Melanjutkan Program Antikemiskinan
Oleh Razali Ritonga Kepala BPS Provinsi Sulawesi Tengah
MESKI dengan sejumlah catatan, keputusan Mahkamah Konstitusi yang
memenangkan KPU berarti secara otomatis tidak akan mengubah ketetapan
KPU sebelumnya atas kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono.
Dengan terpilihnya SBY-Boediono, arah kebijakan pemerintahan periode
mendatang tampaknya tidak jauh berbeda dengan periode sebelumnya.
Gambaran itu paling tidak dapat dicermati dari kampanye SBY-Boediono
pada waktu lalu yang menekankan pentingnya melanjutnya berbagai program
pembangunan dari masa pemerintahan 2004-2009. Ini berarti program
prorakyat, khususnya program antikemiskinan yang dijalankan sebelumnya
akan dilanjutkan pada periode pemerintahan mendatang.
Program antikemiskinan sebelumnya memuat dua aspek, yakni bantuan tunai
berupa bantuan langsung tunai (BLT) dan pemberdayaan berupa pemberian
kredit modal usaha. Namun, meski upaya yang dilakukan cukup intensif,
hasil yang diperoleh belum cukup memuaskan. Angka kemiskinan hanya turun
dalam kisaran 1%-1,5% per tahun. Bahkan, daya tahan penduduk terhadap
memburuknya ekonomi masih rapuh.
Fakta itu cukup memberikan gambaran bahwa pemerintah tidak cukup sekadar
melanjutkan program sebelumnya. Maka, pemerintah perlu mengevaluasi
program sebelumnya sambil mencari terobosan baru agar program
antikemiskinan berhasil optimal.
Aspek struktural Belum optimalnya program antikemiskinan yang lalu
ditengarai karena hambatan struktural.
Alasannya, kemiskinan merupakan produk dari pola hidup (life style),
kebiasaan, dan kultur. Secara faktual, kemiskinan struktural itu
tecermin dari budaya kerja yang cenderung malas, tidak kreatif, dan
pasrah atas nasib.
Padahal, kunci untuk keluar dari kemiskinan merupakan negasi dari
hambatan struktural itu.
Hal itu paling tidak ditunjukkan Korea Selatan, seperti yang dituliskan
Huntington dalam bukunya, Cultures Count (UNDP, Cultural Liberty and
Human Development, 2003, p 19). Kunci kemajuan Korea Selatan adalah
kerja keras, disiplin, gemar menabung, dan menghargai pendidikan.
Pada lima dekade lalu, Korea Selatan dan Ghana, misalnya, menunjukkan
kemajuan ekonomi yang hampir sama dan pendapatan per kapita yang tidak
jauh berbeda. Namun, kini pendapatan per kapita Korea Selatan besarnya
lima kali lipat jika dibandingkan dengan Ghana. Persoalan mendasar yang
mengakibatkan perbedaan itu adalah pada hambatan struktural yang masih
mengungkung masyarakat Ghana (UNDP, 2003).
Maka, berkaitan dengan fakta itu boleh jadi belum tuntasnya kemiskinan
di Tanah Air karena program antikemiskinan yang dijalankan belum mampu
mengatasi hambatan struktural yang melilit masyarakat. Jelasnya, program
antikemiskinan yang dijalankan belum bisa mengubah masyarakat menjadi
pekerja keras, haus pendidikan, dan suka berinvestasi. Bahkan, tidak
sedikit kalangan yang mengkhawatirkan bahwa BLT, misalnya, akan membuat
masyarakat kian tergantung (dependent), dan bantuan modal akan kian
meningkatkan risiko berutang.
Produktivitas rendah Salah satu instrumen penting yang diperkirakan
dapat berperan mengatasi hambatan struktural itu adalah upaya
meningkatkan produktivitas dan penciptaan kesempatan kerja. Karena
penyebab utama kemiskinan adalah rendahnya produktivitas dan ketiadaan
kesempatan kerja atau berusaha. Hal itu juga mengemuka dalam Deklarasi
Pengembangan Sosial di Kopenhagen pada 1995 sehingga peningkatan
produktivitas dan penciptaan lapangan pekerjaan ditetapkan sebagai
strategi utama penanggulangan kemiskinan.
Secara faktual, penduduk dengan produktivitas rendah (underemployed)
atau mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam
seminggu) di Tanah Air masih tergolong tinggi.
Tercatat, hampir sepertiga (30,4%) penduduk yang bekerja di Indonesia
tergolong underemployed (BPS, 2007). Sementara itu, angka pengangguran
juga masih tergolong tinggi, yakni sekitar 8,39% pada Agustus 2008 (BPS,
2008).
Tingginya angka pengangguran dan pekerja dengan produktivitas rendah
berpotensi menjadi miskin karena nihilnya dan kurangnya pendapatan. Hal
itu sepatutnya menjadi perhatian utama pemerintah dalam menjalankan
program antikemiskinan. Salah satu upaya yang mungkin bisa dilakukan
adalah meningkatkan kapasitas penduduk melalui pendidikan dan pelatihan
(capacity building).
Namun, banyak pihak meragukan bahwa pendidikan dan pelatihan dapat
mengatasi pengangguran dan peningkatan produktivitas. Pasalnya, hingga
kini tidak sedikit penduduk dengan pendidikan yang cukup memadai
berstatus menganggur. Hasil Sakernas Februari 2007, misalnya,
menunjukkan angka pengangguran terdidik atau mereka yang menyandang
gelar sarjana tercatat sekitar 7,02% (BPS, 2007).
Tingginya angka penganggur terdidik itu sekaligus mengisyaratkan ada
persoalan link and match antara kurikulum pendidikan dan kebutuhan pasar
kerja. Ditengarai, kurikulum pendidikan masih terlalu umum sehingga
lulusan perguruan tinggi belum siap terjun bekerja.
Untuk mengatasi persoalan link and match itu, Wardiman Djojonegoro,
mantan Menteri Pendidikan, pernah menyampaikan tentang perlunya
melakukan perubahan paradigma dari supply minded ke demand minded, yakni
dengan cara meningkatkan kompetensi suplai tenaga kerja (Kompas Cyber
Media, 17/12/2007). Capacity building merupakan cara terbaik untuk
meningkatkan kompetensi penduduk agar siap terjun bekerja dan mampu
meningkatkan produktivitas.
Atas dasar itu, untuk melanjutkan program antikemiskinan pada periode
mendatang, pemerintah perlu mempertajam sasaran program yang lalu. Suatu
program barangkali bisa disebut berhasil jika program itu mampu
meningkatkan kemampuan penduduk dan kemandirian dalam bekerja. Itu hanya
bisa dicapai jika penduduk telah berhasil mengatasi hambatan struktural
yang menjerat mereka dalam kemiskinan.
http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/08/19/ArticleHtmls/19_08_2009_018_003.shtml?Mode=0
Melanjutkan Program Antikemiskinan
Written By gusdurian on Rabu, 19 Agustus 2009 | 09.46
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar