NUSANTARA, JAKARTA
Prestasi adalah hasil ikhtiar kolaboratif. Itulah yang akan melahirkan
etos di dalam diri anak-anak kita untuk lebih mengutamakan merangkul
ketimbang menaklukkan pihak lain.
Foto-foto mirip Gayus, walau membuat ngilu hati, dapat memberi ilham.
Barangkali akan sangat baik apabila saat ini semua rumah dan lembaga
pendidikan menjadikan Gayus sebagai maskot tentang kebobrokan tabiat
dan perilaku manusia! Tentu, bahasan tentang Gayus tidak cukup hanya
sampai pada gambaran tentang kepribadiannya. Ini barangkali dapat
menjadi penawar atas ketidakyakinan kita bahwa penindakan hukum
terhadap pegawai negeri golongan IIIA dengan kekayaan miliaran rupiah
itu akan bebas manipulasi. Juga, pertanyaan yang perlu dibahas adalah
bagaimana agar anak-anak kita tidak menjadi Gayus; tidak tumbuh
sebagai manusia yang menjadikan manipulasi sebagai gaya berpikir,
sebagai watak, sebagai cara menuntaskan semua masalah.
Walau kemungkinan jawabannya bisa banyak, saya berpendapat lapis
paling dasar terletak pada seberapa serius kita menjalani peran selaku
orang tua. Apakah kita full-time parent ataukah part-time parent?
Apakah kita memantau perkembangan anak-anak kita secara kontinu
ataukah ala pemadam kebakaran yang baru penuh perhatian ketika anak-
anak bikin permasalahan? Jikalau sebagian besar kerut dahi lebih
ditujukan untuk perkara kantor, dan urusan anak sekadar memanfaatkan
sisa-sisa energi, tak bisa diingkari: kita adalah orang tua paruh
waktu.
Setelah poin di atas terjawab, yang perlu diintrospeksi kembali adalah
ke mana fokus pengasuhan kita. Andai kita melulu menaruh perhatian
pada penajaman kognitif, kelak mungkin anak-anak kita akan terbentuk
sebagai sosok pintar, kritis, dan menunjukkan ciri-ciri ketajaman akal
pikiran lainnya.
Persoalannya, saya teringat pada salah satu pertanyaan yang saya
lontarkan kepada para guru peserta pelatihan mengidentifikasi gaya
belajar di Pekanbaru, beberapa hari lalu,“Siapa di antara kita yang
berani mengatakan bahwa para koruptor adalah orang dungu?”Para
koruptor adalah orang-orang pintar. Pintar tapi—na’udzubillah—busuk
budi pekerti.
Jadi, jelas sudah, di samping dimensi kognitif, pengasuhan yang kita
terapkan terhadap anak-anak kita tidak semestinya mengabaikan
pengembangan sisi afektif—olah rasa, olah batin. Dengan afeksi yang
terbina, anak-anak kita seolah akan selalu membawa cermin di hadapan
mereka. Cermin yang menjadi bekal bagi mereka untuk bermuhasabah,
memotret kedalaman diri mereka sendiri plus menyelami perasaan
orangorang di sekitar mereka.
Cermin diri adalah poin penting. Pasalnya, para koruptor yang pintar-
pintar itu pada saat yang sama justru miskin hati, tumpul nurani. Itu
sebabnya, walau lihai berpatgulipat, mereka seenaknya sendiri.
Masyarakat, apalagi penegak hukum, kita pun belum sepenuhnya sadar
akan bencana yang dihadirkan oleh para koruptor. Itu tidak terlepas
dari masih kuatnya kesan bahwa korupsi adalah kejahatan tanpa korban
(victimless crime). Berbeda dengan terorisme, yang selalu identik
dengan banjir darah, hilangnya nyawa, dan kerugian harta benda,
kejahatan kerah putih tidak pernah secara nyata berbau anyir. Padahal,
dibandingkan dengan terorisme, korupsi punya magnitude kehancuran yang
jauh lebih dahsyat. Kurangnya kesadaran dunia penegakan hukum
kita akan bahaya korupsi itulah yang menghasilkan fakta bahwa, ketika
vonis mati bagi teroris sudah beberapa kali dijatuhkan, hingga kini
belum satu pun hakim di negeri kita yang bernyali mengantar pelaku
korupsi ke gerbang kematian lebih cepat.
Selanjutnya, kita--para orang tua--juga perlu menimbang-nimbang
kembali konsep berprestasi yang sering kita tanamkan ke anak-anak
kita. Kita dorong mereka sebagai orang yang berprestasi, yang lebih
unggul, lebih superior. Persoalannya, berprestasi yang kita coba
tanamkan ke mereka adalah prestasi seorang diri. Kemenangan yang
meninggalkan orang lain. Jadi, kita mewariskan konsep bahwa prestasi
hanya bisa ditelurkan lewat kompetisi, lewat pertarungan menaklukkan
orang lain. Prestasi laksana singgasana yang diperuntukkan bagi sosok
tunggal, dan tidak mungkin diisi bersama dengan sosok-sosok lain.
Prestasi seperti itu memang tidak salah.
Tapi jangan-jangan kita selama ini salah kaprah, karena konsep
berprestasi sedemikian rupa, yang merupakan tularan dari negara Barat
semacam Amerika, tampaknya telah mencabut kita dari akar batiniah kita
sendiri. Bagi kita di sini, barangkali prestasi perlu dikemas ulang
sebagai pencapaian lewat jalan kebersamaan. Dengan pemahaman baru yang
lebih ulayat itu, anak-anak akan kita dorong menjadi manusia yang
guyub. Semakin mereka guyub, semakin sukses pula mereka. Dengan kata
lain, prestasi adalah hasil ikhtiar kolaboratif. Itulah yang akan
melahirkan etos di dalam diri anak-anak kita untuk lebih mengutamakan
merangkul ketimbang menaklukkan pihak lain.
Kesalahkaprahan kita juga mewujud dalam skala lebih luas. Seorang
profesor dari Universitas Boston, Steve Prothero, suatu ketika
mengintroduksi istilah "religious literacy"."Melek agama", begitu
terjemahan bebasnya. Istilah "melek agama"diangkat Prothero setelah
melihat betapa dunia, ter masuk lingkungan politik, ditandai oleh
semakin pentingnya kedudukan agama. Karena itulah, sangat wajar jika
kita—warga dunia—juga semakin atau bahkan kembali melek agama.
Pandangan Prothero tentang pentingnya agama sebenarnya bukan hal baru.
Sejumlah pemikir, termasuk mereka yang termasuk dalam gelombang
spiritualitas, semakin deras membanjiri kita dengan buku-buku bacaan
dan sesi-sesi seminar tentang dunia ketuhanan atau dunia
spiritualitas. Itu yang terjadi di belahan dunia Barat; dunia yang
selama ini sering kita identikkan dengan komunitas sekuler, bahkan
ateis.
Justru kita, bangsa Timur yang kerap menyebut diri masyarakat
religius, nyatanya bergeser pasti ke sekularisme. Tidak sedikit
kalangan yang menganggap ajaran ketuhanan sebagai hal yang puritan,
bahkan ketinggalan zaman. Alhasil, benar kata Tuhan, ajaran tentang
rahmat bagi semesta alam datang sebagai agama yang asing, dan nantinya
akan kembali menjadi benda yang asing. Tuhan menggunakan kata
“nantinya”, tapi rasanya kata itu sudah menjadi nyata sekarang ini
juga.
Tidak meleknya kita terhadap agama bukanlah sesuatu yang dibesar-
besarkan. Ambil contoh sederhana; kita berulang kali gundah setiap
kali tahun ajaran baru tiba.
Berapa syarat minimal nilai matematika? Nilai bahasa asing? Nilai
fisika? Nilai matematika? Tapi pernahkah terdengar ada yang
bertanya,“Berapa persyaratan nilai agama?” Jadi, mari kita ingsutkan
peran dan fokus pengasuhan kita. Dari part-time parent ke full-time
parent, dari kognitif ke afektif, dari prestasi tunggal ke prestasi
bersama, dan dari salah kaprah yang mengagungkan Barat tanpa reserve
ke keaslian akar-akar kepribadian kita. Dengan itulah, mudah-mudahan,
kita tidak akan melihat anak-anak kita sebagai sekumpulan orang yang
berwajah mirip Gayus. ●
http://epaper.korantempo.com/
0 komentar:
Posting Komentar