BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Pembunuhan Karakter dalam Perkara Sisminbakum

Pembunuhan Karakter dalam Perkara Sisminbakum

Written By gusdurian on Jumat, 19 Juni 2009 | 13.18

Pembunuhan Karakter dalam Perkara Sisminbakum

Pada dasarnya pembunuhan karakter (character assasination) adalah suatu
usaha yang bertujuan menghilangkan orisinalitas atau keaslian karakter
seseorang dalam pandangan orang lain dan juga usaha untuk mengubah citra
positif seseorang agar menjadi negatif.

Praktik pembunuhan karakter merupakan hal yang sudah lumrah, sering
terjadi di Indonesia,dan sering digunakan sebagai metode politik secara
praktis yang dapat diterapkan kepada siapa saja.Tujuannya untuk
membentuk opini publik agar terjadi pendiskreditan kepada suatu personal
(individu) maupun suatu kelompok.

Dalam perkara dugaan korupsi Sistem Informasi Badan Hukum (Sisminbakum)
pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkumham),Kejaksaan Agung
RI (Kejagung) telah menetapkan tiga tersangka, yaitu Zulkarnain
Yunus,Syamsuddin Manan Sinaga, dan Prof Dr Romli Atmasasmita, SH, LLM,
yang semuanya adalah mantan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum
(Dirjen AHU).

Terdapat kejanggalan dalam proses penanganan perkara Sisminbakum
terhadap Prof Dr Romli Atmasasmita, SH, LLM, di mana beliau sejak 10
November 2008 sampai dengan 15 Mei 2009 ditahan di Rutan Kejagung dengan
tuduhan korupsi pada Sisminbakum ketika menjabat sebagai Dirjen AHU.Pada
saat beliau menjabat sebagai Dirjen AHU,Yusril Ihza Mahendra menjabat
sebagai Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia yang tidak lain
merupakan atasan dari Prof Dr Romli Atmasasmita,SH,LLM.

*** Pada dasarnya, proses hukum yang diterapkan haruslah menerapkan
prinsip-prinsip perlindungan dan penghormatan atas hak asasi manusia
tersangka atau terdakwa. Penahanan seorang tersangka atau terdakwa
haruslah memenuhi konsepsi due process of law.

Penahanan seorang tersangka atau terdakwa adalah opsi terakhir dalam hal
adanya keadaan sebagaimana yang dipersyaratkan dalam Pasal 21 ayat (1)
Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu tersangka atau
terdakwa diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang
cukup,dalam hal ada keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa
tersangka atau terdakwa akan melarikan diri,merusak atau menghilangkan
barang bukti atau mengulangi tindak pidana.

Dalam kasus Prof Dr Romli Atmasasmita, SH,LLM,persyaratan untuk dapat
dilakukan penahanan sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 21 ayat (1)
KUHAP belumlah terpenuhi. Selain itu,penahanan terhadap Prof Dr Romli
Atmasasmita, SH, LLM tersebut diberlakukan tanpa terlebih dahulu
dilakukan pemeriksaan sehingga hal tersebut telah melanggar asas praduga
tidak bersalah (presumption of innocence).

Sebab apa pun tuduhannya sebelum diputus bersalah oleh hakim dan sebelum
putusan itu berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewisjde), seseorang
harus dipandang tidak bersalah. Dengan adanya penahanan tanpa adanya
pemeriksaan terlebih dahulu berarti telah melanggar prinsip presumption
of innocence, itu juga berarti telah terjadi pelanggaran terhadap Pasal
8 UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi:

”Setiap orang yang disangka,ditangkap,ditahan, dituntut, dan/atau
dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada
putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya....” Hal ini juga diatur
dalam instrumen hukum internasional, yaitu dalam Universal Declaration
of Human Rights (UDHR), yaitu dalam Pasal 11 UDHR yang menyatakan: “(1)
Everyone charged with a penal offence has the right to be presumed
innocent until proved guilty according to law in a public trial at which
he has had all the guarantees necessary for his defence. (2) No one
shall be held guilty of any penal offence on account of any act or
omission which did not constitute a penal offence, under national or
international law,at the time when it was committed. Nor shall a heavier
penalty be imposed than the one that was applicable at the time the
penal offence was committed.”

Sudah sepatutnya penahanan tersebut dipertanyakan, apakah penahanan
terhadap beliau sudah berdasarkan syarat-syarat penahanan sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP mengingat saat ditahan beliau
sudah tidak menjabat lagi sebagai Dirjen AHU sehingga bagaimana mungkin
dikhawatirkan akan mengulangi tindak pidana ataupun merusak dan
menghilangkan barang bukti?

Kejanggalan lain,sebelum Prof Dr Romli Atmasasmita,SH,LLM ditetapkan
sebagai tersangka, sejak pertama kali dia dipanggil untuk diperiksa pada
tanggal 30 Oktober 2008 dan telah dikenai penahanan pascapemeriksaan
dengan dikeluarkannya Surat Perintah Penahanan tanggal 10 November
2008.Namun pada faktanya, Prof Dr Romli Atmasasmita, SH, LLM
sesungguhnya sudah dijadikan tersangka jauh hari sebelum 30 Oktober 2008.

Kesimpulan ini didapatkan dari fakta bahwa pada 10 Oktober 2008, ketika
Prof Dr Romli Atmasasmita, SH, LLM berada di Korea Selatan sebagai
anggota delegasi pemerintah yang dikoordinasi Kementerian Pendayagunaan
Aparatur Negara, dia telah mendengar rumor yang menyatakan bahwa dirinya
akan ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi Sisminbakum.

Selain itu dalam surat kabar Tribun Jabar tanggal 15 Oktober 2008,
terdapat pernyataan dari Jampidsus yang secara langsung dan tidak
langsung telah menyatakan Prof Dr Romli Atmasasmita, SH, LLM sebagai
tersangka dalam kasus Sisminbakum, padahal pemeriksaan saksi-saksi baru
dilakukan pada tanggal 21 Oktober 2008.

Berdasarkan atas hal tersebut di atas,terlihat bahwa di Indonesia masih
diterapkan crime control model (arbitrary process/proses yang
sewenang-wenang). Dalam c r i m e control model, tersangka/ terdakwa
dianggap dan dijadikan sebagai objek pemeriksaan tanpa memedulikan
hak-hak asasi kemanusiaannya dan haknya untuk membela dan mempertahankan
harkat dan martabatnya. Apabila praktik pemberlakuan crime control model
seperti ini dil a k u k a n terus-menerus, kiranya tidak akan pernah
tercipta fair trial dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.

*** Sudah selayaknya seorang tersangka atau terdakwa diperlakukan secara
lebih manusiawi dan tidak diperlakukan seolah-olah sudah terbukti salah
serta tidak membuat nama baik dan integritasnya dilanggar sebelum ada
putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde).

Berdasarkan atas hal tersebut, dapat diduga bahwa telah terjadi
pembunuhan karakter terhadap diri Prof Dr Romli Atmasasmita, SH, LLM
yang tentu hal tersebut merupakan pelanggaran atas hak asasi manusia.
Hal tersebut sebagaimana yang telah dinyatakan Komisi Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia (Komnas HAM) melalui surat No
1.015/K/PMT-TUA/III/2009 tertanggal 13 Maret 2009 yang ditujukan kepada
Jaksa Agung RI yang pada intinya Komnas HAM menyatakan bahwa ditemukan
adanya indikasi dugaan pelanggaran hak asasi manusia dalam perkara
Sisminbakum terhadap Prof Dr Romli Atmasasmita, SH, LLM,

yaitu terdapat pelanggaran terhadap asas presumption of innocence dalam
proses penanganan kasus dan wewenang diskresi penahanan tidak
proporsional,yaitu dalam hal tujuan penahanan dan penolakan atas
permohonan penangguhan penahanan. Penahanan yang dialami Prof Dr Romli
Atmasasmita, SH, LLM tersebut tentu melanggar kehormatan maupun
martabatnya di mana setiap orang berhak atas perlindungan kehormatan
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi:

“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi,keluarga,kehormatan,
martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas
rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau
tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.” Selanjutnya dalam Pasal
28G ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “Setiap orang berhak untuk bebas
dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia
....” Perlindungan atas derajat dan martabat manusia yang diberikan
Negara Republik Indonesia sebagaimana yang telah dinyatakan dalam UUD
1945 tersebut di atas sesuai dengan United Nations Convention against
Torture and Other Cruel,

Inhuman or Degrading Treatment or Punishment Tahun 1984. Konvensi itu
telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture And Other Cruel,
Inhuman Or Degrading Treatment Or Punishment (Konvensi Menentang
Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam,Tidak
Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia), terutama Pasal 11 yang
menyatakan:

“Each State Party shall keep under systematic review interrogation
rules, instructions, methods and practices as well as arrangements for
the custody and treatment of persons subjected to any form of arrest,
detention or imprisonment in any territory under its jurisdiction, with
a view to preventing any cases of torture.”

*** Bertitik tolak dari fakta-fakta tersebut, dapat diketahui dengan
jelas adanya kejanggalan dalam proses penahanan yang dilakukan terhadap
Prof Dr Romli Atmasasmita, SH, LLM. Siapa pun setuju bahwa sudah
seharusnya korupsi di muka bumi ini dan khususnya di Indonesia harus
segera diatasi dengan tidak memandang bulu siapa pun orangnya.

Setiap orang yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi harus
menerima ganjaran dengan hukuman sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Akan tetapi janganlah suatu penegakan hukum dibangun di atas pembunuhan
karakter dengan cara mendiskreditkan, menghancurkan, dan merusak
reputasi seseorang. Dengan demikian diharapkan penegakan hukum dapat
dilakukan dengan disertai pula penghormatan terhadap hak asasi manusia
dan prinsip-prinsip due process of law.

Pada saat ini di beberapa belahan dunia terdapat adanya kecenderungan
atau arus tindakan balas dendam (retaliation) yang dilakukan para
koruptor terhadap para aktivis gerakan antikorupsi. Tindakan balas
dendam tersebut salah satunya dilakukan dengan cara menangkap para
aktivis gerakan antikorupsi dengan berbagai dalil melalui penegak hukum.

Adapun tindakan tersebut bertujuan melemahkan gerakan antikorupsi.
Semoga penangkapan dan penahanan terhadap Prof Dr Romli Atmasasmita, SH,
LLM dan Antasari Azhar,yang notabene keduanya merupakan aktivis gerakan
antikorupsi, bukanlahsalahsatubentuk dari tindakan balas dendam yang
dilakukan para koruptor.(*)

Dr Frans H Winarta
Advokat dan Dosen Fakultas Hukum
Universitas Pelita Harapan


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/243509/
Share this article :

0 komentar: