Mainkan Perkara, Datanglah Uang
RANCANGAN peraturan penanganan jaksa-jaksa bermasalah itu sudah
kelar di tingkat Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan. Awal Desember
ini, draf itu akan dibahas dalam rapat kerja di Cipanas, Bogor, untuk
dirumuskan menjadi Peraturan Jaksa Agung.
Inilah peraturan yang diharapkan bakal membuat taring bidang
pengawasan Kejaksaan lebih tajam. Sebab, isinya tak hanya mengatur
soal pedoman penjatuhan hukuman, tapi juga memberikan wewenang bidang
pengawasan menyidik jaksa yang diindikasi korupsi. "Kalau satu atap,
penanganannya lebih cepat," kata Jaksa Agung Muda Pengawasan Marwan
Effendy.
Selama ini penanganan dugaan korupsi yang dilakukan para jaksa
ditangani kepolisian atau bagian pidana khusus Kejaksaan. Karena tak
punya kewenangan menyidik itulah, bidang pengawasan dianggap tak
bertaji. Alhasil, sanksi yang dijatuhkan sebagian besar hanya bersifat
administratif dan paling tinggi berupa pencopotan dari jabatan
fungsional dan struktural.
Jumlah jaksa yang melakukan pelanggaran berat atau perbuatan
tercela dari tahun ke tahun terus meningkat. Tahun ini saja, dalam
catatan Kejaksaan, jumlahnya 119 kasus atau naik dua kali lipat
dibanding tahun lalu. Pelanggaran paling banyak, menurut sumber Tempo,
memeras orang-orang yang terlibat perkara. Sanksi yang diberikan
umumnya pencopotan dari jabatan struktural atau fungsional. Hanya,
kendati terindikasi pidana, para jaksa yang mendapat sanksi itu tetap
aktif.
Marwan memastikan para jaksa yang terlibat pemerasan itu tak
bakal mendapat promosi. "Ini termasuk pelanggaran berat, sulit
mendapat kedudukan strategis," katanya. Dari ratusan kasus jaksa nakal
pada 2010, menurut seorang jaksa yang kini ditempatkan di luar
kejaksaan, hanya dua yang dibawa ke ranah pidana. Kasusnya kini tengah
diselidiki kepolisian.
Kasus pertama adalah dugaan pemalsuan rencana penuntutan perkara
penggelapan pajak Gayus H. Tambunan oleh jaksa Cirus Sinaga di
Pengadilan Negeri Tangerang. Ini diduga erat kaitannya dengan upaya
pemerasan terhadap Gayus. Cirus kini berstatus tersangka.
Kasus kedua terjadi di Medan. Di sini jaksa Mara Sutan Harahap,
jaksa di Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, diduga memeras Kepala Dinas
Pekerjaan Umum Kota Medan Marga Lubis. Jaksa berpangkat IIId itu
mengancam akan membongkar praktek korupsi di Dinas Pekerjaan Umum jika
Marga tidak menyetor duit ratusan juta rupiah. Marga melaporkan Mara
ke bagian pengawasan Kejaksaan. Oktober lalu, Mara dicopot sebagai
jaksa dan dilaporkan ke Kepolisian Resor Kota Medan.
Marwan tidak menampik sedikitnya jaksa nakal yang dipidanakan.
Menurut dia, pihaknya mengalami kendala sulitnya menemukan bukti awal
yang bisa membawa para jaksa nakal itu ke ranah pidana. Karena itulah,
kata dia, jika usul kewenangan penyidikan dugaan korupsi jaksa di
bagian pengawasan nanti disetujui pada rapat di Puncak itu, pihaknya
kelak memiliki senjata untuk menyelidiki jaksa yang melakukan korupsi.
Marwan juga mengakui para jaksa yang dicopot itu umumnya karena
melakukan pemerasan. Cara pemerasan ini aneka macam. Kalau
terorganisasi dari pusat, polanya menggunakan rencana penuntutan.
Kasus Cirus, contohnya. Jaksa biasanya meminta sejumlah uang kepada
terdakwa dengan jaminan bakal menuntut ringan atau bahkan bebas.
Menurut Marwan, pola ini sudah tidak terjadi di pidana khusus karena
rencana penuntutan sudah ditiadakan. "Di pidana umum masih ada, tapi
saya usulkan dihilangkan karena rawan dipermainkan."
Modus lain adalah membongkar kasus lama seorang pejabat dan
meminta sejumlah uang kepada pejabat itu jika tak ingin jadi
tersangka. Ini, misalnya, dilakukan tiga jaksa di Kejaksaan Tinggi
Kalimantan Timur. Tiga jaksa itu kini sudah dicopot dari jabatan
mereka. Modus seperti ini, menurut Marwan, yang paling banyak terjadi.
Ada juga jaksa yang memanfaatkan kewenangan penahanan. Ini
dialami Sreedharam P. Sreejith, tersangka dugaan penggelapan uang
perusahaan di Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur. Saat berkas
dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Larantuka, menurut pengacara
Sreedharam, Petrus Bala Pattyona, kliennya dimintai uang oleh sejumlah
jaksa kalau ia tidak mau ditahan. Padahal di kepolisian, kata Petrus,
kliennya tak ditahan. Karena uang tak diberikan, ujar Petrus, kliennya
langsung ditahan. Senin pekan ini, Petrus akan melaporkan upaya
pemerasan itu ke Kejaksaan Agung.
Komisi Kejaksaan mempunyai catatan sendiri perihal cara-cara
jaksa memeras ini. Menurut Komisi, dari sejumlah laporan yang masuk,
cara yang paling kerap dipakai adalah mengulur-ulur waktu pelimpahan
berkas ke pengadilan atau tidak melaksanakan putusan eksekusi
pengadilan.
Menurut Pelaksana Tugas Ketua Komisi Kejaksaan Amir Hasan
Ketaren, pihaknya sudah berkali-kali merekomendasikan agar persoalan
jaksa nakal tidak berhenti pada sanksi profesi. Lembaganya meminta
dugaan pidananya juga diusut. Tapi usul ini tak pernah mendapat
tanggapan.
Hasan berharap Presiden sungguh-sungguh merealisasi tekadnya
memperkuat Komisinya. Selama ini, kata Hasan, Komisi Kejaksaan seperti
lembaga pengaduan, tidak seperti Komisi Yudisial yang punya kewenangan
memeriksa hakim. Akibatnya, lembaganya itu mandul dan tidak bisa
mengerem praktek jaksa nakal.
Indonesia Corruption Watch menilai Kejaksaan memang tidak pernah
serius mempidanakan jaksa yang diduga melakukan pemerasan. Menurut
Wakil Koordinator ICW Emerson Yuntho, kesan yang muncul justru
Kejaksaan Agung melindungi korpsnya. Emerson setuju jika bagian
pengawasan Kejaksaan memiliki kewenangan menyidik jaksa-jaksa nakal.
"Karena pemerasan pasti ada unsur pidananya," katanya.
Anton Aprianto
Mereka Dicopot
Terbukti menyalahgunakan wewenang, sejumlah jaksa dicopot dari
jabatannya. Inilah sejumlah jaksa yang diberhentikan pada 2010.
Andi Dahrin
Dicopot sebagai Kepala Subseksi Penuntutan Kejaksaan Negeri
Makassar.
Ia memeras Teksuyanto, terdakwa kepemilikan 2.500 pil ekstasi,
sebesar Rp 60 juta.
Aharuddin Karim, Andi Makmur, dan Mukhtar Temba
Ketiganya dicopot dari jabatannya sebagai jaksa fungsional
Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan.
Mereka memeras Jusmin Dawi, Direktur PT Aditya Reski Abadi,
sebesar Rp 200 juta. Jusmin tersangka kasus korupsi kredit fiktif
pengadaan kendaraan mobil dan motor di Bank BTN Syariah Cabang
Makassar sebesar Rp 44 miliar.
Cirus Sinaga
Dicopot dari jabatannya sebagai Asisten Tindak Pidana Khusus
Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah.
Ia disangka menghilangkan pasal korupsi kasus mafia pajak Gayus
Halomoan Tambunan dan diduga menerima uang dari Gayus.
Baringin Sianturi, Amsir Huduri, dan Eko Nugroho
Masing-masing dicopot dari jabatannya sebagai Asisten Pidana
Khusus, Asisten Intel, dan Kepala Seksi Penyidikan Pidana Khusus
Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur.
Ketiganya memeras Direktur Utama Bank Kalimantan Timur Aminuddin
sebesar Rp 2 miliar. Para pejabat bank itu tengah terjerat kasus
pidana korupsi markup pemberian kredit bank.
Resmi Nawangsih
Dicopot dari status jaksa fungsional di Kejaksaan Negeri Jawa
Timur.
Dia memeras Jeanette Austin, terdakwa pemilik perusahaan
pengangkut bahan bakar minyak oplosan, senilai Rp 165 juta.
Sukirno dan Selliyana
Dicopot sebagai jaksa fungsional di Kejaksaan Tinggi Lampung.
Keduanya meminta uang dari Purwaningsih, istri terdakwa
perampokan, Rp 11 juta. Uang itu telah dikembalikan oleh kedua jaksa
setelah Purwaningsih mengamuk di pengadilan dan menyebut telah
diperas.
Poltak Manulang
Dicopot dari jabatannya sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku.
Bersama Cirus, Poltak diduga merekayasa pasal dalam kasus
Gayus.
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/11/22/KRI/mbm.20101122.KRI135174.id.html
RANCANGAN peraturan penanganan jaksa-jaksa bermasalah itu sudah
kelar di tingkat Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan. Awal Desember
ini, draf itu akan dibahas dalam rapat kerja di Cipanas, Bogor, untuk
dirumuskan menjadi Peraturan Jaksa Agung.
Inilah peraturan yang diharapkan bakal membuat taring bidang
pengawasan Kejaksaan lebih tajam. Sebab, isinya tak hanya mengatur
soal pedoman penjatuhan hukuman, tapi juga memberikan wewenang bidang
pengawasan menyidik jaksa yang diindikasi korupsi. "Kalau satu atap,
penanganannya lebih cepat," kata Jaksa Agung Muda Pengawasan Marwan
Effendy.
Selama ini penanganan dugaan korupsi yang dilakukan para jaksa
ditangani kepolisian atau bagian pidana khusus Kejaksaan. Karena tak
punya kewenangan menyidik itulah, bidang pengawasan dianggap tak
bertaji. Alhasil, sanksi yang dijatuhkan sebagian besar hanya bersifat
administratif dan paling tinggi berupa pencopotan dari jabatan
fungsional dan struktural.
Jumlah jaksa yang melakukan pelanggaran berat atau perbuatan
tercela dari tahun ke tahun terus meningkat. Tahun ini saja, dalam
catatan Kejaksaan, jumlahnya 119 kasus atau naik dua kali lipat
dibanding tahun lalu. Pelanggaran paling banyak, menurut sumber Tempo,
memeras orang-orang yang terlibat perkara. Sanksi yang diberikan
umumnya pencopotan dari jabatan struktural atau fungsional. Hanya,
kendati terindikasi pidana, para jaksa yang mendapat sanksi itu tetap
aktif.
Marwan memastikan para jaksa yang terlibat pemerasan itu tak
bakal mendapat promosi. "Ini termasuk pelanggaran berat, sulit
mendapat kedudukan strategis," katanya. Dari ratusan kasus jaksa nakal
pada 2010, menurut seorang jaksa yang kini ditempatkan di luar
kejaksaan, hanya dua yang dibawa ke ranah pidana. Kasusnya kini tengah
diselidiki kepolisian.
Kasus pertama adalah dugaan pemalsuan rencana penuntutan perkara
penggelapan pajak Gayus H. Tambunan oleh jaksa Cirus Sinaga di
Pengadilan Negeri Tangerang. Ini diduga erat kaitannya dengan upaya
pemerasan terhadap Gayus. Cirus kini berstatus tersangka.
Kasus kedua terjadi di Medan. Di sini jaksa Mara Sutan Harahap,
jaksa di Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, diduga memeras Kepala Dinas
Pekerjaan Umum Kota Medan Marga Lubis. Jaksa berpangkat IIId itu
mengancam akan membongkar praktek korupsi di Dinas Pekerjaan Umum jika
Marga tidak menyetor duit ratusan juta rupiah. Marga melaporkan Mara
ke bagian pengawasan Kejaksaan. Oktober lalu, Mara dicopot sebagai
jaksa dan dilaporkan ke Kepolisian Resor Kota Medan.
Marwan tidak menampik sedikitnya jaksa nakal yang dipidanakan.
Menurut dia, pihaknya mengalami kendala sulitnya menemukan bukti awal
yang bisa membawa para jaksa nakal itu ke ranah pidana. Karena itulah,
kata dia, jika usul kewenangan penyidikan dugaan korupsi jaksa di
bagian pengawasan nanti disetujui pada rapat di Puncak itu, pihaknya
kelak memiliki senjata untuk menyelidiki jaksa yang melakukan korupsi.
Marwan juga mengakui para jaksa yang dicopot itu umumnya karena
melakukan pemerasan. Cara pemerasan ini aneka macam. Kalau
terorganisasi dari pusat, polanya menggunakan rencana penuntutan.
Kasus Cirus, contohnya. Jaksa biasanya meminta sejumlah uang kepada
terdakwa dengan jaminan bakal menuntut ringan atau bahkan bebas.
Menurut Marwan, pola ini sudah tidak terjadi di pidana khusus karena
rencana penuntutan sudah ditiadakan. "Di pidana umum masih ada, tapi
saya usulkan dihilangkan karena rawan dipermainkan."
Modus lain adalah membongkar kasus lama seorang pejabat dan
meminta sejumlah uang kepada pejabat itu jika tak ingin jadi
tersangka. Ini, misalnya, dilakukan tiga jaksa di Kejaksaan Tinggi
Kalimantan Timur. Tiga jaksa itu kini sudah dicopot dari jabatan
mereka. Modus seperti ini, menurut Marwan, yang paling banyak terjadi.
Ada juga jaksa yang memanfaatkan kewenangan penahanan. Ini
dialami Sreedharam P. Sreejith, tersangka dugaan penggelapan uang
perusahaan di Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur. Saat berkas
dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Larantuka, menurut pengacara
Sreedharam, Petrus Bala Pattyona, kliennya dimintai uang oleh sejumlah
jaksa kalau ia tidak mau ditahan. Padahal di kepolisian, kata Petrus,
kliennya tak ditahan. Karena uang tak diberikan, ujar Petrus, kliennya
langsung ditahan. Senin pekan ini, Petrus akan melaporkan upaya
pemerasan itu ke Kejaksaan Agung.
Komisi Kejaksaan mempunyai catatan sendiri perihal cara-cara
jaksa memeras ini. Menurut Komisi, dari sejumlah laporan yang masuk,
cara yang paling kerap dipakai adalah mengulur-ulur waktu pelimpahan
berkas ke pengadilan atau tidak melaksanakan putusan eksekusi
pengadilan.
Menurut Pelaksana Tugas Ketua Komisi Kejaksaan Amir Hasan
Ketaren, pihaknya sudah berkali-kali merekomendasikan agar persoalan
jaksa nakal tidak berhenti pada sanksi profesi. Lembaganya meminta
dugaan pidananya juga diusut. Tapi usul ini tak pernah mendapat
tanggapan.
Hasan berharap Presiden sungguh-sungguh merealisasi tekadnya
memperkuat Komisinya. Selama ini, kata Hasan, Komisi Kejaksaan seperti
lembaga pengaduan, tidak seperti Komisi Yudisial yang punya kewenangan
memeriksa hakim. Akibatnya, lembaganya itu mandul dan tidak bisa
mengerem praktek jaksa nakal.
Indonesia Corruption Watch menilai Kejaksaan memang tidak pernah
serius mempidanakan jaksa yang diduga melakukan pemerasan. Menurut
Wakil Koordinator ICW Emerson Yuntho, kesan yang muncul justru
Kejaksaan Agung melindungi korpsnya. Emerson setuju jika bagian
pengawasan Kejaksaan memiliki kewenangan menyidik jaksa-jaksa nakal.
"Karena pemerasan pasti ada unsur pidananya," katanya.
Anton Aprianto
Mereka Dicopot
Terbukti menyalahgunakan wewenang, sejumlah jaksa dicopot dari
jabatannya. Inilah sejumlah jaksa yang diberhentikan pada 2010.
Andi Dahrin
Dicopot sebagai Kepala Subseksi Penuntutan Kejaksaan Negeri
Makassar.
Ia memeras Teksuyanto, terdakwa kepemilikan 2.500 pil ekstasi,
sebesar Rp 60 juta.
Aharuddin Karim, Andi Makmur, dan Mukhtar Temba
Ketiganya dicopot dari jabatannya sebagai jaksa fungsional
Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan.
Mereka memeras Jusmin Dawi, Direktur PT Aditya Reski Abadi,
sebesar Rp 200 juta. Jusmin tersangka kasus korupsi kredit fiktif
pengadaan kendaraan mobil dan motor di Bank BTN Syariah Cabang
Makassar sebesar Rp 44 miliar.
Cirus Sinaga
Dicopot dari jabatannya sebagai Asisten Tindak Pidana Khusus
Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah.
Ia disangka menghilangkan pasal korupsi kasus mafia pajak Gayus
Halomoan Tambunan dan diduga menerima uang dari Gayus.
Baringin Sianturi, Amsir Huduri, dan Eko Nugroho
Masing-masing dicopot dari jabatannya sebagai Asisten Pidana
Khusus, Asisten Intel, dan Kepala Seksi Penyidikan Pidana Khusus
Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur.
Ketiganya memeras Direktur Utama Bank Kalimantan Timur Aminuddin
sebesar Rp 2 miliar. Para pejabat bank itu tengah terjerat kasus
pidana korupsi markup pemberian kredit bank.
Resmi Nawangsih
Dicopot dari status jaksa fungsional di Kejaksaan Negeri Jawa
Timur.
Dia memeras Jeanette Austin, terdakwa pemilik perusahaan
pengangkut bahan bakar minyak oplosan, senilai Rp 165 juta.
Sukirno dan Selliyana
Dicopot sebagai jaksa fungsional di Kejaksaan Tinggi Lampung.
Keduanya meminta uang dari Purwaningsih, istri terdakwa
perampokan, Rp 11 juta. Uang itu telah dikembalikan oleh kedua jaksa
setelah Purwaningsih mengamuk di pengadilan dan menyebut telah
diperas.
Poltak Manulang
Dicopot dari jabatannya sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku.
Bersama Cirus, Poltak diduga merekayasa pasal dalam kasus
Gayus.
http://majalah.