BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Nasib Program Pemberantasan Korupsi

Nasib Program Pemberantasan Korupsi

Written By gusdurian on Jumat, 19 Juni 2009 | 13.09

Nasib Program Pemberantasan Korupsi

Agenda pemberantasan korupsi sedang berada di ujung tanduk.Setidaknya,
hal itu dapat ditelisik dari tidak jelasnya nasib Rancangan
Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (RUU Pengadilan Tipikor).

Bahkan setelah pertemuan antara unsur pimpinan DPR dengan pemerintah
(27/5), ketidakjelasan tersebut semakin nyata karena RUU Tipikor tidak
termasuk di antara RUU yang dikonsultasikan untuk disahkan sebelum
berakhirnya masa bakti DPR 2004–2009. Padahal, jika dibandingkan dengan
RUU yang dikonsultasikan, RUU Tipikor jauh lebih urgen untuk
diselesaikan pada periode sekarang.

Akankah tahun ini menjadi petaka dalam agenda pemberantasan korupsi yang
ditandai dengan matinya lembaga extraordinary yang lahir sebagai
anakanak Reformasi? Pertanyaan itu begitu masuk akal karena keniscayaan
pemberantasan korupsi menjadi ternisbikan dengan melelehnya komitmen
untuk mempertahankan, misalnya Pengadilan Tipikor. Tidak hanya itu,
dalam rangka revisi UU Tindak Pidana Korupsi, muncul gagasan untuk
menerapkan hukuman percobaan bagi pelaku korupsi.

Pengadilan Tipikor

Sejauh ini,Pengadilan Tipikor menjadi fenomena baru pemberantasan
korupsi. Memang, tidak semua pihak yang peduli dan fokus terhadap agenda
pemberantasan korupsi puas dengan performa Pengadilan Tipikor.Namun
bagaimanapun Pengadilan Tipikor mampu memberikan pesan bahwa tidak ada
toleransi bagi mereka yang menjadi terdakwa korupsi.

Dibandingkan dengan pengadilan umum, Pengadilan Tipikor jauh lebih
menakutkan. Buktinya, tidak ada pelaku korupsi yang bisa berkelit dari
hukuman. Bahkan menilik hukuman yang dijatuhkan, Pengadilan Tipikor
lebih memberikan rasa takut dibandingkan pengadilan umum.

Karena merasa tidak nyaman dan terancam, sejak semula banyak kalangan
mulai mempersoalkan keberadaan Pengadilan Tipikor ke Mahkamah Konstitusi
(MK). Salah satu isu pokok yang dipersoalkan menyangkut dasar
pembentukan Pengadilan Tipikor yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No
30/2002).

Sebagaimana dinyatakan Pasal 53, atas dasar UU No 30/2002 dibentuk
Pengadilan Tipikor yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus
tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan KPK. Celakanya,
argumentasi yang mempersoalkan dasar hukum Pengadilan Tipikor diamini MK.

Benar adanya,putusan MK yang dibacakan pada 19 Desember 2006 tersebut
tidak serta-merta membunuh eksistensi Pengadilan Tipikor karena dalam
tenggat waktu paling lama tiga tahun (batas akhir pada 19 Desember 2009)
DPR dan Presiden harus membuat Pengadilan Tipikor dengan undang-undang
tersendiri.Sekiranya dalam tenggat waktu itu DPR dan Presiden gagal
membentuk undang-undang tersendiri, penyelesaian kasus-kasus korupsi
yang disidik KPK akan ditangani pengadilan umum.

Pada awalnya, tenggat waktu tiga tahun tersebut dinilai cukup untuk
menuntaskan atau menindaklanjuti putusan MK. Namun karena political will
Presiden dan DPR yang makin tergerus dalam agenda pemberantasan korupsi,
sampai saat ini tidak terlihat tandatanda bahwa RUU Pengadilan Tipikor
akan selesai sampai garis waktu menyentuh tapal batas akhir masa jabatan
DPR periode 2004–2009.

Dalam kasus ini, saya sepakat dengan pendapat yang mengatakan bahwa
Presiden dan DPR merupakan pihak yang paling bertanggung jawab. Rasanya,
tidak mungkin Presiden dan DPR tidak menyadari dan mengetahui bahwa
menghilangkan eksistensi Pengadilan Tipikor sama dengan membunuh KPK.

Bisa jadi,meluruhnya keinginan memenuhi tenggat waktu tiga tahun yang
diamanatkan MK secara umum mencerminkan ketidaknyamanan pemerintah dan
anggota DPR dengan sepak terjang Pengadilan Tipikor. Membaca kondisi
yang ada saat ini, sulit berharap DPR untuk menyelesaikan RUU Pengadilan
Tipikor.

Selain meluruhnya political will, mayoritas mereka yang diberi tugas
menyelesaikan RUU Pengadilan Tipikor mendapat hukuman dari masyarakat,
yaitu dengan tidak dipilih lagi sebagai anggota DPR periode
2009–2014.Dengan kondisi seperti itu, anggota DPR periode 2009–2014
seharusnya menempatkan RUU Pengadilan Tipikor sebagai agenda pertama dan
utama yang harus diselesaikan dalam bulan pertama mereka dilantik.

Jika mereka mau melakukan langkah itu, tentu kita boleh berharap bahwa
akan ada semangat baru dalam agenda pemberantasan korupsi di DPR. Selain
itu, penyelesaian RUU Pengadilan Tipikor dapat menjadi rujukan awal
untuk membedakan antara anggota DPR periode 2004–2009 dan anggota DPR
periode 2009–2014 dalam kelanjutan agenda pemberantasan korupsi.

Rujukan awal tersebut begitu penting karena dukungan lembaga legislatif
menjadi salah satu faktor penting dalam keberhasilan agenda
pemberantasan korupsi. Sekiranya anggota DPR periode 2009–2014 tidak
mampu menyelesaikannya selama bulan pertama mereka dilantik, nasib
Pengadilan Tipikor harus diserahkan kepada ruang darurat yang disediakan
dalam UUD 1945.Pasal 22 UUD 1945 menyatakan:

dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa,Presiden berhak menetapkan
peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang (perppu). Menilik
bahaya korupsi, klausul “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa” amat
sangat terpenuhi untuk menerbitkan perppu guna menyelamatkan Pengadilan
Tipikor.

Hukuman Percobaan

Selain RUU Pengadilan Tipikor, sedang dipersiapkan pula revisi
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).Salah satu argumentasi
dasar, revisi dimaksudkan untuk menyesuaikannya dengan beberapa
substansi yang terdapat dalam United Nation Convention Agains Corruption
(UNCAC).

Namun dari draf versi pemerintah terlihat adanya upaya untuk mengurangi
kewenangan KPK dengan cara merumuskannya secara tersamar.Kalau hal ini
tidak diwaspadai, revisi UU Tipikor bisa menjadi jalan lain untuk
mengamputasi KPK. Selain itu, yang cukup mencengangkan, munculnya
gagasan untuk menerapkan hukuman percobaan dalam penanganan kasus
korupsi. Gagasan ini sulit diterima akal sehat.

Di samping tidak menumbuhkan efek jera (deterrence effect) dalam
pemberantasan korupsi, hukuman percobaan juga berpotensi menimbulkan
“perselingkuhan” antara yang tersangkut kasus korupsi dengan penegak
hukum (seperti jaksa dan hakim) untuk menjatuhkan hukuman itu.

Selama ini, tidak diberi ruang saja, ada hakim yang berani menjatuhkan
hukuman percobaan.Dari hasil penelusuran awal yang dilakukanICW,
setidaknya sembilankasus korupsi telah divonis hakim dengan hukuman
percobaan.Artinya,kalau gagasan tersebut diakomodasi, jangan-jangan
hakim lebih memberikan prioritas pada hukuman percobaan dibandingkan
dengan hukuman lain yang lebih menjerakan.

Dengan demikian,gagasan hukuman percobaan seharusnya dibaca sebagai cara
lain membiarkan praktik korupsi semakin meruyak di negeri ini.
Penjelasan di atas mengisyaratkan kepada kita, negeri ini sedang
berhadapan dengan kekuatan yang menggunakan institusi negara untuk
melanggengkan praktik korupsi.

Oleh karenanya, jangan pernah lengah dan menyerah dan selalu rapatkan
barisan menghadapi mereka yang telah lama berupaya hendak menghancurkan
agenda pemberantasan korupsi.(*)

Saldi Isra
Dosen Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum
Universitas Andalas, Padang


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/243880/
Share this article :

0 komentar: