Aroma politis yang merebak di balik insiden pelesiran Gayus adalah
wujud totalitarianisme kekuasaan yang hendak mengaburkan makna hukum
yang berlandaskan asas kepastian dan keadilan."
AJAH penegakan hukum di Indonesia di bawah pemerintahan Susilo Bambang
YudhoyonoBoediono belum juga usai menampakkan inkonsistensi tugas dan
perannya untuk menempatkan hukum sebagai panglima. Setelah rekomendasi
skandal Century tidak menuai kelanjutan politis dan yuridis yang jelas
dan tegas, serta kasus Bibit-Chandra dan mafi a pajak yang terus menuai
polemik, publik kembali dihebohkan insiden pelesiran Gayus Tambunan ke
Bali.
Bukan kali pertama fenomena insan pesakitan sekelas Gayus bisa
melenggang hilir mudik keluar tahanan dan menikmati kehidupan bagaikan
di alam bebas. Kejadian serupa, meski dengan modus yang berbeda,
pernah dilakoni Artalyta Suryani yang menikmati kehidupan tahanan
dengan fasilitas yang serbaluks. Kenikmatan yang sama mungkin saja
dinikmati tahanan-tahanan lainnya, meski luput dari perhatian publik.
Persoalan utama tidak hanya terletak pada subjek hukum, tapi juga pada
institusi penegakan hukum, mulai hulu hingga hilir, yang tidak
konsisten menegakkan prinsip-prinsip hukum.
Inkonsistensi itulah yang menurunkan legitimasi dan kredibili
Politisasi Ironisnya, inkonsistensi itu tidak menjadi perhatian utama
di kala publik mempertanyakan tindak lanjut penyelesaikan hukum
berbagai kasus besar di awal pemerintahan SBY-Boediono. Rekomendasi
DPR tentang skandal Century masih terbengkalai dan tertumpuk di meja
kepolisian dan kejaksaan.
Alih-alih menindaklanjuti hasil rekomendasi DPR yang menegaskan
terjadinya penyimpangan dalam proses bailout kepada Bank Century,
kedua institusi penegakan hukum tersebut justru menyibukkan diri
dengan persoalan lain yang tidak mendominasi aspirasi publik.
Kasus Bibit-Chandra yang terus menjadi polemik tidak menguak tuntas
berbagai rekayasa yang terendus oleh penciuman publik. Sementara itu,
kasus mafi a pajak yang menempatkan Gayus sebagai aktor utama justru
lebih kental menyudutkan pihak tertentu tertentu ketimbang mengungkap
secara terang benderang seluruh pihak yang terlibat di dalamnya.
Semua terbenam dan kembali memuncak saat Presiden Yudhoyono
mempertanyakan tindak lanjut kasus Gayus da
lam rapat kabinet 16 November yang lalu. Setelah itu, insiden
pelesiran Gayus berkembang secara politis dengan mengaitkan pertemuan
Gayus dengan Aburizal Bakrie di Bali, melebihi keprihatinan dan
kesadaran terhadap kebobrokan institusi penegakan hukum.
Sulit memungkiri kuatnya aroma politik yang mengitari keputusan hukum
di negeri ini.
Selain karena institusi kejaksaan dan kepolisian masih berada di bawah
kendali lembaga eksekutif, berbagai fakta hukum yang begitu mendesak
untuk ditandaklanjuti sering kali terabaikan tatkala fakta tersebut
melibatkan lingkaran kekuasaan. Sebaliknya, kekuasaan dengan mudahnya
memolitisasi dan merekayasa persoalan yang tidak menyentuh fakta hukum
saat melibatkan lawanlawan politiknya.
Jika sekiranya kekuasaan hendak membuktikan dirinya sebagai pihak yang
menjunjung tinggi asas hukum dan keadilan, seharusnya ia lebih
mendahulukan pembenahan sistem penegakan hukum yang bobrok di mata
publik.
Kepolisian dan kejaksaan sebagai institusi di bawah presiden harus
meng usut tuntas pihak internal yang turut terlibat dalam mencoreng
dan mendelegitimasi kepercayaan publik terhadap kedua institusi
tersebut. Bukan berlindung di balik opini politis yang mengaburkan
substansi persoalan yang justru
lebih penting untuk dituntaskan. Kepentingan hukum Gagasan tentang
hukum begitu ideal untuk sekadar diungkapkan secara retoris. Hukum
merupakan instrumen agar keadilan bisa dicapai sesuai dengan harapan
publik. Namun, proses penegakan keadilan melalui instrumen hukum
selalu diterpa dilema yang tak berkesudahan. Tarik-menarik kepentingan
hukum dengan kepentingan di luar hukum mengayun pendulum keadilan yang
sering kali tidak memosisikan diri pada porsi yang semestinya.
Tarik-menarik kepentingan itulah yang membuat kekuasaan dengan mudah
memanipulasi kenyataan, dengan yang baik menjadi buruk karena
ditafsirkan atau sengaja ditafsirkan secara keliru. Kiranya itulah
yang sedang terjadi dalam polemik tentang pertemuan Gayus dengan
Aburizal Bakrie. Tidak sulit untuk ditebak, popularitas Partai Golkar
yang sedang menanjak seiring dengan ketegasannya dalam menyikapi
skandal Century serta suara kritisnya dalam lingkaran sekretariat
bersama membawa pada pilihan risiko yang tidak kecil.
Padahal tak ada yang keliru dari sikap kritis Partai Golkar di bawah
nakhoda Aburizal Bakrie terkait dengan skandal Century dan berbagai
perbedaan pandangan dalam sekber selain
upaya merealisasikan cita-cita ideal kepartaian sebagai perpanjangan
tangan dan katalisator aspirasi publik. Justru yang keliru adalah
tindakan yang mengaitkan energi kritis tersebut dengan tudingan,
tuduhan, dan fi tnah yang tidak bertanggung jawab.
Memengaruhi opini publik yang seharusnya lebih cerdas untuk sekadar
menurunkan legitimasi Partai Golkar yang berusaha mewujud sebagai
partai yang modern, mandiri, dan profesional.
Tanpa data dan fakta yang
jelas, selain rekayasa imajinatif, Aburizal Bakrie dikaikan de ngan
berbagai kasus yang melibatkan Gayus. Imajinasi tersebut bahkan
melampaui kebenaran serta menutupi substansi persoalan yang
sesungguhnya. Kekuasaan telah menghalalkan segala cara untuk
menghardik lawan politik dan merendahkan martabat hukum di mata
publik.
Bukankah sistem ketatanegaraan kita telah menetapkan dengan tegas
bahwa negara ini adalah negara hukum (rechtsstaat). Keadilan dibangun
sesuai dengan cita hukum (rechtidee), bukan negara kekuasaan
(machtsstaat). Logika hukum memiliki logika yang jelas dan tegas,
bertanggung jawab atas keputusannya, dan tidak sekadar bersifat
subjektif atas dasar kepentingan kekuasaan.
Kita tentu tidak menafikan pentingnya kekuasaan politik dalam
menegakkan hukum.
Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, sementara kekuasaan tanpa
hukum adalah zalim.
Karena itulah, hukum ha rus didukung kekuasaan yang bertanggung jawab
sesuai dengan peran dan posisinya. Hukum menjadi nyata jika
aparaturnya berfungsi dengan baik serta memenuhi dan menepati aturan
yang telah dibakukan.
Tapi di balik itu, hukum tidak bersandar pada kepentingan politik
untuk mencapai tujuannya. Politik berdimensi multidimensional,
berkembang secara pragmatis sesuai dengan proyek
si dan kebutuhan kekuasaan.
Sementara itu, hukum bertolak dari fakta dan renung an manusia yang
cerdas dan rasional sebagai subjek hukum.
Hukum bukanlah ‘sapi perah’ dan ‘peternakan’ kepentingan kekuasaan
karena ia berjalan di atas rel yang jelas dan tidak spekulatif. Atas
dasar itulah, kita percaya pada fungsi hukum sebagai pelindung dan
panglima.
Agar kepentingan terlin dungi, hukum harus dilaksanakan secara
profesional, tidak bersumber pada dugaan dan rekayasa.
Penegakan hukum menghendaki kepastian karena dengan kepastianlah warga
negara akan hidup dengan tertib, aman, dan damai. Argumen itulah yang
seharusnya dipahami institusi penegakan hukum sebab hukum adalah
kepentingan setiap warga negara, tanpa terkecuali. Pada gilirannya
hukum menghadirkan manfaat, tidak menimbulkan keresahan dan
ketidakpastian.
Politisasi hukum hanyalah segelintir dampak dari sistem penegakan
hukum yang setengah hati. Aroma politis yang merebak di balik insiden
pelesiran Gayus adalah wujud totalitarianisme kekuasaan yang hendak
mengaburkan makna hukum yang berlandaskan asas kepastian dan keadilan.
Dengan realitas seperti itu, jangan pernah berharap hukum akan membawa
manfaat bagi kehi dup an kita, selain sebagai pelindung dan panglima
bagi kekuasaan.
http://anax1a.pressmart.net/
0 komentar:
Posting Komentar