BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Terjadi Perdebatan Tajam Antarelite

Terjadi Perdebatan Tajam Antarelite

Written By gusdurian on Jumat, 21 Agustus 2009 | 12.15

Terjadi Perdebatan Tajam Antarelite

JAKARTA (SI) – Usulan agar pemilihan gubernur dipilih langsung oleh DPRD
atau presiden melahirkan berbagai spekulasi.Bahkan,terjadi perdebatan
yang sangat tajam di kalangan elite politik.


Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menilai bahwa perubahan sistem pemilihan
gubernur oleh DPRD tidak melanggar asas demokrasi berdasarkan UUD 1945.
Karena itu, dia menilai tidak perlu dilakukan amandemen UUD jika
pemilihan gubernur dikembalikan ke sistem semula melalui DPRD.Menurut
dia, dalam UUD tidak disebutkan bahwa kepala daerah dipilih secara
langsung.”UUD hanya menyebutkan, kepala daerah dipilih secara demokratis.

Itu bisa diartikan bahwa pemilihan demokratis itu bisa dilakukan secara
langsung atau secara perwakilan,” katanya di Gedung DPR/MPR, Jakarta,
kemarin. Sebaliknya,Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Ginandjar
Kartasasmita menilai pemilihan gubernur oleh DPRD merupakan sebuah
kemunduran.Menurut dia, mekanisme tersebut tidak sejalan dengan semangat
demokrasi dan justru akan membawa Indonesia kembali ke rezim Orde Baru
(Orba). ”Pemilihan kepala daerah (pilkada) itu kanharus demokratis.Itu
artinya dipilih langsung oleh rakyat.

Kalau dipilih DPR, itu seperti Orde Baru saja.Waktu itu kan presiden
dipilih oleh MPR. Kita tentu tidak ingin demokrasi yang telah melangkah
lebih maju ini mundur kembali,” katanya di Gedung DPD,Jakarta,kemarin.
Mantan Menteri Pertambangan dan Energi era Orba ini menilai, untuk
menekan mahalnya biaya yang harus ditanggung pemerintah dalam model
pemilihan langsung, cukup dilakukan penggabungan pilkada dan pemilu
anggota legislatif.

Dengan penggabungan ini, dalam lima tahun hanya akan ada tiga kali
pemilihan langsung, yaitu pemilihan legislatif, pilkada, dan pemilihan
presiden (pilpres). Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Ferry
Mursyidan Baldan sependapat dengan Ginandjar. Dia menilai,usulan untuk
mengembalikan pemilihan gubernur ke DPRD merupakan kemunduran dalam
proses demokrasi di Indonesia.Alasannya, hal tersebut berpotensi
melemahkan posisi politik gubernur.

”Pelemahan ini akan melahirkan suatu rentang pemerintahan yang terlalu
luas,dan menjadikan pemerintahan yang tidak efektif,” katanya kepada
wartawan di Gedung DPR kemarin. Menurut politikus Partai Golkar ini, hal
yang harus dilakukan adalah bagaimana evaluasi terhadap pelaksanaan
pemilihan gubernur sebagai bagian dari pilkada. Jika alasannya untuk
efisiensi, maka diperlukan langkah untuk menyederhanakan jadwal
pelaksanaan pilkada. Misalnya, tiap kurun waktu 5 tahun (2009–2014)
hanya ada dua hari untuk pelaksanaan pilkada.

Dia mengusulkan jadwal pilkada untuk gubernur dan bupati- /wali kota
diserentakkan di seluruh Indonesia, dengan masa transisi untuk kurun
waktu 2009–2014. ”Yang harus direformulasi adalah bagaimana
mengefisienkan proses pilkada dan bagaimana mengefektifkan pemerintahan
pascapilkada tanpa harus menimbulkan implikasi yang luas terhadap bentuk
pemerintahan,” ujar anggota Komisi II ini.

Ferry menegaskan, pemilihan bukan untuk pemilihannya semata tapi sarana
atau cara untuk membentuk pemerintahan. Untuk mewujudkan pilkada
serentak, dia mengusulkan revisi UU Pemda. Jika tidak memungkinkan, maka
pemerintah bisa mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti
undang-undang, khususnya yang berkaitan dengan pengangkatan penjabat
sementara terhadap kepala daerah yang habis masa jabatannya.

Menanggapi kontroversi mengenai pemilihan gubernur oleh DPRD tersebut,
Hidayat Nur Wahid menjelaskan sejumlah alasan. Menurut dia, pemilihan
gubernur oleh DPRD akan mencegah berbagai praktik kecurangan yang kerap
terjadi baik dalam proses pemilihan umum (pilkada) maupun pemilihan
kepala daerah (pilkada). Dia menyebutkan salah satunya adalah praktik
politik uang.

Dalam pemilihan langsung, politik uang dinilai sulit dilacak dan
dikontrol. Selain melibatkan oknum partai politik, juga bersentuhan
dengan berbagai macam kelompok masyarakat. ”Akan makin banyak yang harus
diawasi.Ini tentu akan makin menyulitkan untuk menekan politik uang.
Terbukti dengan pemilihan langsung itu kan masih marak saja politik
uang. Bahkan, jumlahnya makin besar,” katanya di Gedung
MPR,Jakarta,kemarin.

Jika pemilihan gubernur dilakukan DPRD, politik uang lebih mudah dilacak
dan diawasi terutama oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). ”Saat Orde
Baru (Orba), sebelum pemilihan gubernur anggota DPRD itu dikarantina.
Mereka dilarang untuk melakukan pertemuan dengan orang luar selama
proses pemilihan itu berlangsung,” katanya. Untuk menghindari praktik
politik uang,menurut dia,sebelum anggota DPRD dikarantina, mereka harus
menyerahkan rekening mereka.

”Lalu tempatkan anggota KPK di sana. Umumkan bahwa KPK telah menyadap
semua telepon mereka dan mengawasi aliran uang ke rekening mereka.
Dengan cara itu, saya kira politik uang bisa ditekan,”ujarnya.
Selanjutnya, dia menyebutkan bahwa pemilihan gubernur secara langsung
akan menjamin sistem keamanan.

Dibanding pemilihan secara langsung, dia menilai lebih berpeluang
terjadi gesekan dan konflik antarkelompok masyarakat. Terakhir,
pemilihan gubernur oleh DPRD dinilai akan meringankan beban keuangan
pemerintah. Pemilihan langsung selama ini banyak membebankan anggaran
masing-masing daerah. Namun demikian,Direktur Eksekutif Center for
Electoral Reform (Cetro) Hadar Nafis Gumay mengatakan,alasan soal
anggaran, praktik politik uang, dan sistem keamanan dalam pilkada tidak
relevan dengan perubahan sistem pemilihan gubernur.

Sebab, dari berbagai pelaksanaan pilkada di sejumlah provinsi, lebih
banyak yang berlangsung aman,tertib,dan damai. ”Jadi, lebih baik sistem
yang ada sekarang dievaluasi dulu. Kekurangannya bisa dicarikan format
baru tanpa harus mengubah dari sistem pemilihan langsung, kembali
dipilih DPRD,” katanya. (helmi firdaus/ahmad baidowi)


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/263892/
Share this article :

0 komentar: