BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Pucuk Dicita, Neolib Tiba

Pucuk Dicita, Neolib Tiba

Written By gusdurian on Jumat, 19 Juni 2009 | 13.14

Pucuk Dicita, Neolib Tiba

BERBAJU hitammerah, Megawati Soekarnoputri berdiri di hadapan sekitar
seribu pengusaha yang memenuhi Grha Sabha Buana Surakarta, Jumat pekan
lalu. ”Tak usah khawatir, Anda juga rakyat,” ka­ta kandidat presiden
koalisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Gerakan
Indonesia Raya itu. Lalu, sambil mengepalkan tangan, Mega berkata lagi,
”Ekonomi kerakyatan bi­sa berjalan jika petani, buruh, pengusaha bekerja
sama.” Malamnya, deklarasi ekonomi kerakyatan dibacakan di Pasar Gede
Hardjonagoro, Kota Solo.

Sejak perang tanding antarcalon ­pre­siden dimulai, kata ”kerakyatan”
me­rebak bagai cendawan. Ia seolah menjadi kebalikan dari istilah
”neolib”, akro­nim neoliberalisme, yang mencuat setelah terpilihnya
Boediono sebagai pendamping Yudhoyono awal Mei lalu.

Oleh lawan politiknya, Boediono dituding sebagai biang neolib. Mazhab
ekonomi ini secara sederhana dipahami sebagai sesuatu yang mengharamkan
peran negara dalam pengelolaan ekonomi. Pasar adalah penentu satusatunya.

Boediono menyangkal tudingan itu. ”Masak, saya dituduh neolib,” katanya
ketika bertemu dengan civitas academica Universitas Gadjah Mada, pekan
lalu. Dalam wawancara dengan Tempo sesaat sebelum deklarasi
pencalonannya sebagai kandidat wakil presiden, ia mengaku prorakyat
kecil dan tetap memandang perlu intervensi negara. ”Ketika program
Bantuan Langsung Tunai dirumuskan, saya adalah Menteri Koordinator
Perekonomian,” katanya. Bantuan Langsung Tunai adalah program yang
mensubsidi orang miskin akibat kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak.

Tapi, bagi penentang Boediono, neolib adalah ”pucuk dicita ulam tiba”.
Isu ini dianggap ampuh merontokkan popularitas Yudhoyono, yang menurut
prediksi sejumlah lembaga survei masih tinggi. ”Pokoknya, isu neolib
akan kami buat seperti komunisme,” kata seorang sumber dalam tim sukses
KallaWiranto. Maksudnya, semua yang jelek akan ditimpakan pada neolib.

Di Bandung, saat pasangan SBY-Boediono dideklarasikan, spanduk dan
pamflet antineolib bertebaran. Akhir pekan lalu, muncul iklan layanan
masyarakat televisi yang menekankan ”bahaya” neoliberalisme. Di akhir
iklan, Kwik Kian Gie, Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional di
era Megawati Soekarnoputri, muncul menjelaskan soal bahaya
neoliberalisme. Anehnya, Kwik Kian Gie mengaku tidak tahumenahu soal
iklan itu. ”Bisa saja nama saya dica­tut,” katanya.

Yang terangterangan menuding Boediono neolib adalah Fuad Bawazier,
Menteri Keuangan di era Orde Ba­ru, yang kini menjadi anggota tim
kampanye Jusuf KallaWiranto. ”Neolib itu konsensus Washington, dekat
dengan Dana Moneter Internasional (IMF) dan mafia Berkeley,” katanya.
Fu­ad membantah memakai isu neolib sebagai materi kampanye. ”Tanpa isu
itu, Boediono memang neolib sejati. Pengangkatan Boediono sebagai calon
wakil presiden makin menunjukkan SBY pendukung neolib,” ka­ta­nya.

Menurut Fahmi Idris, ketua tim kampanye KallaWiranto, Boediono
setidaknya mengakui neoliberalisme punya peran dalam ekonomi Indonesia
belakangan ini. ”Dalam pidatonya di Bandung, Boediono mengatakan akan
memo­derasi perkembangan ekono­mi. Artinya, dia mengakui ada yang
ekstrem dari pasar bebas. Akan memode­rasi itu artinya Boediono mengakui
ada­nya neolib,” kata Fahmi.

Tapi Fahmi menyangkal akan menggunakan isu ini untuk ”menembak”
Yudhoyono Boediono. Katanya, pasangan JKWin—begitu nama KallaWiranto
kini disingkat—bahkan tak mengutamakan isu eko­nomi dalam kampanye. ”Isu
politik, sosial, dan keamanan lebih menarik karena justru di situ JK
unggul,” ujar­nya.

Jadi benarkah Boediono neolib? Tony Prasetiantono, Ketua Pusat Studi
Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM, menyebutkan rekannya cenderung
neo­klasik yang percaya kepada pasar. Kebijakan apa pun yang diambil,
Boediono tak melepas pasar begitu saja. ”Pak Boed juga percaya
intervensi pemerintah sangat penting,” katanya.

*Dwidjo U. Maksum, Akbar Tri Kurniawan (Jakarta), Ahmad Rafiq
(Surakarta), Pito Agustin Rudiana (Yogyakarta)
*

*http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/06/01/LU/mbm.20090601.LU130491.id.html
*
Share this article :

0 komentar: