Neoliberalisme Kerudung ala PKS
*Miftah Sabri Mangkudun*
# Pemerhati politik dari Universitas Indonesia
Neoliberalisme bertujuan untuk mengembalikan kepercayaan kepada pasar.
Fondasi utamanya adalah kebebasan seluas-luasnya sehingga menciptakan
keadaan di mana kehidupan publik tunduk pada logika pasar. Tidak ada
ranah kehidupan yang tidak bisa dijadikan komoditas. Semua bisa
diperjualbelikan. Fungsi sosial masyarakat yang merupakan nilai dasar
manusia direduksi sedemikian rupa sehingga tidak lebih dari komoditas
ekonomi belaka. Pada kondisi seperti inilah politik tidak lagi memiliki
makna. Politik seharusnya merupakan keputusan-keputusan yang menawarkan
nilai-nilai. Sedangkan dalam konsep neoliberalisme, hanya satu cara
rasional untuk mengukur nilai, yaitu pasar.
Polemik seputar masalah neoliberalisme pada hari-hari belakangan ini
masih berkutat pada masalah kebijakan ekonomi. Masyarakat terjebak pada
perdebatan yang mengawang-awang. Kita pun berpikir seolah-olah tidak
terjebak dalam neoliberalisme. Pendakwa dan terdakwa dalam polemik
menahbiskan diri sebagai bukan bagian dari neoliberalisme. Sehingga pada
titik tertentu perdebatan ini berujung pada pencitraan diri yang
berlebihan. Tapi apakah benar kita belum terjebak dalam neoliberalisme?
Apakah kita belum mereduksi nilai sosial kemasyarakatan sekaligus masih
mengejawantahkan fungsi politik yang hakiki?
Sebelum pertanyaan-pertanyaan ini menjadi polemik jilid kedua dari
neoliberalisme, Mahfudz Sidik, salah seorang Ketua DPP Partai Keadilan
Sejahtera, telah menjawabnya. Sebagaimana diberitakan dalam situs
/www.mediaindonesia.com/ (Selasa, 26 Mei 2009), Mahfudz memberi
pernyataan, "...sentimen semacam ini (mengenakan kerudung) akan
dimanfaatkan oleh kandidat lainnya. Memang (penampilan) istri JK dan
Wiranto bagus. Kalau Ibu Ani dan istri Boediono memakai kerudung akan
memunculkan efek positif bagi publik terhadap dukungannya untuk
SBY-Boediono." Selanjutnya, masih mengutip portal berita yang sama,
Mahfudz menyatakan, jika saran memakai kerudung dilaksanakan, PKS akan
lebih mudah mengarahkan kader dan simpatisannya agar memilih
SBY-Boediono. Dalam media yang sama, hal ini didukung oleh Ketua DPP PPP
Lukman Hakim Syaifudin.
Dalam iklim demokrasi kita yang sangat menjunjung tinggi kebebasan ini,
bahasa politik semakin gampang dicerna. Ini bukan lantaran pesan-pesan
politik semakin mengakar dengan permasalahan masyarakat, melainkan
disebabkan oleh penyederhanaan politik itu sendiri. Mengenakan kerudung
yang merupakan sebuah nilai spiritual, yang dalam kaidah Islam arus
utama wajib hukumnya bagi setiap wanita, telah direduksi oleh Mahfudz
Sidik sekadar menjadi sentimen. Sehingga seolah-olah kerudung yang
dikenakan oleh istri Jusuf Kalla dan Wiranto hanya katalisator untuk
meningkatkan sentimen positif pasar (pemilih) terhadap pasangan
JK-Wiranto. Memperdagangkan kerudung sebagai sebuah "barang" tentu tidak
salah, banyak rakyat kita yang hidup dari usaha itu.
Tapi memperdagangkan "nilai" memakai kerudung sebagai sebuah komoditas
politik bukan hanya mereduksi nilai spiritual agama, tapi juga secara
tidak langsung mempertanyakan otoritas hukum agama. Bukankah pernyataan
di atas itu juga seolah-olah mempertanyakan otentifikasi pemakaian
kerudung oleh istri JK dan Wiranto; apakah karena Allah atau sekadar
untuk menciptakan sentimen positif? Saya tidak seberani Sidik menjawab
pertanyaan itu.
Bila Ibu Ani dan Ibu Herawati mengenakan kerudung, Mahfudz menyatakan
akan lebih mudah mengarahkan kader dan simpatisan PKS. Kerudung, yang
pada konsepnya merupakan wujud ketundukan kepada Yang Maha Kuasa, dalam
politik kita saat ini tunduk pada kehendak pasar. Penutup aurat itu
adalah sentimen yang bisa dimainkan di tengah-tengah pemilih yang dalam
asumsi para politikus kita lebih mementingkan simbol daripada nilai.
Kader dan simpatisan PKS pun berubah menjadi angka statistik di mana
aspirasinya tecermin dalam kurva-kurva yang akan bereaksi terhadap
sentimen simbol-simbol keagamaan, seperti kerudung. Bila nilai memakai
kerudung saja bisa direduksi sedemikian rupa menjadi sentimen, kita bisa
mempertanyakan simbol-simbol agama yang menjadi platform partai-partai
Islam, seperti PKS dan PPP. Maka semakin kuat saja kecurigaan bahwa
simbol-simbol agama yang selama ini diusung tidak lebih dari bentuk
neoliberalisme politik, reduksi nilai menjadi komoditas untuk
meningkatkan jumlah kursi dan menaikkan tawaran politik.
Pada saat nilai-nilai telah direduksi menjadi sentimen, kepemimpinan
menjadi komoditas dan rakyat cuma dianggap sebagai pasar, maka kita
tidak lagi perlu berdebat tentang apakah neoliberalisme itu telah hadir
di Indonesia ini. Kita tidak bisa lagi mensimplifikasi polemik seputar
neoliberalisme sekadar masalah kebijakan ekonomi. Sebab, yang menakutkan
dari neoliberalisme bukanlah pasar bebas yang akan terus memperlebar
jurang antara orang yang berpunya dan yang tidak, melainkan pada saat
politik tidak lagi mampu memberi keputusan-keputusan yang menghasilkan
nilai-nilai. Politik menjadi parade kepalsuan, nilai menjadi sentimen,
kepemimpinan jadi komoditas, rakyat jadi pasar, dan tentu saja semua
kepalsuan butuh konsep pencitraan diri yang sempurna. Para kandidat bisa
menghabiskan berhari-hari waktunya untuk memoles diri, sedikit hari yang
tersisa digunakan untuk menyambangi konstituen.
Kita perlu berterima kasih kepada Mahfudz Sidik dan PKS, yang lewat
pernyataannya memberi kita gambaran tentang neoliberalisme politik yang
tengah menggurita. Pernyataan ini memberi terang kepada kita tentang
anomali politik yang terjadi belakangan ini. Kerudung untuk Ibu Ani dan
Ibu Herawati, demikianlah cara PKS menerapkan neoliberalisme politik di
Indonesia.
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/06/01/Opini/krn.20090601.166797.id.html
Neoliberalisme Kerudung ala PKS
Written By gusdurian on Jumat, 19 Juni 2009 | 13.39
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar