BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Politisasi Jabatan Publik

Politisasi Jabatan Publik

Written By gusdurian on Selasa, 30 November 2010 | 11.01

ANALISIS POLITIK
Politisasi Jabatan Publik
J KRISTIADI

Salah satu agenda pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono dalam
seratus hari pertama adalah mengurai kemacetan pemerintahan atau
dikenal dengan debottlenecking. Namun, setelah pemerintahan berjalan
lebih dari seratus hari, ternyata hal itu tidak mudah diwujudkan.
Padahal, agenda itu sangat penting karena mesin birokrasi pemerintahan
yang sudah sangat korup, tambun, dan lamban tidak akan mampu
menggerakkan mesin pemerintahan yang sangat penting untuk melaksanakan
kebijakan politik negara.

Oleh sebab itu, terobosan itu tidak mungkin dilakukan tanpa
melaksanakan agenda yang lebih mendasar dan komprehensif dalam bentuk
reformasi birokrasi. Namun, urusan yang satu ini juga tidak mudah
dilakukan karena terbentur dengan kepentingan partai politik dalam
melakukan pengaplingan birokrasi. Fungsi birokrasi sebagai institusi
pelayanan publik dewasa ini hanya tinggal slogan belaka. Karena pada
kenyataannya lembaga itu sudah semakin menjadi bagian dari instrumen
politik kekuasaan. Hal ini dipraktikkan mulai dari tingkat pusat
sampai daerah.

Bahkan, sudah bukan menjadi rahasia lagi, di tingkat daerah (provinsi
dan kabupaten/kota) keadaannya lebih parah lagi. Jabatan publik benar-
benar menjadi komoditas dengan harga ratusan juta rupiah, tergantung
dari kering atau basahnya jabatan itu.

Tawar-menawar

Keterlambatan pengisian jabatan publik juga merupakan bagian dari
proses tawar-menawar politik. Penetrasi politik dalam setiap pengisian
jabatan publik sangat besar. Akibatnya, manajemen pemerintahan menjadi
tidak efisien, apalagi efektif. Hal itu sangat disayangkan karena
syarat pemerintahan presidensial yang diharapkan dapat menghasilkan
pemerintahan yang efektif sudah terpenuhi.

Pertama, pasangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden
Boediono terpilih dan didukung lebih dari 60 persen rakyat, dan hanya
dalam satu putaran pemilu. Kedua, jumlah parpol di parlemen menciut,
dari 38 parpol peserta pemilu menjadi 9 parpol saja. Pengurangan
jumlah parpol itu secara teoretis diharapkan dapat lebih menjamin
kompatibilitas antara sistem pemerintahan presidensial dan sistem
multipartai. Ketiga, pemerintahan Yudhoyono-Boediono memperoleh
dukungan hampir 75 persen anggota DPR.

Ke depan, langkah pertama yang mungkin perlu dilakukan adalah
memperjelas antara pejabat politik dan pejabat birokrasi karier. Dalam
hal ini perlu penegasan pola hubungan antara jabatan karier dan
jabatan politik, yang terdiri atas pejabat politik yang
pengangkatannya berdasarkan pemilihan umum, seperti presiden dan wakil
presiden, kepala daerah dan wakil kepala daerah, serta pejabat politik
yang pengangkatannya sesuai pilihan pejabat terpilih. Mereka ini biasa
disebut appointed official, seperti menteri, komisioner di komisi
negara, staf khusus, serta gubernur Bank Indonesia dan deputi gubernur
BI.

Penataan pola interaksi ini sangat penting mengingat pejabat politik
dan birokrasi karier merupakan dua pihak yang saling membutuhkan.
Birokrasi karier membutuhkan dukungan politik dalam menjalankan
kebijakan publik, sementara pejabat politik membutuhkan birokrasi
sebagai pelaksana kebijakan publik. Dengan demikian, sangat dibutuhkan
kejelasan pengaturan ruang lingkup jabatan politik dan jabatan karier,
kewenangan dan pola hubungan di antara keduanya sehingga nantinya akan
terbangun interaksi yang saling mendukung dan menguntungkan untuk
kepentingan publik.

Pengaturan itu semakin penting karena dalam pengalaman sejarah,
perdebatan tentang hubungan antara politik dan birokrasi telah dimulai
sejak akhir abad XIX. Perubahan di bidang politik selalu memengaruhi
sistem administrasi yang ada pada suatu negara. Di Indonesia,
perubahan sistem politik dengan presidensial dan sistem multipartai
telah memberikan efek yang luar biasa dalam hubungan politik dan
birokrasi.

Sekadar perbandingan, praktik penyelenggaraan pemerintahan di Amerika
Serikat yang menerapkan sistem pemerintahan presidensial, eksekutif
puncak yang diangkat untuk mengisi sejumlah jabatan di dalam Kantor
Eksekutif Presiden untuk membawa kebijakan presiden kepada birokrasi
jumlahnya sekitar 700 orang. Jumlah itu mencapai sekitar 2.000 orang
tersebar di berbagai level cabang eksekutif.

Selain itu, mungkin, yang perlu dipikirkan juga adalah sebuah lembaga
berfungsi sebagai wasit untuk mengawasi pelaksanaan tugas dan fungsi
pejabat politik dan pejabat karier. Lembaga yang mengawasi
profesionalisme birokrasi itu di Amerika Serikat dan Australia
berbentuk semacam civil service commission. Tugasnya antara lain
menjaga tingkat profesionalisme pejabat politik dan birokrasi karier
melalui proses perekrutan yang meritokratik.

J Kristiadi Peneliti Senior CSIS

http://cetak.kompas.com/read/2010/11/30/02350059/politisasi.jabatan.publik
Share this article :

0 komentar: