Beruntung Gayus HP Tambunan masih hidup. Bagaimana seandainya dia
dibunuh saat ”pelesiran” ke Bali atau sebelumnya, saat-saat mangkir
dari Rumah Tahanan Brimob Kelapa Dua?
Pertanyaan ini bukan mainmain. Mengingat spektrum kasus ”mafia pajak”
sekaligus ”mafia peradilan” Gayus HP Tambunan (sebut saja Gayus)
sangat luas dan melibatkan banyak pihak, bukan tidak mungkin ada pihak-
pihak yang terkait dengan kasus Gayus ingin aman dengan cara
menghabisi Gayus.
Sejumlah pengamat dan pengacara Gayus, Adnan Buyung Nasution, menilai
proses peradilan Gayus tidak mengungkap semua pihak yang terkait. Tak
semua wajib pajak penyuap Gayus diungkap di pengadilan.
Yang terkait dengan kasus Gayus selain para wajib pajak yang belum
sempat disebut di pengadilan, bisa juga para pegawai pajak atasan
Gayus, para jaksa, para polisi, dan para hakim yang terkait dengan
rekayasa pajak dan rekayasa peradilannya. Sebagaimana diberitakan
media massa, polisi yang dinyatakan bersalah dalam perekayasaan
peradilan Gayus dan sudah divonis baru Komisaris Polisi Arafat dan
Ajun Komisaris Polisi Sri Sumartini, di pihak hakim yang mengadili
hanya Ketua Majelis Hakim Muhtadi Asnun yang dijatuhi hukuman, belum
ada jaksa yang dijatuhi hukuman.
Belum lagi yang berkaitan dengan bocornya rencana tuntutan hukuman
Gayus yang sedang dalam proses penyidikan, dan yang terlibat upaya
rekayasa dalam rangka merintangi penyidikan kasus Gayus dan seterusnya
dan seterusnya.
Pertanyaan di atas juga muncul karena menurut pengakuan Gayus maupun
Kepala Rutan Brimob Komisaris Polisi Iwan, Gayus berkali-kali keluar
tahanan tanpa pengawalan petugas dari Rutan Brimob sebagaimana
mestinya. Karena itu, jika ada pihak yang ingin menghabisinya bisa
melakukannya dengan sangat mudah tanpa terlacak jati dirinya. Dengan
demikian, tamatlah riwayat penuntasan ”mafia pajak” dan ”mafia
peradilan” yang selama ini menyita perhatian kita dan melibatkan
Satgas Anti Mafia Hukum, kepolisian, kejaksaan dan lain-lain.
Bisa buntu
Yang terjadi seandainya Gayus dibunuh, semua pengusutan kasus mafia
pajak dan mafia peradilan bisa buntu. Orang-orang yang terlibat
(”mafioso”) dalam kasus Gayus, baik dalam perpajakannya, penyidikan di
kepolisian, penuntutan di kejaksaan, peradilan di pengadilan,
pemberian izin ”pelesiran” di rutan, semuanya bisa lolos. Dan yang
terpenting, kasus Gayus gagal dijadikan momentum untuk memberantas
”mafia perpajakan” dan ”mafia peradilan”.
Kita kembali melihat mengapa Gayus dan para terdakwa lainnya ditahan
dalam rumah tahanan. Dalam bahasa yang lebih umum, apa sebenarnya
tujuan penahanan. Pasal 21 (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) kita mengatur ada tiga alasan penahanan. Pertama, agar
terdakwa tidak melarikan diri; kedua, agar tidak menghilangkan barang
bukti; dan ketiga, agar tidak mengulangi perbuatannya. Dengan begitu
mudahnya Gayus meninggalkan rutan dan tanpa pengawalan, kemungkinan
melarikan diri dan menghilangkan barang bukti itu begitu gampang
dilakukannya. Dengan demikian, tujuan penahanan di rutan tidak
tercapai lagi.
Nyatanya Gayus tidak melakukan ketiga hal tersebut. Dia berkali-kali
keluar rutan dan berkali-kali kembali lagi. Kalau saja dia tidak
terjepret fotografer harian Kompas, barangkali dia masih akan
mengulang lagi keluar masuk tahanan tanpa diketahui publik.
Tetapi bagaimana jika seandainya Gayus dibunuh atau mengalami
kecelakaan dan meninggal? Maka, kasus tewasnya Nasrudin Zulkarnanen,
Direktur PT Rajawali Banjaran, yang melibatkan Ketua KPK Antasari
Azhar, akan terulang. Dalam kasus tewasnya Nasrudin, banyak sisi gelap
tentang isu pelemahan KPK yang tidak terungkap. Dalam kasus Gayus ini,
seandainya Gayus dibunuh, banyak kasus di seputar ”mafia perpajakan”
dan seputar ”mafia peradilan” hanya menjadi cerita tak berujung. Para
”mafioso” akan menari-nari dan bebas melakukan praktik permainan pajak
dan permainan peradilan bersama ”Gayus-Gayus” lainnya.
Tak tepat sasaran
Setelah kecolongan ”pelesiran” Gayus dari rutan lalu ada gerakan ramai-
ramai para akademisi dan praktisi dengan mensimplifikasikan solusi
”pemiskinan” terhadap para tahanan atau narapidana koruptor agar
mereka tidak bisa seenaknya mengatur para oknum penegak hukum. Tentu
usulan ini tidak tepat sasaran, terutama dalam konteks Gayus, karena
belum pasti orang seperti Gayus itu keluar tahanan atas kehendak dan
biaya sendiri.
Dalam kasus-kasus korupsi yang melibatkan banyak pihak dan berskala
besar bisa dipastikan banyak pihak yang mempunyai kepentingan. Selama
dapat mengamankan dirinya dan menyelamatkan praktik busuknya dengan
mengeluarkan dana berapa pun bagi mereka tidak menjadi soal. Mungkin
bagi mereka dana yang dikeluarkan untuk ”rekanan koruptor” itu
dianggap sekadar pengeluaran dana taktis atau dana pengembangan usaha.
Yang terpenting bagi mereka bisa melangsungkan usaha dan terlepas dari
ancaman penjara. Bukankah dalam kamus kejahatan berlaku rumus
kebohongan yang satu ditutup dengan kebohongan lainnya, kejahatan
ditutup dengan kejahatan pula. Bahkan, kalau perlu, membunuh pun bisa
jadi pilihan.
IMAM ANSHORI SALEH Mantan Anggota Komisi III DPR RI
http://cetak.kompas.com/read/
0 komentar:
Posting Komentar