BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Menanti Intervensi Presiden

Menanti Intervensi Presiden

Written By gusdurian on Selasa, 30 November 2010 | 11.21

Oleh Donal Fariz

Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk tidak campur tangan
dalam penuntasan kasus Gayus HP Tambunan dikhawatirkan hanya untuk
membungkus ketidakberanian Presiden untuk membongkar simpul besar para
mafioso hukum di negeri ini. Republik kita tidak boleh dikalahkan oleh
seorang Gayus.

Disadari atau tidak, eskalasi konflik kasus mafia pajak Gayus Tambunan
sesungguhnya teramat luas. Ada banyak lapisan kepentingan yang
membonceng biduk ke hilir dalam penuntasan kasus tersebut. Namun,
segala kepentingan politik yang ada di baliknya tidak boleh determinan
daripada upaya penegakan hukum dan agenda pemberantasan para mafioso
pajak.

Jika diuraikan, paling tidak ada lima lapisan kelompok yang berada
dalam pusaran konflik kasus Gayus. Di antaranya kepolisian, kejaksaan,
Direktorat Jenderal Pajak, wajib pajak, dan terakhir para politikus.
Tarik-menarik kepentingan ini membuat penegakan hukum menjadi mandul,
sementara pada sisi berseberangan posisi tawar Gayus melambung tinggi
karena memiliki kartu truf masing-masing pihak.

Kondisi ini tentu membuat upaya penegakan hukum menemui jalan buntu.
Penuntasan kasus ini hingga menjerat aktor intelektual dipastikan
hanyalah angan belaka karena berada pada tangan yang salah. Yang ramai
justru skandal demi skandal sebagai efek domino karena tidak seriusnya
aparat penegak hukum dalam menangani kasus ini.

Sepuluh kejanggalan

ICW mencatat setidaknya ada sepuluh fakta kejanggalan dalam proses
penegakan hukum dari awal hingga kondisi terakhir kasus ini bergulir.
Yang teranyar tentu desain sistematis kepolisian untuk menghindar dari
simpul besar kasus mafia pajak yang turut melilit para petinggi di
institusi tersebut.

Hal ini bisa dilihat dari kasus yang didakwakan kepada Gayus yang
justru tidak ada kaitannya dengan asal-muasal kasus ini mencuat ke
permukaan.

Tidak terbayang di benak publik sedikit pun kalau Gayus justru akan
dijerat dengan kasus PT SAT yang nilai kerugiannya hanya Rp
570.952.000, sementara kasus utama (main case) rekening sebesar Rp 28
miliar dan safety box sebesar Rp 75 miliar tidak jelas ujung
pangkalnya. Di mata kepolisian, seolah-olah ikan teri lebih besar
daripada ikan paus.

By design, pilah-pilih kasus ini dicurigai sebagai upaya kepolisian
untuk melokalisasi keterlibatan para petinggi di institusinya. Cara-
cara lama yang sebenarnya amat mudah untuk diteropong oleh publik.
Buktinya hingga kini yang terjerat hanyalah pemain tambahan, bukan
”pemain inti” di kepolisian.

Kondisi sengkarut ini seharusnya diurai secara cepat oleh Presiden.
Sebagai kepala negara, beliau harus terlibat dalam membenahi ini
semua. Dalam kasus Gayus, kepolisian tidak mungkin lagi dipertahankan
untuk menuntaskannya, karena mustahil memercayakan sebuah proses hukum
pada sistem yang ”rusak”.

Maka, tindakan intervensi dari Presiden menjadi sesuatu yang teramat
penting. Tindakan intervensi tersebut pada prinsipnya bukanlah sebuah
”dosa” yang perlu ditakutkan. Sepanjang itu positif bagi pemberantasan
korupsi, publik pasti akan mendukung untuk itu.

Justru yang seharusnya ditakutkan Presiden adalah tidak terungkapnya
kasus ini hingga tuntas. Karena kegagalan kepolisian sejatinya adalah
kegagalan Presiden juga sebagai seorang kepala negara.

Langkah intervensi Presiden sesungguhnya bisa dimaknai sebagai bagian
dari upaya memperbaiki institusi kepolisian yang kadung salah arah
dalam menangani kasus ini. Karena Presiden-lah yang paling memiliki
legitimasi untuk itu. Hal yang tidak kalah penting, tentu ini bagian
dari upaya untuk menuntaskan skandal mafia pajak Gayus Tambunan.

Langkah pertama yang bisa dilakukan Presiden adalah memerintahkan
kepada kepolisian untuk bekerja sama dan menyerahkan kasus ini kepada
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sembari itu, Presiden harus
menahan arus resistensi dari kelompok-kelompok tertentu jika kasus ini
diambil alih.

Termasuk jika resistensi itu muncul dari internal kepolisian. Langkah
ini menjadi amat penting untuk memperkuat KPK yang mengalami beban
traumatis jika harus berhadapan dengan kepolisian. Luka-luka ”cicak”
ketika berhadapan dengan ”buaya” belum sepenuhnya terobati.

Momentum perubahan

Penuntasan kasus Gayus ini seharusnya dijadikan momentum perbaikan
oleh Presiden. Baik arahnya ke luar maupun ke dalam. Perbaikan ke luar
ditujukan sesungguhnya untuk memperbaiki institusi kepolisian. Jika
proses hukum kasus Gayus bisa tuntas di tangan KPK—hingga kemudian
menjerat oknum petinggi kepolisian yang santer disebut-sebut oleh Gayus
—maka sejatinya ini bentuk konkret dari reformasi kepolisian yang
sedang digulirkan.

Adapun perbaikan ke dalam, tentu di tujukan bagi kinerja (performance)
Presiden sendiri dalam upaya pemberantasan korupsi. Satu tahun
kepemimpinan Yudhoyono dalam upaya pemberantasan korupsi sebenarnya
telah membuat publik jengah. Tidak ada hasil konkret yang ditorehkan.

Yang ramai justru polesan dan kosmetik pemberantasan korupsi melalui
pidato belaka. ICW sendiri pernah mencatat, setidaknya selama satu
tahun kepemimpinan Yudhoyono, sebanyak 76 persen pernyataannya justru
tidak terealisasi.

Sesungguhnya Presiden telah memiliki semua amunisi yang diperlukan
untuk melakukan perang terhadap para mafioso hukum. Kewenangan
konstitusional ditambah dengan legitimasi politik sudah lebih dari
cukup untuk melakukan itu semua. Belum lagi pion-pion Presiden untuk
melakukan perlawanan terhadap mafia hukum semacam satuan tugas. Yang
kurang saat ini barangkali komitmen dan kesungguhan untuk melawan
mafia, tanpa lagi terjebak dengan kepentingan politis kelompok
tertentu.

Jika Presiden lamban, dipastikan para mafioso akan semakin menyandera
negeri ini. Publik sudah menanti intervensi Presiden, bukan basa-basi
pemberantasan korupsi.

Donal Fariz Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch, Divisi Hukum
dan Monitoring Peradilan

http://cetak.kompas.com/read/2010/11/23/04053859/menanti.intervensi.presiden
Share this article :

0 komentar: