BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Puasa dalam Tradisi Salaf

Puasa dalam Tradisi Salaf

Written By gusdurian on Rabu, 19 Agustus 2009 | 10.02

Puasa dalam Tradisi Salaf
Oleh Rozihan

SITI Maryam ibunda Nabi Isa Al Masih adalah wanita salihah dan terpuji di mata
Tuhan. Ketika dia hilang dari kampung halamannya dan kembali setelah sekian lama
dengan seorang bayi, orang-orang bertanya, "Hai saudara Harun, ayahmu bukanlah
orang yang jahat dan ibumu bukanlah seorang pezina. Maka Maryam menunjuk kepada
anaknya. Mereka berkata: Bagaimana kami akan berbicara kepada anak kecil yang
masih dalam ayunan?"

Fragmen Siti Maryam ini terekam dengan indah dalam Alquran surat Maryam Ayat 28
dan 29.

Mengapa Siti Maryam yang dituduh berbuat mesum itu justru dimuliakan oleh Allah
?

Allah
memerintahkan Siti Maryam untuk
puasa bicara. Ia disuruh tidak menanggapi tuduhan dari masyarakat yang macam
macam itu. Maryam hanya menjawab,
"Sesungguhnya aku telah bernazar
berpuasa untuk Tuhan yang maha pemurah, maka aku tidak akan berbicara kepada
seorang manusia pun pada hari ini. Maryam telah berjanji kepada Allah untuk
puasa bicara.''

Puasa bicara yang dilakukan oleh Maryam ternyata mampu mendengarkan suara bayi
yang dikandungnya. Ketika Maryam dihujat habis habisan oleh orang orang waktu
itu, bayi yang dibawanya menjawab, "Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan
kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku
dibangkitkan hidup kembali.''( QS Maryam : 33 ).

Berbeda dari Nabi Zakaria as. Jika Siti Maryam puasa bicara dari hujatan, Nabi
Zakaria. diperintahkan Tuhan untuk berpuasa bicara justru ketika menerima nikmat
sebagai rasa syukur kepada Nya (QSMaryam : 10 ), karena menerima anugerah dari
Allah dengan kehadiran seorang putra ketika usia telah senja.

Seorang anak bernama Yahya yang berhati lembut dan suci serta cerdas dan arif,
bertakwa kepada Allah, berkhidmat
kepada orang tua dan nilai nilai terpuji lainnya adalah produk puasa bicara
Zakaria as ketika istrinya mengandung.

Puasa bicara yang dilakukan oleh Nabi Zakaria as lebih merupakan ungkapan syukur
yang dicermikan dengan menghindari kebisingan dunia materi dengan menempuh jalan
hidup suasana keilahian, bersyukur dan bertasbih kepada-Nya.

Demikian pula puasa bicara yang diilhamkan oleh Allah kepada Maryam, karena
Allah bermaksud membungkam semua yang meragukan kesuciannya melalui ucapan bayi
yang dilahirkannya itu.

Pesan aplikatifnya, jika kita berdiskusi dengan orang yang hanya bermaksud
mencari kesalahan atau yang tidak jernih pemikiran dan hatinya, dalam konteks
ini Rasullah Muhammad bersabda " Meninggalkan sesuatu yang muspra merupakan
kesempurnaan seorang muslim" (min husnil islaamil mar'i tarkuhu maa laa ya'nih).

Tradisi Salaf

Dalam tradisi salaf (orang orang terdahulu ), puasa bicara atau lebih
banyak diam ini
dikenal sebagai sebuah ritus atau ibadah, termasuk oleh masyarakat jahiliah.

Sisa ritual itu sampai saat ini masih kelihatan bekasnya dalam bentuk
mengheningkan cipta. Rasulullah Muhammad melarang puasa diam. Maka mengheningkan
cipta bagi kaum muslimin Indonesia tidak boleh dipandang sebagai ibadah, tetapi
lebih diapresiasi sebagai rangkaian kegiatan untuk mendoakan arwah para syuhada
agar memperoleh tempat yang layak di sisi-Nya.

Memaknai puasa bicara dalam tradisi salaf pada era global berarti meninggalkan
pembicaraan yang tidak bermanfaat. Kesejatian seorang mukmin diukur ketika
berbicara itu memberi manfaat atau tidak.

Pesan nabi tentang produktivitas bicara itu terekam dalam sebuah hadits, ''Al
muslimu man salimal muslimuna min lisanihi wayadihi" (seorang muslim yang baik
adalah ketika berbicara dan bertindak selalu memberikan kesejahteraan bagi orang
lain).

Jika puasa bicara Maryam dan Zakaria berbekas pada diri
seorang bayi yang suci, maka pembicaraan yang produktif, efektif dan cerdas
nilainya sama dengan puasa bicara yang dilakukan oleh orang orang saleh yang
diajarkan dalam Alquran.

Aktivitas membaca dan berpikir serta menulis yang dapat membangun masyarakat
luas sebagai sebuah karya monumental, dan merupakan ibadah sosial telah
mengambil alih puasa bicara tradisi salaf pada era modern.

Demikian pula dengan kerja keras sebagai aktivitas fisik, yang dalam filsafat
jawa disebut dengan ungkapan rame ing gawe sepi ing pamrih.

Semua yang disebut di atas merupakan implementasi puasa dalam tradisi salaf.
Melakukan puasa seperti dilakukan orang saleh terdahulu itu dapat berlangsung
kapan saja dan tidak terbatas pada bulan Ramadan.

Tetapi, puasa Ramadan tetap menjadi bulan evaluasi dari keseluruhan kehidupan
kita. Terlalu banyak kredit kita kepada Allah yang belum terbayarkan.
Membebaskan yang tertindas selalu menjadi topik aktual
dalam pembahasan, tetapi masih jauh dalam kenyataan.

Simbol perjalanan politik Nabi Muhammad ketika mi'raj, beliau melihat seorang
yang dipotong-potong lidahnya adalah isyarat pentingnya bahasa perbuatan
ketimbang bahasa lisan.

Ungkapan ini lebih dikenal dalam adagium orang arab sebagai lisanul hal afsah
min lisanil maqal.

Istilah amal saleh adalah bahasa perbuatan. Dan sudah selayaknya Allah hanya
memberi ampunan sebagai pahala terbesar bagi mereka yang beriman dan beramal
saleh.

Demikian janji Allah dalam akhir surat Alfath. Masih banyak item amal saleh yang
ditawarkan. Mari kita perebutkan. Wallahua'lam.

-- Drs Rozihan, SH, MAg, dosen FAI Unissula Semarang, wakil ketua PW
Muhammadiyah Jawa Tengah, wakil ketua FKUB Provinsi Jawa Tengah.

*) Dikutip dari Harian Umum Suara Merdeka
Perekat Komunitas Jawa Tengah
Sabtu, 15 September
2007

[ Diteruskan dari Bapak Abdul Rosyid ]
Share this article :

0 komentar: