BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Para Hulubalang

Para Hulubalang

Written By gusdurian on Jumat, 21 Agustus 2009 | 12.32

Para Hulubalang
Oleh Toeti Adhitama Anggota Dewan Redaksi Media Group



PASANGAN Dr Susilo Bambang Yudhoono dan Prof Dr Boediono telah resmi
dinyatakan KPU sebagai presiden dan wakil presiden terpilih untuk
2009-2014. Kami mengucapkan selamat. Rasanya lega setelah ketegangan
pileg dan pilpres yang cukup lama dan merepotkan pikiran. Ditambah lagi
kecemasan dan kekesalan akibat perbuatan tercela orang-orang yang
mengail di air keruh, termasuk ledakan bom 17 Juli di Jakarta. Sekarang
keributan itu sudah berlalu. Semoga. Yang tersisa adalah usaha
pembenahannya sambil mengantisipasi apa yang terjadi the morning after.
Nenek moyang yang menciptakan peribahasa `Ada gula ada semut' amat bijak.
Kalimat singkat dan sederhana itu memiliki makna dalam-sedalam
interpretasi yang kita berikan.
Gula bisa berarti sumber kehidupan, kekayaan, kekuasaan maupun daya
tarik bentuk lain.
Gula bisa berarti sumber kehidupan bila merujuk ke Jakarta sebagai pusat
urbanisasi. Gula juga mengibarat- kan kekayaan atau kekuasaan ketika
para tokoh kaya raya atau yang punya kuasa dikerumuni orang-orang yang
mengharapkan sesuatu dari mereka. Begitu pula daya tarik lain-lain yang
dipuja banyak orang. Itulah yang sedang terjadi.

Maka berbahagialah mereka-mereka yang diibaratkan gula. Namun, setelah
manisnya habis, mereka pun terbuang. Itu berlaku bagi setiap orang.
Editorial Media Indonesia pada Selasa 18 Agustus memilihnya sebagai
topik: JK yang kalah dalam pemilihan capres terkesan dibelakangi
orang-orang yang sebelumnya membuntuti di kabinet atau mungkin juga di
urusan politik lainnya. Apakah wajar? Jawab JK, "Tidak wajar, tetapi
manusiawi." Habis perkara. Itu rupanya adat manusia. Pemimpinpemimpin
besar yang habis kuasanya di waktu lalu pun menjadi korban
ketidakpedulian. Bung Karno dan Pak Harto, contohnya. Ditambah dengan
ungkapan guilty by association (dianggap ikut bersalah bila mendekati),
semakin jaranglah orang-orang yang berani mendekati mereka yang
tersingkir. "Itulah politik," kata yang sinis.

Dua sisi mata uang "Politics at its best is a noble quest for a good
order and justice. At its worst politics is a selfish grab for power,
glory and riches."(Peter H Merkle, Continuity and Change, Harper and
Row, NY 1967). Politik, seperti uang logam, memiliki dua sisi. Dalam
bentuknya yang terbaik, dia adalah usaha mulia untuk menciptakan ta
tanan sosial yang baik dan adil. Dalam bentuknya yang terburuk, dia
menjadi alat merebut kekuasaan, kejayaan dan kekayaan untuk kepentingan
pribadi. Ungkapan itu dikutip Miriam Budiardjo (alm), penulis buku
Dasar-Dasar Ilmu Politik (1977) dalam pidatonya di upacara penganuger
ahan gelar doktor honoris causa dari Universitas Indonesia, Desember
1997. Pidato itu mengu pas soal akuntabilitas dalam ilmu politik.

Intinya menegaskan bahwa dalam negara demokrasi, akuntabilitas perlu
terjaga. Dia menunjukkan lembaga-lembaga mana yang se harusnya
menjalankan fungsi tersebut, ter masuk MPR dan DPR. Faktanya, sebagai
masyarakat de mokratis, kita memang masih lemah dalam akuntabilitas. Ini
antara lain mencerminkan bahwa dalam berpolitik, kebanyakan cenderung
memilih sisi buruknya. Politik dianggap kendaraan menggapai kekuasaan
atau kekayaan. Segala cara dilakukan untuk itu. Tidak ada ewuh-pakewuh.
Ramainya politik dagang sapi di kalangan partai-partai politik dan
politik uang dalam pileg dan pilpres membuktikannya.

Idealnya, partai-partai politik di negara demokrasi menjadi perantara
antara rakyat dan pemimpin-pemimpin yang mereka pilih. Lewat
partai-partai politik, rakyat ikut menentukan jalannya pemerintahan.
Dalam sistem kepartaian yang ideal, hanya dua partai atau lebih yang
bersaing lewat pemilihan umum. Tujuannya, mendapatkan kekuasaan agar
bisa menjalankan gagasan masing-masing. Menurut teori, ada atau tidaknya
sistem kepartaian itu menentukan apakah pemerintahan yang ada bersifat
demokratis atau totaliter. Dalam pemerintahan demokratis, sistem
kepartaian memberikan kebebasan penuh kepada konstituen untuk membuat
pilihan.
Timbul kesulitan bila jumlah partai berlebihan sehingga tidak ada
mayoritas yang efektif. Di Indonesia, yang kemudian terjadi adalah
pembentukan koalisi-koalisi. Bagaimana bentuk final ke depannya dan
kelancaran operasionalnya masih harus kita tunggu.

Kita tunggu siapa-siapa dan dari partai-partai apa yang akan terpilih
untuk mengisi lingkaran kekuasaan di keliling kepala negara. Siapa para
hulubalang raja?
Peran para hulubalang Alkisah, di zaman raja-raja di masa silam, seorang
raja memilih para hulubalang untuk membantu dan melayaninya dalam
menjalankan kekuasaan. Berhasil tidaknya pemerintahan seorang raja
bergantung pada rasa hormat, kesetiaan, kepatuhan, kemampuan, dan
keterampilan para hulubalang. Rasa hormat disebut yang pertama karena
dalam organisasi sekecil atau sebesar apa pun, yang penting pimpinan
harus mendapatkan rasa hormat, kesetiaan, dan kepatuhan mereka yang di
bawahnya. Wajar bahwa yang dipilih adalah orang-orang yang memiliki
kemampuan dan keterampil- an. Situasi itu masih berlaku sampai sekarang.
Dalam masyarakat modern yang kompleks, kepemimpinan suatu organisasi,
termasuk organisasi politik seperti negara.
Sudah menjadi sangat teknis sifatnya. Situasi menuntut pimpinan memiliki
lingkaran kekuasaan yang diisi ahli-ahli di berbagai bidang sehingga
kepemimpinannya mampu merespons situasi yang terus berubah dan sering
menimbulkan tekanan-tekanan. Pimpinan dituntut mampu terus-menerus
menyesuaikan diri, begitu pula lembaga yang dipimpinnya. Kekompakan
menjadi keharusan karena itu menjadi hak prerogatif pimpinan untuk
menentukan siapa-siapa yang masuk dalam lingkaran kekuasaan sebagai
pembantunya, sebagai hulubalangnya. Citra pimpinan ditentukan citra para
hulubalangnya. Kita ingat betapa agungnya aura Pak Harto berkat bantuan
para hulubalangnya.
Dalam kebijakan ekonomi, misalnya, kelompok hulubalang itu dinakhodai
Widjojo Nitisastro.
Gelar bapak pembangunan diperoleh presiden kedua berkat kelompok itu.
Dalam manajemen ada ungkapan, "An eagle flies alone". Dalam mengambil
keputusan terakhir memang pemimpin tertinggi yang menentukan. Sebab
dialah yang memimpin dalam proses pengambilan keputusan. Namun, dalam
operasional sehari-hari, para hulubalang yang seharusnya banyak menentukan.

Oleh karena itu, ketika lagu Indonesia Raya tidak berkumandang sebelum
pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di DPR dalam rangka perayaan 17
Agustus, bukan Agung Laksono yang alpa, melainkan para hulubalangnya
yang teledor. Itu sekadar contoh. Dalam organisasi-organisasi lain pun,
besar atau kecil, sama keadaannya. Bila para hulubalang salah atau
meleset dalam pertimbangan bisa membuat kesalahan fatal yang
mencelakakan pimpinan. Para hulubalang bukan hanya menentukan citra,
melainkan juga nasib pimpinannya.
Mutu seorang pimpinan dapat diperkirakan dari mutu jajaran hulubalang
yang dipilihnya.
The 1st class chooses the 1st class. The 2nd class chooses the 2nd
class. Pemimpin yang kuat memi lih orang-orang kuat sebagai pembantulih
orang-orang kuat sebagai pembantu nya. Dia tidak akan memilih anak buah
yang lemah dan ikut-ikutan. Situasiyang lemah dan ikut-ikutan. Situasi
nya tidak beda dengan di masa silam. Kejayaan seorang raja adalah
kepiawaian para hulubalangnya. Se baliknya, kelemahan para hulubalangnya
mencergnya mencerminkan kele mahan se orang raja.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/08/21/ArticleHtmls/21_08_2009_004_001.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: