BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Mengkaji Ulang Kepemilikan Asing di Bank

Mengkaji Ulang Kepemilikan Asing di Bank

Written By gusdurian on Jumat, 21 Agustus 2009 | 12.35

Mengkaji Ulang Kepemilikan Asing di Bank

Bank Indonesia (BI) akan mengkaji ulang kepemilikan asing pada perbankan
nasional.Sekitar 13 bank nasional kini mayoritas sahamnya dipeluk
asing,antara lain oleh investor dari Singapura, Malaysia,
Inggris,Australia, India, China.


Apa saja yang patut dikaji ulang? Banjir kepemilikan asing melanda
Indonesia sejak krisis moneter pada 1998, ketika keran kepemilikan
diperlonggar dari maksimal 49% menjadi 99%. Negeri ini menjadi surga
bank global.Bukan main. Manfaatnya? Ada pandangan yang mengatakan bahwa
masuknya asing akan menggairahkan perbankan nasional. Betul. Namun,
siapa yang mampu menjamin bahwa keuntungan mereka tidak lari ke luar
negeri?

Siapa yang akhirnya menikmati madu bisnis finansial dari Tanah Air?
Lirik saja,nilai aset bank asing dan bank yang sebagian besar sahamnya
digenggam asing per akhir Juni 2009 senilai Rp865,08 triliun setara
dengan 34,7% dari total aset perbankan yang mencapai Rp2.496,2 triliun.
Ini belum lagi banjir dana pada saham dan surat utang negara (SUN).
Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) mencatat hingga 6 Agustus 2009,
total nilai kepemilikan asing di saham mencapai Rp 715,9 triliun.

Jumlah ini setara 66,1% dari total nilai saham yang tercatat di KSEI
sebesar Rp1.083,1 triliun. Angka ini lebih tinggi ketimbang posisi akhir
Juni 2009 yang mencapai Rp613,6 triliun atau 65,68%. Investor asing juga
terus memburu SUN yang kini mencapai Rp90,98 triliun per 6 Agustus 2009.
Untuk itu, kini memang saatnya BI mengkaji ulang kepemilikan asing.
Terdapat beberapa hal yang patut dipertimbangkan untuk dikaji ulang.

Pertama, suka tidak suka kepemilikan asing harus dibatasi, misalnya
maksimal 40%. Bagaimana di negara lain? China,negara raksasa dengan
pertumbuhan ekonomi positif tertinggi 6,1% dan 7,9% masing-masing pada
kuartal I dan II 2009, membatasi kepemilikan asing di perbankannya
maksimal 25%. Apa manfaatnya? Negara masih menguasai mayoritas saham
sehingga dapat mengendalikan arah bisnis perbankan nasional.Jangan
lupa,bank nasional merupakan salah satu jeruji yang menopang dan
menggerakkan roda perekonomian nasional.

Namun, kini sebagian besar jeruji itu berada dalam pelukan asing.
Kondisi saat ini bak menegaskan bahwa bank asing alias bank yang
mayoritas sahamnya dikuasai asing disetir kantor pusatnya. Salah? Oh
tidak, mengingat pemilik mayoritas saham memang bertindak sebagai
pemegang saham pengendali. Maka tidak aneh,meski BI Rate terus menipis
hingga 300 basis poin (bp) dari Desember 2008 sampai Agustus 2009 yang
bertujuan untuk menekan bunga kredit, tapi bank yang sahamnya mayoritas
dimiliki asing—atau kita sebut saja “bank asing”—tetap
bergeming.Alhasil, suku bunga acuan itu menjadi mandul.

BI pun pening tujuh keliling, sehingga kini sedang memikirkan formula
untuk menggugah bank nasional agar mau menurunkan bunga kredit secara
signifikan. Kedua,Arsitektur Perbankan Indonesia (API) pun perlu ditata
kembali, antara lain dengan memasukkan butir batas kepemilikan asing
pada perbankan nasional. Bagaimana yang sudah telanjur melebihi batas
maksimal kepemilikan asing?

Sahamnya dapat dilepas sesuai dengan mekanisme pasar. Bahkan pemerintah
pun bisa membeli kembali (buy back) saham tersebut. Pada 2010,bank
nasional wajib memenuhi modal inti (tier I) minimal Rp100 miliar dan
penerapan Basel II dengan rasio kecukupan modal (capital adequacy
ratio/CAR) 12%. Kewajiban ini secara tidak langsung akan memicu lahirnya
merger atau akuisisi bagi bank nasional papan bawah.

Ketika pemegang saham pengendali tidak mampu menambah modal, mereka
bakal melakukan merger, bahkan diakuisisi oleh investor asing.Waktu
terus berjalan tanpa bisa distop. Karena itu, BI dituntut untuk segera
merevisi API terkait dengan batas kepemilikan asing tersebut. Ketiga,
ada pendapat yang menyatakan bahwa “bank asing” lebih banyak bermain di
kredit konsumsi daripada di kredit modal kerja dan investasi.Mengapa?

Karena kredit konsumsi lebih rendah potensi risikonya sehingga hampir
semua bank nasional terjun untuk menggarap segmen yang legit ini. Maka,
sungguh wajar ketika suku bunga rata-rata segmen kredit konsumsi justru
melejit dari 15,98% per Mei 2009 menjadi 16,07% per Juni 2009. Padahal,
segmen kredit modal kerja dan investasi justru menipis masing-masing
dari 14,27% menjadi 14,04% dan dari 13,50% menjadi 13,34% pada periode
yang sama (Statistik Perbankan Indonesia, BI,Juni 2009).

Karena itu, API juga perlu menggariskan bahwa setiap bank nasional wajib
menyalurkan kredit per segmen dengan porsi tertentu. Katakanlah,kredit
konsumsi maksimal 20% sehingga kredit modal kerja dan investasi dapat
terdongkrak naik secara signifikan. Secara agregat, kredit konsumsi
lebih cenderung bersifat konsumtif,sehingga kurang trengginas dalam
menggerakkan ekonomi nasional. Ini berbeda dari kredit modal kerja dan
investasi yang lebih bersifat produktif.

Bank nasional juga wajib menyalurkan kredit ke usaha menengah, kecil dan
mikro (UMKM) minimal 20% yang dulu pernah diterapkan. Sektor UMKM yang
terkenal kokoh ternyata terpeleset. Artinya, kredit bermasalah
(nonperforming loan/NPL) pun melejit 1,42% dan 14,01% masing-masing pada
kelompok bank pembangunan daerah (BPD) dari Rp1.666 miliar menjadi
Rp1.690 miliar dan bank asing dan campuran dari Rp1.890 miliar per Mei
2009 menjadi Rp2.198 miliar per Juni 2009.

Adapun NPL UMKM pada kelompok bank persero dan bank swasta nasional
membaik masing-masing 3,23% dan 3,20% per Juni 2009. Kewajiban tersebut
diharapkan mampu mengangkat penyaluran kredit usaha rakyat (KUR) yang
hanya mencapai Rp2,26 triliun per semester I/2009. Ini jauh di bawah
target pemerintah Rp20 triliun pada akhir 2009.

Dengan demikian,mimpi bank nasional menjadi tuan rumah di negeri sendiri
bakal segera terwujud. Bank nasional perkasa di tengah sengitnya
persaingan perbankan, bukan sebagai pemain cadangan, bahkan menjadi
penonton ketika bank asing dan ”bank asing”berbisnis ria.(*)

Paul Sutaryono
Pengamat & Praktisi Perbankan


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/264066/
Share this article :

0 komentar: