BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Demonstran Timbel untuk Jakarta

Demonstran Timbel untuk Jakarta

Written By gusdurian on Selasa, 30 November 2010 | 11.02

Penghargaan bergengsi Kong Ha Award tahun ini jatuh ke tangan
demonstran yang sejak 1996 bersuara untuk penghapusan timbel pada
bahan bakar. Seumur-umur saya belum pernah mendapat penghargaan. Itu
sebabnya buat saya ini terlalu mewah."
Clara Rondonuwu B ICARANYA pelan, hampir seperti ber bisik. Namun
demon strasi jalanannya kencang.

Oleh komite Kong Ha Award, Puput--panggilan akrab lelaki dengan
kacamata bingkai tebal gaya kutu buku ini--dijuluki `a voice in the
wilderness'. Suara yang terdengar di tengah belantara.

Mulai 1996, Ahmad Safrudin memutuskan turun berkampanye tentang
pembatasan bensin bertimbel. Di jalan-jalan Kota Jakarta, yang pada
era itu sudah jadi rimba polusi yang merisaukan.

"Dengan proses yang sangat panjang, kampanye itu baru selesai pada
2006, saat Indonesia secara nasional melakukan penghapusan timbel,"
katanya, berpidato di atas podium Suntec Convention Hall Singapura
awal bulan ini, ke hadapan ratusan peserta Konferensi Better Air
Quality 2010 yang menganugerahkan Kong Ha Award.

Kong Ha Award merupakan penghargaan tertinggi Asia bagi figur-figur
yang menciptakan formula kebijakan kualitas udara, beserta
implementasi hariannya. Sama seperti Kong Ha (1955-2007), yang
berjuang habis-habisan melesakkan kebijakan untuk mereduksi emisi dari
sumber bergerak di Hong Kong.

Penerima penghargaan dua tahunan itu sebelumnya adalah Shi Han Min,
direktur Biro Perlindungan Lingkungan Beijing, China. Itu alasan
mengapa Puput kaget, ketika sebulan lalu berhembus kabar bahwa
demonstrasi jalanan yang sering ia gelar di Bundaran HI, depan kantor
Kementerian ESDM, BP Migas, Pertamina, dan Kementerian Keuangan,
membuat namanya menyelip ke antara nama-nama kandidat Kong Ha Award
tahun ini.

"Seumur-umur saya belum pernah mendapat penghargaan. Itu sebabnya buat
saya ini terlalu mewah," katanya merendah. Kolaboratif, kreatif
Menurut Komite Kong Ha, penghargaan jatuh ke tangan Puput sebab ia
kandidat Asia terkuat dalam memainkan perannya untuk memajukan
kualitas udara Jakarta. Sayang, sosoknya kurang terkenal.

Puput bukan pejabat pemerintah, anggota DPR, eksekutif perusahaan
swasta, ataupun pembuat kebijakan. Tetapi hal itu bukan penghalang
baginya menolong pemerintah, merancangkan kebijakan dengan masukan
dari akademi serta ahli kualitas udara dan bahan bakar negeri ini.

Ia membentuk Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) pada 1996,
suatu kelompok advokasi penghapusan bensin bertimbel yang didukung
tiga lembaga swadaya masyarakat, yakni Indonesian Center for
Environmental Law (ICEL), Lemkohi, dan Wahana Lingkungan Hidup
Jakarta. Selanjutnya menggalang program Segar Jakartaku.

Dalam program tersebut, lima hal yang diagendakan.
Yakni meningkatkan kualitas bahan bakar, meningkatkan teknologi
kendaraan bermotor, meningkatkan manajemen lalu lintas, menetapkan
standar emisi, dan penegakan hukum.

Bentuk aksi dimulai dari kampanye ringan, pelatihan untuk mahasiswa,
untuk kelompok perempuan, serta pelatihan tentang dampak pencemaran
udara dan pencemaran timbal.
"Kami juga menggelar media briefing, kemudian turun ke jalan untuk
demonstrasi. Tuntutannya, bensin bertimbel harus dihapuskan."

Kata Puput, ketika ia menggulirkan aksinya, respons pertama pemerintah
ialah "Kita tidak punya dana, tidak ada uang untuk menghapus bensin
bertimbel."

Tetapi kemudian, Puput yang sarjana ekonomi Universitas Indonesia ini
menyodorkan hitung-hitungan. Bunyinya begini, di tahun 1999 Puput
menghitung Jakarta. Karena pencemaran timbel masyarakat harus
menanggung kerugian US$106 juta.

"Semua itu health cost (biaya kesehatan) atas hipertensi yang
menyerang orang tua, turunnya IQ anak-anak, keguguran pada ibu hamil,
gagal ginjal, gangguan fungsi saraf, dan turunnya fungsi reproduksi
laki-laki," imbuh dia.

Padahal, lanjut Puput, jika mau menghapus timbel, negara hanya perlu
dana US$40 juta untuk investasi memodifikasi kilang Pertamina. Masih
ditambah lagi keuntungan ekonomi dampak penghapusan tersebut.

Puput yang sempat menjadi Ketua Wahana Lingkungan Hidup ini
menggambarkan, saat Indonesia lambat melakukan penghapusan bensin
bertimbel sebagai dampaknya pada industri otomotif, kita baru siap
memenuhi standar emisi bahan bakar ramah lingkungan Euro 2 pada 2007.

"Sementara itu Thailand pada 1997 sudah mengadopsi Euro 2, sehingga
mulai 2002 pasar mobil Asia Tenggara mereka kuasai. Indonesia tergeser
ke posisi kedua di ASEAN, kadang kalah oleh Malaysia sehingga lebih
tersuruk ke posisi tiga."

Puput, yang yakin betul bahwa sejumlah isu lingkungan dipakai negara
maju sebagai bentuk trade barrier ini, ingin menegaskan bahwa
keuntungan ekonomi akan menghampiri saat pemerintah Indonesia mau
menghapus bensin bertimbel dan meningkatkan kualitas udara. "Industri
kita malah bisa mengadopsi teknologi lebih bagus sehingga bisa
memperoleh manfaat ekonominya," kata dia.

Begitu pula, rasionalisasi ini berhasil. Empat tahun lalu gagasan itu
dilesakkan ke dalam format kebijakan.

Seperti Kong Ha, pendekatan yang dipilih Puput dianggap kolaboratif
dan kreatif, ketimbang agresif dan dogmatis. Di saat yang sama, ia
tergolong sosok yang ngotot, tidak kenal berhenti, dalam
memperjuangkan agendanya dan melawan segala macam kepentingan di balik
isu ini.

"Ia menjungkirbalikkan penundaan yang berulang kali dilakukan
pemerintah negaranya dalam pengenalan bensin tanpa timbel. Kombinasi
ini yang memampukannya menjalin kemitraan dan dukungan publik yang
diperlukan," jelas komite Kong Ha Award, yang juga menghadiahi Puput
uang tunai sebesar US$10 ribu (sekitar Rp90 juta). (M-1)

AHMAD SAFRUDIN LAHIR Ngawi, 5 Oktober 1966 PENDIDIKAN · Sarjana
Ekonomi Universitas Indonesia KARIER (ANTARA LAIN) · Koordinator
Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (1999-sekarang) · Ketua Pusat
Informasi Timbel Indonesia (2001-sekarang) · Ketua Tim Studi dan
Analisis Kebijakan untuk Manfaat Bahan Bakar Gas untuk Sektor
Transportasi di Indonesia (2009-sekarang) · Pendiri Forum Udara Bersih
Indonesia · Direktur Eksekutif Walhi (1996-1999 dan 1999-2002)

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/11/24/ArticleHtmls/24_11_2010_022_010.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: