STASIUN BALAPAN SOLO
Dulu Tempat Balapan Kuda, Kini Pacuan Kereta
Stasiun ini dibangun pada masa penjajahan Belanda. Tak banyak renovasi.
Tapi tak banyak lagi cap sejarah di sekitarnya.
"/Ning stasiun Balapan. Kuta Solo sing dadi kenangan. Kowe karo aku.
Naliko ngeter'ke lungamu./
/Ning stasiun Balapan. Rasane koyo wong kelangan. Kuwe ninggal aku.
Ra kroso nitis eluh ning pipiku./
/Daah?/ dadah sayang?, /Daah/? Selamat jalan!"
Lagu karangan Didi Kempot itu langsung bergaung di kepala begitu kaki
menginjakkan stasiun yang telah berumur ratusan tahun ini. Sudah pasti,
stasiun utama di Solo ini tak hanya menjadi kenangan bagi Didi Kempot
atau siapa pun yang dimaksud dalam lagu itu. Pasti sangat banyak orang
yang memiliki kenangan tentang stasiun ini. Tak hanya di masa sekarang.
Bahkan mungkin sejak ratusan tahun lalu, sejak Belanda masih berkuasa di
kawasan ini. Stasiun ini mulai digunakan pada 1873.
"Hingga sekarang, bangunan stasiun tidak pernah diubah, tetap seperti
aslinya" tutur Wakil Kepala Stasiun Balapan Surakarta Suyatno. Meski
demikian, pihak stasiun pernah melakukan beberapa renovasi, misalnya
mengganti ubin lantai dengan keramik, membuat taman yang cukup asri di
bagian depan stasiun, dan menghias dinding bagian depan dengan batu alam.
Pihak stasiun juga menambah atap di peron bagian tengah, tapi desainnya
dibuat mirip dengan bangunan yang lain. Bantalan rel yang dulunya
terbuat dari kayu juga sudah diganti dengan beton. "Tapi saya tidak tahu
pasti kapan renovasi itu dilakukan," ujar Suyatno. Maklum, ia belum
begitu lama ditugaskan di stasiun terbesar di Surakarta itu.
Suasana bangunan tua memang sangat terasa begitu memasuki kawasan
stasiun ini. Kesejukan pun langsung terasa saat kaki menginjak ruang
depan stasiun. Padahal, ruangan itu tidak dilengkapi dengan kipas angin,
apalagi pendingin udara. Pembeli tiket yang antre di loket pun tidak
merasa kegerahan. Maklum, atap gedung yang tinggi membuat suasana terasa
lapang. Atapnya yang terbuat dari asbes mampu menyerap terik sinar
matahari dari atas. Embusan angin pun masuk dari kisi-kisi yang ada pada
atap yang dibuat bertingkat itu.
Kerangka atap yang terbuat dari baja membuat bangunan stasiun ini
terlihat kokoh. Ditambah lagi, ketebalan tembok bangunan peninggalan
Belanda ini mencapai dua kali lipat dibanding tembok biasa.
Di bagian belakang stasiun, terdapat bangunan besar yang digunakan
sebagai gudang. Beberapa pabrik, seperti pabrik semen, menyewa gudang
tersebut untuk menyimpan barang produksinya. Beberapa pekerja tengah
menurunkan muatan dari gerbong kereta barang ke dalam gudang. Di
sekitarnya, banyak bocah kecil tengah asyik bermain laying-layang tanpa
khawatir jika ada kereta api yang melintas.
Di dalam peron, tampak kesibukan yang selalu rutin dari hari ke hari.
Belasan kuli panggul menawarkan jasa membawakan barang-barang penumpang
yang turun dari kereta api. Tidak ada pedagang asongan yang berkeliaran.
Para pedagang memilih memajang dagangannya dalam sebuah etalase kaca.
Puluhan reklame produk rokok berjajar di setiap tiang penyangga atap.
Penumpang yang keluar dari peron segera disambut oleh kelompok pengemudi
becak, taksi, andong, dan kereta kuda. Beberapa alat transportasi itu
masih eksis, tidak tersingkir oleh perkembangan teknologi. Maklum,
sebelum digunakan untuk persinggahan kereta api, pada masa pemerintahan
Hindia Belanda, daerah di Stasiun Balapan adalah tempat pacuan kuda.
Sayang, tidak ada lagi saksi hidup yang pernah melihat kawasan tersebut
sebagai tempat berkuda para /sinyo/ Belanda. Bukti sejarah itu hanya
terdapat dalam catatan Raden Sajid dalam bukunya, /Babad Sala/, yang
banyak menceritakan asal-usul perkampungan di Surakarta pada masa lampau.
Dalam buku tersebut, Raden Rajid bercerita bahwa kawasan Banjarsari,
tempat Stasiun Balapan berada, merupakan hunian elite bagi warga Belanda
yang tinggal di Surakarta. Kawasan di sekitar Monumen Banjarsari dulunya
merupakan daerah perumahan yang disebut Villa Park. Hingga saat ini,
bangunan-bangunan tua berarsitektur Belanda di kawasan tersebut masih
bisa dijumpai.
Sedangkan di sebelah utara Monumen Banjarsari, terdapat sebuah
perkampungan yang bernama Kestalan. Nama tersebut berasal dari kata
"istal". Sebab, di tempat itulah para pemilik kuda balap menyimpan
kudanya. Sedangkan sedikit ke arah timur, kita akan melihat Kampung
Setabelan. Diberi nama demikian karena kampung itu dulunya merupakan
tempat latihan pasukan berkuda atau /stable/.
Tapi, dulu, penguasa Mangkunegaran memindahkan lokasi pacuan kuda ke
daerah Manahan, yang saat ini menjadi stadion termegah di Surakarta.
Kawasan Balapan digunakan sebagai sebuah stasiun pada 1873, yang
dikelola oleh perusahaan perkeretaapian zaman Belanda, Nederlandsch
Indische Spoorweg Maatschappij (NIS). Urusan arsitektur dipercayakan
kepada Herman Thomas Karsten, seorang arsitek dari Belanda yang juga
menjadi perancang Pasar Gede Hardjonagoro di Surakarta serta Pasar Johar
di Semarang.
Menurut Sularjo, salah seorang pengayuh becak yang selalu mangkal di
tempat tersebut, renovasi baru dilakukan pada 10 tahun terakhir.
"Sebelumnya, bangunannya sudah terlihat usang meskipun masih kokoh,"
tutur pria 60 tahun itu. Padahal, setiap hari, bangunan tersebut dilanda
getaran hebat saat kereta api melintas.
Sularjo menambahkan, meski stasiun ini kian uzur, jumlah penumpang
kereta yang keluar-masuk Stasiun Balapan mengalami peningkatan, terutama
dalam dua tahun terakhir. "Rezeki tambah lancar," katanya sembari
tersenyum lebar. "Barangkali karena tiket pesawat tambah mahal dan
sering jatuh," katanya dengan polos. *AHMAD RAFIQ
*
*http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/05/15/Berita_Utama-Jateng/krn.20090515.165296.id.html
*
Dulu Tempat Balapan Kuda, Kini Pacuan Kereta
Stasiun ini dibangun pada masa penjajahan Belanda. Tak banyak renovasi.
Tapi tak banyak lagi cap sejarah di sekitarnya.
"/Ning stasiun Balapan. Kuta Solo sing dadi kenangan. Kowe karo aku.
Naliko ngeter'ke lungamu./
/Ning stasiun Balapan. Rasane koyo wong kelangan. Kuwe ninggal aku.
Ra kroso nitis eluh ning pipiku./
/Daah?/ dadah sayang?, /Daah/? Selamat jalan!"
Lagu karangan Didi Kempot itu langsung bergaung di kepala begitu kaki
menginjakkan stasiun yang telah berumur ratusan tahun ini. Sudah pasti,
stasiun utama di Solo ini tak hanya menjadi kenangan bagi Didi Kempot
atau siapa pun yang dimaksud dalam lagu itu. Pasti sangat banyak orang
yang memiliki kenangan tentang stasiun ini. Tak hanya di masa sekarang.
Bahkan mungkin sejak ratusan tahun lalu, sejak Belanda masih berkuasa di
kawasan ini. Stasiun ini mulai digunakan pada 1873.
"Hingga sekarang, bangunan stasiun tidak pernah diubah, tetap seperti
aslinya" tutur Wakil Kepala Stasiun Balapan Surakarta Suyatno. Meski
demikian, pihak stasiun pernah melakukan beberapa renovasi, misalnya
mengganti ubin lantai dengan keramik, membuat taman yang cukup asri di
bagian depan stasiun, dan menghias dinding bagian depan dengan batu alam.
Pihak stasiun juga menambah atap di peron bagian tengah, tapi desainnya
dibuat mirip dengan bangunan yang lain. Bantalan rel yang dulunya
terbuat dari kayu juga sudah diganti dengan beton. "Tapi saya tidak tahu
pasti kapan renovasi itu dilakukan," ujar Suyatno. Maklum, ia belum
begitu lama ditugaskan di stasiun terbesar di Surakarta itu.
Suasana bangunan tua memang sangat terasa begitu memasuki kawasan
stasiun ini. Kesejukan pun langsung terasa saat kaki menginjak ruang
depan stasiun. Padahal, ruangan itu tidak dilengkapi dengan kipas angin,
apalagi pendingin udara. Pembeli tiket yang antre di loket pun tidak
merasa kegerahan. Maklum, atap gedung yang tinggi membuat suasana terasa
lapang. Atapnya yang terbuat dari asbes mampu menyerap terik sinar
matahari dari atas. Embusan angin pun masuk dari kisi-kisi yang ada pada
atap yang dibuat bertingkat itu.
Kerangka atap yang terbuat dari baja membuat bangunan stasiun ini
terlihat kokoh. Ditambah lagi, ketebalan tembok bangunan peninggalan
Belanda ini mencapai dua kali lipat dibanding tembok biasa.
Di bagian belakang stasiun, terdapat bangunan besar yang digunakan
sebagai gudang. Beberapa pabrik, seperti pabrik semen, menyewa gudang
tersebut untuk menyimpan barang produksinya. Beberapa pekerja tengah
menurunkan muatan dari gerbong kereta barang ke dalam gudang. Di
sekitarnya, banyak bocah kecil tengah asyik bermain laying-layang tanpa
khawatir jika ada kereta api yang melintas.
Di dalam peron, tampak kesibukan yang selalu rutin dari hari ke hari.
Belasan kuli panggul menawarkan jasa membawakan barang-barang penumpang
yang turun dari kereta api. Tidak ada pedagang asongan yang berkeliaran.
Para pedagang memilih memajang dagangannya dalam sebuah etalase kaca.
Puluhan reklame produk rokok berjajar di setiap tiang penyangga atap.
Penumpang yang keluar dari peron segera disambut oleh kelompok pengemudi
becak, taksi, andong, dan kereta kuda. Beberapa alat transportasi itu
masih eksis, tidak tersingkir oleh perkembangan teknologi. Maklum,
sebelum digunakan untuk persinggahan kereta api, pada masa pemerintahan
Hindia Belanda, daerah di Stasiun Balapan adalah tempat pacuan kuda.
Sayang, tidak ada lagi saksi hidup yang pernah melihat kawasan tersebut
sebagai tempat berkuda para /sinyo/ Belanda. Bukti sejarah itu hanya
terdapat dalam catatan Raden Sajid dalam bukunya, /Babad Sala/, yang
banyak menceritakan asal-usul perkampungan di Surakarta pada masa lampau.
Dalam buku tersebut, Raden Rajid bercerita bahwa kawasan Banjarsari,
tempat Stasiun Balapan berada, merupakan hunian elite bagi warga Belanda
yang tinggal di Surakarta. Kawasan di sekitar Monumen Banjarsari dulunya
merupakan daerah perumahan yang disebut Villa Park. Hingga saat ini,
bangunan-bangunan tua berarsitektur Belanda di kawasan tersebut masih
bisa dijumpai.
Sedangkan di sebelah utara Monumen Banjarsari, terdapat sebuah
perkampungan yang bernama Kestalan. Nama tersebut berasal dari kata
"istal". Sebab, di tempat itulah para pemilik kuda balap menyimpan
kudanya. Sedangkan sedikit ke arah timur, kita akan melihat Kampung
Setabelan. Diberi nama demikian karena kampung itu dulunya merupakan
tempat latihan pasukan berkuda atau /stable/.
Tapi, dulu, penguasa Mangkunegaran memindahkan lokasi pacuan kuda ke
daerah Manahan, yang saat ini menjadi stadion termegah di Surakarta.
Kawasan Balapan digunakan sebagai sebuah stasiun pada 1873, yang
dikelola oleh perusahaan perkeretaapian zaman Belanda, Nederlandsch
Indische Spoorweg Maatschappij (NIS). Urusan arsitektur dipercayakan
kepada Herman Thomas Karsten, seorang arsitek dari Belanda yang juga
menjadi perancang Pasar Gede Hardjonagoro di Surakarta serta Pasar Johar
di Semarang.
Menurut Sularjo, salah seorang pengayuh becak yang selalu mangkal di
tempat tersebut, renovasi baru dilakukan pada 10 tahun terakhir.
"Sebelumnya, bangunannya sudah terlihat usang meskipun masih kokoh,"
tutur pria 60 tahun itu. Padahal, setiap hari, bangunan tersebut dilanda
getaran hebat saat kereta api melintas.
Sularjo menambahkan, meski stasiun ini kian uzur, jumlah penumpang
kereta yang keluar-masuk Stasiun Balapan mengalami peningkatan, terutama
dalam dua tahun terakhir. "Rezeki tambah lancar," katanya sembari
tersenyum lebar. "Barangkali karena tiket pesawat tambah mahal dan
sering jatuh," katanya dengan polos. *AHMAD RAFIQ
*
*http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/05/15/Berita_Utama-Jateng/krn.20090515.165296.id.html
*