BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » MERAH-PUTIH DI SAINT LOUIS

MERAH-PUTIH DI SAINT LOUIS

Written By gusdurian on Rabu, 19 Agustus 2009 | 09.42

*MUHAMMAD ARIEF BUDIMAN*
MERAH-PUTIH DI SAINT LOUIS

Dari ahli genetika tanaman, ia menjadi ahli genetika terpandang dalam
genetika sel kanker di Amerika. Seperti mengulang riwayat Joe Hin Tjio.

Matahari setengah rebah di Medari, Sleman, Yogyakarta. Asar sudah
datang. Zakaria bergegas mencari anaknya, Muhammad Arief Budiman. Dia
bisa berada di mana saja: di sawah, di kebun salak pondoh, atau—jika
sedang beruntung—ia akan ditemukan di sekitar rumah. Zakaria harus
menemukannya sebelum matahari terlalu rebah, agar anaknya tak melewatkan
salat asar dan mengaji di musala.

Saint Louis, Missouri, Amerika Serikat. Tiga puluh tahun kemudian....

Di sebuah ruang kerja di kompleks Orion Genomic, salah satu perusahaan
riset bioteknologi terkemuka di negeri itu, seorang lelaki Jawa berwajah
"dagadu"—sebab senyum tak pernah lepas dari bibirnya— kerap terlihat
sedang salat. Dialah anak Zakaria itu. Pada mulanya bercita-cita menjadi
pilot, lalu ingin jadi dokter karena harus berkacamata sewaktu SMP, anak
pekerja pabrik tekstil GKBI itu sekarang menjadi motor riset utama di
Orion. Jabatannya: Kepala Library Technologies Group. Menurut
BusinessWeek, ia merupakan satu dari enam eksekutif kunci perusahaan
genetika itu.

Genetika adalah cabang ilmu biologi yang mempelajari gen, pembawa sifat
pada makhluk hidup. Peran ilmu ini bakal makin sentral di masa depan:
dalam peperangan melawan penyakit, rehabilitasi lingkungan, hingga
menjawab kebutuhan pangan dunia.

Arief tak hanya terpandang di perusahaannya. Namanya juga moncer di
antara sejawatnya di negara yang menjadi pusat pengembangan ilmu
tersebut: menjadi anggota American Society for Plant Biologists dan—ini
lebih bergengsi baginya karena ia ahli genetika tanaman— American
Association for Cancer Research.

Asosiasi peneliti kanker bukan perkumpulan ilmuwan biasa. Dokter
bertitel PhD pun belum tentu bisa "membeli" kartu anggota asosiasi ini.
Agar seseorang bisa menjadi anggota asosiasi ini, ia harus aktif
meneliti penyakit kanker pada manusia. Ia juga harus membawa surat
rekomendasi dari profesor yang lebih dulu aktif dalam riset itu serta
tahu persis riset dan kontribusi orang itu di bidang kanker. Arief
mendapatkan kartu itu karena, "Meskipun latar belakang saya adalah
peneliti genome tanaman, saya banyak melakukan riset genetika mengenai
kanker manusia," ujarnya.

Kita pun seperti melihat sepenggal kecil sejarah Indonesia yang sedang
diputar ulang. Pada akhir 1955, ahli genetika (dulu pemuliaan) tanaman
kelahiran Jawa yang malang-melintang di Eropa dan Amerika, Joe Hin Tjio,
dicatat dengan tinta emas dalam sejarah genetika karena temuannya
tentang genetika manusia. Ia menemukan bahwa kromosom manusia berjumlah
46 buah—bukan 48 seperti keyakinan ahli genetika manusia di masa itu
("The Chromosome Number of Man. Jurnal Hereditas vol. 42: halaman 1-6,
1956). Tjio—lahir pada 1916, wafat pada 2001—bisa menghitung kromosom
itu dengan tepat setelah ia menyempurnakan teknik pemisahan kromosom
manusia pada preparat gelas yang dikembangkan Dr T.C. Hsu di Texas
University, Amerika Serikat. Bagaimana dengan Arief?

Sembilan tahun di Orion Genetics, bekas kasir toko kelontong di Islamic
Center di Bryan College Station, Texas, itu sudah membuat delapan
teknologi untuk menangani sel kanker manusia: satu sudah diganjar paten,
tujuh sedang menunggu persetujuan dari kantor paten Amerika. Temuan
pertama yang sudah dipatenkan adalah alat untuk menemukan biomarka
(penanda molekuler) pada penyakit kanker. Bentuknya serupa chip. Untuk
menciptakan chip pengendus kanker itu, "Kami mengembangkan metodenya
sejak lima tahun lalu," ujar bekas guru Al-Huda Islamic School di
College Station, Texas, itu.

Tujuh temuan lainnya yang sudah dimasukkan ke kantor paten untuk
mendapat pengesahan masih berhubungan dengan teknologi pemindai kanker.
Masing-masing pemindai gen untuk kanker payudara, kanker ovarian, kanker
hati, kanker kolon, kanker paru-paru, kanker melanoma, kanker kandung
kemih, kanker ginjal, dan kanker endometrial. "Kami mem-filling tujuh
paten itu dari penelitian selama tiga tahun," kata Arief.

Daya endus alat-alat itu terhadap sel kanker bisa diandalkan. Sekadar
contoh, pengendus kanker payudaranya memiliki sensitivitas di atas 90
persen. Dengan akurasi setajam itu, kalangan kedokteran menilai,
temuan-temuan tersebut akan merupakan arsenal penting dalam peperangan
melawan kanker-- penyakit pembunuh nomor wahid di dunia.

Soalnya, kebanyakan kanker hanya terdeteksi setelah tak bisa lagi
diobati. Nah, alat-alat ini mendeteksi adanya sel-sel kanker itu saat
masih "kuncup" sehingga peluang dibabat habis lebih besar. Caranya pun
mudah dan tidak invasif, cukup mengendus keberadaan gugus metil, sebuah
persenyawaan kimia antara karbon dan hidrogen. Ini karena, "Gen-gen pada
pasien kanker biasanya memiliki gugus metilasi," ujarnya.

Sebelumnya, Arief mengembangkan teknologi untuk mengaplikasikan gugus
metil pada pembacaan gen tanaman. Namanya penapis metil (methyl
filtration). Penyaring metil ini berfungsi menapis DNA sampah di dalam
gen sebuah tanaman, yang jumlahnya sekitar 50 persen dari seluruh gen
dalam tanaman itu, dengan mendeteksi gugus metilnya. "Jadi kita tidak
perlu lagi membaca semua sekuen genome dalam tanaman yang butuh waktu
lama dan biaya besar seperti yang dilakukan pada proyek genom padi
dengan BAC-nya," kata anak kedua dari tiga bersaudara ini.

BAC (bacterial artificial chromosome), yang menjadi bahan desertasinya
di Texas A&M Technology, adalah tonggak pertama dia dalam bidang
genetika di Amerika. Berkat daya gunanya, BAC kemudian menjadi mesin
utama dalam proyek megajuta dolar bertajuk "International Rice Genome
Sequencing Project". Proyek untuk mengurai genom padi yang dipimpin
Jepang ini mengerjasamakan laboratorium genom di Amerika, Cina, Prancis,
Taiwan, India, Thailand, Korea, Brasil, dan Inggris.

Toh, suami Rita Syamsuddin, sarjana Jurusan Tafsir dan Hadis IAIN Syarif
Hidayatullah dan Sastra Arab Universitas Indonesia, itu tak ingin
selamanya menaikkan bendera Merah-Putih di negeri orang. Ia mengaku akan
pulang pada suatu hari nanti. Saat ini masih ada keinginan yang belum
kesampaian: membawa riset tentang markamarka pembeda sel kanker dan sel
sehat ke tahap implementasi. Setelah itu, ia bisa pulang.

*MUHAMMAD ARIEF BUDIMAN, PHD * *Lahir: *Yogyakarta, 28 September 1970
*Istri: *Rita Sasmita Pritarni, SS, SAg *Anak: *Tiga orang *Pendidikan: *

* 1989-1990: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
* 1990-1999: Texas A&M Technology (Sarjana-PhD)
* 1999-2000: Clemson University Genomics Institute (postdoctoral)

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/08/18/Laporan_Khusus/krn.20090818.174154.id.html
Share this article :

0 komentar: