BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Berpikir Kritis dan Benar

Berpikir Kritis dan Benar

Written By gusdurian on Jumat, 19 Juni 2009 | 13.07

Berpikir Kritis dan Benar

Baru-baru ini Majelis Ulama Jawa Timur mengeluarkan fatwa haram terhadap
penggunaan Facebook. Alasannya Facebook sering digunakan oleh remaja
untuk mencari pacar dan melihat gambar-gambar tak senonoh.

Saya sendiri pengguna Facebook ( sarlito_sarwono@yahoo.com
This e-mail address is being
protected from spam bots, you need JavaScript enabled to view it )
dengan jumlah teman di dunia maya saat ini sekitar 3.000 orang. Jumlah
itu bertambah terus setiap hari. Ada saja yang menyapa saya setiap hari
(rata-rata 10 pesan masuk).

Ada yang sekadar menyampaikan salam kenal, atau bertanya saya sedang
apa, sampai yang bertanya soal skripsi atau tesis, bahkan bertanya
masalah pribadi (anaknya nakal-nakal seperti bapaknya, putus cinta dan
memutuskan cinta,malas belajar atau bingung memilih jurusan).

Ada pula yang bertanya bagaimana akhir kisah Manohara, atau siapa yang
akan jadi presiden Indonesia 2009, seakan-akan saya ini Pangeran Tengku
Fakri, putra mahkota Kesultanan Kelantan atau Ketua KPU. Saya sendiri
banyak dapat manfaat dengan punya teman-teman di dunia maya itu.

Ada mantan mahasiswa belasan tahun lalu tiba–tiba muncul di Facebook,
komplit berikut foto-foto zaman dulu yang tak ada di museum mana pun.
Bahkan saya pernah mencari sopir dan minta tolong transfer data dari
pita video ke CD lewat Facebook dan dapat.

Percaya atau tidak, temanteman maya itu ada anak-anak umur 6 tahun, tapi
menteri-menteri pun ada. Sangat bervariasi. Tidak sedikit pun terpikir
oleh saya dan saya belum pernah tahu ada penyalahgunaan Facebook seperti
yang dikatakan oleh para pembuat fatwa yang berhati mulia itu.

*** Orang awam pun tahu bahwa fatwa anti-Facebook itu tidak masuk
akal.Salah seorang awam pinggir jalan yang diwawancarai televisi
berkomentar, “Yang penting mental masyarakatnya yang diperbaiki, bukan
Facebook-nya yang dilarang”. Benar sekali kata awam yang bukan sekolahan
itu.

Zaman ini masyarakat sedang hobi ngebrik (citizen band,
“..break...break..”), ada istilah mojok (jam dua belas malam, mengobrol
di frekuensi yang jarang dipakai orang) dilanjutkan dengan kopi darat
(ketemu di suatu tempat) dan berkembanglah kisah perselingkuhan yang
mengganggu rumah tangga.

Tetapi para penggemar citizen band lain yang tergabung dalam Radio Antar
Penduduk Indonesia (RAPI) justru banyak yang berjasa dalam memenuhi
berbagai kebutuhan masyarakat, dari pencarian orang hilang (tim SAR),
pengamanan pawai 17 Agustus, sampai pengamanan pemilu (sejak 1972).

Di zaman telepon seluler (ponsel) lebih gampang lagi, cukup lewat SMS
(selangkah menuju selingkuh). Bahkan video klip porno (sebagian dibuat
sendiri) dengan bebas disebarluaskan dari ponsel ke ponsel melalui
fasilitas Bluetooth atau MMS. Tambah lagi, sekarang ada ponsel yang
namanya Blackberry.

Alat yang satu ini mampu mengakses internet dari ponsel. Bukan hanya
email atau Facebook, tetapi juga situs-situs porno.Kalau dulu negara
bisa berusaha melarang pornografi lewat Lembaga Sensor Film dan orang
tua bisa mencegah anak kecilnya menonton adegan ciuman di film TV dengan
mematikan TV atau memindahkan channel, sekarang siapa yang bisa mencegah
tontonan yang ada di genggaman yang bisa disimpan di saku orang? Itu
belum semua.

Masih banyak fitur sehubungan dengan teknologi informasi yang bisa
dideretkan di sini, yang semuanya bisa disalahgunakan. Celakanya,
berbeda dengan sembako yang makin lama makin mahal,harga alat-alat
teknologi informasi ini semakin lama justru semakin murah.

Kalau di tahun 1970-an telepon genggam berkamera dan berfasilitas hands
free (sehingga penggunanya bisa melenggang sambil menelepon tanpa
diketahui bahwa dia sedang menelepon) hanya digunakanoleh JamesBondagen
007 dari Kerajaan Inggris, hari ini pembantu di rumah saya pun sudah
memilikinya.

Tetapi kalau semua teknologi informasi difatwakan haram,maka bangsa
Indonesia ini akan kembali menjadi Suku Baduy atau malah jadi suku anak
dalam saja. Survei membuktikan bahwa belum ada satu pun negara di dunia
ini yang bisa menyejahterakan rakyatnya kalau hanya diatur dengan
fatwafatwa.

Taliban contohnya.Mereka mencobanya di Afghanistan,tetapi malah
negaranya hancur binasa. Tetapi buat saya, yang lebih memprihatinkan
adalah bahwa bangsa ini belum bisa berpikir yang benar.Artinya, bisa
membedakan mana yang sebab, mana yang akibat. Mana yang berhubungan
sebab-akibat, mana yang hanya kebetulan.

Kalau Facebook menimbulkan maksiat, tetapi sarana komunikasi lain
(bahkan surat pos biasa) bisa juga menimbulkan maksiat,maka artinya
bukan Facebook faktor penyebabnya. Apalagi kalau diketahui bahwa jauh
lebih banyak orang yang memberi dan mengambil manfaat dari Facebook
ketimbang yang menggunakannya untuk maksiat.

Kalau orang bisa flu karena babi, tetapi bisa flu juga karena
burung,maka jangan kaitkan babi yang flu dengan ayat Alquran tentang
daging babi. Pada tahun 1980-an, pernah terbit buku komik bertajuk Adik
Baru, ditulis oleh Profeseor Conny Semiawan, guru besar ilmu pendidikan
yang tersohor dan tidak ada cacat dalam kehidupan pribadi atau keluarganya.

Tetapi buku itu difatwa haram oleh MUI dan selanjutnya dibredel oleh
kejaksaan. Pasalnya, isinya adalah tentang pendidikan seks, yang menurut
para cerdik cendekia, khususnya para pemimpin umat Islam saat itu, bisa
membuat anak-anak yang belum siap mental jadi ingin mencoba- coba seks.
Di tahun 1980-an juga, pengurus Perkumpulan keluarga Berencana Indonesia
(PKBI) selama 10 tahun melancarkan program pendidikan seks untuk remaja.

Ketika itu BKKBN sendiri masih mengharamkan pendidikan seks, apalagi
membagikan kondom,kepada mereka yang belum menikah. Padahal sebagai
psikolog saya menghadapi kasus-kasus remaja yang sudah aktif secara
seksual,walau mereka belum menikah. Reaksi masyarakat tentu saja
negatif. Sama dengan yang mereka lakukan terhadap Prof Conny Semiawan.

Saya dianggap vulgar, menjatuhkan moral bangsa, dan sebagainya, termasuk
oleh rekanrekan sendiri di kampus. Contoh lain adalah pelarangan
pembagian kondom gratis kepada pekerja seks komersial di lokalisasi-
lokalisasi.Alasannya, karena seakan-akan pemerintah merestui perzinahan.
Padahal, maksudnya hanyalah untuk pencegahan penyakit kelamin (termasuk
AIDS).

Paradigma ilmu kesehatan dianulir begitu saja dengan doktrin agama yang
sempit, akibatnya penyakit kelamin dan aborsi makin meningkat di negara
kita,jauh lebih tinggi daripada di negara-negara “seks bebas”(tetapi
juga ”bebas”memakai kondom).

*** Yang mengherankan adalah bahwa yang tak bisa memilah-milah antara
yang penyebab dan yang bukan penyebab dan sebagainya itu.Dengan
demikian, mereka bukannya tak bisa berpikir, tetapi tidak mau atau tidak
kritis dalam berpikir.

Tetapi kalau disuruh ngomong paling cepat. Akibatnya, banyak omongan
yang dilontarkan begitu saya tanpa dipikir dulu.Dampaknya adalah inflasi
fatwa.Seperti halnya uang,kalau fatwa sudah kena inflasi, tidak ada
harganya lagi.Nauzubillahi min zalik.(*)

Sarlito Wirawan Sarwono
Dekan Fakultas Psikologi UPI/YAI


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/243870/
Share this article :

0 komentar: