BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Merdeka dari Orang Pintar

Merdeka dari Orang Pintar

Written By gusdurian on Rabu, 19 Agustus 2009 | 09.45

Merdeka dari Orang Pintar
Oleh: Bashori Muchsin

/Berusahalah untuk tidak menjadi manusia yang berhasil,/ /tapi
berusahalah menjadi manusia yang berguna/. (Albert Einstein)

*APA* yang disampaikan kimiawan terkenal itu cukup menggelitik. Kita
(manusia) diingatkan untuk terus berusaha bukan menjadi sosok pelaku
sejarah yang berhasil, tapi sebagai manusia yang berguna. Kita dikritik
supaya tidak meniti di jalan orang-orang sukses, tetapi di wilayah
orang-orang yang berguna. Kita disuruh agar tidak jadi pemburu dan
pembaru keberhasilan, tetapi aktivis yang giat memproduk hal-hal yang
berguna.

Sudah tidak terhitung banyaknya kegiatan yang digelar di tengah
masyarakat ini, namun "pergelaran" kegiatan itu tidak membawa
kemanfaatan. Kegiatan tersebut bisa mengantar seseorang atau sejumlah
orang mendapatkan label berhasil dan pintar, namun kegiatan itu gagal
menghadirkan kegunaan bagi masyarakat dan bangsa.

Cukup banyak aktivitas yang dilakukan seseorang atas nama kelompok,
institusi kependidikan dan keagamaan, partai politik, atau
lembaga-lembaga strategis berjustifikasi negara, kepentingan umum,
pembangunan, kemiskinan, atau pemberdayaan masyarakat (/social
empowering/), yang aktivitas tersebut bisa mengantar pelaksananya
berhasil meraih keuntungan politik dan uang berlipat-lipat.

Kalau bukan keuntungan politik dan uang, mereka berhasil meraih
popularitas, menaikkan "prestasi dan prestise" di ranah strata
sosialnya, atau berhasil memenuhi berbagai kebutuhan hedonismenya,
melampiaskan perburuan kepentingan biologisnya, atau sukses jadi
petualang hebat dalam mengumpulkan pundii-pundi kekayaannya.

Mereka itu pun akhirnya menjadi penasbih gaya hidup dan berelasi
sosial-politik dan bahkan keagamaannya dengan uang. Keberhasilannya
dominan menggunakan kalkulasi pada seberapa besar uang bisa diperoleh
atau mengalir kepadanya. Mereka tidak mendengar petuah Aristoteles yang
mengingatkan "semakin tinggi penghargaan manusia terhadap kekayaan
(uang), maka semakin rendahlah penghargaan manusia terhadap kesusilaan,
keadilan, kemanusiaan, dan kejujuran."

***

Di negeri ini, sudah banyak orang pintar yang bisa bermain dengan hebat,
melalui aktivitas yang ditawarkan, dijual, dan dibarterkan kepada pihak
lain. Seperti kolaborasi akademisi dengan birokrasi, atau politisi
dengan penguasaha (korporasi), yang membuatnya terus bisa berhasil atau
mendulang berbagai prestasi mentereng dan menghasilkan banyak uang.

Mereka itu bisa menunjukkan kelincahan lewat kemampuan rasio yang
digunakan untuk membuka peluang, menjalin dan menjaring kerja sama,
menyusun berbagai pola proposal atau rencana kerja yang membuatnya
sebagai sekumpulan "petualang" sukses, khususnya dalam mencairkan dan
mengalirkan anggaran-anggaran publik yang jumlahnya tidak sedikit, bisa
ratusan miliar hingga triliunan rupiah, baik yang bersumber dari APBN
maupun APBD.

Beda dengan orang miskin yang tidak berpendidikan tinggi atau tak
terkondisikan benar-benar pintar, mereka mustahil bisa menyusun dan
membuat proposal, rencana kerja, atau rumus-rumus ilmiah yang berharga
mahal. Pasalnya, dengan kemampuan yang serba terbatas, tidak adanya
akses kekuasaan, dan sangat sabarnya dalam menerima realitas
ketidakberdayaan telah membuatnya tidak kenal, apalagi "berkawan" dengan
uang besar.

Orang miskin seperti itu mustahil, rasanya, bisa memperoleh stigma
sebagai sosok atau golongan yang berhasil. Apa yang diperbuat lebih
sering sekadar untuk bertahan hidup.

***

Komunitas miskin Indonesia yang jumlahnya (ada yang menyebut) lebih dari
40 juta orang itu kesulitan menuai hak kemerdekaannya akibat sepak
terjang orang pintar yang menghegemoninya. Mereka kesulitan mendapatkan
hak kesejahteraan, pendidikan berkualitas, layanan kesehatan yang
memadai, dan citra diri sebagai warga yang hidup di negara hukum, akibat
perilaku orang pintar nakal atau kriminal yang mendesain dirinya menjadi
"neokolonialis".

Profil orang pintar "neokolonialis" tidak sulit ditemukan di berbagai
strata sosial dan struktural. Mereka bisa berdiri dan berperan di
tempat-tempat yang dikalkulasi atau direkayasa mampu mendatangkan
keuntungan besar. Mereka menjadi arsitek yang sangat lincah dan cerdas
dalam memburu dan mengumpulkan uang atau status ningrat yang
menguntungkannya secara eksklusif.

Mereka itulah yang disebut Enstein bukan kumpulan orang berhasil, namun
gagal memberikan manfaat atau kegunaan publik. Mereka menjajah
(merampas) hak milik masyarakat lewat proyek-proyek atau proposal yang
dikomoditaskannya, yang membuat dirinya bisa menuai kesuksesan atau
hidup makmur, namun apa yang dilakukan itu tidak berdampak membebaskan
masyarakat miskin.

Ketika seseorang atau sekelompok orang sudah hidup mapan, pintar, atau
secara ekonomi tergolong sebagai pemilik modal kuat, yang kepemilikan
ini dikembangkan menjadi kekuatan korporasi, yang dengan kepintaranya
bisa berkolaborasi dengan elite kekuasaan atau kelompok pintar "nakal"
untuk menggadaikan moral intelektualitasnya demi proyek yang di dalamnya
ada hak-hak publik.

Komunitas orang pintar telah bertualang sangat jauh, parah, dan
sistemik. Mereka seperti petarung dan pemburu yang tak kenal lelah dan
titik nadir dalam memburu, menjerat, dan menangkap buruannya.

Aktivitas orang pintar yang terjerumus dalam kriminalitas hak-hak publik
menjerumuskan masyarakat dan negeri ini, khususnya orang miskin, dalam
keterjajahan kronis. Orang pintar seperti itu telah membentuk dan
menghalalkan dirinya sebagai "neokolonialis" yang ke mana-mana hanya
sibuk memproduk keterjajahan (akumulasi penderitaan). (*)

* /*) Bashori Muchsin, / * /pembantu Rektor II Universitas Islam Malang/
Share this article :

0 komentar: