BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Lebih Cepat, Benarkah Lebih Baik?

Lebih Cepat, Benarkah Lebih Baik?

Written By gusdurian on Jumat, 19 Juni 2009 | 13.15

Lebih Cepat, Benarkah Lebih Baik?
Oleh: Suwarsono Muhammad

*LEBIH* cepat lebih baik. Frasa ini sekarang menjadi frasa politik baru
yang hari-hari ini begitu dikenal. Sesungguhnya, dalam manajemen, frasa
tersebut telah lazim dikenal. Prinsip pokoknya kira-kira begini: tidak
ada yang terbuang, baik dilihat dari sumber daya maupun peluang yang
tersedia. Dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, peluang yang ada hendak
dieksploitasi secara penuh oleh keunggulan organisasi.

Acuan itu menjadi semakin relevan dalam konteks organisasi yang tidak
sehat dan memerlukan perubahan. Sejak 1998, Indonesia sedang dalam
posisi seperti itu. Bahkan, mungkin telah terjadi sejak jauh-jauh
sebelumnya.

Kecepatan diperlukan ketika penyehatan sedang berada pada fase
penyelamatan, tahap pertama yang amat menentukan. Ketika itu harus
dibangun adanya ancaman bersama (/sense of crisis/): jika tidak segera
dilakukan tindakan yang cepat, organisasi bisa terancam mati. Dengan
metafora ketidaksehatan manusia, masa perdarahan tidak dapat dibiarkan
begitu lama karena akan menyebabkan kehabisan darah.

Fase-fase sesudahnya -stabilisasi dan pertumbuhan kembali organisasi-
juga memerlukan tindakan cepat meski tidak lagi secepat pada fase
penyelamatan. Setiap proses penyehatan memerlukan apa yang pada masa
lalu dikenal dengan sebutan bongkar dan pasang. Prinsip inilah yang
sekarang disebut perusakan kreatif (/creative destruction/). Yakni,
perubahan dengan pembongkaran dan pembaruan.

Manajemen perubahan model tersebut hampir sepenuhnya didorong dari atas
(/top down/) serta bersifat struktural, sistemik, dan programatik. Oleh
karena itu, hal tersebut sering disebut /leadership driven/. Dalam
implementasinya, itu memerlukan pemimpin karismatik (/Conger, 1989/).

Ada juga yang menamainya perubahan dengan pendekatan teori E, yang
mengedepankan prinsip-prinsip ekonomi (/Beer dan Nohria, 2000, Kotter
1996/). Ganjaran dan hukuman mendapatkan tempat terhormat sebagai
pendorong perubahan, tanpa melupakan kekuatan visi. Pendekatan ini
terlihat lebih menjanjikan, segera ada keberhasilan, setidaknya dalam
jangka pendek.

Pilihan pada pendekatan yang baru saja disebut itu sering didasari
pertimbangan bahwa jika tidak melakukan perubahan dengan segera,
eksistensi organisasi terancam. Inilah yang dikenal dengan diktum
berubah atau mati (/change or die/). Akibatnya, tidak mengherankan jika
ketika perubahan sedang berlangsung, pasti memakan korban - /no pain no
change/.

Itulah ongkos yang harus dibayar jika menghendaki keberhasilan
perubahan. Pada skala perusahaan, pemeluk dan praktisi pendekatan ini,
antara lain, adalah Al Dunlap ketika dia menyehatkan Scott Paper dan
Stanley Gault ketika memimpin perubahan di Rubbermaid (/Collins, 2001/).
Pendekatan teori E itu terlihat begitu populer tidak saja di Indonesia,
tetapi juga di negara-negara lain, karena memang terlihat sederhana dan
menjanjikan.

Tetapi, di sisi lain, ada yang mengatakan itu sebagai /so oversold, so
overgeneralized, and so unquestioned/. Perlu disadari bahwa risiko
memilih pendekatan E bukan sama sekali nol. Selain kemungkinan memiliki
korban lebih banyak, pilihan tersebut menjadikan organisasi merasa cemas
dan lelah berkepanjangan karena banyaknya inisiatif dan strategi baru
yang dicoba diprogramkan dan diimplementasikan dalam waktu yang begitu
pendek dan sering tumpang tindih (/initiative overload/). Bukan tidak
mungkin, pilihan itu akan mengalami kehabisan energi dan spirit
(/burnout/). Apalagi jika perubahan harus memerlukan waktu yang panjang
dan di saat yang sama tidak segera menghasilkan kemenangan-kemenangan
kecil dalam jangka pendek (/short term wins/).

Risiko menjadi lebih besar jika pilihan pendekatan tersebut
diimplementasikan pada organisasi atau masyarakat yang masih feodal.
Mereka hampir pasti seakan-akan tidak melakukan penolakan, tetapi
sesunguhnya mereka melakukan penolakan secara diam-diam dan tersembunyi
(/Murphy, 1998, dan Scott, 1985/). Di Indonesia, fenomena ini dikenal
dengan sebutan senjata orang-orang lemah (/weapons of the weak/), yang
bisa berwujud dari kepatuhan semu sampai memberikan tafsir salah pada
inisiatif strategis tertentu. Dalam bahasa Jawa, fenomena itu dikenal
sebagai /inggih-inggih mboten kepanggih./

Dengan demikian, persoalan pokoknya bukan sepenuhnya terletak pada frasa
lebih cepat lebih baik. Tetapi, lebih pada pengaturan agenda dan jadwal
perubahan. Perlu ada kesadaran dan kesabaran bahwa tidak ada orang atau
rakyat yang dapat terus-menerus berada pada masa perubahan dan transisi
berkepanjangan, yang biasanya penuh ketidakpastian. Harus ada jeda masa
stabil.

Oleh karena itu, mungkin ada diktum baru yang perlu diperkenalkan:
perubahan yang tidak harus membawa ketidaknyamanan: /change without
pain/ (/Abrahamson, 2004/). Perubahan lebih damai dan sejuk itu bisa
jadi merupakan pilihan yang mungkin lebih pas diterapkan di Indonesia,
yakni prinsip perubahan kombinasi kreatif (/creative combination/).

Perubahan itu lebih bersifat gradual dengan berusaha menjaga
keberlangsungan stamina dan tetap berada dalam situasi yang tampak tidak
terlalu kaos. Perubahan struktural akan terjadi sebagai akibat yang
tidak terhindarkan lagi dari proses perubahan gradual yang terus
berlangsung. Lamban, tapi lebih pasti. Boleh saja pilihan ini disebut
sebagai paradigma perubahan kultural, yang sering juga disebut sebagai
teori perubahan O (/Beer dan Nohria, 2000/).

Meski demikian, pilihan perubahan gradual juga bukan tanpa risiko. Jika
berlebihan, bisa jadi terkena tuduhan sebagai pihak yang anti perubahan.
Bahkan, sampai pada munculnya stigma pro-/status quo/. Secara politik,
tuduhan tersebut dapat berkembang menjadi tidak membela rakyat dan hanya
menjaga kepentingan para elite.

Ternyata, Indonesia itu indah. Selain ada proses memperebutkan kekuasaan
secara demokratis, ada juga pertarungan pilihan mazhab (/school of
thought/) dalam memimpin perubahan. Selamat untuk kedua pemeluknya.
Kedua aliran pemikiran tersebut sesungguhnya hanya merupakan sebuah
kontinum dari dua titik ekstrem.

/*) Suwarsono Muhammad/ * /, / * /dosen FE UII Jogjakarta dan dokter
perusahaan./

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=72812
Share this article :

0 komentar: