*Kapitalis dan Demokrasi*
Rahardi Ramelan
Dengan ditetapkannya Boediono sebagai cawapres mendampingi SBY, muncul
polemik mengenai neoliberalisme. Pada sisi lain, capres-cawapres juga
semakin gencar mengetengahkan perlunya penerapan ekonomi kerakyatan
sebagai pilihan masa depan. Seolah-seolah ekonomi neoliberalisme telah
dibenturkan dengan ekonomi kerakyatan.
Kita akui, di dunia berkembang berbagai school of thought dalam bidang
ekonomi seperti, neoliberalisme, ekonomi neoklasik, neokonservatisme,
ataupun yang disebut dengan Washington Consensus. Berbagai sebutan dan
istilah tersebut, terutama keluar dari hasil pemikiran para akademisi di
perguruan tinggi, yang pada dasarnya berlandaskan pada masalah sekitar
deregulasi, perdagangan bebas, privatisasi, dan terutama pemikiran yang
mengandalkan peran pasar lebih besar dibandingkan dengan peran
pemerintah. Kenyataannya, ekonomi kita sudah mengikuti paham-paham tersebut.
Walaupun kita masih memiliki BUMN, yang berada di bawah kendali
pemerintah, tetapi patut disayangkan justru BUMN yang mempunyai tugas
pelayanan publik, seperti Telkom dan Indosat, telah berada di tangan
swasta (asing). Berbagai upaya deregulasi yang dimulai 1980-an, membuka
lebar kesempatan investasi untuk investor asing dan keanggotaan kita di
WTO menunjukkan bahwa perekonomian kita pada dasarnya telah berorientasi
pada mekanisme pasar global.
Hal itulah yang dirasakan oleh pelaku ekonomi tradisional atau ekonomi
rakyat, bahwa telah terjadi ketidakadilan dalam ekonomi. Sektor
pertanian masih tetap termarginalkan. Perdagangan komoditas pertanian di
kota-kota besar dilakukan oleh pasar modern atau supermodern, sedangkan
para petani atau pengepul masih harus tetap bertransaksi di kaki lima
atau pasar kaget. Pertumbuhan nilai tukar petani tidak sejalan dengan
peningkatan kebutuhan hidup dan inflasi. Belum berkembangnya pasar dan
pasar lelang produk pertanian, mengakibatkan pembentukan harga menjadi
tidak transparan, dan petani tetap berada pada pihak yang tertekan.
Usaha kecil dan mikrotradisional lainnya, baik di sektor pedagangan
maupun industri, tidak dapat bersaing atau pun mengimbangi perusahaan
terstruktur yang dikuasai para kapitalis.
Walaupun Robert B Reich, menteri perburuhan semasa pemerintahan Presiden
Bill Clinton, dalam bukunya Supercapitalism (2007) telah mengungkap
pengaruh kapitalis dan pengusaha dalam politik di Amerika Serikat,
tetapi harus kita akui bahwa kehidupan politik kita pun telah
dipengaruhi oleh kapitalis dan pengusaha. Kapitalis dan pengusaha telah
memasuki dan memengaruhi ranah politik dan hukum, dan juga mempengaruhi
demokrasi. Beberapa kasus korupsi di departemen, perbankan, dan
pemerintah daerah yang diungkap oleh KPK, beberapa waktu yang lalu,
menunjukkan sudah terbaurnya antara kapitalis, pengusaha, politik, dan
demokrasi.
Tidak dapat dimungkiri, kita membutuhkan hadirnya kapitalis dan
pengusaha, yang bersama pemerintah, berkewajiban memperbesar ekonomi dan
kekayaan nasional. Sedangkan keberadaan DPR/DPRD sebagai legislator
bersama pemerintah, berkewajiban menjamin bahwa kekayaan yang dihasilkan
dari perekonomian tersebut dapat dinikmati secara berkeadilan oleh
seluruh masyarakat.
Tim Sukses
Terbaurnya kapitalis dan pengusaha dalam politik dan demokrasi telah
memengaruhi kewajiban pemerintah dan legislator untuk menentukan
peraturan dan kebijakan yang berkeadilan. Akibatnya, masyarakat kecil
pada umumnya merasakan bahwa berbagai peraturan dan kebijakan telah
tercemar, serta keadilan yang sesungguhnya tidak tercapai.
Pengalaman menunjukkan, untuk menempati jabatan strategis seseorang
selalu didukung oleh tim sukses, baik itu untuk jabatan eksekutif di
berbagai tingkat, jabatan politik, direksi BUMN, maupun menjadi anggota
legeslatif. Tim sukses ini membutuhkan dana yang tidak sedikit, yang
biasanya didapatkan dari "sumbangan" pihak ketiga, baik perorangan,
perusahaan, maupun para kapitalis. Keadaan inilah yang ditengarai
menggerogoti kewibawaan dan pemihakan pejabat tersebut. Kita mengamati,
bagaimana perilaku lembaga publik dan pejabatnya yang semakin menyerupai
perilaku perusahaan dan kapitalis.
Sampai terlaksananya pilpres pada 8 Juli 2009 kepada masyarakat akan
disuguhi kompetisi antarcapres-cawapres bersama tim suksesnya. Denyut
kampanye ala bisnis sudah mulai dirasakan. Tidak dapat terelakan,
kompetisi yang hanya menentukan satu pemenang akan berlangsung secara
keras dan mati-matian. Masyarakat sudah capai melihat dan mengikuti
persaingan yang tidak sehat di antara kelompok pendukung
capres-cawapres. Persaingan itu sudah jauh dari moral dan etika sebuah
bangsa yang menganut ideologi Pancasila. Kita berharap, kompetisi ini
dapat diselenggarakan secara bermoral, beretika, dan berbudaya. Capres
dan cawapres telah menekankan agar kampanye diselenggarakan secara
santun dan bersih, serta diharapkan mereka juga dapat mengarahkan dan
mengawasi perilaku tim sukses beserta tim pendukungnya. Semuanya
terpulang kepada capres dan cawapres, karena siapa pun yang menang,
mereka yang akan menjadi pemimpin bangsa ini.
penulis adalah mantan Menperindag
http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=8330
*Kapitalis dan Demokrasi*
Written By gusdurian on Jumat, 19 Juni 2009 | 13.21
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar