BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Menghindari Politisasi Jilbab

Menghindari Politisasi Jilbab

Written By gusdurian on Jumat, 19 Juni 2009 | 13.17

Menghindari Politisasi Jilbab

Dalam beberapa hari terakhir, jilbab menjadi isu panas di pentas
perpolitikan nasional. Isu jilbab menjadi sangat sensitif mengingat ada
beberapa istri calon presiden-calon wakil presiden (capres-cawapres)
yang berjilbab dan tak berjilbab.

Tak ayal lagi, kontroversi jilbab yang mencuat akhir-akhir ini pun
dipahami sebagai kampanye untuk menarik dukungan masyarakat kepada
pasangan capres-cawapres tertentu dan di pihak lain untuk menggembosi
dukungan terhadap pasangan capres-cawapres lain.

Ibarat bola api, kini isu jilbab terus bergulir dan “dipingpong”ke
sana-kemari oleh politisi agar tidak “membakar” dan merugikan kubu
mereka.Tentu saja,harapan politisi adalah mendapatkan keuntungan secara
politis dari isu jilbab.

Politisasi Jilbab

Dalam sebuah buku berjudul Haqiqatu Al-Hijab,seorang pemikir kenamaan
asal Mesir,Muhammad Said Al-Asymawi,melakukan pembahasan yang cukup
mendalam terhadap persoalan jilbab. Pembahasan ini dilakukan untuk
merespons kontroversi jilbab (antara yang mewajibkan dan tidak
mewajibkan) yang kerap terjadi belakangan ini.

Salah satu kesimpulan menarik dari pembahasan beliau adalah bahwa jilbab
sering digunakan sebagai komoditas dan identitas politik. Dengan kata
lain, jilbab acap dipersoalkan dalam momenmomen tertentu yang bisa
mendatangkan keuntungan, baik secara politis, sosial maupun secara
finansial.

Pandangan Asmawi di atas mendapatkan konteks dan relevansinya dalam
beberapa peristiwa politik mutakhir di negeri ini. Sejumlah politisi
tampak mulai “mengibarkan”isu jilbab demi kepentingan mereka.
Sebagaimana para pelaku bisnis (jilbab), tidak jarang mereka melakukan
hal yang sama demi kepentingan mereka. Begitu juga dengan mereka yang
menggunakan jilbab hanya demi kepentingan strata sosial semata.

Politisasi jilbab sebagaimana di atas cenderung “mengeringkan” jilbab
dari makna-makna luhur yang terkandung di dalamnya. Masihkah ada makna
yang tersimpan bila jilbab dilakukan hanya untuk mendapatkan keuntungan
politis, bisnis, status sosial, dan pamer kekayaan? Dalam kondisi
seperti di atas, jilbab tak lagi mencerminkan tingkat keimanan dan
keberagamaan.

Pa d a h a l , ajaran berjilbab sarat dengan nilai l u h u r , baik
secara keagamaan ataupun secara moralsosial. Secara keagamaan, jilbab
dimaksudkan agar seseorang tidak membangga-banggakan anggota tubuhnya
(terutama rambut) di hadapan Zat Sang Pencipta. Itulah sebabnya, tradisi
berjilbab tidak hanya berada dalam umat Islam semata, melainkan juga
dalam tradisi agama-agama samawi lainnya, seperti Kristen dan Yahudi
(terutama di kalangan agamawan).

Bahkan, tradisi jilbab dengan filosofi seperti di atas juga berlaku bagi
kaum lakilaki (dengan menggunakan sorban atau kopiah). Adapun dalam
konteks moralsosial, ajaran berjilbab bisa dipahami untuk menciptakan
kehidupan umat yang senantiasa menjunjung tinggi moralitas,menjaga
kesopanan dan kepantasan,

serta tidak membuka “keburukan” (baik keburukan diri sendiri maupun
kebaikan orang lain) di depan khalayak umum. Meminjam istilah yang
dilakukan profesor antropologi di Universitas Southern California,Fadwa
el- Guindi,jilbab merupakan fenomena umum dalam banyak kehidupan
masyarakat dan umat beragama.

Jilbab bisa berfungsi sebagai bahasa sosial budaya, bahasa perlawanan,
simbol ideologis dan kesalehan (Jilbab: antara Kesalehan, Kesopanan dan
Perlawanan,2003). Oleh karenanya, kita perlu memberikan apresiasi
setinggitingginya kepada mereka yang menggunakan jilbab dengan penuh
keikhlasan dan keutuhan niat untuk semata-mata menjalankan anjuran agama
dan melestarikan nilai-nilai sosial yang ada di dalamnya. Sebagaimana
kita juga perlu menghormati mereka yang tidak menggunakan jilbab karena
alasan dan keadaan subjektif yang dialaminya.

Ironi

Dalam hemat penulis,politisasi jilbab yang terjadi belakangan ini
menjadi ironi tersendiri. Setidaktidaknya karena empat alasan utama.
Pertama, alasan keagamaan. Sebagai elite bangsa, para politisi sejatinya
mendukung dan mendorong kesadaran umat beragama dalam mengamalkan
ajaran-ajaran luhur yang terkandung dalam agama.

Dalam bahasa kaum santri,hal ini dikenal dengan istilah ikhlas, yaitu
menjalankan ajaran agama dengan penuh keikhlasan,keimanan, kesadaran,
dan tanpa pamrih apa pun. Kedua, politisasi seperti ini tidak mendidik
bagi masyarakat. Sebaliknya, masyarakat cenderung dibingungkan oleh
politisasi seperti ini.

Apalagi hal ini menyangkut persoalan ajaran agama yang diyakini oleh
sebagian masyarakat. Apabila dilakukan dengan cara-cara yang tidak
mendidik seperti di atas, politik akan semakin dipahami sebagai
“permainan” kalangan elite yang kerap menjual dan membodohi masyarakat.
Ketiga, politisasi jilbab “menghambat” proses pendewasaan masyarakat
dalam menentukan pilihan politiknya.

Proses pendewasaan berpolitik mulai ditandai dengan melemahnya pengaruh
ikatanikatan primordial masyarakat dalam menentukan pilihan politik,
baik ikatan primordial dalam bentuk ormas,mazhab,aliran atau bahkan
agama.Sudah selayaknya para politikus sebagai pihak yang mengklaim diri
sebagai elite bangsa ini memelihara dan mengembangkannya.
Keempat,terbentuknya budaya “politik latah”.

Sejauh ini, jilbab hampir tak pernah menjadi isu politik di panggung
perpolitikan nasional. Baik di lingkungan istana,birokrasi,departemen
ataupun lembaga-lembaga pemerintahan lain. Bahkan seorang Megawati
Soekarnoputri yang tak berjilbab pun pernah menjadi orang nomor satu di
republik ini. Inilah salah satu ciri khas keberislaman di negeri ini.
Keberislaman berjalan seiring dengan kebiasaan-kebiasaan lokal yang
sudah ada sebelum Islam datang di Nusantara.

Dalam keberislaman yang lentur seperti ini,hal-hal yang bersifat
substansial cenderung mendapatkan perhatian lebih besar ketimbang
hal-hal yang bersifat simbolis. Perjalanan sejarah keberislaman dan
kebiasaan lokal pun tersaji secara seimbang,moderat, dan saling
melengkapi.Hampir tidak ada “trauma sejarah” dalam perjalanan panjang
keberislaman dan budaya Nusantara.

Pengalaman Turki

Hal ini berbeda hampir seratus delapan puluh derajat dengan yang terjadi
di Timur Tengah,Turki khususnya.Hubungan keberislaman dengan budaya
setempat penuh dengan lika-liku romantika, bahkan juga penuh trauma.
Pada fase tertentu hubungan keberislaman dan kebiasaan setempat berjalan
sedemikian mesra.

Pencapaian puncak sebagai pusat kekhalifahan Ottoman bisa menjelaskan
tingkat kemesraan antara keberislaman dan kebiasaan setempat. Namun
dalam fase sejarah yang lain,hubungan antarkeduanya berjalan penuh
konflik dan mengembuskan aroma trauma yang sangat
kuat.Setidak-tidaknya,itulah yang dirasakan Mustafa Kemal Ataturk
beserta para pengikutnya yang secara resmi membubarkan sistem
kekhalifahan Islam Ottoman pada 1923.

Dalam pandangan mereka, keberislaman yang selama ini berkembang di Turki
cukup menghambat perkembangan negeri itu untuk mencapai peradaban
modern. Pengalaman Turki modern sering memberangus simbol-simbol
keberislaman yang dianggap berlawanan dengan simbol-simbol modernitas.

Azan dalam bahasa Arab pun pernah dilarang.Bahkan Istana Turki “alergi”
terhadap jilbab. Oleh karenanya, ketika Abdullah Gul dan Recep Tayyib
Erdogan menjadi Presiden dan Perdana Menteri Turki (2007), hal itu cukup
menghebohkan perpolitikan nasional Turki.Hal ini tak lain karena istri
kedua tokoh Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) itu muslimah berjilbab.

Dalam hemat penulis, inilah pengalaman politik yang secara latah hendak
ditancapkan oleh pihak-pihak tertentu ke bumi perpolitikan Nusantara.
Disebut “politik latah” karena sejarah keberislaman dan budaya Nusantara
praksis tak mengalami kisah penuh liku seperti di Turki.Ketika seorang
Ibu Megawati Soekarnoputri yang tak berjilbab menjadi presiden, publik
menerima dengan baik.

Publik juga tidak mempersoalkan ketika Ibu Nyai Shinta Nuriyah Wahid
menjadi ibu negara pada masa kepemimpinan KH Abdurahman Wahid sebagai
Presiden RI keempat. Cukup ironis karena “politik latah”seperti di atas
hanya dilakukan dengan semangat simbolisme semata (seperti jilbab).

Adapun semangat perjuangan yang mengedepankan kepentingan rakyat
(sebagaimana dilakukan AKP di Turki) acap tidak diperhatikan. Harap
diingat, rakyat Turki memberikan kepercayaan kepada Abdullah Gul dan
Erdogan untuk memimpin negeri mereka bukan semata-mata karena mereka
Islamis atau karena istri keduanya berjilbab.

Rakyat Turki memberikan kepercayaan ini karena dalam kepemimpinan
keduanya perekonomian Turki mengalami kemajuan pesat. Begitu juga dengan
keamanan Turki. Para politikus dan elite bangsa ini harus membuktikan
kepada masyarakat bahwa perjuangan mereka tak lain untuk kepentingan
masyarakat dan negara.

Kepentingan seperti ini sejatinya dikedepankan di atas
kepentingan-kepentingan yang lain seperti kepentingan diri sendiri,
keluarga, dan kelompok. Apalagi dengan melakukan langkah-langkah politik
yang secara kasatmata dapat dipahami hanya untuk kepentingan mereka,
bukan kepentingan masyarakat luas (seperti dalam persoalan jilbab).
Cukup ironis bila partai politik di negeri ini justru melakukan politik
simbol seperti jilbab. (*)

Hasibullah Satrawi
Alumnus Al-Azhar Kairo Mesir,
Peneliti Moderate Muslim Society (MMS)


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/243511/
Share this article :

0 komentar: