BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » HIDAYAT NUR WAHID

HIDAYAT NUR WAHID

Written By gusdurian on Minggu, 10 Mei 2009 | 14.32

HIDAYAT NUR WAHID

DI antara para calon presiden (capres) pada masa Pemilu 2004, tampil seorang pendatang baru yang langsung menghebohkan. Ibarat air, yang di permukaan sungai tampak tenang, namun ternyata menghanyutkan.



Debutan ini langsung menarik perhatian karena terbukti potensial menarik suara kawula muda dan cendekiawan Ibu Kota. Hanya saja, pendatang baru yang menghebohkan ini kandas di babak penyisihan tanpa bisa masuk babak final pemilihan presiden.Akibat di daerah luar Jakarta masih relatif kurang dikenal, dia pun kurang memperoleh suara rakyat untuk memenuhi syarat masuk babak final pilpres.

Di masa baru berusia 44 tahun itu,Dr Hidayat Nur Wahid (HNW) secara nasional memang masih belum banyak dikenal. Doktor lulusan Universitas Islam Madinah,Arab Saudi ini senantiasa tampil tenang dan selalu bertutur kata halus, baik pada pengucapan maupun makna. Dalam pengalaman berbincang, baik secara formal maupun personal-santai, saya belum sempat mendengar nada tinggi atau makna keras dalam tutur kata cendekiawan ini.

Tampaknya kata ”tidak” tidak eksisdidalamkamusperbendaharaan kata-kata Hidayat Nur Wahid karena saya belum pernah dengar kata ”tidak”terucap olehnya.Bukan berarti HNW tidak punya prinsip, tidak berani menolak apa yang sebenarnya tidak sesuai selera, paham, atau keyakinan dirinya. HNW bisa menolak, tapi bukan dengan kata keras ”tidak”, melainkan lebih dengan kata lembut seperti ”terima kasih” sambil menggelengkankepalaataudengansikap diam.Yang menarik adalah tanpa kata ”tidak” punsaya tetap langsung bisa tahu apabila HNW menolak sesuatu yang tidak sesuai selera, paham,atau keyakinan dirinya.

Menurut analisis,mereka yang menganggap dan dianggap para ilmuwan politik,Hidayat Nur Wahid kandas di babak penyisihan Pilpres 2004 di samping akibat secara nasional masih kalah populer dibanding para pemain lawas di panggung politik Indonesia, juga akibat citra Islam fundamentalis sangat lekat atau sengaja dilekatkan oleh para lawan politik pada dirinya. Prasangka Islam fundamentalis makin diperkuat fobia islamisasi, maka ampuh memicu curiga bahwa apabila HNW presiden, negara kesatuan dan persatuan Indonesia lambat tapi pasti dipaksa menjadi negara Islam.

Pracemas terhadap islamisasi optimal dimanfaatkan para lawan politik HNW untuk mengganjal laju derap langkah karier politik tokoh pendiri PKS yang masuk nominasi Muri sebagai Ketua Umum MPR RI termuda ini! Terlepas dari relevan tidaknya kecurigaan atas islamisasi, pada saat menjawab pertanyaan saya di acara talkshow Jaya Suprana Show, HNW yang baru saja melepaskan jabatan sebagai Ketua Umum PKS secara santun menegaskan bahwa sama sekali tidak ada hasrat mengislamisasikan Republik Indonesia secara inkonstitusional.

Andaikata secara konstitusional ternyata mayoritas rakyat Indonesia menghendaki Republik Indonesia menjadi negara Islam, sebenarnya juga tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena hukum Islam tentu hanya berlaku bagi warga yang beragama Islam. Seluruh warga non-Muslim di Indonesia juga tidak perlu cemas dipaksa masuk Islam seperti dahulu Ratu Isabella dan Raja Ferdinand setelah berhasil mengusir Raja Granada,Boabdil,dari Istana Al Hambra langsung mengkristenkan warga Muslim dan Yahudi di Spanyol.

Hidayat Nur Wahid dengan tersenyum arif-campur-geli menegaskan bahwa praktik abad pertengahan seperti itu sudah anakronis alias tidak layak lagi di abad teknologi informatika ini. Namun, pernyataan tersebut tampaknya tidak banyak yang memedulikan, apalagi memafhumi sebab sampai kini citra islamisasi masih sangat melekat bahkan sengaja dilekatkan secara politis pada diri HNW maupun PKS.

Bahkan masih banyak yang keliru menafsirkan HNW sepaham dengan kaum fundamentalis garis keras meski berulang kali HNW telah tanpa kompromi menegaskan sama sekali tidak setuju dengan tindak kekerasan yang dilakukan mereka yang dianggap kaum fundamentalis gariskeras itu.

Citra negatif, meski tidak sesuai kenyataan,memang sulit dikoreksi akibat secara psikososial khalayak ramai memang lebih menyenangi gosip bersuasana negatif ketimbang positif. Maka, tidak mengherankan bahwa di dunia jurnalistik hadir keyakinan paradoksal, tapi persisten bahwa bad news is good news! (*)

JAYA SUPRANA


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/236944/38/
Share this article :

0 komentar: