnya perilaku kekuasaan yang adil.
Peradaban politik yang menjunjung keadilan dan kebersamaan sosial
mengalami kehancuran mengerikan akibat akumulasi kejahatan yang
menggerogoti semua aspek kehidupan.

Sikap saling melempar tanggung jawab yang diperagakan institusi
penegakan hukum dan penjamin kehidupan pub lik menunjukkan totalitas
situasi chaos yang mengurung kita. Sama sekali tidak ada kebanggaan
yang bisa ditemukan dari sikap semacam ini.

Kekuasaan politik (ekonomi) tidak lagi menjadi alat bantu produktif
terhadap ekspresi pemihakan demokrasi melainkan membeku sebagai alasan
untuk memuluskan ambisi parsial antipublik. Demokrasi berada pada
level mencemaskan ketika kebebasan negatif (negative liberty) seolah
menjadi bagian dari demokrasi.

Lihatlah bagaimana seorang Gayus yang telah merusakkan keadil an dan
merontokkan kewi bawaan negara dapat terus melenggang dalam aksi-aksi
memuakkan.

Ini ekspresi dari serangkaian kebebasan negatif. Perilaku yang
menistakan kehidupan bersama. Perilaku yang mengunci negara dalam
bidikan kepentingan orang per orang, kelompok per kelompok, yang
memiliki segala kekuatan (kekuasaan) yang dibutuhkan untuk mendirikan
imperium of evil di Indonesia.

Ini yang dikatakan filsuf Mar tha Nussbaum bahwa negative liberty
adalah jebakan yang muncul dari euforia demokrasi yang tidak dibarengi
dengan perbaikan sistem dan etika politik yang benar.
Ekstrem Sungguh tidak hanya sekadar seperti makanan pencuci mulut
ketika publik meneriakkan sikap-sikap politik paling ekstrem yang
harus ditunjukkan para pemimpin di negeri ini. Berhenti menakar
kekuatan citra politik yang sejak lama seolah melalaikan sikap tanggap
serba cepat dan gesit atas berbagai masalah sosial politik yang ada.

Sikap bertele-tele dalam mengusut berbagai macam dugaan kejahatan
politik akan membantu recovery kepercayaan publik atas negara dan para
pelaku kekuasaan.

Para penguasa tahu benar apa yang harus dilakukan.

Langkah paling pertama barangkali berusaha melepaskan diri dari borgol-
borgol yang menyandera positive liberty.

Kebebasan dan kemerdekaan nurani dan politik yang diabdikan sepenuh
hati kepada kebaikan bersama (publik).

Membangun jarak kritis atas kekuasaan yang ada dalam genggaman
merupakan langkah penting untuk meluputkan pelaku dan tubuh kekuasaan
dari rasa enak yang menyuburkan kejahatan politik dan hukum. Pada masa
yang semakin genting, ini yang belum terlihat dalam sepak terjang
kekuasaan di negeri ini.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/11/24/ArticleHtmls/24_11_2010_021_023.shtml?Mode=0

Demonstran Timbel untuk Jakarta

Penghargaan bergengsi Kong Ha Award tahun ini jatuh ke tangan
demonstran yang sejak 1996 bersuara untuk penghapusan timbel pada
bahan bakar. Seumur-umur saya belum pernah mendapat penghargaan. Itu
sebabnya buat saya ini terlalu mewah."
Clara Rondonuwu B ICARANYA pelan, hampir seperti ber bisik. Namun
demon strasi jalanannya kencang.

Oleh komite Kong Ha Award, Puput--panggilan akrab lelaki dengan
kacamata bingkai tebal gaya kutu buku ini--dijuluki `a voice in the
wilderness'. Suara yang terdengar di tengah belantara.

Mulai 1996, Ahmad Safrudin memutuskan turun berkampanye tentang
pembatasan bensin bertimbel. Di jalan-jalan Kota Jakarta, yang pada
era itu sudah jadi rimba polusi yang merisaukan.

"Dengan proses yang sangat panjang, kampanye itu baru selesai pada
2006, saat Indonesia secara nasional melakukan penghapusan timbel,"
katanya, berpidato di atas podium Suntec Convention Hall Singapura
awal bulan ini, ke hadapan ratusan peserta Konferensi Better Air
Quality 2010 yang menganugerahkan Kong Ha Award.

Kong Ha Award merupakan penghargaan tertinggi Asia bagi figur-figur
yang menciptakan formula kebijakan kualitas udara, beserta
implementasi hariannya. Sama seperti Kong Ha (1955-2007), yang
berjuang habis-habisan melesakkan kebijakan untuk mereduksi emisi dari
sumber bergerak di Hong Kong.

Penerima penghargaan dua tahunan itu sebelumnya adalah Shi Han Min,
direktur Biro Perlindungan Lingkungan Beijing, China. Itu alasan
mengapa Puput kaget, ketika sebulan lalu berhembus kabar bahwa
demonstrasi jalanan yang sering ia gelar di Bundaran HI, depan kantor
Kementerian ESDM, BP Migas, Pertamina, dan Kementerian Keuangan,
membuat namanya menyelip ke antara nama-nama kandidat Kong Ha Award
tahun ini.

"Seumur-umur saya belum pernah mendapat penghargaan. Itu sebabnya buat
saya ini terlalu mewah," katanya merendah. Kolaboratif, kreatif
Menurut Komite Kong Ha, penghargaan jatuh ke tangan Puput sebab ia
kandidat Asia terkuat dalam memainkan perannya untuk memajukan
kualitas udara Jakarta. Sayang, sosoknya kurang terkenal.

Puput bukan pejabat pemerintah, anggota DPR, eksekutif perusahaan
swasta, ataupun pembuat kebijakan. Tetapi hal itu bukan penghalang
baginya menolong pemerintah, merancangkan kebijakan dengan masukan
dari akademi serta ahli kualitas udara dan bahan bakar negeri ini.

Ia membentuk Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) pada 1996,
suatu kelompok advokasi penghapusan bensin bertimbel yang didukung
tiga lembaga swadaya masyarakat, yakni Indonesian Center for
Environmental Law (ICEL), Lemkohi, dan Wahana Lingkungan Hidup
Jakarta. Selanjutnya menggalang program Segar Jakartaku.

Dalam program tersebut, lima hal yang diagendakan.
Yakni meningkatkan kualitas bahan bakar, meningkatkan teknologi
kendaraan bermotor, meningkatkan manajemen lalu lintas, menetapkan
standar emisi, dan penegakan hukum.

Bentuk aksi dimulai dari kampanye ringan, pelatihan untuk mahasiswa,
untuk kelompok perempuan, serta pelatihan tentang dampak pencemaran
udara dan pencemaran timbal.
"Kami juga menggelar media briefing, kemudian turun ke jalan untuk
demonstrasi. Tuntutannya, bensin bertimbel harus dihapuskan."

Kata Puput, ketika ia menggulirkan aksinya, respons pertama pemerintah
ialah "Kita tidak punya dana, tidak ada uang untuk menghapus bensin
bertimbel."

Tetapi kemudian, Puput yang sarjana ekonomi Universitas Indonesia ini
menyodorkan hitung-hitungan. Bunyinya begini, di tahun 1999 Puput
menghitung Jakarta. Karena pencemaran timbel masyarakat harus
menanggung kerugian US$106 juta.

"Semua itu health cost (biaya kesehatan) atas hipertensi yang
menyerang orang tua, turunnya IQ anak-anak, keguguran pada ibu hamil,
gagal ginjal, gangguan fungsi saraf, dan turunnya fungsi reproduksi
laki-laki," imbuh dia.

Padahal, lanjut Puput, jika mau menghapus timbel, negara hanya perlu
dana US$40 juta untuk investasi memodifikasi kilang Pertamina. Masih
ditambah lagi keuntungan ekonomi dampak penghapusan tersebut.

Puput yang sempat menjadi Ketua Wahana Lingkungan Hidup ini
menggambarkan, saat Indonesia lambat melakukan penghapusan bensin
bertimbel sebagai dampaknya pada industri otomotif, kita baru siap
memenuhi standar emisi bahan bakar ramah lingkungan Euro 2 pada 2007.

"Sementara itu Thailand pada 1997 sudah mengadopsi Euro 2, sehingga
mulai 2002 pasar mobil Asia Tenggara mereka kuasai. Indonesia tergeser
ke posisi kedua di ASEAN, kadang kalah oleh Malaysia sehingga lebih
tersuruk ke posisi tiga."

Puput, yang yakin betul bahwa sejumlah isu lingkungan dipakai negara
maju sebagai bentuk trade barrier ini, ingin menegaskan bahwa
keuntungan ekonomi akan menghampiri saat pemerintah Indonesia mau
menghapus bensin bertimbel dan meningkatkan kualitas udara. "Industri
kita malah bisa mengadopsi teknologi lebih bagus sehingga bisa
memperoleh manfaat ekonominya," kata dia.

Begitu pula, rasionalisasi ini berhasil. Empat tahun lalu gagasan itu
dilesakkan ke dalam format kebijakan.

Seperti Kong Ha, pendekatan yang dipilih Puput dianggap kolaboratif
dan kreatif, ketimbang agresif dan dogmatis. Di saat yang sama, ia
tergolong sosok yang ngotot, tidak kenal berhenti, dalam
memperjuangkan agendanya dan melawan segala macam kepentingan di balik
isu ini.

"Ia menjungkirbalikkan penundaan yang berulang kali dilakukan
pemerintah negaranya dalam pengenalan bensin tanpa timbel. Kombinasi
ini yang memampukannya menjalin kemitraan dan dukungan publik yang
diperlukan," jelas komite Kong Ha Award, yang juga menghadiahi Puput
uang tunai sebesar US$10 ribu (sekitar Rp90 juta). (M-1)

AHMAD SAFRUDIN LAHIR Ngawi, 5 Oktober 1966 PENDIDIKAN · Sarjana
Ekonomi Universitas Indonesia KARIER (ANTARA LAIN) · Koordinator
Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (1999-sekarang) · Ketua Pusat
Informasi Timbel Indonesia (2001-sekarang) · Ketua Tim Studi dan
Analisis Kebijakan untuk Manfaat Bahan Bakar Gas untuk Sektor
Transportasi di Indonesia (2009-sekarang) · Pendiri Forum Udara Bersih
Indonesia · Direktur Eksekutif Walhi (1996-1999 dan 1999-2002)

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/11/24/ArticleHtmls/24_11_2010_022_010.shtml?Mode=0

Politisasi Jabatan Publik

ANALISIS POLITIK
Politisasi Jabatan Publik
J KRISTIADI

Salah satu agenda pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono dalam
seratus hari pertama adalah mengurai kemacetan pemerintahan atau
dikenal dengan debottlenecking. Namun, setelah pemerintahan berjalan
lebih dari seratus hari, ternyata hal itu tidak mudah diwujudkan.
Padahal, agenda itu sangat penting karena mesin birokrasi pemerintahan
yang sudah sangat korup, tambun, dan lamban tidak akan mampu
menggerakkan mesin pemerintahan yang sangat penting untuk melaksanakan
kebijakan politik negara.

Oleh sebab itu, terobosan itu tidak mungkin dilakukan tanpa
melaksanakan agenda yang lebih mendasar dan komprehensif dalam bentuk
reformasi birokrasi. Namun, urusan yang satu ini juga tidak mudah
dilakukan karena terbentur dengan kepentingan partai politik dalam
melakukan pengaplingan birokrasi. Fungsi birokrasi sebagai institusi
pelayanan publik dewasa ini hanya tinggal slogan belaka. Karena pada
kenyataannya lembaga itu sudah semakin menjadi bagian dari instrumen
politik kekuasaan. Hal ini dipraktikkan mulai dari tingkat pusat
sampai daerah.

Bahkan, sudah bukan menjadi rahasia lagi, di tingkat daerah (provinsi
dan kabupaten/kota) keadaannya lebih parah lagi. Jabatan publik benar-
benar menjadi komoditas dengan harga ratusan juta rupiah, tergantung
dari kering atau basahnya jabatan itu.

Tawar-menawar

Keterlambatan pengisian jabatan publik juga merupakan bagian dari
proses tawar-menawar politik. Penetrasi politik dalam setiap pengisian
jabatan publik sangat besar. Akibatnya, manajemen pemerintahan menjadi
tidak efisien, apalagi efektif. Hal itu sangat disayangkan karena
syarat pemerintahan presidensial yang diharapkan dapat menghasilkan
pemerintahan yang efektif sudah terpenuhi.

Pertama, pasangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden
Boediono terpilih dan didukung lebih dari 60 persen rakyat, dan hanya
dalam satu putaran pemilu. Kedua, jumlah parpol di parlemen menciut,
dari 38 parpol peserta pemilu menjadi 9 parpol saja. Pengurangan
jumlah parpol itu secara teoretis diharapkan dapat lebih menjamin
kompatibilitas antara sistem pemerintahan presidensial dan sistem
multipartai. Ketiga, pemerintahan Yudhoyono-Boediono memperoleh
dukungan hampir 75 persen anggota DPR.

Ke depan, langkah pertama yang mungkin perlu dilakukan adalah
memperjelas antara pejabat politik dan pejabat birokrasi karier. Dalam
hal ini perlu penegasan pola hubungan antara jabatan karier dan
jabatan politik, yang terdiri atas pejabat politik yang
pengangkatannya berdasarkan pemilihan umum, seperti presiden dan wakil
presiden, kepala daerah dan wakil kepala daerah, serta pejabat politik
yang pengangkatannya sesuai pilihan pejabat terpilih. Mereka ini biasa
disebut appointed official, seperti menteri, komisioner di komisi
negara, staf khusus, serta gubernur Bank Indonesia dan deputi gubernur
BI.

Penataan pola interaksi ini sangat penting mengingat pejabat politik
dan birokrasi karier merupakan dua pihak yang saling membutuhkan.
Birokrasi karier membutuhkan dukungan politik dalam menjalankan
kebijakan publik, sementara pejabat politik membutuhkan birokrasi
sebagai pelaksana kebijakan publik. Dengan demikian, sangat dibutuhkan
kejelasan pengaturan ruang lingkup jabatan politik dan jabatan karier,
kewenangan dan pola hubungan di antara keduanya sehingga nantinya akan
terbangun interaksi yang saling mendukung dan menguntungkan untuk
kepentingan publik.

Pengaturan itu semakin penting karena dalam pengalaman sejarah,
perdebatan tentang hubungan antara politik dan birokrasi telah dimulai
sejak akhir abad XIX. Perubahan di bidang politik selalu memengaruhi
sistem administrasi yang ada pada suatu negara. Di Indonesia,
perubahan sistem politik dengan presidensial dan sistem multipartai
telah memberikan efek yang luar biasa dalam hubungan politik dan
birokrasi.

Sekadar perbandingan, praktik penyelenggaraan pemerintahan di Amerika
Serikat yang menerapkan sistem pemerintahan presidensial, eksekutif
puncak yang diangkat untuk mengisi sejumlah jabatan di dalam Kantor
Eksekutif Presiden untuk membawa kebijakan presiden kepada birokrasi
jumlahnya sekitar 700 orang. Jumlah itu mencapai sekitar 2.000 orang
tersebar di berbagai level cabang eksekutif.

Selain itu, mungkin, yang perlu dipikirkan juga adalah sebuah lembaga
berfungsi sebagai wasit untuk mengawasi pelaksanaan tugas dan fungsi
pejabat politik dan pejabat karier. Lembaga yang mengawasi
profesionalisme birokrasi itu di Amerika Serikat dan Australia
berbentuk semacam civil service commission. Tugasnya antara lain
menjaga tingkat profesionalisme pejabat politik dan birokrasi karier
melalui proses perekrutan yang meritokratik.

J Kristiadi Peneliti Senior CSIS

http://cetak.kompas.com/read/2010/11/30/02350059/politisasi.jabatan.publik