BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Perang Bintang di Langit Pemilihan Presiden

Perang Bintang di Langit Pemilihan Presiden

Written By gusdurian on Jumat, 19 Juni 2009 | 13.16

Perang Bintang di Langit Pemilihan Presiden

*M. Fadjroel Rachman*
DIREKTUR EKSEKUTIF LEMBAGA PENGKAJIAN DEMOKRASI DAN NEGARA KESEJAHTERAAN
(PEDOMAN INDONESIA)

Tiga jenderal purnawirawan TNI Angkatan Darat akan bertarung terbuka
dalam pemilihan presiden dan wakil presiden 8 Juli 2009. Calon presiden
(capres) Jenderal (Purn.) Susilo Bambang Yudhoyono didampingi calon
wakil presiden (cawapres) Boediono, cawapres Jenderal (Purn.) Wiranto
mendampingi capres Jusuf Kalla, dan cawapres Letnan Jenderal (Purn.)
Prabowo Subianto mendampingi Megawati Soekarnoputri.

Ketiga kubu jenderal purnawirawan itu disesaki juga oleh puluhan
jenderal TNI/Polri, sehingga tak terhindarkan segala pengetahuan dan
keterampilan strategi dan taktik berperang dikerahkan untuk memenangkan
kubu masing-masing. Dari kemampuan strategi teritorial, intelijen,
logistik, dana, dan komunikasi disinergikan. Tentu ada yang kalah dan
menang. Dari kubu yang menang, para jenderal berharap posisi
pemerintahan ataupun posisi strategis lainnya.

Reformasi 11 tahun lalu sangat mendambakan TNI menjadi profesional
dengan pengetahuan tempur dan peralatan modern, sejahtera hidup diri dan
keluarganya, serta reorganisasi TNI. Pada 2004, Juwono Sudarsono,
Menteri Pertahanan, mengungkapkan tuntutan reformasi, yaitu reorganisasi
TNI, "Tentara Nasional Indonesia idealnya berada di bawah Departemen
Pertahanan, sedangkan kepolisian di bawah Departemen Dalam Negeri."

Tuntutan ini dijawab langsung oleh Jenderal (Purn.) SBY, dan ia
menyampaikan visi berbeda dalam "Dialog Calon Presiden dan Calon Wakil
Presiden" yang digelar Komisi Pemilihan Umum pada 1 Juni 2004. SBY tetap
meyakini bahwa panglima TNI lebih tepat berada di bawah presiden sebagai
kepala negara. Bahkan SBY juga meyakini teritorial TNI tidak perlu
dihapuskan, seperti tuntutan reformasi. Pernyataan tersebut diulangi
oleh SBY pada 2008, "Saya tidak pernah mengatakan akan membubarkan
teritorial TNI."

Ketika terpilih sebagai presiden pada 2004-2009, tentu postur dan
struktur TNI sesuai dengan keinginan SBY dan disetujui oleh TNI karena
presiden adalah panglima tertinggi TNI. Tentu saja SBY yang paling
berhak menentukan kebijakan terhadap TNI/Polri, usulan Menteri
Pertahanan itu hanya dilihat sebagai masukan.

*Bermain politik*
Bermain politik? Tentu saja tak bisa dihindarkan karena, setelah
pensiun, mereka adalah warga negara biasa yang sama hak
konstitusionalnya dengan warga sipil lainnya. Di sinilah kekhawatiran
timbul, apakah capres/cawapres dari TNI tidak mempengaruhi keputusan
netralitas TNI/Polri. Kita segarkan ingatan tentang militerisme Orde
Baru. Secara definisi, militerisme berarti keterlibatan total ABRI dalam
kehidupan negara dan masyarakat, di masa Orba dengan ideologi Dwi Fungsi
ABRI. Prakteknya melalui empat pilar, yaitu pertama, kekaryaan. Hampir
tidak ada jabatan publik yang rentan untuk diduduki anggota ABRI aktif
semasa Orba. Kekaryaan ini kemudian dihapuskan setelah tergulingnya
Jenderal Besar (Purn.) Soeharto dan rezim otoriter Orba.

Kedua, komando teritorial. Selama Orba inilah kekuatan represif yang
paling efektif dan ditakuti masyarakat sipil, dari kodam, korem, kodim,
koramil, sampai babinsa, dapat melakukan apa pun atas nama stabilitas
dan keamanan. Di kampus, komando teritorial memanfaatkan resimen
mahasiswa untuk mengawasi kegiatan mahasiswa. Komando teritorial tetap
aktif, efektif, dan mengalami peremajaan hingga sekarang.

Ketiga, bisnis TNI. Bermula dari nasionalisasi perusahaan Belanda di
zaman Soekarno. Hingga sekarang, gurita bisnis TNI (dan Polri) adalah
kekuatan modal strategis di Indonesia, selain modal asing, modal badan
usaha milik negara, dan modal konglomerasi. Walaupun Pasal 76 (1)
Undang-Undang TNI mengakomodasi, "Dalam jangka waktu lima tahun sejak
berlakunya undang-undang ini, pemerintah harus mengambil alih seluruh
aktivitas bisnis yang dimiliki dan dikelola oleh TNI baik secara
langsung maupun tidak langsung."

Ulur-tarik terjadi hingga sekarang. TNI meminta bisnis koperasi mereka
tetap berjalan karena bukan bisnis korporasi. Bisnis TNI memiliki 25
yayasan, 1.071 unit bisnis, dan 1.520 badan usaha sesuai dengan Surat
Panglima TNI Nomor B/3385-08/15/06/Spers tertanggal 28 September 2005.
Pengambilalihan bisnis TNI diatur Pasal 76 UU Nomor 34 Tahun 2004
tentang TNI, lengkap dengan tenggat lima tahun setelah UU itu
diberlakukan. Tim Supervisi Transformasi Bisnis TNI (Diketuai Sekretaris
Menteri Negara BUMN, Said Didu) menemukan 277 koperasi dengan nilai aset
Rp 254,5 miliar. Dari Tim Nasional Pengambilalihan Bisnis TNI (Keppres
No. 7/2008) terdata total nilai aset koperasi dan yayasan TNI sekitar Rp
3,1 triliun, yaitu aset Yayasan Rp 1,87 triliun dan aset koperasi Rp 1,3
triliun. Total aset lahan berkategori barang milik negara yang dikuasai
TNI mencapai 1.619 bidang dengan luas 182.546,18 hektare.

Keempat, kedudukan TNI di bawah presiden dan posisi Panglima TNI dalam
pengambilan keputusan politik di kabinet. UU TNI menegaskan pada Pasal 3
(1), dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan militer, TNI berkedudukan
di bawah presiden; sedangkan pasal (2) berbunyi, dalam kebijakan dan
strategi pertahanan serta dukungan administrasi, TNI di bawah koordinasi
Departemen Pertahanan. Padahal, untuk memodernisasi sistem pertahanan
negara dan mengakomodasi demokrasi di tubuh TNI, kedudukan TNI
semestinya berada di bawah Departemen pertahanan (Polri di bawah Menteri
Dalam Negeri), sedangkan jabatan Panglima TNI dihilangkan dan diganti
dengan Kepala Staf Gabungan yang pimpinannya digilir dari Angkatan
Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.

*Reformasi *
Selama 11 tahun reformasi, kita hanya melihat pemisahan TNI/Polri dan
hilangnya kekaryaan TNI/Polri di legislatif. Namun, problem teritorial,
bisnis, dan reorganisasi TNI di bawah Menteri Pertahanan dan Polri di
bawah Mendagri hilang ditelan waktu, dan publik melupakannya. Akibat
reformasi TNI/Polri terhambat sampai sekarang, keterlibatan para
pensiunan jenderal TNI/Polri di semua kubu sangat mencemaskan karena
mereka semua menjadikan reformasi TNI/Polri sebagai alat tawar-menawar
politik kepada lembaga dan individu TNI/Polri yang masih aktif.

Apalagi Prof Bilver Singh, peneliti National University of Singapore,
mengatakan potensi "bermain politik" TNI tetap ada karena (1) Peremajaan
struktur teritorial TNI, (2) Mantan anggota TNI sebagai partisipan dan
kompetitor pemilu, (3) Kontinuitas daerah konflik di Papua (versus
Organisasi Papua Merdeka) dan Aceh (versus Partai Aceh) atas nama Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan Pancasila, (4) Tradisi lama dan insting
psikologis aktif secara politik untuk menyelamatkan negara, (5)
Kegagalan sipil untuk memenuhi kepentingan TNI sebagai lembaga dan
korps, seperti anggaran minimal, kesejahteraan prajurit, fasilitas,
perlengkapan dan pelatihan yang buruk, serta cara berpikir sipil dan
petinggi tentara yang belum berubah.

Nah, di tengah perang bintang tiga purnawirawan TNI, hendaknya upaya
menyelesaikan agenda reformasi TNI/Polri terus disuarakan ketiga
purnawirawan (juga Jusuf Kalla, Megawati, dan Boediono) dalam kampanye
pemilihan presiden. Bukan sebagai alat tawar-menawar politik agar
TNI/Polri aktif mendukung mereka untuk terpilih sebagai presiden/wakil
presiden, melainkan sebagai bentuk kesetiaan TNI/Polri terhadap
reformasi dan demokrasi. Bila tidak, bukan hanya reformasi TNI/Polri
terancam, tapi juga hantu militerisme (Dwi Fungsi ABRI) di balik layar
akan mencekik mati demokrasi.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/06/02/Opini/krn.20090602.166879.id.html
Share this article :

0 komentar: