BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Agamawan di Tengah Krisis Finansial

Agamawan di Tengah Krisis Finansial

Written By gusdurian on Minggu, 10 Mei 2009 | 14.22

Agamawan di Tengah Krisis Finansial
Oleh: Farida Agustin *)

Tahun ini bakal menjadi masa yang paling menantang bagi semua elemen di republik ini. Turbulensi finansial global hingga kini masih terus menimbulkan efek yang meluas. Di Amerika Serikat (AS), pusat terjadinya krisis, ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) terus memakan korban, terutama dari industri otomotif dan jasa keuangan. Sejumlah perusahaan dan lembaga keuangan disuntik dana oleh pemerintah AS.

Yang terjadi di AS, negeri dengan skala perekonomian nomor wahid, jelas membawa sekian konsekuensi bagi perekonomian dunia. Tak terkecuali bagi perekonomian nasional. Di Indonesia, sektor finansial sudah terimbas, dan ke depan, efek krisis diperkirakan segera menyentuh sektor riil.

Bagaimana efeknya secara riil di masyarakat? Semua pihak, termasuk pemerintah, meyakini bahwa krisis tersebut -cepat atau lambat- bakal menuju sasaran utamanya, yaitu sektor riil. Itu problem pelik. Untung, pemerintah bertindak lumayan cekatan.

Pengalaman krisis 1997/1998 membuat pemerintah cepat melakukan evaluasi. Karena itu, berbekal pengalaman krisis sedekade lalu tersebut, pemerintah menyiapkan berbagai antisipasi.

Namun, ancaman PHK, tampaknya, mulai tak dapat dihindarkan. Sejumlah perusahaan, di antaranya yang bergerak di bidang produksi kertas dan TPT (tekstil dan produk tekstil), mulai merumahkan karyawannya. Sepanjang 2009 ini, efek hal tersebut akan terasa karena mereka yang menjadi korban PHK mesti segera dikaryakan.

Peran Agamawan dan Institusi Agama

Tentu saja diperlukan kerja keras semua elemen untuk mengantisipasi dampak krisis finansial global. Mustahil kita menggantungkan harapan kepada pemerintah yang dalam banyak kasus punya program bagus, tapi melulu jeblok dalam implementasinya. Di sinilah semestinya agamawan dan institusi agama terlibat dengan membumikan ajaran agama dalam peran nyata pemberdayaan ekonomi umat.

Dalam konteks Indonesia, peran agamawan dan institusi agama sangat kuat, apalagi dalam masyarakat yang berbasis pesantren. Tidak bisa tidak, krisis finansial saat ini menjadi salah satu parameter bagaimana agamawan dan institusi agama berkontribusi nyata ke pemberdayaan ekonomi umatnya.

Jujur, harus diakui, selama ini ada kritik keras bahwa agamawan dan institusi agama hanya terjebak pada elitisme dan fokus ke urusan-urusan yang tidak berpraksis sosial. Akibatnya, pemberdayaan umat terbengkalai karena gerak elitis tersebut kerap tidak menjadikan umat sebagai landasan pikirnya.

Contoh nyatanya, masjid dibangun megah, padahal masih banyak masyarakat di sekitar masjid tersebut yang belum mampu mengenyam pendidikan dengan baik. Karena itu, inilah saatnya agamawan dan institusi agama menjadi jejaring sosial tersendiri untuk menyelamatkan umatnya dari empasan krisis finansial global.

Berteologi dalam Konteks

Kontribusi dan peran riil agamawan dalam menyelamatkan perekonomian umat dari terjangan krisis finansial global adalah wujud nyata paradigma "berteologi dalam konteks".

Turbulensi finansial global, meminjam istilah filsuf agama-agama James A. Rimbach tentang teologi lingkungan, adalah "a typical test case for doing theology today". Artinya, peran agamawan dan institusi agama dalam mengantisipasi krisis adalah pilihan tepat dalam "berteologi dalam konteks". Keterlibatan agamawan dan institusi agama akan menjadi semacam kaca benggala untuk mengukur kadar keberpihakan mereka kepada umat.

Basis epistemologis keterlibatan agamawan dan institusi agama adalah kesadaran historis bahwa agama bukanlah wilayah yang kosong dan sunyi sepi sendiri. Problem di sektor ekonomi bukanlah masalah yang melulu bersifat sekuler dan berseberangan secara diametral dengan masalah-masalah keagamaan. Mesti ada pemahaman bersama bahwa krisis finansial adalah problem religius yang menuntut perhatian serius agamawan dan institusi agama.

Harus ada paradigma bahwa akan menjadi mubazir jika agamawan dan institusinya berbusa-busa berbicara tentang kehidupan abadi di akhirat, salat, atau puasa, namun tidak mengambil bagian sedikit pun dalam keprihatinan untuk mencari solusi di tengah keterimpitan krisis global saat ini. Agamawan dan institusi agama harus mampu memberikan sumbangan dan mengambil tanggung jawab etis untuk menyelamatkan perekonomian umat.

Sumbangan, peran, dan tanggung jawab etis itu akan mewujud bila paradigma agama sebagai solusi masalah praksis sosial mengental dalam praktik beragama kita. Kesadaran beragama yang memiliki keterlibatan dan keberpihakan penuh kepada hal-hal yang berpraksis sosial ekonomi, seperti penyelamatan ekonomi umat di tengah ancaman krisis global, mesti terus dibumikan.

Dengan kata lain, keberadaan seorang yang beriman harus sampai pada pertanyaan teologis ini: "bagaimana ajaran Tuhan yang kita imani mampu diimplementasikan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat?". Jika kita sudah menemukan jawabannya, umat beragama akan mampu menjalankan apa yang disebut sebagai "berteologi dalam konteks".

Di sinilah terletak urgensi peran semua umat beragama untuk bersama-sama mewujudkan kehidupan sosial ekonomi politik yang lebih baik dan saling menghargai. Krisis global yang kini menyaput dunia dan negeri ini menjadi kaca benggala sejauh mana umat beragama, khususnya agamawan dan institusi agama, mempunyai bela rasa dan empati untuk menghadapi krisis saat ini. (*)

*) Farida Agustin, meneliti problem sosial budaya ekonomi di sejumlah kota, peminat kajian sosial budaya


http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=68023
Share this article :

0 komentar: