Menajamkan Nurani
*Abd A’la*
Dalam perspektif Islam, setiap manusia cenderung berada dalam fitrah
keberagamaan.
Hal itu berbentuk kesadaran tentang keterbatasan diri, sekaligus
ketergantungan kepada sesuatu di luar dirinya, khususnya kepada yang
gaib. Keterbatasan ini mengantar manusia untuk patuh kepada yang gaib.
Fitrah ini sejatinya bersifat al-hanafiyah al-samhah, yang selalu
mengajaknya bersikap dan berperilaku luhur. Fitrah ini melekat pada
kedirian manusia sejak lahir hingga maut menjemputnya.
Persoalannya, tidak setiap manusia mau atau dan mampu merasakan
getaran-getaran fitri ini. Realitas menunjukkan, dari hari ke hari,
perbuatan banyak manusia—khususnya umat Islam Indonesia—tidak
mencerminkan nilai-nilai keberagamaan luhur, tetapi justru bertentangan
secara diametral dengan nilai-nilai kemanusiaan hakiki.
Kehidupannya dipenuhi angkara murka dan kebejatan. Jika binatang
menerkam mangsanya sekadar untuk mempertahankan hidup atau karena
kehidupannya terancam, manusia yang tidak merasakan getaran kefitrahan
ini menghabisi—dalam pengertian luas—manusia lain lebih didorong
keserakahan dan ketamakan, yang sulit terpuaskan sampai kapan pun.
Untuk mengumbar nafsunya, manusia tanpa getaran nilai-nilai agama itu
bisa melakukan apa saja. Mereka bisa menampakkan diri sebagai
pengkhotbah, berbicara tentang etik-moralitas kejujuran, solidaritas
sosial, dan sejenisnya, tetapi senyatanya mereka adalah penghancur
nilai-nilai itu. Mereka juga bisa menahbiskan diri sebagai wakil rakyat,
ke mana-mana mengaku memperjuangkan kepentingan rakyat. Namun, pada saat
yang sama, mereka mengeruk uang rakyat, memakan uang haram, dan jika
mungkin menghabiskan kekayaan negeri ini. Manusia semacam ini juga bisa
berkeliaran di dunia pendidikan. Melalui pendidikan, bukan kecerdasan
dan pemberdayaan rakyat yang dilakukan. Mereka berkutat di dunia
akademis sekadar menutupi nafsu kekuasaannya.
Jelasnya, manusia dengan nurani keberagamaan yang tumpul telah menyesaki
ruang publik kita. Mereka ada di mana-mana, di sekitar kita,
atau—bisa-bisa—kita tanpa menyadari telah memetamorfosis menjadi manusia
seperti itu; manusia yang diperbudak oleh nafsu.
*Asah nurani*
Tumpulnya fitrah keberagamaan pada manusia semacam itu, salah satunya,
berpulang pada keengganan mereka untuk mengasah nurani. Kepenganutan
agama yang seharusnya diarahkan untuk mencerdaskan kedirian (spiritual,
emosional, dan intelektual) direduksi—sadar atau tidak—sekadar menjadi
tradisi yang membatu. Agama yang seharusnya mendewasakan manusia
dibiaskan sebagai tameng diri yang berproses mengerdilkan jiwa; mereka
meletakkannya sebagai kompensasi dosa-dosanya. Seperti anak kecil,
karena—misalnya—sudah mau sikat gigi, lalu merengek-rengek minta
dibelikan permen. Karena sudah shalat dan menjalankan perintah agama
yang lain, mereka merasa ”berhak” melakukan korupsi, menggerogoti uang
negara dan rakyat, atau melakukan perbuatan munkarat lainnya.
Mereka tidak menjadikan ritual agama, semacam shalat dan puasa, sebagai
proses dialog intens dengan Sang Pencipta untuk menelanjangi diri, dan
sebagai bentuk kepatuhan untuk menjalankan ajarannya dan menjauhi
dosa-dosanya, terutama dosa sosial yang nilainya jauh lebih berat dari
dosa yang privat.
Mereka tidak menjadikan agama sebagai dasar untuk membangun kehidupan
yang lebih baik bukan hanya di akhirat, tetapi di dunia ini dalam
berbagai dimensi, terutama di ranah publik dari ekonomi, sosial,
politik, hingga pendidikan.
Kondisi ini akan membuat agama kehilangan viabilitasnya. Klaim bahwa
bangsa ini taat beragama bisa-bisa menjadi bumerang yang menghancurkan,
jika tidak sekarang mungkin kelak pada masa datang. Karena itu,
pengembalian peran agama kepada ranahnya tak perlu diperdebatkan lagi.
Artinya, signifikansi rekonstruksi keberagamaan menjadi mutlak dilakukan.
*Pengendalian diri*
Puasa—dan tidak bisa ditunda lagi—niscaya dikembangkan sebagai momen ke
sana. Puasa sebagai ikon pengendalian diri sekaligus pengembangan
moralitas luhur—kejujuran, solidaritas sosial, dan sejenisnya—perlu
dilabuhkan dalam kehidupan dan diformulasi sebagai dasar pengembangan
sistem yang dapat merawat kelangsungan bangsa.
Tahun lalu kita telah berpuasa. Dua tahun lalu dan tahun-tahun
sebelumnya, kita juga berpuasa. Namun, kenyataan kehidupan di sekitar
kita tetap morat-marit. Bangsa ini tetap terpuruk dalam megapersoalan,
dari korupsi yang menjangkiti elite hingga politik yang penuh fitnah
yang nyaris menjadi tradisi para politisi. Semua ini menunjukkan, kita
hanya puasa sebatas lahir. Karena itu, Ramadhan ini harus dijadikan
puasa holistik yang mampu menajamkan nurani. Dengan ketajaman nurani,
kita akan merasa risi melakukan hal-hal yang syubhat, yang tidak jelas
nilai keluhurannya, apalagi yang jelas merugikan rakyat dan negara.
/*Abd A’la* Guru Besar; Pembantu Rektor 1 IAIN Sunan Ampel, Surabaya
/
/http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/21/04435032/menajamkan.nurani
Menajamkan Nurani
Written By gusdurian on Jumat, 21 Agustus 2009 | 12.10
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar