BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Pesantren,Kemerdekaan,Jihad,dan Terorisme

Pesantren,Kemerdekaan,Jihad,dan Terorisme

Written By gusdurian on Selasa, 18 Agustus 2009 | 08.40

Pesantren,Kemerdekaan,Jihad,dan Terorisme

Pesantren adalah salah satu unsur penting dalam memperjuangkan
kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia.Pada dasawarsa terakhir abad
ke-19 sejumlah pemuda dari berbagai kawasan Nusantara yang sedang
mendalami ilmu agama di Mekkah, antara lain KH Hasyim Asy’ari dan KH
Ahmad Dahlan,berikrar di depan Kakbah untuk berjuang bersama mengusir
penjajah.


Para pemuda itu adalah alumni dari berbagai pesantren terkemuka di
Nusantara. Pesantren telah berabad-abad sebelumnya membantu banyak
pejuang di daerah yang berperang melawan Belanda. Ikrar di atas
merefleksikan adanya kesamaan jiwa menghadapi penjajah yang notabene
beragama lain. Pesantren konsisten menolak kerja sama dengan Belanda.
Pendiri Pesantren Tebuireng Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari menolak
tawaran penghargaan dan bantuan dari Pemerintah Hindia Belanda.

Panglima Tentara Jepang di Indonesia menyadari keberadaan para tokoh
pesantren yang mempunyai banyak pengikut.Maka KH Hasyim Asy’ari diminta
menjadi kepala sebuah lembaga yang mengurusi masalah yang berkaitan
dengan agama walaupun sebelumnya beliau pernah ditahan oleh Jepang
selama beberapa bulan. Dalam menjalankan tugas sehari-hari di Jakarta,
beliau diwakili oleh KH A Wahid Hasyim.

Resolusi Jihad

Para tokoh pesantren juga aktif berjuang bersama tokoh pejuang
kemerdekaan lainnya dalam merumuskan pembukaan dan batang tubuh UUD
walaupun harus diakui bahwa tokoh-tokoh utama dalam upaya perumusan itu
adalah tokohtokoh nonpesantren.

Hal itu wajar saja karena para tokoh pesantren memang tidak banyak yang
bergelut dengan ilmu-ilmu nonagama. Setelah proklamasi 17 Agustus 1945,
Sekutu mengambil alih kekuasaan di Indonesia dari tangan Jepang. Belanda
sebagai bagian dari Sekutu mendompleng kekuatan Sekutu.Mereka
memanfaatkan NICA (the Netherland Indies Civil Adminisration).

Banyak orang Indonesia menjadi kaki tangan NICA, Melihat gejala itu,PBNU
mengambil langkah mengeluarkan Resolusi Jihad pada tanggal 22 Oktober
1945.KH Hasyim Asy’ari membacakan fatwa yang mewajibkan para muslimin
yang layak maju perang yang berada dalam radius sekitar 90 km dari
Surabaya untuk membantu TNI dalam perjuangan melawan Belanda.Yang gugur
dalam perjuangan itu akan menjadi syuhada,mati syahid.

Fatwa itu mendorong puluhan ribu muslimin untuk bertempur melawan
Belanda yang berlindung di balik tentara Inggris.Tanpa resolusi itu
mungkin semangat jihad melawan Belanda dan Sekutu tidak terlalu
tinggi.Itulah salah satu jasa pesantren dalam membela negara Indonesia.
Sayang sekali dalam buku sejarah yang saya pelajari pada saat di SMP dan
SMA, peristiwa itu tidak dicantumkan.

Kekerasan Politik

Pada 18 September 1948 tokoh PKI Muso yang belum lama kembali dari
pelarian di Rusia memulai pemberontakan di Madiun. Dia menyatakan kepada
rakyat untuk memilih Soekarno-Hatta atau Muso.Banyak sekali kiai dan
tokoh pesantren yang dibunuh oleh anggota PKI dan tentara yang berpihak
kepada mereka.

Dalam tempo cepat, TNI dibantu kaum muslimin berhasil memadamkan
pemberontakan. Tahun 1950 PKI direhabilitasi dan boleh aktif
kembali.Dalam Pemilu 1955 PKI muncul sebagai kekuatan keempat.
Selanjutnya dalam era Demokrasi Terpimpin, PKI mendapat angin dari Bung
Karno sehingga kekuatan politiknya di atas kekuatan politik lain. Bung
Karno mengalami banyak tindak kekerasan politik untuk mencoba
membunuhnya.Yang pertama adalah penggranatan di sekolah Cikini pada
1957. Itulah peristiwa kekerasan politik pertama yang saya ketahui.

Selanjutnya Bung Karno juga mengalami percobaan pembunuhan kedua pada
salat Idul Adha di Jakarta. Bung Karno luput dan yang terkena adalah
Ketua DPRGR Zainul Arifin dari Partai NU. Zainul Arifin tidak terbunuh,
tetapi beberapa bulan kemudian wafat. Dalam sejumlah tindak kekerasan
politik di atas, tidak ada seorang pun dari pesantren yang terlibat.
Tahun 1965 PKI kembali memberontak dalam Peristiwa Gerakan 30
September.Kembali tokoh dan alumni tergerak untuk membantu TNI melawan
kekuatan pemberontak.

Dalam suasana perang,sejumlah pemuda Islam terpaksa mengikuti instruksi
TNI untuk melakukan tindak kekerasan politik yang menelan korban amat
banyak. Dalam tahun 1945, 1948, dan 1965/1966 banyak alumni pesantren
dan kaum muslimin melakukan peperangan yang bisa dikategorikan sebagai
jihad. Memang tindakan kekerasan tahun 1965 menempatkan sejumlah
pesantren pada posisi membunuh atau dibunuh. Peristiwa ini menimbulkan
bekas kejiwaan mendalam kepada keluarga korban.Alumni pesantren juga
tergabung dalam Syarikat yang terjun untuk mendampingi mereka.

Pesantren Ngruki

Oktober 2002 terjadilah pengeboman di Bali yang menelan ratusan korban
jiwa.Walaupun ada keraguan dari sejumlah pihak, termasuk beberapa
jenderal tentang kemampuan para terdakwa untuk melakukan pengeboman
itu,pengadilan memutuskan hukuman mati terhadap Amrozi dkk.

Tahun 2003 kembali terjadi pengeboman, kali ini di Hotel JW Marriott.
Tahun 2004, Kedutaan Australia yang menjadi sasaran.Tahun 2005 sekali
lagi Bali menjadi sasaran pengeboman. Terakhir adalah pengeboman di
Hotel Marriott dan Ritz Carlton. Amrozi, Imam Samudra, Ali Ghufron,
Asmar Latin Sani, dll adalah alumnus Pesantren Ngruki.

Pelaku lain adalah pemuda yang berhasil dibina oleh ustad untuk bersedia
melakukan tindakan yang amat dilarang di dalam Islam, tetapi pembina
berhasil meyakinkan pemuda-pemuda tersebut bahwa pengeboman itu adalah
jihad dan pelakunya akan masuk surga. Beberapa tahun lalu banyak pihak
menduga bahwa pesantren adalah sarang terorisme. Kini dugaan (bahkan
terkesan sebagai tuduhan) itu kembali muncul.

Tidak ada pesantren yang mengajarkan terorisme kepada santri. Pesantren
memberi ajaran Islam yang menganjurkan perbuatan baik, menjadi manusia
yang berguna bagi orang lain, membantu mereka yang kekurangan. Ahmad
Rofik,seorang alumnus Ngruki, menulis di Suara Karya (21/7) bahwa Ngruki
memang tidak mengajarkan terorisme, tetapi Imam Samudra,Amrozi, dll
adalah aktivis Islam yang telah terindoktrinasi ajaran perjuangan Islam
yang keras dan radikal.

Sikap teroris mereka bukan dibentuk oleh sistem dan kultur pendidikan di
Ngruki, tetapi oleh indoktrinasi ideologis. Menurut Rofik, mereka
umumnya bersikap santun, kehidupannya tertutup dari lingkungan, agamais,
berpindah-pindah rumah. Mereka memutuskan komunikasi atau silaturahmi
dengan keluarga besar dan mempunyai kelompok pengajian yang tidak bisa
diikuti oleh muslim kebanyakan.

Bambang Pranowo menulis di Koran Tempo (14/8) tentang Ustaz Abu Bakar
Baasyir yang menyatakan bahwa pengeboman di JW Marriott itu di mata
Allah tergantung niatnya. Jika niatnya baik,yatindakan itu baik.Ucapan
itu tampaknya merupakan pembenaran terhadap tindakan Amrozi dkk. Itu
mungkin bisa menjadi acuan alumnus Ngruki lainnya.

Padahal niat baik di dalam Islam harus diikuti dengan cara yang baik.
Islam tidak membenarkan ajaran “tujuan menghalalkan cara”. An-Nisa: 93
jelas melarang kita membunuh dengan sengaja.Al Ma’idah: 32 melarang kita
membunuh tanpa alasan yang dibenarkan syariat. Kalau kita melakukannya,
sama dengan membunuh semua orang di dunia.(*)

Salahuddin Wahid
Pengasuh Pesantren Tebuireng


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/263275/
Share this article :

0 komentar: