BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Mengakhiri Tradisi Amuk

Written By gusdurian on Jumat, 21 Agustus 2009 | 12.44

Mengakhiri Tradisi Amuk

SEMUA bangsa, negara dan umat beragama pernah memiliki potret hitam
pekat pada masa lalu.Mereka memiliki jejak rekam panjang terlibat
tindakan sadisme, perkelahian, pertempuran, dan saling bunuh secara kejam.

Bahkan dalam banyak kasus keyakinan agama malah ikut memberikan amunisi
semangat tempur dan gairah untuk memusnahkan umat yang berbeda dengan
mengatasnamakan Tuhan. Umat Yahudi, Kristen, dan Islam memiliki andil
menorehkan sejarah hitam dalam sejarah yang kemudian diberi label perang
suci (holy war). Bahkan sesama umat Kristen dan Islam juga memiliki
catatan panjang bagaimana mereka saling bunuh atas nama keyakinan untuk
membela Tuhan.

Sekarang saja hubungan antara Protestan dan Katolik tampak damai di
bawah kekuasaan dan kendali hukum negara. Begitu pun kalau membaca
bukubuku sejarah Islam, berlembarlembar penuh dengan cerita konflik
antardinasti dan antarmazhab.Permusuhan antara Bani Abbasiyah yang
berpusat di Baghdad dan Umayyah yang berpusat di Andalusia seakan
memberikan legitimasi historis bahwa usaha untuk memajukan Islam selalu
saja dibarengi dan dinodai oleh tradisi kekerasan.

Penaklukan Tariq bin Ziyad ke Spanyol (711 M) selalu dihidupkan sebagai
sumber inspirasi dan motivasi untuk mengobarkan pertempuran melawan
orang-orang kafir. Ketika dunia Islam masih hidup dalam masyarakat
agraris di bawah kekuasaan sultan,kekuatan massa yang dipadu dengan
ideologi misionarisme keagamaan dan semangat penaklukan wilayah baru
hasilnya sungguh luar biasa.Abad tengah praktis abad dunia Islam; di
saat dunia Barat,yaitu Eropa,masih gelap dan disibukkan oleh perang
antaretnis dan sekte agama.

Namun, rupanya dunia Barat belajar banyak dari dunia Islam dan dari
sejarah masa lalunya yang berdarah- darah dengan peperangan. Solusi
mereka adalah memperkuat negara bangsa (nation state) dengan pilar
lembaga pendidikan yang maju dan kuat, menegakkan supremasi hukum, dan
memperkuat ekonomi berbasis ilmu dan teknologi modern. Dengan demikian,
ketika terjadi konflik, maka penyelesaiannya melalui pranata dan lembaga
hukum negara, bukan lagi dengan adu kekuatan fisik dengan menggalang
solidaritas etnis dan kelompok keagamaan.

Demokrasi telah memungkinkan terjadinya kontrol masyarakat pada
penguasa, pergantian kepemimpinan secara reguler dan transparan, serta
memberi peluang warga negara untuk berkompetisi secara cerdas dan
terbuka untuk merebut kursi kepemimpinan negara. Saya jadi teringat
seorang warga Arab yang telah menjadi warga negara Amerika
Serikat,ketika menjawab pertanyaan saya, mengapa di Timur Tengah sering
bergejolak dan nyawa begitu murah?

Dia menjawab, di negara yang memiliki tradisi berdemokrasi secara dewasa
dan kokoh, setiap warga negara berhak bicara dan memperjuangkan
gagasannya secara terbuka melalui saluran politik yang tersedia.Karena
mulut dan pikiran terbuka,maka emosi menurun dan tangan menjadi rileks,
lalu nalar kritis yang maju. Sebaliknya, di negara yang menutup aspirasi
warganya,maka tangan mengeras, emosi tinggi dan penyalurannya adalah
kemarahan serta tindakan kekerasan.

Jadi, perpaduan antara kebebasan berpendapat, ketegasan hukum,
pendidikan yang bagus dan merata, pada urutannya akan mendongkrak
kemajuan teknologi modern dan kesejahteraan ekonomi warganya.Dalam
konteks ini nilai-nilai agama menjadi sumber inspirasi, panduan moral,
dan dasar keimanan.Namun, mekanisme dan konstruksi sosialpolitik diatur
dengan undangundang dan hukum positif berdasarkan aspirasi dan
partisipasi warga melalui tahapan pemilihan umum untuk memilih wakil
rakyat dan kepala negara.

Dalam kaitan ini,ketika terjadi terorisme ada beberapa kemungkinan yang
jadi penyebabnya.Para teroris itu pasti memiliki musuh yang menimbulkan
rasa putus asa, yang lantas mengintensifkan kekecewaan dan kemarahan,
sehingga memerlukan waktu dan cara untuk melampiaskan.Kalau saja mereka
memperoleh penyaluran melalui partai politik,itu lebih baik karena
terbuka, meski aspirasi yang dibawakan awalnya pasti ekstrem.

Mereka itu pasti bukan warga negara yang baik,bahkan mungkin tidak
memahami dan menyadari bahwa saat ini kita hidup dalam rumah yang
bernama negara,yang undang-undang dan kepentingannya bisa mengalahkan
dalil agama. Karena itu,negara Arab Saudi pun mewajibkan paspor bagi
warga asing dan tidak boleh tinggal di masjid, meski seseorang ke sana
untuk berhaji. Di Saudi, untuk menjadi khatib di masjid harus memperoleh
izin dari penguasa, meski dakwah adalah kewajiban bagi setiap muslim.

Saya sendiri sering termenung, mengapa dunia Islam selalu menjadi sumber
pemberitaan terjadinya peperangan dan sekarang terorisme, sementara
Eropa jadi ajang pesta olahraga dan seni budaya. Ketikadi Timur
Tengahterjadi baku hantam bunuh-membunuh,di Eropa warisan lama saling
membunuh itu telah dijinakkan dan dialihkan menjadi ”pembunuhan” di
lapangan bola yang sekaligus lahan bisnis dan tontonan yang menarik bagi
masyarakat dunia.

Memang ada benarnya, faktor Israel yang didukung Amerika Serikat (AS)
ikut menciptakan kericuhan berkepanjangan di kawasan Timur Tengah.Tetapi
hal ini juga menunjukkan bahwa dunia Islam gagal membangun institusi
negara, institusi ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, dan militer,
sehingga dilecehkan Barat.Dulu di masa Rasulullah,energi dan tradisi
konflik antarsuku disatukan menjadi kekuatan besar,lalu diarahkan untuk
membangun peradaban, sehingga melahirkan kohesi raksasa yang disegani dunia.

Peradaban, ekonomi, dan militer sangat kuat. Sekarang ini situasinya
kembali lagi ke masa pra-Rasulullah Muhammad,yaitu munculnya rajaraja
kecil yang saling berebut kekuasaan dan pengaruh, sehingga mudah diadu
domba kekuatan luar.Situasi ini pula yang terjadi di Nusantara sebelum
kemerdekaan, hingga muncullah Sumpah Pemuda dan dikukuhkan oleh
Proklamasi Kemerdekaan 1945. Di Eropa justru terjadi arus balik,
sehingga muncul Uni Eropa.

Dari sekian banyak negara-negara muslim,Indonesia memiliki sejarah dan
kondisi geografis yang sangat berbeda.Indonesia merdeka berkat
partisipasi warga masyarakat yang beragam suku, bahasa, dan agama, lalu
mengikatkan diri sebagai warga dan bangsa Indonesia untuk melawan
penjajah.Keindonesiaan dan keislaman menjadi identitas dan tali pengikat
Nusantara dengan memberikan ruang terhormat bagi pemeluk agama lain yang
posisinya sejajar di depan hukum.

Warisan para founding fathers yang mayoritas tokoh muslim ini mesti kita
jaga. Tradisi ramah, damai, toleran adalah identitas keberislaman
Indonesia,yang sejak awal mula kedatangannya tidak melalui jalan perang.
Jadi, tradisi amuk, teror, dan berontak atas nama Islam haruslah berakhir.

Mari kita ciptakan perdamaian dan peradaban luhur, sehingga Indonesia
yang dikenal sebagai “the largest and the most democratic muslim
country”ini bisa memberikan kontribusi pada dunia Islam dan masyarakat
dunia bahwa Islam itu agama pembawa rahmat, bukan fitnah dan laknat.
Ironisnya, oleh kelompok “radikalis-literalis” itu Pemerintah Indonesia
dianggap pro-Barat karena memperjuangkan demokrasi, sementara oleh Barat
demokrasi Indonesia diragukan karena selama ini Islam dan demokrasi
dianggap berseberangan.

Rasanya para pendiri bangsa sudah melihat persoalan ini sejak awal,
sehingga ideologi Pancasila merupakan terobosan yang sangat jenius dan
visioner,sehingga Islam dan demokrasi bisa berkembang di negeri ini, di
saat dunia Islam lain masih bergulat dengan persoalan sangat serius:
bagaimana menyelesaikan ketegangan panjang antara Islam dan negara
kebangsaan serta dinastiisme yang masih kuat di Timur Tengah.(*)

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor UIN Syarif Hidayatullah


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/264189/38/

Mengkaji Ulang Kepemilikan Asing di Bank

Mengkaji Ulang Kepemilikan Asing di Bank

Bank Indonesia (BI) akan mengkaji ulang kepemilikan asing pada perbankan
nasional.Sekitar 13 bank nasional kini mayoritas sahamnya dipeluk
asing,antara lain oleh investor dari Singapura, Malaysia,
Inggris,Australia, India, China.


Apa saja yang patut dikaji ulang? Banjir kepemilikan asing melanda
Indonesia sejak krisis moneter pada 1998, ketika keran kepemilikan
diperlonggar dari maksimal 49% menjadi 99%. Negeri ini menjadi surga
bank global.Bukan main. Manfaatnya? Ada pandangan yang mengatakan bahwa
masuknya asing akan menggairahkan perbankan nasional. Betul. Namun,
siapa yang mampu menjamin bahwa keuntungan mereka tidak lari ke luar
negeri?

Siapa yang akhirnya menikmati madu bisnis finansial dari Tanah Air?
Lirik saja,nilai aset bank asing dan bank yang sebagian besar sahamnya
digenggam asing per akhir Juni 2009 senilai Rp865,08 triliun setara
dengan 34,7% dari total aset perbankan yang mencapai Rp2.496,2 triliun.
Ini belum lagi banjir dana pada saham dan surat utang negara (SUN).
Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) mencatat hingga 6 Agustus 2009,
total nilai kepemilikan asing di saham mencapai Rp 715,9 triliun.

Jumlah ini setara 66,1% dari total nilai saham yang tercatat di KSEI
sebesar Rp1.083,1 triliun. Angka ini lebih tinggi ketimbang posisi akhir
Juni 2009 yang mencapai Rp613,6 triliun atau 65,68%. Investor asing juga
terus memburu SUN yang kini mencapai Rp90,98 triliun per 6 Agustus 2009.
Untuk itu, kini memang saatnya BI mengkaji ulang kepemilikan asing.
Terdapat beberapa hal yang patut dipertimbangkan untuk dikaji ulang.

Pertama, suka tidak suka kepemilikan asing harus dibatasi, misalnya
maksimal 40%. Bagaimana di negara lain? China,negara raksasa dengan
pertumbuhan ekonomi positif tertinggi 6,1% dan 7,9% masing-masing pada
kuartal I dan II 2009, membatasi kepemilikan asing di perbankannya
maksimal 25%. Apa manfaatnya? Negara masih menguasai mayoritas saham
sehingga dapat mengendalikan arah bisnis perbankan nasional.Jangan
lupa,bank nasional merupakan salah satu jeruji yang menopang dan
menggerakkan roda perekonomian nasional.

Namun, kini sebagian besar jeruji itu berada dalam pelukan asing.
Kondisi saat ini bak menegaskan bahwa bank asing alias bank yang
mayoritas sahamnya dikuasai asing disetir kantor pusatnya. Salah? Oh
tidak, mengingat pemilik mayoritas saham memang bertindak sebagai
pemegang saham pengendali. Maka tidak aneh,meski BI Rate terus menipis
hingga 300 basis poin (bp) dari Desember 2008 sampai Agustus 2009 yang
bertujuan untuk menekan bunga kredit, tapi bank yang sahamnya mayoritas
dimiliki asing—atau kita sebut saja “bank asing”—tetap
bergeming.Alhasil, suku bunga acuan itu menjadi mandul.

BI pun pening tujuh keliling, sehingga kini sedang memikirkan formula
untuk menggugah bank nasional agar mau menurunkan bunga kredit secara
signifikan. Kedua,Arsitektur Perbankan Indonesia (API) pun perlu ditata
kembali, antara lain dengan memasukkan butir batas kepemilikan asing
pada perbankan nasional. Bagaimana yang sudah telanjur melebihi batas
maksimal kepemilikan asing?

Sahamnya dapat dilepas sesuai dengan mekanisme pasar. Bahkan pemerintah
pun bisa membeli kembali (buy back) saham tersebut. Pada 2010,bank
nasional wajib memenuhi modal inti (tier I) minimal Rp100 miliar dan
penerapan Basel II dengan rasio kecukupan modal (capital adequacy
ratio/CAR) 12%. Kewajiban ini secara tidak langsung akan memicu lahirnya
merger atau akuisisi bagi bank nasional papan bawah.

Ketika pemegang saham pengendali tidak mampu menambah modal, mereka
bakal melakukan merger, bahkan diakuisisi oleh investor asing.Waktu
terus berjalan tanpa bisa distop. Karena itu, BI dituntut untuk segera
merevisi API terkait dengan batas kepemilikan asing tersebut. Ketiga,
ada pendapat yang menyatakan bahwa “bank asing” lebih banyak bermain di
kredit konsumsi daripada di kredit modal kerja dan investasi.Mengapa?

Karena kredit konsumsi lebih rendah potensi risikonya sehingga hampir
semua bank nasional terjun untuk menggarap segmen yang legit ini. Maka,
sungguh wajar ketika suku bunga rata-rata segmen kredit konsumsi justru
melejit dari 15,98% per Mei 2009 menjadi 16,07% per Juni 2009. Padahal,
segmen kredit modal kerja dan investasi justru menipis masing-masing
dari 14,27% menjadi 14,04% dan dari 13,50% menjadi 13,34% pada periode
yang sama (Statistik Perbankan Indonesia, BI,Juni 2009).

Karena itu, API juga perlu menggariskan bahwa setiap bank nasional wajib
menyalurkan kredit per segmen dengan porsi tertentu. Katakanlah,kredit
konsumsi maksimal 20% sehingga kredit modal kerja dan investasi dapat
terdongkrak naik secara signifikan. Secara agregat, kredit konsumsi
lebih cenderung bersifat konsumtif,sehingga kurang trengginas dalam
menggerakkan ekonomi nasional. Ini berbeda dari kredit modal kerja dan
investasi yang lebih bersifat produktif.

Bank nasional juga wajib menyalurkan kredit ke usaha menengah, kecil dan
mikro (UMKM) minimal 20% yang dulu pernah diterapkan. Sektor UMKM yang
terkenal kokoh ternyata terpeleset. Artinya, kredit bermasalah
(nonperforming loan/NPL) pun melejit 1,42% dan 14,01% masing-masing pada
kelompok bank pembangunan daerah (BPD) dari Rp1.666 miliar menjadi
Rp1.690 miliar dan bank asing dan campuran dari Rp1.890 miliar per Mei
2009 menjadi Rp2.198 miliar per Juni 2009.

Adapun NPL UMKM pada kelompok bank persero dan bank swasta nasional
membaik masing-masing 3,23% dan 3,20% per Juni 2009. Kewajiban tersebut
diharapkan mampu mengangkat penyaluran kredit usaha rakyat (KUR) yang
hanya mencapai Rp2,26 triliun per semester I/2009. Ini jauh di bawah
target pemerintah Rp20 triliun pada akhir 2009.

Dengan demikian,mimpi bank nasional menjadi tuan rumah di negeri sendiri
bakal segera terwujud. Bank nasional perkasa di tengah sengitnya
persaingan perbankan, bukan sebagai pemain cadangan, bahkan menjadi
penonton ketika bank asing dan ”bank asing”berbisnis ria.(*)

Paul Sutaryono
Pengamat & Praktisi Perbankan


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/264066/

Para Hulubalang

Para Hulubalang
Oleh Toeti Adhitama Anggota Dewan Redaksi Media Group



PASANGAN Dr Susilo Bambang Yudhoono dan Prof Dr Boediono telah resmi
dinyatakan KPU sebagai presiden dan wakil presiden terpilih untuk
2009-2014. Kami mengucapkan selamat. Rasanya lega setelah ketegangan
pileg dan pilpres yang cukup lama dan merepotkan pikiran. Ditambah lagi
kecemasan dan kekesalan akibat perbuatan tercela orang-orang yang
mengail di air keruh, termasuk ledakan bom 17 Juli di Jakarta. Sekarang
keributan itu sudah berlalu. Semoga. Yang tersisa adalah usaha
pembenahannya sambil mengantisipasi apa yang terjadi the morning after.
Nenek moyang yang menciptakan peribahasa `Ada gula ada semut' amat bijak.
Kalimat singkat dan sederhana itu memiliki makna dalam-sedalam
interpretasi yang kita berikan.
Gula bisa berarti sumber kehidupan, kekayaan, kekuasaan maupun daya
tarik bentuk lain.
Gula bisa berarti sumber kehidupan bila merujuk ke Jakarta sebagai pusat
urbanisasi. Gula juga mengibarat- kan kekayaan atau kekuasaan ketika
para tokoh kaya raya atau yang punya kuasa dikerumuni orang-orang yang
mengharapkan sesuatu dari mereka. Begitu pula daya tarik lain-lain yang
dipuja banyak orang. Itulah yang sedang terjadi.

Maka berbahagialah mereka-mereka yang diibaratkan gula. Namun, setelah
manisnya habis, mereka pun terbuang. Itu berlaku bagi setiap orang.
Editorial Media Indonesia pada Selasa 18 Agustus memilihnya sebagai
topik: JK yang kalah dalam pemilihan capres terkesan dibelakangi
orang-orang yang sebelumnya membuntuti di kabinet atau mungkin juga di
urusan politik lainnya. Apakah wajar? Jawab JK, "Tidak wajar, tetapi
manusiawi." Habis perkara. Itu rupanya adat manusia. Pemimpinpemimpin
besar yang habis kuasanya di waktu lalu pun menjadi korban
ketidakpedulian. Bung Karno dan Pak Harto, contohnya. Ditambah dengan
ungkapan guilty by association (dianggap ikut bersalah bila mendekati),
semakin jaranglah orang-orang yang berani mendekati mereka yang
tersingkir. "Itulah politik," kata yang sinis.

Dua sisi mata uang "Politics at its best is a noble quest for a good
order and justice. At its worst politics is a selfish grab for power,
glory and riches."(Peter H Merkle, Continuity and Change, Harper and
Row, NY 1967). Politik, seperti uang logam, memiliki dua sisi. Dalam
bentuknya yang terbaik, dia adalah usaha mulia untuk menciptakan ta
tanan sosial yang baik dan adil. Dalam bentuknya yang terburuk, dia
menjadi alat merebut kekuasaan, kejayaan dan kekayaan untuk kepentingan
pribadi. Ungkapan itu dikutip Miriam Budiardjo (alm), penulis buku
Dasar-Dasar Ilmu Politik (1977) dalam pidatonya di upacara penganuger
ahan gelar doktor honoris causa dari Universitas Indonesia, Desember
1997. Pidato itu mengu pas soal akuntabilitas dalam ilmu politik.

Intinya menegaskan bahwa dalam negara demokrasi, akuntabilitas perlu
terjaga. Dia menunjukkan lembaga-lembaga mana yang se harusnya
menjalankan fungsi tersebut, ter masuk MPR dan DPR. Faktanya, sebagai
masyarakat de mokratis, kita memang masih lemah dalam akuntabilitas. Ini
antara lain mencerminkan bahwa dalam berpolitik, kebanyakan cenderung
memilih sisi buruknya. Politik dianggap kendaraan menggapai kekuasaan
atau kekayaan. Segala cara dilakukan untuk itu. Tidak ada ewuh-pakewuh.
Ramainya politik dagang sapi di kalangan partai-partai politik dan
politik uang dalam pileg dan pilpres membuktikannya.

Idealnya, partai-partai politik di negara demokrasi menjadi perantara
antara rakyat dan pemimpin-pemimpin yang mereka pilih. Lewat
partai-partai politik, rakyat ikut menentukan jalannya pemerintahan.
Dalam sistem kepartaian yang ideal, hanya dua partai atau lebih yang
bersaing lewat pemilihan umum. Tujuannya, mendapatkan kekuasaan agar
bisa menjalankan gagasan masing-masing. Menurut teori, ada atau tidaknya
sistem kepartaian itu menentukan apakah pemerintahan yang ada bersifat
demokratis atau totaliter. Dalam pemerintahan demokratis, sistem
kepartaian memberikan kebebasan penuh kepada konstituen untuk membuat
pilihan.
Timbul kesulitan bila jumlah partai berlebihan sehingga tidak ada
mayoritas yang efektif. Di Indonesia, yang kemudian terjadi adalah
pembentukan koalisi-koalisi. Bagaimana bentuk final ke depannya dan
kelancaran operasionalnya masih harus kita tunggu.

Kita tunggu siapa-siapa dan dari partai-partai apa yang akan terpilih
untuk mengisi lingkaran kekuasaan di keliling kepala negara. Siapa para
hulubalang raja?
Peran para hulubalang Alkisah, di zaman raja-raja di masa silam, seorang
raja memilih para hulubalang untuk membantu dan melayaninya dalam
menjalankan kekuasaan. Berhasil tidaknya pemerintahan seorang raja
bergantung pada rasa hormat, kesetiaan, kepatuhan, kemampuan, dan
keterampilan para hulubalang. Rasa hormat disebut yang pertama karena
dalam organisasi sekecil atau sebesar apa pun, yang penting pimpinan
harus mendapatkan rasa hormat, kesetiaan, dan kepatuhan mereka yang di
bawahnya. Wajar bahwa yang dipilih adalah orang-orang yang memiliki
kemampuan dan keterampil- an. Situasi itu masih berlaku sampai sekarang.
Dalam masyarakat modern yang kompleks, kepemimpinan suatu organisasi,
termasuk organisasi politik seperti negara.
Sudah menjadi sangat teknis sifatnya. Situasi menuntut pimpinan memiliki
lingkaran kekuasaan yang diisi ahli-ahli di berbagai bidang sehingga
kepemimpinannya mampu merespons situasi yang terus berubah dan sering
menimbulkan tekanan-tekanan. Pimpinan dituntut mampu terus-menerus
menyesuaikan diri, begitu pula lembaga yang dipimpinnya. Kekompakan
menjadi keharusan karena itu menjadi hak prerogatif pimpinan untuk
menentukan siapa-siapa yang masuk dalam lingkaran kekuasaan sebagai
pembantunya, sebagai hulubalangnya. Citra pimpinan ditentukan citra para
hulubalangnya. Kita ingat betapa agungnya aura Pak Harto berkat bantuan
para hulubalangnya.
Dalam kebijakan ekonomi, misalnya, kelompok hulubalang itu dinakhodai
Widjojo Nitisastro.
Gelar bapak pembangunan diperoleh presiden kedua berkat kelompok itu.
Dalam manajemen ada ungkapan, "An eagle flies alone". Dalam mengambil
keputusan terakhir memang pemimpin tertinggi yang menentukan. Sebab
dialah yang memimpin dalam proses pengambilan keputusan. Namun, dalam
operasional sehari-hari, para hulubalang yang seharusnya banyak menentukan.

Oleh karena itu, ketika lagu Indonesia Raya tidak berkumandang sebelum
pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di DPR dalam rangka perayaan 17
Agustus, bukan Agung Laksono yang alpa, melainkan para hulubalangnya
yang teledor. Itu sekadar contoh. Dalam organisasi-organisasi lain pun,
besar atau kecil, sama keadaannya. Bila para hulubalang salah atau
meleset dalam pertimbangan bisa membuat kesalahan fatal yang
mencelakakan pimpinan. Para hulubalang bukan hanya menentukan citra,
melainkan juga nasib pimpinannya.
Mutu seorang pimpinan dapat diperkirakan dari mutu jajaran hulubalang
yang dipilihnya.
The 1st class chooses the 1st class. The 2nd class chooses the 2nd
class. Pemimpin yang kuat memi lih orang-orang kuat sebagai pembantulih
orang-orang kuat sebagai pembantu nya. Dia tidak akan memilih anak buah
yang lemah dan ikut-ikutan. Situasiyang lemah dan ikut-ikutan. Situasi
nya tidak beda dengan di masa silam. Kejayaan seorang raja adalah
kepiawaian para hulubalangnya. Se baliknya, kelemahan para hulubalangnya
mencergnya mencerminkan kele mahan se orang raja.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/08/21/ArticleHtmls/21_08_2009_004_001.shtml?Mode=0

Terjadi Perdebatan Tajam Antarelite

Terjadi Perdebatan Tajam Antarelite

JAKARTA (SI) – Usulan agar pemilihan gubernur dipilih langsung oleh DPRD
atau presiden melahirkan berbagai spekulasi.Bahkan,terjadi perdebatan
yang sangat tajam di kalangan elite politik.


Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menilai bahwa perubahan sistem pemilihan
gubernur oleh DPRD tidak melanggar asas demokrasi berdasarkan UUD 1945.
Karena itu, dia menilai tidak perlu dilakukan amandemen UUD jika
pemilihan gubernur dikembalikan ke sistem semula melalui DPRD.Menurut
dia, dalam UUD tidak disebutkan bahwa kepala daerah dipilih secara
langsung.”UUD hanya menyebutkan, kepala daerah dipilih secara demokratis.

Itu bisa diartikan bahwa pemilihan demokratis itu bisa dilakukan secara
langsung atau secara perwakilan,” katanya di Gedung DPR/MPR, Jakarta,
kemarin. Sebaliknya,Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Ginandjar
Kartasasmita menilai pemilihan gubernur oleh DPRD merupakan sebuah
kemunduran.Menurut dia, mekanisme tersebut tidak sejalan dengan semangat
demokrasi dan justru akan membawa Indonesia kembali ke rezim Orde Baru
(Orba). ”Pemilihan kepala daerah (pilkada) itu kanharus demokratis.Itu
artinya dipilih langsung oleh rakyat.

Kalau dipilih DPR, itu seperti Orde Baru saja.Waktu itu kan presiden
dipilih oleh MPR. Kita tentu tidak ingin demokrasi yang telah melangkah
lebih maju ini mundur kembali,” katanya di Gedung DPD,Jakarta,kemarin.
Mantan Menteri Pertambangan dan Energi era Orba ini menilai, untuk
menekan mahalnya biaya yang harus ditanggung pemerintah dalam model
pemilihan langsung, cukup dilakukan penggabungan pilkada dan pemilu
anggota legislatif.

Dengan penggabungan ini, dalam lima tahun hanya akan ada tiga kali
pemilihan langsung, yaitu pemilihan legislatif, pilkada, dan pemilihan
presiden (pilpres). Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Ferry
Mursyidan Baldan sependapat dengan Ginandjar. Dia menilai,usulan untuk
mengembalikan pemilihan gubernur ke DPRD merupakan kemunduran dalam
proses demokrasi di Indonesia.Alasannya, hal tersebut berpotensi
melemahkan posisi politik gubernur.

”Pelemahan ini akan melahirkan suatu rentang pemerintahan yang terlalu
luas,dan menjadikan pemerintahan yang tidak efektif,” katanya kepada
wartawan di Gedung DPR kemarin. Menurut politikus Partai Golkar ini, hal
yang harus dilakukan adalah bagaimana evaluasi terhadap pelaksanaan
pemilihan gubernur sebagai bagian dari pilkada. Jika alasannya untuk
efisiensi, maka diperlukan langkah untuk menyederhanakan jadwal
pelaksanaan pilkada. Misalnya, tiap kurun waktu 5 tahun (2009–2014)
hanya ada dua hari untuk pelaksanaan pilkada.

Dia mengusulkan jadwal pilkada untuk gubernur dan bupati- /wali kota
diserentakkan di seluruh Indonesia, dengan masa transisi untuk kurun
waktu 2009–2014. ”Yang harus direformulasi adalah bagaimana
mengefisienkan proses pilkada dan bagaimana mengefektifkan pemerintahan
pascapilkada tanpa harus menimbulkan implikasi yang luas terhadap bentuk
pemerintahan,” ujar anggota Komisi II ini.

Ferry menegaskan, pemilihan bukan untuk pemilihannya semata tapi sarana
atau cara untuk membentuk pemerintahan. Untuk mewujudkan pilkada
serentak, dia mengusulkan revisi UU Pemda. Jika tidak memungkinkan, maka
pemerintah bisa mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti
undang-undang, khususnya yang berkaitan dengan pengangkatan penjabat
sementara terhadap kepala daerah yang habis masa jabatannya.

Menanggapi kontroversi mengenai pemilihan gubernur oleh DPRD tersebut,
Hidayat Nur Wahid menjelaskan sejumlah alasan. Menurut dia, pemilihan
gubernur oleh DPRD akan mencegah berbagai praktik kecurangan yang kerap
terjadi baik dalam proses pemilihan umum (pilkada) maupun pemilihan
kepala daerah (pilkada). Dia menyebutkan salah satunya adalah praktik
politik uang.

Dalam pemilihan langsung, politik uang dinilai sulit dilacak dan
dikontrol. Selain melibatkan oknum partai politik, juga bersentuhan
dengan berbagai macam kelompok masyarakat. ”Akan makin banyak yang harus
diawasi.Ini tentu akan makin menyulitkan untuk menekan politik uang.
Terbukti dengan pemilihan langsung itu kan masih marak saja politik
uang. Bahkan, jumlahnya makin besar,” katanya di Gedung
MPR,Jakarta,kemarin.

Jika pemilihan gubernur dilakukan DPRD, politik uang lebih mudah dilacak
dan diawasi terutama oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). ”Saat Orde
Baru (Orba), sebelum pemilihan gubernur anggota DPRD itu dikarantina.
Mereka dilarang untuk melakukan pertemuan dengan orang luar selama
proses pemilihan itu berlangsung,” katanya. Untuk menghindari praktik
politik uang,menurut dia,sebelum anggota DPRD dikarantina, mereka harus
menyerahkan rekening mereka.

”Lalu tempatkan anggota KPK di sana. Umumkan bahwa KPK telah menyadap
semua telepon mereka dan mengawasi aliran uang ke rekening mereka.
Dengan cara itu, saya kira politik uang bisa ditekan,”ujarnya.
Selanjutnya, dia menyebutkan bahwa pemilihan gubernur secara langsung
akan menjamin sistem keamanan.

Dibanding pemilihan secara langsung, dia menilai lebih berpeluang
terjadi gesekan dan konflik antarkelompok masyarakat. Terakhir,
pemilihan gubernur oleh DPRD dinilai akan meringankan beban keuangan
pemerintah. Pemilihan langsung selama ini banyak membebankan anggaran
masing-masing daerah. Namun demikian,Direktur Eksekutif Center for
Electoral Reform (Cetro) Hadar Nafis Gumay mengatakan,alasan soal
anggaran, praktik politik uang, dan sistem keamanan dalam pilkada tidak
relevan dengan perubahan sistem pemilihan gubernur.

Sebab, dari berbagai pelaksanaan pilkada di sejumlah provinsi, lebih
banyak yang berlangsung aman,tertib,dan damai. ”Jadi, lebih baik sistem
yang ada sekarang dievaluasi dulu. Kekurangannya bisa dicarikan format
baru tanpa harus mengubah dari sistem pemilihan langsung, kembali
dipilih DPRD,” katanya. (helmi firdaus/ahmad baidowi)


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/263892/

Menajamkan Nurani

Menajamkan Nurani



*Abd A’la*

Dalam perspektif Islam, setiap manusia cenderung berada dalam fitrah
keberagamaan.

Hal itu berbentuk kesadaran tentang keterbatasan diri, sekaligus
ketergantungan kepada sesuatu di luar dirinya, khususnya kepada yang
gaib. Keterbatasan ini mengantar manusia untuk patuh kepada yang gaib.
Fitrah ini sejatinya bersifat al-hanafiyah al-samhah, yang selalu
mengajaknya bersikap dan berperilaku luhur. Fitrah ini melekat pada
kedirian manusia sejak lahir hingga maut menjemputnya.

Persoalannya, tidak setiap manusia mau atau dan mampu merasakan
getaran-getaran fitri ini. Realitas menunjukkan, dari hari ke hari,
perbuatan banyak manusia—khususnya umat Islam Indonesia—tidak
mencerminkan nilai-nilai keberagamaan luhur, tetapi justru bertentangan
secara diametral dengan nilai-nilai kemanusiaan hakiki.

Kehidupannya dipenuhi angkara murka dan kebejatan. Jika binatang
menerkam mangsanya sekadar untuk mempertahankan hidup atau karena
kehidupannya terancam, manusia yang tidak merasakan getaran kefitrahan
ini menghabisi—dalam pengertian luas—manusia lain lebih didorong
keserakahan dan ketamakan, yang sulit terpuaskan sampai kapan pun.

Untuk mengumbar nafsunya, manusia tanpa getaran nilai-nilai agama itu
bisa melakukan apa saja. Mereka bisa menampakkan diri sebagai
pengkhotbah, berbicara tentang etik-moralitas kejujuran, solidaritas
sosial, dan sejenisnya, tetapi senyatanya mereka adalah penghancur
nilai-nilai itu. Mereka juga bisa menahbiskan diri sebagai wakil rakyat,
ke mana-mana mengaku memperjuangkan kepentingan rakyat. Namun, pada saat
yang sama, mereka mengeruk uang rakyat, memakan uang haram, dan jika
mungkin menghabiskan kekayaan negeri ini. Manusia semacam ini juga bisa
berkeliaran di dunia pendidikan. Melalui pendidikan, bukan kecerdasan
dan pemberdayaan rakyat yang dilakukan. Mereka berkutat di dunia
akademis sekadar menutupi nafsu kekuasaannya.

Jelasnya, manusia dengan nurani keberagamaan yang tumpul telah menyesaki
ruang publik kita. Mereka ada di mana-mana, di sekitar kita,
atau—bisa-bisa—kita tanpa menyadari telah memetamorfosis menjadi manusia
seperti itu; manusia yang diperbudak oleh nafsu.

*Asah nurani*

Tumpulnya fitrah keberagamaan pada manusia semacam itu, salah satunya,
berpulang pada keengganan mereka untuk mengasah nurani. Kepenganutan
agama yang seharusnya diarahkan untuk mencerdaskan kedirian (spiritual,
emosional, dan intelektual) direduksi—sadar atau tidak—sekadar menjadi
tradisi yang membatu. Agama yang seharusnya mendewasakan manusia
dibiaskan sebagai tameng diri yang berproses mengerdilkan jiwa; mereka
meletakkannya sebagai kompensasi dosa-dosanya. Seperti anak kecil,
karena—misalnya—sudah mau sikat gigi, lalu merengek-rengek minta
dibelikan permen. Karena sudah shalat dan menjalankan perintah agama
yang lain, mereka merasa ”berhak” melakukan korupsi, menggerogoti uang
negara dan rakyat, atau melakukan perbuatan munkarat lainnya.

Mereka tidak menjadikan ritual agama, semacam shalat dan puasa, sebagai
proses dialog intens dengan Sang Pencipta untuk menelanjangi diri, dan
sebagai bentuk kepatuhan untuk menjalankan ajarannya dan menjauhi
dosa-dosanya, terutama dosa sosial yang nilainya jauh lebih berat dari
dosa yang privat.

Mereka tidak menjadikan agama sebagai dasar untuk membangun kehidupan
yang lebih baik bukan hanya di akhirat, tetapi di dunia ini dalam
berbagai dimensi, terutama di ranah publik dari ekonomi, sosial,
politik, hingga pendidikan.

Kondisi ini akan membuat agama kehilangan viabilitasnya. Klaim bahwa
bangsa ini taat beragama bisa-bisa menjadi bumerang yang menghancurkan,
jika tidak sekarang mungkin kelak pada masa datang. Karena itu,
pengembalian peran agama kepada ranahnya tak perlu diperdebatkan lagi.
Artinya, signifikansi rekonstruksi keberagamaan menjadi mutlak dilakukan.

*Pengendalian diri*

Puasa—dan tidak bisa ditunda lagi—niscaya dikembangkan sebagai momen ke
sana. Puasa sebagai ikon pengendalian diri sekaligus pengembangan
moralitas luhur—kejujuran, solidaritas sosial, dan sejenisnya—perlu
dilabuhkan dalam kehidupan dan diformulasi sebagai dasar pengembangan
sistem yang dapat merawat kelangsungan bangsa.

Tahun lalu kita telah berpuasa. Dua tahun lalu dan tahun-tahun
sebelumnya, kita juga berpuasa. Namun, kenyataan kehidupan di sekitar
kita tetap morat-marit. Bangsa ini tetap terpuruk dalam megapersoalan,
dari korupsi yang menjangkiti elite hingga politik yang penuh fitnah
yang nyaris menjadi tradisi para politisi. Semua ini menunjukkan, kita
hanya puasa sebatas lahir. Karena itu, Ramadhan ini harus dijadikan
puasa holistik yang mampu menajamkan nurani. Dengan ketajaman nurani,
kita akan merasa risi melakukan hal-hal yang syubhat, yang tidak jelas
nilai keluhurannya, apalagi yang jelas merugikan rakyat dan negara.

/*Abd A’la* Guru Besar; Pembantu Rektor 1 IAIN Sunan Ampel, Surabaya
/

/http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/21/04435032/menajamkan.nurani

WISUDA S2 UGM NINA RAHMAT DILIYANI

Written By gusdurian on Kamis, 20 Agustus 2009 | 02.49





Selamat Jalan Wartawan Pejuang

Written By gusdurian on Rabu, 19 Agustus 2009 | 10.10

Selamat Jalan Wartawan Pejuang

*Bonnie Triyana*

# Sejarawan-cum-wartawan. Sahabat muda Joesoef Isak. Bersama Max Lane
menyunting buku /Liber Amicorum: Persembahan buat 80 Tahun Joesoef Isak/

Awal 1978, dalam status tahanan kota, Joesoef menerima sepucuk surat
dari Markas Kopkamtib untuk meminta kesediaannya diwawancarai oleh empat
wartawan Amerika Serikat. Tapi, berhari-hari ditunggu, empat wartawan
itu tak kunjung datang. Joesoef penasaran. Ia nekat menyambangi Kedutaan
Besar AS untuk menanyakan kesahihan surat tersebut.

Ternyata surat salah info. Fred Cofey, Direktur USIS, mengatakan orang
yang ingin bertemu bukanlah wartawan melainkan Patricia Derien, Deputy
Secretary of State for Human Right sekaligus utusan pribadi Presiden
Jimmy Carter. Pada Sabtu, hari H pertemuan (Joesoef lupa tanggalnya),
Joesoef diminta menunggu Derien di kantor USIS. Pada saat yang sama
Derien, didampingi Duta Besar AS Edward Masters, sedang bertemu dengan
Presiden Soeharto di Istana Merdeka. Pulang dari Istana, Derien langsung
menjumpai Joesoef. "You tell me everything! There is nothing to hide. In
fact I know all what happened here...," ujar Derien kepada Joesoef. Ia
meminta Derien membantu upaya pembebasan tahanan politik di Pulau Buru
dan beberapa tempat lain di Indonesia.

Beberapa bulan setelah pertemuan itu, pemerintah Soeharto pun
memulangkan para tahanan politik (tapol) secara bertahap hingga akhir
1979. Sastrawan Pramoedya Ananta Toer dan wartawan Hasjim Rachman--kelak
bersama Joesoef mendirikan penerbit Hasta Mitra--adalah tapol terakhir
yang dibebaskan dari Pulau Buru. Trio pendiri Hasta Mitra itu kini telah
berpulang semua. Joesoef Isak wafat pada Sabtu (15 Agustus) pekan lalu
menyusul dua karibnya, Hasjim Rachman (wafat 1999) dan Pramoedya Ananta
Toer (wafat 2006).

Mantan pemimpin redaksi koran /Merdeka/ dan pernah jadi Sekretaris
Jenderal Persatuan Wartawan Asia-Afrika itu wafat tepat sebulan setelah
hari ulang tahunnya yang ke-81. Tahun lalu para sahabatnya
menyelenggarakan pesta ulang tahun Joesoef yang ke-80 di Teater Kecil,
Taman Ismail Marzuki. Ratusan undangan, dari aktivis, penulis, wartawan,
pengusaha, sampai mahasiswa, menghadiri hajatan tersebut. Joesoef pun
kelihatan cerah semringah. Namun, beberapa minggu setelah acara, kondisi
kesehatannya menurun. Keluarganya membawa dia ke Singapura untuk
memeriksakan kesehatannya.

Empat bulan sebelum wafat, ia mengatakan kepada saya bahwa kondisinya
mulai membaik setelah menjalani pengobatan alternatif. "Aku berobat ke
sinse di Gunung Sahari, Bung. Dia cuma tekan jempolku saja. Tokcer!
Sekarang aku bisa tidur nyenyak dan sesak napas agak mendingan,"
katanya. Obat mujarab lain baginya adalah kerja dan diskusi. Ia seakan
lupa akan sakitnya kalau sudah duduk di depan komputer dan tetap
melakukan pekerjaannya sebagai editor dan penulis. "Aku ini sehat kalau
banyak pekerjaan dan berdiskusi, Bung," katanya sambil terkekeh. Pada
usia berkepala delapan, ia masih sanggup menyunting naskah sekaligus
menulis kata pengantar untuk beberapa buku terbitan Hasta Mitra.

Lelaki kelahiran Kampung Ketapang, Jakarta Pusat, 15 Juli 1928, itu
adalah editor karya-karya maestro sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Ada
cerita menarik di balik penerbitan buku /Nyanyi Sunyi Seorang Bisu/
karya Pram. Awalnya Joesoef ragu menerbitkan naskah itu. "Jangankan yang
beginian, novel yang fiktif saja dibredel Orba," kata Joesoef. Hasjim
Rahman, yang biasanya selalu bilang "aku tidak takut pada Jaksa Agung",
kali itu pun ikutan /ngeper/ untuk menerbitkannya.

Joesoef tak kehilangan akal. Melalui sejarawan Henk Maier, buku itu
diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan diterbitkan di Belanda dengan
judul /Lied van Een Stomme/. Setelah terbit di sana, naskah baru terbit
dalam bahasa Indonesia dengan judul /Nyanyi Sunyi Seorang Bisu/. Tapi,
baru sepuluh hari terbit, Jaksa Agung langsung membredelnya. "Itu rekor
pembredelan tercepat. Biasanya sebulan," kenang Joesoef.

Buku terakhir yang sempat disuntingnya sebelum wafat adalah /Memoar Ang
Yan Goan/, pemimpin redaksi koran /Sin Po/. Ia juga menulis kata
pengantar buat buku itu. Sama seperti Joesoef, Yan Goan terkena imbas
pergolakan politik 1965 dan terpaksa menetap di Kanada bersama anaknya.
Joesoef ditahan di penjara Salemba selama sepuluh tahun (1967-1977) atas
tuduhan terlibat dalam peristiwa 1965. Sampai ia keluar dari penjara,
tuduhan tersebut tak pernah bisa dibuktikan, apalagi Joesoef belum
pernah disidangkan.

Kariernya sebagai wartawan bermula di /Berita Indonesia/, surat kabar
/republikein/ pertama yang didirikan oleh beberapa tokoh pers nasional,
antara lain S. Tahsin. Pada 1949, B.M. Diah membeli /Berita Indonesia/
dan menggabungkannya dengan koran /Merdeka/ yang berdiri pada 1 Oktober
1945. Otomatis ia pun jadi wartawan /Merdeka/ dan merintis karier di
sana sampai posisi pemimpin redaksi. Berhenti dari /Merdeka/, Joesoef
terpilih sebagai Sekjen Persatuan Wartawan Asia-Afrika.

Joesoef Isak terkenal sebagai sosok wartawan yang teguh memegang prinsip
kemerdekaan berpendapat. Ia punya banyak kawan diskusi, mulai wartawan,
aktivis, sampai pensiunan jenderal pun datang ke rumahnya untuk
berdiskusi. Joesoef bersahabat dengan siapa saja, tak peduli apa
ideologinya. Semasa hidupnya, ia berkawan dengan Soebadio Sastrosatomo
dan Adam Malik, dua tokoh bangsa yang punya keyakinan politik berbeda
dengan Joesoef.

Semasa hidupnya, ia selalu mewanti-wanti agar anak-anak muda tidak
melanjutkan konflik masa lalu. "Buat apa merelevankan konflik masa lalu?
Untuk membangun Indonesia, kita harus terus menatap ke depan. Jadikan
sejarah sebagai pelajaran," kata dia. Menurut dia, baik Soekarno, Hatta,
Sjahrir, maupun Tan Malaka sama-sama memiliki tujuan memajukan kehidupan
rakyat Indonesia walaupun mereka melakukan dengan jalannya
sendiri-sendiri. "Generasi muda harus melanjutkan kerja-kerja mereka,
buang keburukannya, ambil sisi positifnya," pesan dia.

Atas jasa-jasanya di dalam memperjuangkan kebebasan berpendapat, ia
dianugerahi beberapa penghargaan internasional, antara lain Jeri Laber
Award (2004) dari International Freedom to Publish Committee, Amerika
Serikat. Lantas pada 2005 Joesoef, bersama Goenawan Mohamad, menerima
Wertheim Award dari Belanda, dan pada 2006 mendapat penghargaan
"Chevalier dans l'Ordre des Arts et des Lettres" dari pemerintah Prancis.

Tiga pekan lalu, kami masih berjumpa di Komunitas Utan Kayu dalam
diskusi dan peluncuran buku karya Soemarsono, /Revolusi Agustus/,
terbitan Hasta Mitra. Pertemuan berlanjut ketika saya menyambanginya dua
hari kemudian untuk membicarakan penerbitan buku /Banten Seabad Setelah
Multatuli/ karya Ir Djoko Sri Moeljono, di mana saya menulis kata
pengantarnya. Buku ini molor terbit sampai dua tahun dan kami berencana
mencetaknya pada September mendatang. Menurut rencana, saya harus
menemuinya lagi setelah 17 Agustus untuk mendiskusikan rencana teknis
percetakan buku itu.

Rencana tinggal rencana. Sabtu (15 Agustus) dinihari pukul 01:30, saya
ditelepon oleh Desantara, putra bungsu Joesoef Isak, mengabarkan bahwa
ayahnya telah tiada. Saya kaget, tak percaya Pak Ucup pergi begitu
mendadak, terlebih sehari sebelumnya ia masih sempat datang ke redaksi
majalah /Tempo/ untuk diwawancarai. Kerja belum selesai, belum apa-apa.
Tapi Pak Ucup sudah punya arti bagi bangsa Indonesia. Ia telah berjuang,
sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya. Selamat jalan, Bung Joesoef Isak! *

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/08/19/Opini/krn.20090819.174210.id.html

Puasa dalam Tradisi Salaf

Puasa dalam Tradisi Salaf
Oleh Rozihan

SITI Maryam ibunda Nabi Isa Al Masih adalah wanita salihah dan terpuji di mata
Tuhan. Ketika dia hilang dari kampung halamannya dan kembali setelah sekian lama
dengan seorang bayi, orang-orang bertanya, "Hai saudara Harun, ayahmu bukanlah
orang yang jahat dan ibumu bukanlah seorang pezina. Maka Maryam menunjuk kepada
anaknya. Mereka berkata: Bagaimana kami akan berbicara kepada anak kecil yang
masih dalam ayunan?"

Fragmen Siti Maryam ini terekam dengan indah dalam Alquran surat Maryam Ayat 28
dan 29.

Mengapa Siti Maryam yang dituduh berbuat mesum itu justru dimuliakan oleh Allah
?

Allah
memerintahkan Siti Maryam untuk
puasa bicara. Ia disuruh tidak menanggapi tuduhan dari masyarakat yang macam
macam itu. Maryam hanya menjawab,
"Sesungguhnya aku telah bernazar
berpuasa untuk Tuhan yang maha pemurah, maka aku tidak akan berbicara kepada
seorang manusia pun pada hari ini. Maryam telah berjanji kepada Allah untuk
puasa bicara.''

Puasa bicara yang dilakukan oleh Maryam ternyata mampu mendengarkan suara bayi
yang dikandungnya. Ketika Maryam dihujat habis habisan oleh orang orang waktu
itu, bayi yang dibawanya menjawab, "Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan
kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku
dibangkitkan hidup kembali.''( QS Maryam : 33 ).

Berbeda dari Nabi Zakaria as. Jika Siti Maryam puasa bicara dari hujatan, Nabi
Zakaria. diperintahkan Tuhan untuk berpuasa bicara justru ketika menerima nikmat
sebagai rasa syukur kepada Nya (QSMaryam : 10 ), karena menerima anugerah dari
Allah dengan kehadiran seorang putra ketika usia telah senja.

Seorang anak bernama Yahya yang berhati lembut dan suci serta cerdas dan arif,
bertakwa kepada Allah, berkhidmat
kepada orang tua dan nilai nilai terpuji lainnya adalah produk puasa bicara
Zakaria as ketika istrinya mengandung.

Puasa bicara yang dilakukan oleh Nabi Zakaria as lebih merupakan ungkapan syukur
yang dicermikan dengan menghindari kebisingan dunia materi dengan menempuh jalan
hidup suasana keilahian, bersyukur dan bertasbih kepada-Nya.

Demikian pula puasa bicara yang diilhamkan oleh Allah kepada Maryam, karena
Allah bermaksud membungkam semua yang meragukan kesuciannya melalui ucapan bayi
yang dilahirkannya itu.

Pesan aplikatifnya, jika kita berdiskusi dengan orang yang hanya bermaksud
mencari kesalahan atau yang tidak jernih pemikiran dan hatinya, dalam konteks
ini Rasullah Muhammad bersabda " Meninggalkan sesuatu yang muspra merupakan
kesempurnaan seorang muslim" (min husnil islaamil mar'i tarkuhu maa laa ya'nih).

Tradisi Salaf

Dalam tradisi salaf (orang orang terdahulu ), puasa bicara atau lebih
banyak diam ini
dikenal sebagai sebuah ritus atau ibadah, termasuk oleh masyarakat jahiliah.

Sisa ritual itu sampai saat ini masih kelihatan bekasnya dalam bentuk
mengheningkan cipta. Rasulullah Muhammad melarang puasa diam. Maka mengheningkan
cipta bagi kaum muslimin Indonesia tidak boleh dipandang sebagai ibadah, tetapi
lebih diapresiasi sebagai rangkaian kegiatan untuk mendoakan arwah para syuhada
agar memperoleh tempat yang layak di sisi-Nya.

Memaknai puasa bicara dalam tradisi salaf pada era global berarti meninggalkan
pembicaraan yang tidak bermanfaat. Kesejatian seorang mukmin diukur ketika
berbicara itu memberi manfaat atau tidak.

Pesan nabi tentang produktivitas bicara itu terekam dalam sebuah hadits, ''Al
muslimu man salimal muslimuna min lisanihi wayadihi" (seorang muslim yang baik
adalah ketika berbicara dan bertindak selalu memberikan kesejahteraan bagi orang
lain).

Jika puasa bicara Maryam dan Zakaria berbekas pada diri
seorang bayi yang suci, maka pembicaraan yang produktif, efektif dan cerdas
nilainya sama dengan puasa bicara yang dilakukan oleh orang orang saleh yang
diajarkan dalam Alquran.

Aktivitas membaca dan berpikir serta menulis yang dapat membangun masyarakat
luas sebagai sebuah karya monumental, dan merupakan ibadah sosial telah
mengambil alih puasa bicara tradisi salaf pada era modern.

Demikian pula dengan kerja keras sebagai aktivitas fisik, yang dalam filsafat
jawa disebut dengan ungkapan rame ing gawe sepi ing pamrih.

Semua yang disebut di atas merupakan implementasi puasa dalam tradisi salaf.
Melakukan puasa seperti dilakukan orang saleh terdahulu itu dapat berlangsung
kapan saja dan tidak terbatas pada bulan Ramadan.

Tetapi, puasa Ramadan tetap menjadi bulan evaluasi dari keseluruhan kehidupan
kita. Terlalu banyak kredit kita kepada Allah yang belum terbayarkan.
Membebaskan yang tertindas selalu menjadi topik aktual
dalam pembahasan, tetapi masih jauh dalam kenyataan.

Simbol perjalanan politik Nabi Muhammad ketika mi'raj, beliau melihat seorang
yang dipotong-potong lidahnya adalah isyarat pentingnya bahasa perbuatan
ketimbang bahasa lisan.

Ungkapan ini lebih dikenal dalam adagium orang arab sebagai lisanul hal afsah
min lisanil maqal.

Istilah amal saleh adalah bahasa perbuatan. Dan sudah selayaknya Allah hanya
memberi ampunan sebagai pahala terbesar bagi mereka yang beriman dan beramal
saleh.

Demikian janji Allah dalam akhir surat Alfath. Masih banyak item amal saleh yang
ditawarkan. Mari kita perebutkan. Wallahua'lam.

-- Drs Rozihan, SH, MAg, dosen FAI Unissula Semarang, wakil ketua PW
Muhammadiyah Jawa Tengah, wakil ketua FKUB Provinsi Jawa Tengah.

*) Dikutip dari Harian Umum Suara Merdeka
Perekat Komunitas Jawa Tengah
Sabtu, 15 September
2007

[ Diteruskan dari Bapak Abdul Rosyid ]

*Negara tidak cukup mendidik warga untuk membangun kesamaan sikap

*Negara tidak cukup mendidik warga untuk membangun kesamaan sikap
terhadap ancaman dan bahaya nasional.*

BAHAYA dan bahagia, kejahatan dan pahala, perang dan damai adalah
sesuatu yang amat relatif di Indonesia. Ini, di satu sisi
mengindikasikan sifat orang Indonesia yang tidak pernah berprasangka
buruk, tetapi di lain sisi juga menunjukkan betapa pendek memori
kolektif sebagai bangsa.

Ingatan pendek inilah yang menyebabkan inkonsistensi dalam sikap
terhadap sebuah malapetaka. Sebagai contoh bisa ditunjukkan perilaku
pemerintah terhadap terorisme, korupsi, dan narkoba.

Semua orang, termasuk pemerintah, sepakat bahwa terorisme, korupsi, dan
narkoba adalah kejahatan kemanusiaan luar biasa yang harus dilawan
dengan konsistensi luar biasa pula.

Tetapi dalam praktik terlihat inkonsistensi itu. Baru saja publik,
bahkan dunia mengutuk terorisme setelah bom bunuh diri di Hotel JW
Marriott dan Ritz-Carlton yang menewaskan banyak penduduk sipil tidak
berdosa di Jakarta. Tetapi pada tanggal 17 Agustus, bersamaan dengan
sukacita bangsa merayakan 64 tahun kemerdekaan, para terpidana
terorisme, korupsi, dan narkoba memperoleh remisi. Mereka dianggap
bagian dari terpidana biasa yang menurut undang-undang pantas memperoleh
remisi.

Adalah Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2006 yang tidak membedakan tiga
jenis kejahatan tersebut dari kasuskasus pidana umum. Dengan demikian
mereka juga berhak memperoleh remisi antara satu sampai enam bulan
setelah menjalani 1/3 masa hukuman.

Tidak mengherankan jika atas nama kemerdekaan dan sukacita, kita
menyaksikan terpidana terorisme bebas pada 17 Agustus. Demikian juga
halnya beberapa terpidana korupsi dan narkoba. Mengapa kita tidak bisa
memerangi korupsi? Mengapa seorang Noordin M Top masih leluasa
beroperasi dan menciptakan pengikut yang semakin banyak? Mengapa
narkotik semakin merebak dan merusak? Mengapa pembalakan liar tidak
pernah surut?
Jawabnya, karena kita tidak pernah bersepakat tentang musuh dan bahaya
bersama. Apa itu ancaman nasional, apa itu malapetaka, dan apa itu
kejahatan. Semuanya serbarelatif dan bisa dimaafkan sehingga tidak ada
efek jera bagi para pelaku dan calon pengikutnya.

Negara tidak cukup mendidik warga untuk membangun kesamaan sikap
terhadap ancaman dan bahaya nasional.
Negara malah mempertontonkan inkonsistensi yang melemahkan komitmen
nasional untuk memerangi kejahatan.
Remisi bagi terpidana terorisme, narkoba, dan korupsi adalah contoh yang
kasatmata.

Polisi dan kejaksaan boleh bersusah payah menangkap dan mengajukan
pelaku korupsi ke pengadilan. Tetapi di pengadilan kerja mereka
dicampakkan oleh para hakim dengan membebaskan terdakwa.

Itu juga yang kita saksikan dengan kasus-kasus pembalakan liar yang
lebih banyak dibebaskan daripada dihukum pelakunya. Padahal semua tahu
bahwa salah satu bencana terbesar di masa depan adalah hilangnya hutan
di Indonesia.

Semua berteriak bahwa pencurian ikan di laut Indonesia oleh nelayan
asing adalah kerugian amat besar. Tidak semata pencaplokan kekayaan
nasional, tetapi sekaligus menampar kedaulatan atas wilayah. Tetapi
dalam praktik, pencurian tetap dilanjutkan karena terjadi kompromi di
lautan antara pencuri dan yang seharusnya menangkap.

Jadi, sudah saatnya aturan dan undang-undang yang dibuat dan
dilaksanakan harus mendorong agar bangsa ini memiliki tekad kuat
memperbaiki diri. Hari Kemerdekaan 17 Agustus seharusnya menjadi
momentum untuk menggelorakan tekad bangsa memerangi berbagai kejahatan,
bukan melonggarkan.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/08/19/ArticleHtmls/19_08_2009_001_005.shtml?Mode=0

Melanjutkan Program Antikemiskinan

Melanjutkan Program Antikemiskinan
Oleh Razali Ritonga Kepala BPS Provinsi Sulawesi Tengah


MESKI dengan sejumlah catatan, keputusan Mahkamah Konstitusi yang
memenangkan KPU berarti secara otomatis tidak akan mengubah ketetapan
KPU sebelumnya atas kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono.
Dengan terpilihnya SBY-Boediono, arah kebijakan pemerintahan periode
mendatang tampaknya tidak jauh berbeda dengan periode sebelumnya.

Gambaran itu paling tidak dapat dicermati dari kampanye SBY-Boediono
pada waktu lalu yang menekankan pentingnya melanjutnya berbagai program
pembangunan dari masa pemerintahan 2004-2009. Ini berarti program
prorakyat, khususnya program antikemiskinan yang dijalankan sebelumnya
akan dilanjutkan pada periode pemerintahan mendatang.

Program antikemiskinan sebelumnya memuat dua aspek, yakni bantuan tunai
berupa bantuan langsung tunai (BLT) dan pemberdayaan berupa pemberian
kredit modal usaha. Namun, meski upaya yang dilakukan cukup intensif,
hasil yang diperoleh belum cukup memuaskan. Angka kemiskinan hanya turun
dalam kisaran 1%-1,5% per tahun. Bahkan, daya tahan penduduk terhadap
memburuknya ekonomi masih rapuh.

Fakta itu cukup memberikan gambaran bahwa pemerintah tidak cukup sekadar
melanjutkan program sebelumnya. Maka, pemerintah perlu mengevaluasi
program sebelumnya sambil mencari terobosan baru agar program
antikemiskinan berhasil optimal.

Aspek struktural Belum optimalnya program antikemiskinan yang lalu
ditengarai karena hambatan struktural.
Alasannya, kemiskinan merupakan produk dari pola hidup (life style),
kebiasaan, dan kultur. Secara faktual, kemiskinan struktural itu
tecermin dari budaya kerja yang cenderung malas, tidak kreatif, dan
pasrah atas nasib.

Padahal, kunci untuk keluar dari kemiskinan merupakan negasi dari
hambatan struktural itu.
Hal itu paling tidak ditunjukkan Korea Selatan, seperti yang dituliskan
Huntington dalam bukunya, Cultures Count (UNDP, Cultural Liberty and
Human Development, 2003, p 19). Kunci kemajuan Korea Selatan adalah
kerja keras, disiplin, gemar menabung, dan menghargai pendidikan.

Pada lima dekade lalu, Korea Selatan dan Ghana, misalnya, menunjukkan
kemajuan ekonomi yang hampir sama dan pendapatan per kapita yang tidak
jauh berbeda. Namun, kini pendapatan per kapita Korea Selatan besarnya
lima kali lipat jika dibandingkan dengan Ghana. Persoalan mendasar yang
mengakibatkan perbedaan itu adalah pada hambatan struktural yang masih
mengungkung masyarakat Ghana (UNDP, 2003).

Maka, berkaitan dengan fakta itu boleh jadi belum tuntasnya kemiskinan
di Tanah Air karena program antikemiskinan yang dijalankan belum mampu
mengatasi hambatan struktural yang melilit masyarakat. Jelasnya, program
antikemiskinan yang dijalankan belum bisa mengubah masyarakat menjadi
pekerja keras, haus pendidikan, dan suka berinvestasi. Bahkan, tidak
sedikit kalangan yang mengkhawatirkan bahwa BLT, misalnya, akan membuat
masyarakat kian tergantung (dependent), dan bantuan modal akan kian
meningkatkan risiko berutang.

Produktivitas rendah Salah satu instrumen penting yang diperkirakan
dapat berperan mengatasi hambatan struktural itu adalah upaya
meningkatkan produktivitas dan penciptaan kesempatan kerja. Karena
penyebab utama kemiskinan adalah rendahnya produktivitas dan ketiadaan
kesempatan kerja atau berusaha. Hal itu juga mengemuka dalam Deklarasi
Pengembangan Sosial di Kopenhagen pada 1995 sehingga peningkatan
produktivitas dan penciptaan lapangan pekerjaan ditetapkan sebagai
strategi utama penanggulangan kemiskinan.

Secara faktual, penduduk dengan produktivitas rendah (underemployed)
atau mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam
seminggu) di Tanah Air masih tergolong tinggi.
Tercatat, hampir sepertiga (30,4%) penduduk yang bekerja di Indonesia
tergolong underemployed (BPS, 2007). Sementara itu, angka pengangguran
juga masih tergolong tinggi, yakni sekitar 8,39% pada Agustus 2008 (BPS,
2008).

Tingginya angka pengangguran dan pekerja dengan produktivitas rendah
berpotensi menjadi miskin karena nihilnya dan kurangnya pendapatan. Hal
itu sepatutnya menjadi perhatian utama pemerintah dalam menjalankan
program antikemiskinan. Salah satu upaya yang mungkin bisa dilakukan
adalah meningkatkan kapasitas penduduk melalui pendidikan dan pelatihan
(capacity building).

Namun, banyak pihak meragukan bahwa pendidikan dan pelatihan dapat
mengatasi pengangguran dan peningkatan produktivitas. Pasalnya, hingga
kini tidak sedikit penduduk dengan pendidikan yang cukup memadai
berstatus menganggur. Hasil Sakernas Februari 2007, misalnya,
menunjukkan angka pengangguran terdidik atau mereka yang menyandang
gelar sarjana tercatat sekitar 7,02% (BPS, 2007).

Tingginya angka penganggur terdidik itu sekaligus mengisyaratkan ada
persoalan link and match antara kurikulum pendidikan dan kebutuhan pasar
kerja. Ditengarai, kurikulum pendidikan masih terlalu umum sehingga
lulusan perguruan tinggi belum siap terjun bekerja.
Untuk mengatasi persoalan link and match itu, Wardiman Djojonegoro,
mantan Menteri Pendidikan, pernah menyampaikan tentang perlunya
melakukan perubahan paradigma dari supply minded ke demand minded, yakni
dengan cara meningkatkan kompetensi suplai tenaga kerja (Kompas Cyber
Media, 17/12/2007). Capacity building merupakan cara terbaik untuk
meningkatkan kompetensi penduduk agar siap terjun bekerja dan mampu
meningkatkan produktivitas.

Atas dasar itu, untuk melanjutkan program antikemiskinan pada periode
mendatang, pemerintah perlu mempertajam sasaran program yang lalu. Suatu
program barangkali bisa disebut berhasil jika program itu mampu
meningkatkan kemampuan penduduk dan kemandirian dalam bekerja. Itu hanya
bisa dicapai jika penduduk telah berhasil mengatasi hambatan struktural
yang menjerat mereka dalam kemiskinan.



http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/08/19/ArticleHtmls/19_08_2009_018_003.shtml?Mode=0

Merdeka dari Orang Pintar

Merdeka dari Orang Pintar
Oleh: Bashori Muchsin

/Berusahalah untuk tidak menjadi manusia yang berhasil,/ /tapi
berusahalah menjadi manusia yang berguna/. (Albert Einstein)

*APA* yang disampaikan kimiawan terkenal itu cukup menggelitik. Kita
(manusia) diingatkan untuk terus berusaha bukan menjadi sosok pelaku
sejarah yang berhasil, tapi sebagai manusia yang berguna. Kita dikritik
supaya tidak meniti di jalan orang-orang sukses, tetapi di wilayah
orang-orang yang berguna. Kita disuruh agar tidak jadi pemburu dan
pembaru keberhasilan, tetapi aktivis yang giat memproduk hal-hal yang
berguna.

Sudah tidak terhitung banyaknya kegiatan yang digelar di tengah
masyarakat ini, namun "pergelaran" kegiatan itu tidak membawa
kemanfaatan. Kegiatan tersebut bisa mengantar seseorang atau sejumlah
orang mendapatkan label berhasil dan pintar, namun kegiatan itu gagal
menghadirkan kegunaan bagi masyarakat dan bangsa.

Cukup banyak aktivitas yang dilakukan seseorang atas nama kelompok,
institusi kependidikan dan keagamaan, partai politik, atau
lembaga-lembaga strategis berjustifikasi negara, kepentingan umum,
pembangunan, kemiskinan, atau pemberdayaan masyarakat (/social
empowering/), yang aktivitas tersebut bisa mengantar pelaksananya
berhasil meraih keuntungan politik dan uang berlipat-lipat.

Kalau bukan keuntungan politik dan uang, mereka berhasil meraih
popularitas, menaikkan "prestasi dan prestise" di ranah strata
sosialnya, atau berhasil memenuhi berbagai kebutuhan hedonismenya,
melampiaskan perburuan kepentingan biologisnya, atau sukses jadi
petualang hebat dalam mengumpulkan pundii-pundi kekayaannya.

Mereka itu pun akhirnya menjadi penasbih gaya hidup dan berelasi
sosial-politik dan bahkan keagamaannya dengan uang. Keberhasilannya
dominan menggunakan kalkulasi pada seberapa besar uang bisa diperoleh
atau mengalir kepadanya. Mereka tidak mendengar petuah Aristoteles yang
mengingatkan "semakin tinggi penghargaan manusia terhadap kekayaan
(uang), maka semakin rendahlah penghargaan manusia terhadap kesusilaan,
keadilan, kemanusiaan, dan kejujuran."

***

Di negeri ini, sudah banyak orang pintar yang bisa bermain dengan hebat,
melalui aktivitas yang ditawarkan, dijual, dan dibarterkan kepada pihak
lain. Seperti kolaborasi akademisi dengan birokrasi, atau politisi
dengan penguasaha (korporasi), yang membuatnya terus bisa berhasil atau
mendulang berbagai prestasi mentereng dan menghasilkan banyak uang.

Mereka itu bisa menunjukkan kelincahan lewat kemampuan rasio yang
digunakan untuk membuka peluang, menjalin dan menjaring kerja sama,
menyusun berbagai pola proposal atau rencana kerja yang membuatnya
sebagai sekumpulan "petualang" sukses, khususnya dalam mencairkan dan
mengalirkan anggaran-anggaran publik yang jumlahnya tidak sedikit, bisa
ratusan miliar hingga triliunan rupiah, baik yang bersumber dari APBN
maupun APBD.

Beda dengan orang miskin yang tidak berpendidikan tinggi atau tak
terkondisikan benar-benar pintar, mereka mustahil bisa menyusun dan
membuat proposal, rencana kerja, atau rumus-rumus ilmiah yang berharga
mahal. Pasalnya, dengan kemampuan yang serba terbatas, tidak adanya
akses kekuasaan, dan sangat sabarnya dalam menerima realitas
ketidakberdayaan telah membuatnya tidak kenal, apalagi "berkawan" dengan
uang besar.

Orang miskin seperti itu mustahil, rasanya, bisa memperoleh stigma
sebagai sosok atau golongan yang berhasil. Apa yang diperbuat lebih
sering sekadar untuk bertahan hidup.

***

Komunitas miskin Indonesia yang jumlahnya (ada yang menyebut) lebih dari
40 juta orang itu kesulitan menuai hak kemerdekaannya akibat sepak
terjang orang pintar yang menghegemoninya. Mereka kesulitan mendapatkan
hak kesejahteraan, pendidikan berkualitas, layanan kesehatan yang
memadai, dan citra diri sebagai warga yang hidup di negara hukum, akibat
perilaku orang pintar nakal atau kriminal yang mendesain dirinya menjadi
"neokolonialis".

Profil orang pintar "neokolonialis" tidak sulit ditemukan di berbagai
strata sosial dan struktural. Mereka bisa berdiri dan berperan di
tempat-tempat yang dikalkulasi atau direkayasa mampu mendatangkan
keuntungan besar. Mereka menjadi arsitek yang sangat lincah dan cerdas
dalam memburu dan mengumpulkan uang atau status ningrat yang
menguntungkannya secara eksklusif.

Mereka itulah yang disebut Enstein bukan kumpulan orang berhasil, namun
gagal memberikan manfaat atau kegunaan publik. Mereka menjajah
(merampas) hak milik masyarakat lewat proyek-proyek atau proposal yang
dikomoditaskannya, yang membuat dirinya bisa menuai kesuksesan atau
hidup makmur, namun apa yang dilakukan itu tidak berdampak membebaskan
masyarakat miskin.

Ketika seseorang atau sekelompok orang sudah hidup mapan, pintar, atau
secara ekonomi tergolong sebagai pemilik modal kuat, yang kepemilikan
ini dikembangkan menjadi kekuatan korporasi, yang dengan kepintaranya
bisa berkolaborasi dengan elite kekuasaan atau kelompok pintar "nakal"
untuk menggadaikan moral intelektualitasnya demi proyek yang di dalamnya
ada hak-hak publik.

Komunitas orang pintar telah bertualang sangat jauh, parah, dan
sistemik. Mereka seperti petarung dan pemburu yang tak kenal lelah dan
titik nadir dalam memburu, menjerat, dan menangkap buruannya.

Aktivitas orang pintar yang terjerumus dalam kriminalitas hak-hak publik
menjerumuskan masyarakat dan negeri ini, khususnya orang miskin, dalam
keterjajahan kronis. Orang pintar seperti itu telah membentuk dan
menghalalkan dirinya sebagai "neokolonialis" yang ke mana-mana hanya
sibuk memproduk keterjajahan (akumulasi penderitaan). (*)

* /*) Bashori Muchsin, / * /pembantu Rektor II Universitas Islam Malang/

MERAH-PUTIH DI SAINT LOUIS

*MUHAMMAD ARIEF BUDIMAN*
MERAH-PUTIH DI SAINT LOUIS

Dari ahli genetika tanaman, ia menjadi ahli genetika terpandang dalam
genetika sel kanker di Amerika. Seperti mengulang riwayat Joe Hin Tjio.

Matahari setengah rebah di Medari, Sleman, Yogyakarta. Asar sudah
datang. Zakaria bergegas mencari anaknya, Muhammad Arief Budiman. Dia
bisa berada di mana saja: di sawah, di kebun salak pondoh, atau—jika
sedang beruntung—ia akan ditemukan di sekitar rumah. Zakaria harus
menemukannya sebelum matahari terlalu rebah, agar anaknya tak melewatkan
salat asar dan mengaji di musala.

Saint Louis, Missouri, Amerika Serikat. Tiga puluh tahun kemudian....

Di sebuah ruang kerja di kompleks Orion Genomic, salah satu perusahaan
riset bioteknologi terkemuka di negeri itu, seorang lelaki Jawa berwajah
"dagadu"—sebab senyum tak pernah lepas dari bibirnya— kerap terlihat
sedang salat. Dialah anak Zakaria itu. Pada mulanya bercita-cita menjadi
pilot, lalu ingin jadi dokter karena harus berkacamata sewaktu SMP, anak
pekerja pabrik tekstil GKBI itu sekarang menjadi motor riset utama di
Orion. Jabatannya: Kepala Library Technologies Group. Menurut
BusinessWeek, ia merupakan satu dari enam eksekutif kunci perusahaan
genetika itu.

Genetika adalah cabang ilmu biologi yang mempelajari gen, pembawa sifat
pada makhluk hidup. Peran ilmu ini bakal makin sentral di masa depan:
dalam peperangan melawan penyakit, rehabilitasi lingkungan, hingga
menjawab kebutuhan pangan dunia.

Arief tak hanya terpandang di perusahaannya. Namanya juga moncer di
antara sejawatnya di negara yang menjadi pusat pengembangan ilmu
tersebut: menjadi anggota American Society for Plant Biologists dan—ini
lebih bergengsi baginya karena ia ahli genetika tanaman— American
Association for Cancer Research.

Asosiasi peneliti kanker bukan perkumpulan ilmuwan biasa. Dokter
bertitel PhD pun belum tentu bisa "membeli" kartu anggota asosiasi ini.
Agar seseorang bisa menjadi anggota asosiasi ini, ia harus aktif
meneliti penyakit kanker pada manusia. Ia juga harus membawa surat
rekomendasi dari profesor yang lebih dulu aktif dalam riset itu serta
tahu persis riset dan kontribusi orang itu di bidang kanker. Arief
mendapatkan kartu itu karena, "Meskipun latar belakang saya adalah
peneliti genome tanaman, saya banyak melakukan riset genetika mengenai
kanker manusia," ujarnya.

Kita pun seperti melihat sepenggal kecil sejarah Indonesia yang sedang
diputar ulang. Pada akhir 1955, ahli genetika (dulu pemuliaan) tanaman
kelahiran Jawa yang malang-melintang di Eropa dan Amerika, Joe Hin Tjio,
dicatat dengan tinta emas dalam sejarah genetika karena temuannya
tentang genetika manusia. Ia menemukan bahwa kromosom manusia berjumlah
46 buah—bukan 48 seperti keyakinan ahli genetika manusia di masa itu
("The Chromosome Number of Man. Jurnal Hereditas vol. 42: halaman 1-6,
1956). Tjio—lahir pada 1916, wafat pada 2001—bisa menghitung kromosom
itu dengan tepat setelah ia menyempurnakan teknik pemisahan kromosom
manusia pada preparat gelas yang dikembangkan Dr T.C. Hsu di Texas
University, Amerika Serikat. Bagaimana dengan Arief?

Sembilan tahun di Orion Genetics, bekas kasir toko kelontong di Islamic
Center di Bryan College Station, Texas, itu sudah membuat delapan
teknologi untuk menangani sel kanker manusia: satu sudah diganjar paten,
tujuh sedang menunggu persetujuan dari kantor paten Amerika. Temuan
pertama yang sudah dipatenkan adalah alat untuk menemukan biomarka
(penanda molekuler) pada penyakit kanker. Bentuknya serupa chip. Untuk
menciptakan chip pengendus kanker itu, "Kami mengembangkan metodenya
sejak lima tahun lalu," ujar bekas guru Al-Huda Islamic School di
College Station, Texas, itu.

Tujuh temuan lainnya yang sudah dimasukkan ke kantor paten untuk
mendapat pengesahan masih berhubungan dengan teknologi pemindai kanker.
Masing-masing pemindai gen untuk kanker payudara, kanker ovarian, kanker
hati, kanker kolon, kanker paru-paru, kanker melanoma, kanker kandung
kemih, kanker ginjal, dan kanker endometrial. "Kami mem-filling tujuh
paten itu dari penelitian selama tiga tahun," kata Arief.

Daya endus alat-alat itu terhadap sel kanker bisa diandalkan. Sekadar
contoh, pengendus kanker payudaranya memiliki sensitivitas di atas 90
persen. Dengan akurasi setajam itu, kalangan kedokteran menilai,
temuan-temuan tersebut akan merupakan arsenal penting dalam peperangan
melawan kanker-- penyakit pembunuh nomor wahid di dunia.

Soalnya, kebanyakan kanker hanya terdeteksi setelah tak bisa lagi
diobati. Nah, alat-alat ini mendeteksi adanya sel-sel kanker itu saat
masih "kuncup" sehingga peluang dibabat habis lebih besar. Caranya pun
mudah dan tidak invasif, cukup mengendus keberadaan gugus metil, sebuah
persenyawaan kimia antara karbon dan hidrogen. Ini karena, "Gen-gen pada
pasien kanker biasanya memiliki gugus metilasi," ujarnya.

Sebelumnya, Arief mengembangkan teknologi untuk mengaplikasikan gugus
metil pada pembacaan gen tanaman. Namanya penapis metil (methyl
filtration). Penyaring metil ini berfungsi menapis DNA sampah di dalam
gen sebuah tanaman, yang jumlahnya sekitar 50 persen dari seluruh gen
dalam tanaman itu, dengan mendeteksi gugus metilnya. "Jadi kita tidak
perlu lagi membaca semua sekuen genome dalam tanaman yang butuh waktu
lama dan biaya besar seperti yang dilakukan pada proyek genom padi
dengan BAC-nya," kata anak kedua dari tiga bersaudara ini.

BAC (bacterial artificial chromosome), yang menjadi bahan desertasinya
di Texas A&M Technology, adalah tonggak pertama dia dalam bidang
genetika di Amerika. Berkat daya gunanya, BAC kemudian menjadi mesin
utama dalam proyek megajuta dolar bertajuk "International Rice Genome
Sequencing Project". Proyek untuk mengurai genom padi yang dipimpin
Jepang ini mengerjasamakan laboratorium genom di Amerika, Cina, Prancis,
Taiwan, India, Thailand, Korea, Brasil, dan Inggris.

Toh, suami Rita Syamsuddin, sarjana Jurusan Tafsir dan Hadis IAIN Syarif
Hidayatullah dan Sastra Arab Universitas Indonesia, itu tak ingin
selamanya menaikkan bendera Merah-Putih di negeri orang. Ia mengaku akan
pulang pada suatu hari nanti. Saat ini masih ada keinginan yang belum
kesampaian: membawa riset tentang markamarka pembeda sel kanker dan sel
sehat ke tahap implementasi. Setelah itu, ia bisa pulang.

*MUHAMMAD ARIEF BUDIMAN, PHD * *Lahir: *Yogyakarta, 28 September 1970
*Istri: *Rita Sasmita Pritarni, SS, SAg *Anak: *Tiga orang *Pendidikan: *

* 1989-1990: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
* 1990-1999: Texas A&M Technology (Sarjana-PhD)
* 1999-2000: Clemson University Genomics Institute (postdoctoral)

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/08/18/Laporan_Khusus/krn.20090818.174154.id.html

TAJUK, Waspadai Kenaikan Harga Barang Pokok

Written By gusdurian on Selasa, 18 Agustus 2009 | 08.58

TAJUK, Waspadai Kenaikan Harga Barang Pokok

SUDAH menjadi tradisi menjelang bulan Ramadan hingga Lebaran, harga
sejumlah barang pokok mulai menari-nari.


Dari pengalaman selama ini, setiap terjadi kenaikan harga barang pokok
yang signifikan dan cenderung menimbulkan gejolak di pasar, pemerintah
selalu mengambil tindakan agresif melalui operasi pasar. Namun, kali ini
operasi pasar bakal tak terdengar lagi.Apakah hal ini bisa diterjemahkan
bahwa harga barang pokok tak akan melonjak signifikan? Kita berharap
demikian.

Kenaikan harga barang menjelang puasa memang tak bisa dimungkiri, tetapi
pemerintah tetap harus wajib memonitor perkembangan hargaharga tersebut.
Kita tidak ingin kenaikan harga barang pokok tersebut di luar kisaran
wajar mengingat permintaan barang-barang tersebut memang sedang tinggi.
Batas toleransi berada pada level 5% hingga 10% untuk barang-barang yang
tidak bisa distok untuk jangka waktu tertentu.

Bila menyimak beberapa pernyataan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu
seputar harga barang pokok menjelang bulan puasa tahun ini, rasanya
cukup mendinginkan suasana.Mari membeberkan stok sejumlah barang pokok
dalam kondisi aman terkendali. Stok beras yang selalu membingungkan
sudah diatasi sedemikian rupa sehingga kecil kemungkinan terjadi
gangguan yang berarti.

Lalu, tindakan apakah yang akan ditempuh pemerintah bila terjadi gejolak
harga menjelang bulan puasa pekan depan? Seperti diakui sendiri,
pemerintah dalam hal ini Departemen Perdagangan sudah menyiapkan
tindakan antisipatif lewat pasar murah. Yang menarik, apa bedanya
operasi pasar dengan pasar murah? Dua istilah yang cukup merakyat di
telinga masyarakat ini tak perlu diperdebatkan.Yang pasti,kita berharap
pasar murah akan mampu menekan kenaikan harga-harga barang pokok bila
terjadi lonjakan harga yang signifikan.

“Tali pengaman” ini hendaknya bisa memberi kontribusi langsung terhadap
masyarakat mengingat daya beli mereka sampai saat ini belum pulih betul
sebagai dampak dari gejolak ekonomi dunia yang melumpuhkan target
pertumbuhan ekonomi nasional. Berdasarkan sejumlah hasil pantauan media
nasional terhadap harga bahan pokok di pasar tradisional, terutama di
wilayah DKI Jakarta, memang sudah terjadi kenaikan meski sebagian
pedagang masih terkesan malu-malu dan para pembeli mempertanyakan
perubahan harga barang pokok tersebut.

Sebenarnya, salah satu faktor penting yang selalu harus mendapat
pengawasan dari pemerintah adalah persoalan distribusi. Masalah
distribusi sering menohok atas kenaikan harga barang pokok. Karena itu,
persoalan distribusi barang yang teramat penting jangan sampai lepas
dari pengawasan.Selain persoalan distribusi,masalah kualitas barang
jangan sampai diabaikan, misalnya soal kualitas barang, terutama yang
menyangkut makanan dan minuman yang sudah kedaluwarsa.

Tak kalah penting adalah ketersediaan pasokan bahan bakar minyak (BBM).
Berdasarkan data versi Pertamina, stok BBM nasional rata-rata cukup
untuk 23 hari ke depan.Tengok saja stok BBM pada 16 Agustus 2009 untuk
jatah premium tersedia stok yang cukup pada level 18,5 hari, solar
sebanyak 23 hari,dan minyak tanah aman hingga usai lebaran atau sekitar
42 hari.

Masih berdasarkan data perusahaan pelat merah itu, selama ini konsumsi
normal untuk solar tercatat 63.000 kiloliter per hari, diikuti premium
sebanyak 56.000 kiloliter,menyusul minyak tanah sekitar 13.000
kiloliter. Lalu avtur mencapai 7.000 kiloliter. Dengan mengacu pada data
pemakaian tersebut,pihak Pertamina berani mengklaim bahwa stok BBM cukup
terjamin.

Meski telah terjadi kenaikan harga barang pokok di sejumlah pasar
tradisional,sampai saat ini pemerintah masih tenang-tenang saja.Apakah
hal itu mengindikasikan bahwa pemerintah telah mempersiapkan betul
berbagai kemungkinan tindakan bila terjadi hal terburuk? Selain
itu,pemerintah juga harus terus memonitor ulah spekulan yang sering
memicu terjadinya kenaikan harga barang pokok menjelang puasa.

Selama ini berbagai modus spekulan tak sulit untuk dimonitor, misalnya
soal penumpukan stok untuk sejumlah barang pokok. Bila memang terbukti
mempermainkan harga, kita berharap pemerintah tak segansegan mengambil
tindakan.(*)


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/263274/

Pesantren,Kemerdekaan,Jihad,dan Terorisme

Pesantren,Kemerdekaan,Jihad,dan Terorisme

Pesantren adalah salah satu unsur penting dalam memperjuangkan
kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia.Pada dasawarsa terakhir abad
ke-19 sejumlah pemuda dari berbagai kawasan Nusantara yang sedang
mendalami ilmu agama di Mekkah, antara lain KH Hasyim Asy’ari dan KH
Ahmad Dahlan,berikrar di depan Kakbah untuk berjuang bersama mengusir
penjajah.


Para pemuda itu adalah alumni dari berbagai pesantren terkemuka di
Nusantara. Pesantren telah berabad-abad sebelumnya membantu banyak
pejuang di daerah yang berperang melawan Belanda. Ikrar di atas
merefleksikan adanya kesamaan jiwa menghadapi penjajah yang notabene
beragama lain. Pesantren konsisten menolak kerja sama dengan Belanda.
Pendiri Pesantren Tebuireng Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari menolak
tawaran penghargaan dan bantuan dari Pemerintah Hindia Belanda.

Panglima Tentara Jepang di Indonesia menyadari keberadaan para tokoh
pesantren yang mempunyai banyak pengikut.Maka KH Hasyim Asy’ari diminta
menjadi kepala sebuah lembaga yang mengurusi masalah yang berkaitan
dengan agama walaupun sebelumnya beliau pernah ditahan oleh Jepang
selama beberapa bulan. Dalam menjalankan tugas sehari-hari di Jakarta,
beliau diwakili oleh KH A Wahid Hasyim.

Resolusi Jihad

Para tokoh pesantren juga aktif berjuang bersama tokoh pejuang
kemerdekaan lainnya dalam merumuskan pembukaan dan batang tubuh UUD
walaupun harus diakui bahwa tokoh-tokoh utama dalam upaya perumusan itu
adalah tokohtokoh nonpesantren.

Hal itu wajar saja karena para tokoh pesantren memang tidak banyak yang
bergelut dengan ilmu-ilmu nonagama. Setelah proklamasi 17 Agustus 1945,
Sekutu mengambil alih kekuasaan di Indonesia dari tangan Jepang. Belanda
sebagai bagian dari Sekutu mendompleng kekuatan Sekutu.Mereka
memanfaatkan NICA (the Netherland Indies Civil Adminisration).

Banyak orang Indonesia menjadi kaki tangan NICA, Melihat gejala itu,PBNU
mengambil langkah mengeluarkan Resolusi Jihad pada tanggal 22 Oktober
1945.KH Hasyim Asy’ari membacakan fatwa yang mewajibkan para muslimin
yang layak maju perang yang berada dalam radius sekitar 90 km dari
Surabaya untuk membantu TNI dalam perjuangan melawan Belanda.Yang gugur
dalam perjuangan itu akan menjadi syuhada,mati syahid.

Fatwa itu mendorong puluhan ribu muslimin untuk bertempur melawan
Belanda yang berlindung di balik tentara Inggris.Tanpa resolusi itu
mungkin semangat jihad melawan Belanda dan Sekutu tidak terlalu
tinggi.Itulah salah satu jasa pesantren dalam membela negara Indonesia.
Sayang sekali dalam buku sejarah yang saya pelajari pada saat di SMP dan
SMA, peristiwa itu tidak dicantumkan.

Kekerasan Politik

Pada 18 September 1948 tokoh PKI Muso yang belum lama kembali dari
pelarian di Rusia memulai pemberontakan di Madiun. Dia menyatakan kepada
rakyat untuk memilih Soekarno-Hatta atau Muso.Banyak sekali kiai dan
tokoh pesantren yang dibunuh oleh anggota PKI dan tentara yang berpihak
kepada mereka.

Dalam tempo cepat, TNI dibantu kaum muslimin berhasil memadamkan
pemberontakan. Tahun 1950 PKI direhabilitasi dan boleh aktif
kembali.Dalam Pemilu 1955 PKI muncul sebagai kekuatan keempat.
Selanjutnya dalam era Demokrasi Terpimpin, PKI mendapat angin dari Bung
Karno sehingga kekuatan politiknya di atas kekuatan politik lain. Bung
Karno mengalami banyak tindak kekerasan politik untuk mencoba
membunuhnya.Yang pertama adalah penggranatan di sekolah Cikini pada
1957. Itulah peristiwa kekerasan politik pertama yang saya ketahui.

Selanjutnya Bung Karno juga mengalami percobaan pembunuhan kedua pada
salat Idul Adha di Jakarta. Bung Karno luput dan yang terkena adalah
Ketua DPRGR Zainul Arifin dari Partai NU. Zainul Arifin tidak terbunuh,
tetapi beberapa bulan kemudian wafat. Dalam sejumlah tindak kekerasan
politik di atas, tidak ada seorang pun dari pesantren yang terlibat.
Tahun 1965 PKI kembali memberontak dalam Peristiwa Gerakan 30
September.Kembali tokoh dan alumni tergerak untuk membantu TNI melawan
kekuatan pemberontak.

Dalam suasana perang,sejumlah pemuda Islam terpaksa mengikuti instruksi
TNI untuk melakukan tindak kekerasan politik yang menelan korban amat
banyak. Dalam tahun 1945, 1948, dan 1965/1966 banyak alumni pesantren
dan kaum muslimin melakukan peperangan yang bisa dikategorikan sebagai
jihad. Memang tindakan kekerasan tahun 1965 menempatkan sejumlah
pesantren pada posisi membunuh atau dibunuh. Peristiwa ini menimbulkan
bekas kejiwaan mendalam kepada keluarga korban.Alumni pesantren juga
tergabung dalam Syarikat yang terjun untuk mendampingi mereka.

Pesantren Ngruki

Oktober 2002 terjadilah pengeboman di Bali yang menelan ratusan korban
jiwa.Walaupun ada keraguan dari sejumlah pihak, termasuk beberapa
jenderal tentang kemampuan para terdakwa untuk melakukan pengeboman
itu,pengadilan memutuskan hukuman mati terhadap Amrozi dkk.

Tahun 2003 kembali terjadi pengeboman, kali ini di Hotel JW Marriott.
Tahun 2004, Kedutaan Australia yang menjadi sasaran.Tahun 2005 sekali
lagi Bali menjadi sasaran pengeboman. Terakhir adalah pengeboman di
Hotel Marriott dan Ritz Carlton. Amrozi, Imam Samudra, Ali Ghufron,
Asmar Latin Sani, dll adalah alumnus Pesantren Ngruki.

Pelaku lain adalah pemuda yang berhasil dibina oleh ustad untuk bersedia
melakukan tindakan yang amat dilarang di dalam Islam, tetapi pembina
berhasil meyakinkan pemuda-pemuda tersebut bahwa pengeboman itu adalah
jihad dan pelakunya akan masuk surga. Beberapa tahun lalu banyak pihak
menduga bahwa pesantren adalah sarang terorisme. Kini dugaan (bahkan
terkesan sebagai tuduhan) itu kembali muncul.

Tidak ada pesantren yang mengajarkan terorisme kepada santri. Pesantren
memberi ajaran Islam yang menganjurkan perbuatan baik, menjadi manusia
yang berguna bagi orang lain, membantu mereka yang kekurangan. Ahmad
Rofik,seorang alumnus Ngruki, menulis di Suara Karya (21/7) bahwa Ngruki
memang tidak mengajarkan terorisme, tetapi Imam Samudra,Amrozi, dll
adalah aktivis Islam yang telah terindoktrinasi ajaran perjuangan Islam
yang keras dan radikal.

Sikap teroris mereka bukan dibentuk oleh sistem dan kultur pendidikan di
Ngruki, tetapi oleh indoktrinasi ideologis. Menurut Rofik, mereka
umumnya bersikap santun, kehidupannya tertutup dari lingkungan, agamais,
berpindah-pindah rumah. Mereka memutuskan komunikasi atau silaturahmi
dengan keluarga besar dan mempunyai kelompok pengajian yang tidak bisa
diikuti oleh muslim kebanyakan.

Bambang Pranowo menulis di Koran Tempo (14/8) tentang Ustaz Abu Bakar
Baasyir yang menyatakan bahwa pengeboman di JW Marriott itu di mata
Allah tergantung niatnya. Jika niatnya baik,yatindakan itu baik.Ucapan
itu tampaknya merupakan pembenaran terhadap tindakan Amrozi dkk. Itu
mungkin bisa menjadi acuan alumnus Ngruki lainnya.

Padahal niat baik di dalam Islam harus diikuti dengan cara yang baik.
Islam tidak membenarkan ajaran “tujuan menghalalkan cara”. An-Nisa: 93
jelas melarang kita membunuh dengan sengaja.Al Ma’idah: 32 melarang kita
membunuh tanpa alasan yang dibenarkan syariat. Kalau kita melakukannya,
sama dengan membunuh semua orang di dunia.(*)

Salahuddin Wahid
Pengasuh Pesantren Tebuireng


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/263275/