Mendongkrak Komitmen Sosial
Oleh Toeti Adhitama Anggota Dewan Redaksi Media Group
A DAyang patut kita syukuri mengenai Pilpres 2009. Persaingan yang panas
melahirkan wacana kampanye yang mencerahkan, yakni ‘ekonomi kerakyatan’.
Tema yang akhirnya diusung semua pasangan pesaing itu mendongkrak
komitmen so sial untuk membantu rakyat kecil. Betapa pun besar kemajuan
yang telah kita capai, hal itu tidak menutupi kenyataan bahwa pada saat
ini jumlah rak yat miskin di Indonesia masih sekitar 37 juta.
Dalam menjalankan sistem ekonomi, perhatian yang mungkin bersifat
helicopter view selama ini dipaksa memfokus kepada persoalan yang minta
diprioritaskan, yakni masalah kemiskinan. Kemis kinan adalah perwujudan
ketidakadilan yang telah mengakibatkan puluhan juta fakir miskin In
donesia hidup sengsara. Kemiskinan juga melanggar HAM, itu persoalan
kompleks. Tiga pa sangan capres tentunya akan memaparkan pro
gram-program mereka demi perbaikan ekonomi yang mampu mengentaskan
rakyat dari ke miskinan. Sebagian platform memang sudah di bentangkan.
Masyarakat mudah-mudahan se ge ra tahu, siapa yang mereka anggap paling
tepat menjalankan mandat rakyat untuk mengatasi masalah yang satu itu,
mengingat konstelasi sosial-politik serta ekonomi nasional dan global
yang kita hadapi.
Pengangguran awal kemiskinan Pengangguran terjadi karena lapangan kerja
tidak mampu menyerap jumlah tenaga kerja yang ada. Kita disebut
penganggur bila tidak me miliki pekerjaan yang memberikan upah yang kita
perlukan untuk menghidupi diri dan keluarga.
Tujuan hidup, status, kontak sosial, struktur ke sibukan
sehari-hari--semua terkait dengan je nis pekerjaan yang kita miliki.
Sudah lebih dari satu abad penempatan tenaga kerja merupakan kegiatan
paling penting di negara-negara maju.
Semua tenaga kerja di sana mendambakan pekerjaan.
Tanpa pekerjaan disertai upah, mereka merasa terkucil, terbuang, tidak
dihormati, dikalahkan, dan bahkan menganggap dirinya mati-itu dramatisnya.
Di masyarakat kita mungkin berbeda situasinya karena kita masih memiliki
tradisi gotongro yong. Banyak penganggur bisa menjaga kelangsungan hidup
karena pertolongan sanak saudara. Namun, semakin maju suatu masyara kat,
keadaannya tentu semakin beda. Bagaimana pun, pengangguran membawa
kemiskinan.
Pada 2008, di Indonesia persentase angka pengangguran jika dibandingkan
dengan jumlah tenaga kerja dianggap salah satu yang tertinggi di Asia.
Untuk 2006, diperkirakan persentasenya 10,4% dari jumlah angkatan kerja
sekitar 103 juta, dengan total penduduk 238 juta lebih (terbesar ke-4 di
dunia). Bandingkan dengan persentase pengangguran di tiga negara
berpenduduk terbesar lainnya, pengangguran di China mencapai 4,20%, di
India 7,80%, dan di Amerika Serikat 4,80%.
Mengenai kemiskinan, yang antara lain akibat pengangguran, Indonesia
dianggap salah satu dari ne gara-negara yang paling banyak menampung
orang miskin dunia. Dari sekitar 6,6 miliar pen duduk dunia, se
tengahnya hidup de ngan biaya antara 1-2 dolar per hari.
Menurut Survei So sial Ekonomi Nasional BPS, dua tahun yang lalu jumlah
penduduk miskin Indonesia mencapai 37 juta lebih. Bila mereka berhasil
dientaskan dari kemiskinan, Pilpres 2009 benar-benar membawa berkah
karena kesuksesannya dalam mendong krak komitmen sosial.
Apa pun caranya Pada saat-saat ini, para capres sibuk mengampanyekan
program-program prorakyat. Antara lain, mereka wara-wiri ke pasar-pasar
tradisio nal.
Itu kelihatannya demi pencitraan kepedulian mereka atas nasib rakyat
kecil, khususnya kalangan usaha kecil dan menengah (UKM). Walaupun
kalangan elite mungkin menganggap kam pa nye semacam itu berlebihan,
tetapi sebaliknya mungkin akan mengena di hati rakyat jelata. Begitu
juga deklarasi Mega-Pro di pusat pembu angan sampah Bantar Gebang.
Sebaliknya, kampanye dengan wacana muluk-muluk yang ditujukan untuk
kalangan menengah ke atas tidak mung kin mereka pahami. Namun, apa pun
cara nya, kampanye menggolkan pasangan untuk kursi RI-1 dan RI-2 makin
marak dan menarik per hatian. Memang itu tujuannya--menarik perhatian.
Mengenai perdebatan hangat neoliberalisme versus ekonomi kerakyatan yang
mewarnai kampanye, kami kutip tulisan ekonom Dr Djisman S Simanjuntak di
Ekonomi Indonesia (2002) untuk memperingati 80 tahun ekonom Mohammad
Sadli “...Sepanjang menyangkut sistem ekonomi, sesungguhnya tidak ada
yang baru di kolong langit ini. Pilihan ekstremnya hanya dua, yaitu (1)
ekonomi pasar tanpa campur tangan kolektif, dan (2) perencanaan terpusat
tanpa kedaulatan produsen dan konsumen. Dalam kenyataannya, sistem yang
dianut sesungguhnya berada di antara kedua ekstrem tersebut. Dalam
pemilihan ini pun suara terbanyak bukanlah segala-ga lanya. Sistem
ekonomi harus merupa kan derivatif dari alam manusia di dalam alam
kehidupan.” Dalam kaitan ini, kata Djisman, patut disesalkan
“....Pemihakan apriori pada rekayasa kultural yang deterministik seperti
kap italisme, sosialisme dan ribuan isme-isme varian mereka.” Mengkaji
keberhasilan negara lain Letjen TNI (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo
dalam bab V bukunya Rakyat Sejahtera Negara Kuat (2007) menulis, “Dalam
reformasi yang ha rus menda tangkan kesejahteraan rakyat, peran ekonomi
amat penting. Namun, ekonomi itu harus disusun dan dilaksanakan untuk
mewujud kan kesejahteraan rakyat banyak, bukannya hanya mendukung
kepentingan segolongan ke cil komponen bangsa. Itulah yang dikehendaki
Pancasila dan UUD 1945 Pasal 33.
Karenanya, harus dibangun sistem ekonomi yang sesuai dengan tujuan
tersebut.” Mantan Duta Besar Berkuasa Penuh RI untuk Jepang itu
selanjutnya menyatakan, untuk membangun sistem ekonomi yang kita
perlukan, sebaiknya kita mengambil bahan perbandingan dari sesuatu yang
sudah berjalan. Dia antara lain memilih Jepang sebagai bahan pembanding.
Karena, kenyataannya UKM yang tampaknya sedang digandrungi para capres
kita itu, di Jepang mampu menyerap 90% angkatan kerja.
Seandainya pengerahan kegiatan UKM bisa berjalan seperti itu di
Indonesia, masalah pengangguran bisa teratasi dan orang-orang miskin
bisa dientaskan dari kesengsaraan. “Dalam sistem ekonomi Jepang,” kata
Sayidiman, “Peran pemerintah penting untuk mendukung jalannya eko nomi,
yaitu dalam bentuk yang dinamakan admi nistrative guidance.” Ia
menjelaskan, pemerintah Jepang menentukan dan mengarahkan jalan nya
perekonomian, termasuk dunia bisnis perusahaan besar. Akan tetapi
pelaksanaannya sepenuhnya ada di tangan para pelaku ekonomi.
Ekonomi Jepang sering dinamakan Japan incorporated dengan pemerintah
sebagai pimpinannya dan dengan peran utama di tangan UKM, termasuk aneka
macam koperasi. Di dalam negeri, pemerintah memengaruhi jalannya ekonomi
untuk mencegah yang kuat makan yang lemah.
Sekalipun UKM banyak yang menjadi penyuplai perusahaan besar (Sogo
Sosha), eksistensi mereka terjamin, tidak larut ditelan perusahaan besar.
Di lain pihak, Sogo Sosha juga mempunyai kesempatan berkembang untuk
membangun kekuatan bersaing di dunia internasional. Perusahaan besar
bersaing dengan memperoleh dukungan dari pemerintah dalam batas-batas
yang dimungkinkan peraturan dan ketentuan internasional.
Untuk menghadapi tuntutan perdagangan bebas yang selalu diluncurkan AS
dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), pemerintah Jepang selalu
berusaha melindungi usaha warganya agar tidak mati atau hancur ketika
berhadapan dengan usaha negara lain.
Menuju keseimbangan yang ideal Sistem perekonomian suatu negara
sebaiknya jangan hanya berorientasi pada kepentingan ekonomi, tetapi
juga kepentingan sosial. Itulah yang dilakukan Jepang. Sistem itu pun
kemudi an dianut di Korea Selatan. Menurut Sayidiman, sikap sosial
pemerintah Jepang itu tampak dalam mengambil keputusan-keputusan yang
tidak secara semena-mena mengorbankan eksistensi usaha kecil demi
kepentingan usaha besar. Tidak seperti yang dikeluhkan asosiasi pasar
tradisi onal Indonesia, misalnya, yang pasar-pasarnya pelan-pelan
tergusur oleh supermarket-supermarket yang megah. Di Jepang sekalipun,
supermarket dan pusat-pusat perbelanjaan besar terus berkembang,
usaha-usaha dagang kecil dijamin tetap memiliki hak hidup dan tidak
kehilangan pe langgan.
Ada prasyarat yang harus dipenuhi untuk bisa berhasil dalam pembangunan
ekonomi dengan spirit sosial. Prasyarat itu adalah agar birokrasi
pemerintahan diisi orang-orang yang bermutu, baik intelektualnya,
patriotismenya, maupun ke wi rausahaannya. Hanya dengan personel bermutu
dalam birokrasi, administrative guidance dapat berjalan efektif. Karena,
swasta besar maupun kecil akan patuh pada kepemimpinan biro krasi yang
bermutu. Demikian Sayidiman.
http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/05/29/ArticleHtmls/29_05_2009_006_001.shtml?Mode=0
Oleh Toeti Adhitama Anggota Dewan Redaksi Media Group
A DAyang patut kita syukuri mengenai Pilpres 2009. Persaingan yang panas
melahirkan wacana kampanye yang mencerahkan, yakni ‘ekonomi kerakyatan’.
Tema yang akhirnya diusung semua pasangan pesaing itu mendongkrak
komitmen so sial untuk membantu rakyat kecil. Betapa pun besar kemajuan
yang telah kita capai, hal itu tidak menutupi kenyataan bahwa pada saat
ini jumlah rak yat miskin di Indonesia masih sekitar 37 juta.
Dalam menjalankan sistem ekonomi, perhatian yang mungkin bersifat
helicopter view selama ini dipaksa memfokus kepada persoalan yang minta
diprioritaskan, yakni masalah kemiskinan. Kemis kinan adalah perwujudan
ketidakadilan yang telah mengakibatkan puluhan juta fakir miskin In
donesia hidup sengsara. Kemiskinan juga melanggar HAM, itu persoalan
kompleks. Tiga pa sangan capres tentunya akan memaparkan pro
gram-program mereka demi perbaikan ekonomi yang mampu mengentaskan
rakyat dari ke miskinan. Sebagian platform memang sudah di bentangkan.
Masyarakat mudah-mudahan se ge ra tahu, siapa yang mereka anggap paling
tepat menjalankan mandat rakyat untuk mengatasi masalah yang satu itu,
mengingat konstelasi sosial-politik serta ekonomi nasional dan global
yang kita hadapi.
Pengangguran awal kemiskinan Pengangguran terjadi karena lapangan kerja
tidak mampu menyerap jumlah tenaga kerja yang ada. Kita disebut
penganggur bila tidak me miliki pekerjaan yang memberikan upah yang kita
perlukan untuk menghidupi diri dan keluarga.
Tujuan hidup, status, kontak sosial, struktur ke sibukan
sehari-hari--semua terkait dengan je nis pekerjaan yang kita miliki.
Sudah lebih dari satu abad penempatan tenaga kerja merupakan kegiatan
paling penting di negara-negara maju.
Semua tenaga kerja di sana mendambakan pekerjaan.
Tanpa pekerjaan disertai upah, mereka merasa terkucil, terbuang, tidak
dihormati, dikalahkan, dan bahkan menganggap dirinya mati-itu dramatisnya.
Di masyarakat kita mungkin berbeda situasinya karena kita masih memiliki
tradisi gotongro yong. Banyak penganggur bisa menjaga kelangsungan hidup
karena pertolongan sanak saudara. Namun, semakin maju suatu masyara kat,
keadaannya tentu semakin beda. Bagaimana pun, pengangguran membawa
kemiskinan.
Pada 2008, di Indonesia persentase angka pengangguran jika dibandingkan
dengan jumlah tenaga kerja dianggap salah satu yang tertinggi di Asia.
Untuk 2006, diperkirakan persentasenya 10,4% dari jumlah angkatan kerja
sekitar 103 juta, dengan total penduduk 238 juta lebih (terbesar ke-4 di
dunia). Bandingkan dengan persentase pengangguran di tiga negara
berpenduduk terbesar lainnya, pengangguran di China mencapai 4,20%, di
India 7,80%, dan di Amerika Serikat 4,80%.
Mengenai kemiskinan, yang antara lain akibat pengangguran, Indonesia
dianggap salah satu dari ne gara-negara yang paling banyak menampung
orang miskin dunia. Dari sekitar 6,6 miliar pen duduk dunia, se
tengahnya hidup de ngan biaya antara 1-2 dolar per hari.
Menurut Survei So sial Ekonomi Nasional BPS, dua tahun yang lalu jumlah
penduduk miskin Indonesia mencapai 37 juta lebih. Bila mereka berhasil
dientaskan dari kemiskinan, Pilpres 2009 benar-benar membawa berkah
karena kesuksesannya dalam mendong krak komitmen sosial.
Apa pun caranya Pada saat-saat ini, para capres sibuk mengampanyekan
program-program prorakyat. Antara lain, mereka wara-wiri ke pasar-pasar
tradisio nal.
Itu kelihatannya demi pencitraan kepedulian mereka atas nasib rakyat
kecil, khususnya kalangan usaha kecil dan menengah (UKM). Walaupun
kalangan elite mungkin menganggap kam pa nye semacam itu berlebihan,
tetapi sebaliknya mungkin akan mengena di hati rakyat jelata. Begitu
juga deklarasi Mega-Pro di pusat pembu angan sampah Bantar Gebang.
Sebaliknya, kampanye dengan wacana muluk-muluk yang ditujukan untuk
kalangan menengah ke atas tidak mung kin mereka pahami. Namun, apa pun
cara nya, kampanye menggolkan pasangan untuk kursi RI-1 dan RI-2 makin
marak dan menarik per hatian. Memang itu tujuannya--menarik perhatian.
Mengenai perdebatan hangat neoliberalisme versus ekonomi kerakyatan yang
mewarnai kampanye, kami kutip tulisan ekonom Dr Djisman S Simanjuntak di
Ekonomi Indonesia (2002) untuk memperingati 80 tahun ekonom Mohammad
Sadli “...Sepanjang menyangkut sistem ekonomi, sesungguhnya tidak ada
yang baru di kolong langit ini. Pilihan ekstremnya hanya dua, yaitu (1)
ekonomi pasar tanpa campur tangan kolektif, dan (2) perencanaan terpusat
tanpa kedaulatan produsen dan konsumen. Dalam kenyataannya, sistem yang
dianut sesungguhnya berada di antara kedua ekstrem tersebut. Dalam
pemilihan ini pun suara terbanyak bukanlah segala-ga lanya. Sistem
ekonomi harus merupa kan derivatif dari alam manusia di dalam alam
kehidupan.” Dalam kaitan ini, kata Djisman, patut disesalkan
“....Pemihakan apriori pada rekayasa kultural yang deterministik seperti
kap italisme, sosialisme dan ribuan isme-isme varian mereka.” Mengkaji
keberhasilan negara lain Letjen TNI (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo
dalam bab V bukunya Rakyat Sejahtera Negara Kuat (2007) menulis, “Dalam
reformasi yang ha rus menda tangkan kesejahteraan rakyat, peran ekonomi
amat penting. Namun, ekonomi itu harus disusun dan dilaksanakan untuk
mewujud kan kesejahteraan rakyat banyak, bukannya hanya mendukung
kepentingan segolongan ke cil komponen bangsa. Itulah yang dikehendaki
Pancasila dan UUD 1945 Pasal 33.
Karenanya, harus dibangun sistem ekonomi yang sesuai dengan tujuan
tersebut.” Mantan Duta Besar Berkuasa Penuh RI untuk Jepang itu
selanjutnya menyatakan, untuk membangun sistem ekonomi yang kita
perlukan, sebaiknya kita mengambil bahan perbandingan dari sesuatu yang
sudah berjalan. Dia antara lain memilih Jepang sebagai bahan pembanding.
Karena, kenyataannya UKM yang tampaknya sedang digandrungi para capres
kita itu, di Jepang mampu menyerap 90% angkatan kerja.
Seandainya pengerahan kegiatan UKM bisa berjalan seperti itu di
Indonesia, masalah pengangguran bisa teratasi dan orang-orang miskin
bisa dientaskan dari kesengsaraan. “Dalam sistem ekonomi Jepang,” kata
Sayidiman, “Peran pemerintah penting untuk mendukung jalannya eko nomi,
yaitu dalam bentuk yang dinamakan admi nistrative guidance.” Ia
menjelaskan, pemerintah Jepang menentukan dan mengarahkan jalan nya
perekonomian, termasuk dunia bisnis perusahaan besar. Akan tetapi
pelaksanaannya sepenuhnya ada di tangan para pelaku ekonomi.
Ekonomi Jepang sering dinamakan Japan incorporated dengan pemerintah
sebagai pimpinannya dan dengan peran utama di tangan UKM, termasuk aneka
macam koperasi. Di dalam negeri, pemerintah memengaruhi jalannya ekonomi
untuk mencegah yang kuat makan yang lemah.
Sekalipun UKM banyak yang menjadi penyuplai perusahaan besar (Sogo
Sosha), eksistensi mereka terjamin, tidak larut ditelan perusahaan besar.
Di lain pihak, Sogo Sosha juga mempunyai kesempatan berkembang untuk
membangun kekuatan bersaing di dunia internasional. Perusahaan besar
bersaing dengan memperoleh dukungan dari pemerintah dalam batas-batas
yang dimungkinkan peraturan dan ketentuan internasional.
Untuk menghadapi tuntutan perdagangan bebas yang selalu diluncurkan AS
dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), pemerintah Jepang selalu
berusaha melindungi usaha warganya agar tidak mati atau hancur ketika
berhadapan dengan usaha negara lain.
Menuju keseimbangan yang ideal Sistem perekonomian suatu negara
sebaiknya jangan hanya berorientasi pada kepentingan ekonomi, tetapi
juga kepentingan sosial. Itulah yang dilakukan Jepang. Sistem itu pun
kemudi an dianut di Korea Selatan. Menurut Sayidiman, sikap sosial
pemerintah Jepang itu tampak dalam mengambil keputusan-keputusan yang
tidak secara semena-mena mengorbankan eksistensi usaha kecil demi
kepentingan usaha besar. Tidak seperti yang dikeluhkan asosiasi pasar
tradisi onal Indonesia, misalnya, yang pasar-pasarnya pelan-pelan
tergusur oleh supermarket-supermarket yang megah. Di Jepang sekalipun,
supermarket dan pusat-pusat perbelanjaan besar terus berkembang,
usaha-usaha dagang kecil dijamin tetap memiliki hak hidup dan tidak
kehilangan pe langgan.
Ada prasyarat yang harus dipenuhi untuk bisa berhasil dalam pembangunan
ekonomi dengan spirit sosial. Prasyarat itu adalah agar birokrasi
pemerintahan diisi orang-orang yang bermutu, baik intelektualnya,
patriotismenya, maupun ke wi rausahaannya. Hanya dengan personel bermutu
dalam birokrasi, administrative guidance dapat berjalan efektif. Karena,
swasta besar maupun kecil akan patuh pada kepemimpinan biro krasi yang
bermutu. Demikian Sayidiman.
http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/05/29/ArticleHtmls/29_05_2009_006_001.shtml?Mode=0