BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » *Negara tidak cukup mendidik warga untuk membangun kesamaan sikap

*Negara tidak cukup mendidik warga untuk membangun kesamaan sikap

Written By gusdurian on Rabu, 19 Agustus 2009 | 10.01

*Negara tidak cukup mendidik warga untuk membangun kesamaan sikap
terhadap ancaman dan bahaya nasional.*

BAHAYA dan bahagia, kejahatan dan pahala, perang dan damai adalah
sesuatu yang amat relatif di Indonesia. Ini, di satu sisi
mengindikasikan sifat orang Indonesia yang tidak pernah berprasangka
buruk, tetapi di lain sisi juga menunjukkan betapa pendek memori
kolektif sebagai bangsa.

Ingatan pendek inilah yang menyebabkan inkonsistensi dalam sikap
terhadap sebuah malapetaka. Sebagai contoh bisa ditunjukkan perilaku
pemerintah terhadap terorisme, korupsi, dan narkoba.

Semua orang, termasuk pemerintah, sepakat bahwa terorisme, korupsi, dan
narkoba adalah kejahatan kemanusiaan luar biasa yang harus dilawan
dengan konsistensi luar biasa pula.

Tetapi dalam praktik terlihat inkonsistensi itu. Baru saja publik,
bahkan dunia mengutuk terorisme setelah bom bunuh diri di Hotel JW
Marriott dan Ritz-Carlton yang menewaskan banyak penduduk sipil tidak
berdosa di Jakarta. Tetapi pada tanggal 17 Agustus, bersamaan dengan
sukacita bangsa merayakan 64 tahun kemerdekaan, para terpidana
terorisme, korupsi, dan narkoba memperoleh remisi. Mereka dianggap
bagian dari terpidana biasa yang menurut undang-undang pantas memperoleh
remisi.

Adalah Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2006 yang tidak membedakan tiga
jenis kejahatan tersebut dari kasuskasus pidana umum. Dengan demikian
mereka juga berhak memperoleh remisi antara satu sampai enam bulan
setelah menjalani 1/3 masa hukuman.

Tidak mengherankan jika atas nama kemerdekaan dan sukacita, kita
menyaksikan terpidana terorisme bebas pada 17 Agustus. Demikian juga
halnya beberapa terpidana korupsi dan narkoba. Mengapa kita tidak bisa
memerangi korupsi? Mengapa seorang Noordin M Top masih leluasa
beroperasi dan menciptakan pengikut yang semakin banyak? Mengapa
narkotik semakin merebak dan merusak? Mengapa pembalakan liar tidak
pernah surut?
Jawabnya, karena kita tidak pernah bersepakat tentang musuh dan bahaya
bersama. Apa itu ancaman nasional, apa itu malapetaka, dan apa itu
kejahatan. Semuanya serbarelatif dan bisa dimaafkan sehingga tidak ada
efek jera bagi para pelaku dan calon pengikutnya.

Negara tidak cukup mendidik warga untuk membangun kesamaan sikap
terhadap ancaman dan bahaya nasional.
Negara malah mempertontonkan inkonsistensi yang melemahkan komitmen
nasional untuk memerangi kejahatan.
Remisi bagi terpidana terorisme, narkoba, dan korupsi adalah contoh yang
kasatmata.

Polisi dan kejaksaan boleh bersusah payah menangkap dan mengajukan
pelaku korupsi ke pengadilan. Tetapi di pengadilan kerja mereka
dicampakkan oleh para hakim dengan membebaskan terdakwa.

Itu juga yang kita saksikan dengan kasus-kasus pembalakan liar yang
lebih banyak dibebaskan daripada dihukum pelakunya. Padahal semua tahu
bahwa salah satu bencana terbesar di masa depan adalah hilangnya hutan
di Indonesia.

Semua berteriak bahwa pencurian ikan di laut Indonesia oleh nelayan
asing adalah kerugian amat besar. Tidak semata pencaplokan kekayaan
nasional, tetapi sekaligus menampar kedaulatan atas wilayah. Tetapi
dalam praktik, pencurian tetap dilanjutkan karena terjadi kompromi di
lautan antara pencuri dan yang seharusnya menangkap.

Jadi, sudah saatnya aturan dan undang-undang yang dibuat dan
dilaksanakan harus mendorong agar bangsa ini memiliki tekad kuat
memperbaiki diri. Hari Kemerdekaan 17 Agustus seharusnya menjadi
momentum untuk menggelorakan tekad bangsa memerangi berbagai kejahatan,
bukan melonggarkan.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/08/19/ArticleHtmls/19_08_2009_001_005.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: