BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Suap Sebagai Kejahatan Korupsi

Suap Sebagai Kejahatan Korupsi

Written By gusdurian on Selasa, 30 November 2010 | 11.28

Oleh Dr Eddy Rifai, SH, MH Staf Pengajar Fakultas Hukum Unila



PADA umumnya orang beranggapan suatu ke jahatan korupsi meru pakan
kejahatan yang merugikan keuangan negara.
Hal itu karena beberapa pasal tindak pidana korupsi dalam Undang-
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUTPK) merumuskan adanya
unsur `merugian keuangan negara'. Tetapi, untuk kejahatan suap-menyuap
tidak ada kaitannya dengan kerugian uang negara, meskipun perbuatan
tersebut dikualifikasikan sebagai kejahatan korupsi.

Para pelaku suap mungkin bertanya-tanya, negara yang tidak dirugikan
uangnya sepeser pun mengancamkan sanksi pidana yang cukup tinggi dan
mengecap mereka sebagai koruptor, perbuatannya disamakan dengan para
pelaku korupsi yang merugikan uang negara miliaran rupiah. Apa yang
telah mereka rugikan sehingga mereka diperlakukan demikian sering
dilontarkan para pelaku suap yang merasa tidak bersalah kepada negara.

Suap sebagai kejahatan korupsi memang merupakan suatu ketentuan baru
yang diatur dalam UUTPK yang mulai diundangkan dengan UU No 3 Tahun
1971 dan kemudian diganti dengan UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun
2001.
Tetapi semua ketentuan tentang suap tersebut dioper dari KUH Pidana
dalam kaitan dengan tindak pidana jabatan (ambs delicten). Pasal-pasal
KUHP yang dioper ke UUTPK adalah Pasal 209 KUHP yang mengatur
penyuapan aktif (actieve omkooping atau active bribery) terhadap
pegawai negeri dan Pasal 419 KUHP yang mengatur penyuapan pasif
(passieve omkooping atau passive bribery) yang meng ancam pidana
terhadap pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji. Kemudian
Pasal 210 KUHP yang mengatur penyuapan terhadap hakim dan penasihat
hukum di pengadilan serta Pasal 420 KUHP yang mengatur tentang hakim
dan penasihat hukum yang menerima suap.

Perluasan tindak pidana suap dalam bentuk gratifi kasi yang diatur
dalam Pasal 418 KUHP kemudian juga dioper menjadi tindak pidana
korupsi dengan merumuskan gratifi kasi sebagai pemberian hadiah yang
luas dan meliputi pemberian uang, barang, rabat/diskon, komisi,
pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan,
perjalanan wisata, pengobatan cuma-Cuma, dan fasilitas lainnya.

Tetapi, tidak semua suapmenyuap adalah kejahatan korupsi. Beberapa
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan suap-menyuap
merumuskan perbuatan itu sebagai tindak pidana suap saja, misalnya
suap yang menyangkut kepentingan umum, baik aktif maupun pasif,
seperti diatur dalam UU No 11 Tahun 1980.

Suap terhadap pejabat bank yang diatur dalam UU No 10
Tahun 1998 dan suap dalam kaitan dengan pemilihan umum dan pemilihan
kepala daerah (money politics), yang dalam praktik penegakan hukum
tindak-tindak pidana suap ini kurang terangkat ke permukaan, karena
jarang kaan, karena jar digunakan penegak hukum sekalipun perbuatan
suap-menyuap semacam itu marak terjadi di masyarakat.
Suap yang tercela Suap-menyuap (bribery) bukanlah suatu tindak pidana
biasa. Dalam teori hukum pidana, perbuatan ini dikategorikan sama
dengan tindak pidana pembunuhan, pemerkosaan, dan pencurian. Perbuatan
suap merupakan mala per se atau mala in se dan bukan mala prohibita.
Konsep mala per se yang dilandasi oleh pemikiran natural wrongs
menganggap bahwa kejahatan-kejahatan tertentu merupakan kejahatan yang
berkaitan dengan hati nurani dan dianggap tercela bukan karena
peraturan perundangundangan telah melarangnya.
Tetapi memang sudah dengan sendirinya salah.

Adapun konsep mala prohibita bertitik tolak dari pemikiran bahwa
perbuatan dianggap tercela atau salah karena perundang-undangan telah
melarang nya, sehingga disebut sebagai regulatory offenses. Contohnya
ialah pelbagai peraturan tata tertib di pelbagai bidang kehidupan yang
diperlukan dalam rangka untuk menegakkan ter tibnya kehidupan modern.

Tindak pidana suap merupakan mala per se karena penyuap an selalu
mengisyaratkan adanya maksud untuk memengaruhi (influencing) agar yang
disuap (misalnya menyangkut diri seorang pejabat) berbuat atau tidak
berbuat yang bertentangan dengan kewajibannya.

Atau juga karena yang disuap telah melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu yang bertentangan de ngan kewajibannya. Para pelaku,
baik `aktor intelektual' maupun `aktor pelakunya', telah melakukan
sesuatu yang bertentangan baik dengan norma hukum maupun norma-norma
sosial yang lain (agama, kesusilaan, dan ke sopanan).

Dunia internasional mengkriminalisasikan suap-menyuap sebagai
kejahatan korupsi.

Menurut Muladi (2005), banyak sekali instrumen regional (misalnya EU,
Inter-American, African Union, Southern African Development Community)
ataupun organisasinya (misalnya OECD, GRECO) yang merumuskan untuk
mencegah dan memberantas korup si termasuk suap-menyuap. Dalam
pertumbuhannya, instrumen-instrumen itu mengerucut dalam bentuk UN
Convention Against Corrup
tion, Vienna, 2003.

Dalam Konvensi PBB, ruang lingkup bribery diperluas dan mencakup
penyuapan terhadap pejabat publik, termasuk pejabat publik asing dan
pejabat publik dari organisasi internasional, baik aktif maupun pasif.

Bahkan dianjurkan pula mengkriminalisasikan perbuatan suap di
lingkungan swasta (bribery in the private sector) dalam kegiatan
komersial, ekonomi, dan fi nansial, termasuk juga pelbagai bentuk suap
yang dapat mengganggu proses peradilan yang jujur dan independen
(obstruction of justice).
Upaya pemerintah Upaya pemerintah untuk memberantas perbuatan suap-
menyuap telah di lakukan dengan sungguh sungguh. Di samping mengadakan
peraturan perundang-undangan tersebut (UUT PK, UU Suap, money poli
tics), juga meng u n dang kan UU No 28 Ta h u n 1999 ten t a n g Penye
enggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bebas KKN, UU Pencucian
Uang, dan UU Pembentukan Komi si Pemberantasan Korupsi (KPK). In
donesia pun turut DI menan data ngani UN Convention Against
Corruption, Vienna, 2003, yang dalam konvensi ini terdapat empat hal
yang menonjol, yaitu penekanan pada unsur pencegahan, kriminalisasi
yang lebih luas, kerja sama internasional, dan pengaturan lembaga
asset recovery untuk mengembalikan aset yang dilarikan ke luar negeri.

Banyak pelaku suap yang dijebloskan ke penjara, mulai dari gubernur,
bupati, wali kota, pejabat Bank Indonesia (termasuk besan Presiden
SBY), dan pejabat-pejabat eksekutif lainnya; kalangan legislatif
(anggota DPR dan DPRD) serta aparat penegak hukum (hakim, jaksa,
polisi, petugas LP), dan sebagainya.

Namun, kasus suap-menyuap tampaknya terus terjadi dan meningkat dari
tahun ke tahun, termasuk kasus suap yang dilakukan Gayus Tambunan yang
sekarang tengah menghebohkan negeri ini. Persoalan yang cukup kompleks
adalah adanya budaya suap yang seolah-seolah menjadi suatu ‘way of
life’ dalam kehidupan masyarakat kita. Mengatasi budaya suap ini
bukanlah persoalan mudah, melainkan memerlukan adanya suatu penegakan
hukum yang keras sebagaimana dilakukan beberapa negara lain yang pada
masa lalu tingkat kejahatan suapnya cukup tinggi seperti Hong Kong dan
Filipina.

Masalahnya, untuk menegakkan hukum terhadap kejahatan suap, haruslah
dilakukan aparat penegak hukum yang jujur dan bersih. Karena, apabila
aparat penegak hukumnya kotor, tidak mungkin membersihkan barang kotor
dengan air yang kotor.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/11/23/ArticleHtmls/23_11_2010_021_016.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: