BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Pendekatan Kuratif

Written By gusdurian on Sabtu, 02 Juli 2011 | 17.56

Toeti Adhitama :
ika mau berbenah diri, bahaya-bahaya arogansi kekuasaan pasti bisa disingkirkan.
Ini berarti bersedia mengorbankan sebagian perasaan yang menganggap diri hebat."DEMOKRASI Indo nesia mendapat pujian banyak ne gara. Sistem politik yang berlaku sekarang sangat beda dari sistem otoriter di zaman Orde Baru. Situasi makroekonomi pun dalam posisi nyaman bila dibandingkan dengan banyak negara berkembang lainnya. Di antara negaranegara Asia„ Indonesia dinyatakan paling banyak mendapat limpahan dana masuk. Namun, akhir-akhir ini kritik-kritik pedas terhadap pemerintah yang berlalu-lalang dengan kerasnya mengindikasikan masih banyak yang harus dibenahi. Mungkin teramat banyak.
Situasi begini biasa terjadi di negara-negara berkembang yang menginginkan kemajuan dalam berbagai hal dapat terwujud dalam waktu bersamaan.
Hal yang tidak mungkin dilaksanakan dalam masyarakat plural yang demikian heterogen, yang jumlah warganya terbesar ke-4 di dunia; yang bahkan pembagian kekayaan negara masih jauh dari merata dan pada gilirannya pendidikan menengah atas dan tinggi masih dianggap kemewahan bagi mayoritas rakyatnya. Maka, betapa pun hebatnya hujatan yang dilancarkan, rasanya--dan mudah-mudahan--tidak akan mengakibatkan revolusi sosial seperti yang terjadi di wilayah Timur Tengah. Masyarakat umumnya tidak menginginkan kekacauan; yang menengah ke bawah tampak memilih tinggal diam.

Jika melihat kondisi masyarakat, yang mayoritas hanya berbekal pendidikan di bawah rata-rata yang diharapkan, kita tidak mungkin mampu menjalankan sistem liberal yang memungkinkan kita merangkul seluruh masyarakat dari segenap lapisan untuk menentukan kebijakan negara. Sistem liberal tidak bisa dipaksakan karena pendidikan mayoritas yang terbatas. Kondisi itu tidak pula cocok untuk sistem pemerintahan radikal yang memungkinkan penguasa memaksakan kehendak kepada masyarakat karena sikap itu akan bertentangan dengan falsafah negara, Pancasila.
Masyarakat konservatif Bila mengkaji pengamatan ahli-ahli kemasyarakatan tentang berbagai sistem pemerintahan yang ada, rupanya yang sedang berjalan di masyarakat kita ialah sistem konservatif. Gambaran itu yang paling mendekati. Faktor adat-istiadat, budaya, dan agama banyak berpengaruh.
Konservatisme melihat pemerintahan terutama sebagai sarana memelihara ketertiban dan mengintegrasikan berbagai sistem kemasyarakatan ke dalam kesatuan yang harmonis (Society Today, 1971). Menurut perspektif ideologi ini, yang paling penting ialah menjaga agar hubungan antarkelompok tetap stabil.
Dalam arena politik, yang memegang peranan penting ialah golongan elite. Golongan itu tidak hanya memiliki kekuasaan terbesar dan sumber-sumber lain yang diperlukan sebagai bekal kepemimpinan (termasuk pendidikan dan harta kekayaan), tetapi mereka juga diberkahi dengan kebijaksanaan, pengalaman, dan--'seharusnya' yang tidak kalah penting--keluhuran moral. Golongan inilah yang membuat keputusan-keputusan demi kepentingan orang banyak. Kelompok-kelompok lain bersedia menerima mereka sebagai pimpinan.

Dasar kestabilan berbentuk mulai dari kesediaan menerima penuh hak elite untuk menjalankan kekuasaan sampai kesediaan penguasa membiarkan golongan oposisi secara terang-terangan mendesakkan keinginan kepada rezim penguasa--kalau perlu. Partaipartai politik dianggap sarana menyalurkan kebijakan dan keputusan-keputusan bertanggung jawab kalangan elite.
Konservatisme menganggap keanekaragaman dalam masyarakat sebagai kenyataan yang tidak dapat dielakkan, meskipun kadang-kadang disa yangkan kalau bukan dikecam oleh yang berkuasa. Keanekaragaman diperlukan karena ada perbedaan-perbedaan dan spesialisasi yang dibutuhkan demi berfungsinya masyarakat yang kompleks.

Konservatisme menghendaki perubahan sosial terjadi secara minimum, dalam arti berlangsung tertib dan damai tanpa kekerasan, di bawah bimbingan kaum elite. Tujuan perubahan secara itu ialah membiasakan masyarakat akan situasi dan suasana baru yang tidak menyimpang dari nilai-nilai tradisional. Konflik terbuka hendaknya ditekan pada taraf minim.
Mencari penyembuhan Napoleon Bonaparte pernah berkata, “Sepuluh orang yang berbicara terdengar lebih gemuruh daripada 10 ribu yang membisu.“ Apa pun konsep Napoleon ketika mengucapkan kata-kata itu, arti harfiahnya agaknya tepat untuk menggambarkan karut-marut wacana perpolitikan yang ada sekarang, yang pastilah melelahkan bagi mayoritas yang tinggal diam.

Namun, memang harus ada restorasi. Seperti kata teolog dan filsuf Prancis Albert Schweitzer (1875-1965), “Harus datang suatu pembaruan yang akan membawa manusia pergi dari kenyataan yang menyedihkan ini--kehidupan modern yang berjalan tidak menentu, mabuk oleh kemajuan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan kekua saan. Padahal kalau manusia mau berpikir jujur dan mendalam, tujuan pokok hidupnya ialah mencapai kesempurnaan, baik spiritual maupun etis. Untuk itu, perlu tercipta peradaban yang etis, suatu peradaban yang mengusahakan kedamaian untuk dunia tempat tinggalnya.
Hanya dengan sikap demikian hidup akan ada artinya dan umat manusia dapat terhindar dari bencana dan kekejaman akibat konflik yang tidak ada gunanya.“

Jika melihat situasi masyarakat kita sekarang sambil merujuk pada pendapat Schweitzer, menjadi kewajiban kalangan elite--untuk tidak khusus menyebut para pemimpin-ataupun masyarakat umumnya untuk memiliki tekad mengadakan pembaruan; memelopori suatu restorasi. Ibarat orang yang sedang menderita sakit, dia perlu pengobatan. Bagaimana pendekatan kuratifnya?
Misalnya, bukankah sudah waktunya kalangan elite membersihkan kuman-kuman yang mengganggu kesehatan diri dan pikirannya?
Sikap berpihak kepada mereka yang bersalah--yang haus harta dan kekuasaan--sama saja dengan sikap tidak rela mengusir unsur-unsur yang menyebabkan penyakit menahun dan merepotkan semua orang. Memanjakan sakit menahun akan melemahkan kesehatan pikiran dan citra apa pun dan siapa pun. Satu-satunya cara ialah menumpas penyakit demi kesehatan diri agar mampu memimpin kembali dengan kesehatan mental spiritual.
Pada gilirannya, kalangan elite, khususnya para pemimpin, akan mendapatkan kembali wibawanya.

Mereka akan kembali bisa efektif mengambil keputusankeputusan dalam kehidupan bermasyarakat. Dua tahun rasanya terlalu lama untuk menyaksikan keonaran yang berlarut-larut, tetapi memang terlalu singkat untuk mengambil tindakan-tindakan kuratif yang tepat. Maka, lebih cepat diambil tindakan, lebih baik.

Dalam rangkaian upaya tersebut, harap waspada bahwa yang memiliki kekuasaan selalu rentan terhadap keinginan untuk bersikap arogan--arogansi kekuasaan, yang akan mengganggu dan menekan perasaan rakyat yang dipimpinnya. Padahal, hanya rakyat yang bisa membantu.
Seperti dikatakan dalam The Arrogance of Power (William Fulbright), `Jika mau berbenah diri, bahaya-bahaya arogansi kekuasaan pasti bisa disingkirkan. Ini berarti bersedia mengorbankan sebagian perasaan yang menganggap diri hebat; pengorbanan yang memadai untuk akibat-akibat positif yang bisa ditimbulkan.'
http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2011/07/01/ArticleHtmls/Pendekatan-Kuratif-01072011026036.shtml?Mode=1

ANAS DAN ANDI TERIMA SETORAN

NAZARUDDIN:

Anas disebut menerima uang dua kali dari Mirwan Amir.

M. Nazaruddin kembali menggulirkan bola panas. Bekas Bendahara Umum Partai Demokrat itu menyebut Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Alifian Mallarangeng ikut menikmati uang pembangunan wisma atlet SEA Games XXVI di Palembang, Sumatera Selatan.
Tudingan ini disampaikan Nazaruddin dari Singapura lewat pesan BlackBerry kepada Tempo kemarin, setelah ia ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus suap pembangunan wisma atlet.

Selain kedua nama itu, Nazaruddin menyebut empat nama lain, yaitu Angelina Sondakh (anggota Komisi Olahraga dan Badan Anggaran DPR Fraksi Demokrat), Mirwan Amir (Wakil Ketua Badan Anggaran DPR Fraksi Demokrat), Mohammad Jafar Hafsah (Ketua Fraksi Demokrat DPR), serta I Wayan Koster (anggota Komisi Olahraga dan Badan Anggaran DPR Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan).

Menurut Nazaruddin, Anas menerima uang dua kali dari Mirwan Amir. Pertama, dari jatah untuk Demokrat Rp 9 miliar yang berada di Badan Anggaran DPR. Nazaruddin bercerita, uang itu diberikan oleh orang kepercayaan Sekretaris Jenderal Kementerian Pemuda dan Olahraga kepada I Wayan Koster dan Angelina. Selanjutnya, uang tersebut diserahkan kepada Mirwan.
Dari Mirwan, uang dibagi-bagikan kepada pemimpin Badan Anggaran dan Ketua Fraksi Demokrat.

“Jatah Demokrat tidak diserahkan ke saya, tapi langsung ke Ketua Umum Demokrat Anas,“ tulis Nazaruddin dalam BBM-nya.

Kedua, Nazaruddin mengaku mendengar cerita dari Mirwan bahwa Mirwan telah menyerahkan uang Rp 7 miliar kepada Anas untuk pengamanan media. Cerita itu disampaikan di ruangan Jafar Hafsah sebelum pertemuan dengan Tim Pencari Fakta Demokrat pada 11 Mei 2011. “(Di situ) ada Mirwan Amir, saya, Jafar Hafsah, Angelina,“kata Nazaruddin.

Adapun Andi dituding menerima uang Rp 5 miliar dari Sekretaris Jenderal Kementerian Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam melalui orang kepercayaannya.
Andi membantahnya.“Itu tidak benar, saya tidak mengerti tuduhan apa lagi yang diarahkan kepada saya,“ ujar Andi melalui pesan pendek kemarin.

Bantahan juga disampaikan Mirwan Amir, Angelina, dan I Wayan Koster.
Sementara itu, Anas enggan mengomentari tuduhan mantan koleganya itu. Telepon atau pun pesan yang disampaikan Tempo tidak mendapat jawaban.

SUKMA N LOPPIES | ISMA SAVITRI | ALWAN RIDHA RAMDANI | AMANDRA MUSTIKA MEGARANI | BUNGA MANGGIASIH | RAJU FEBRIAN Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas yakin M. Nazaruddin, yang kini bermukim di Singapura, bisa dijemput paksa, setelah bekas Bendahara Umum Partai Demokrat itu ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap wisma atlet SEA Games XXVI di Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan. Busyro menegaskan KPK tidak akan pernah memenuhi permintaan pemeriksaan Nazaruddin di Singapura.

“Tak ada kamus itu (pemeriksaan di Singapura) di KPK. Nazaruddin harus pulang!“ kata Busyro kepada Tempo di halaman rumah pribadinya di kawasan Tegalrejo, Sorosutan, Umbulharjo, Yogyakarta, kemarin.

Namun Busyro enggan membicarakan soal teknis pemulangan Nazaruddin.
Menurut dia, untuk sementara KPK menunggu kesediaan kuasa hukum Nazaruddin, O.C. Kaligis, melakukan pendekatan agar kliennya memenuhi panggilan pemeriksaan KPK. “Kalau pengacaranya profesional, pasti mau memulangkan dia,“ujar Busyro.

Nazaruddin, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Demokrat, berada di Singapura sejak 23 Mei dengan alasan berobat. Ia sudah tiga kali mangkir dari panggilan penyidik KPK, yakni pada tanggal 10, 13, dan 27 Juni 2011. Nazaruddin bahkan sempat meminta KPK memeriksanya di kantor pengacaranya di hotel di Southern Road, Singapura.

Kemarin KPK menetapkan Nazaruddin sebagai tersangka kasus suap pembangunan wisma atlet. Ia menjadi tersangka keempat. Sebelumnya sudah ada tiga tersangka: Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam, Direktur Marketing PT Anak Negeri Mindo Rosalina Manulang, dan Manajer Pemasaran PT Duta Graha Muhammad El Idris.

“Dia (Nazaruddin) disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 2 dan/atau Pasal 12 huruf a dan b dan/atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,“ kata Wakil Ketua KPK Bibit Samad Rianto di kantornya kemarin.

Wakil Ketua DPR Pramono Anung mengatakan KPK harus menggunakan semua kewenangan yang dimiliki untuk memulangkan Nazaruddin. “Penetapan tersangka ini langkah maju,“ kata politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tersebut di gedung DPR kemarin.
Upaya pemulangan yang ia maksud termasuk menjemput paksa Nazaruddin.

Namun pengamat hukum pidana internasional Romli Atmasasmita tidak yakin status tersangka bisa jadi alat memulangkan Nazaruddin. Menurut dia, sebenarnya lebih mudah mendatangi Nazaruddin saat masih berstatus sebagai saksi ketimbang tersangka.

Sebagai saksi, kata Romli, KPK bisa menggunakan perjanjian Mutual Legal Assistance (MLA) yang ditandatangani delapan negara ASEAN.
“Namun, dengan status barunya sebagai tersangka, KPK harus menjelaskan proses penetapannya dari saksi menjadi tersangka jika akan menggunakan MLA,“ujar Romli.

Romli juga menilai, karena Nazaruddin ada di negeri yang tak terikat perjanjian ekstradisi dengan Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus turun tangan.“Untuk membuat kesepakatan antarkepala negara.“

Ketua Departemen Perekonomian Demokrat Sutan Bhatoegana enggan menang gapi usul Romli. Menurut dia, memulangkan Nazaruddin melalui pendekatan itu tidak menjadi kewenangan Demokrat, meski sebagai partai penguasa. “Hubungan G to G itu urusan pemerintah, bukan Demokrat,“ujarnya.

Sementara itu, Ketua DPR Marzuki Alie mengatakan DPR tak akan memberhentikan Nazaruddin.“Kalau terdakwa nanti, baru diberhentikan sementara. Kita ikuti saja undang-undang. Saya itu sangat taat asas,“kata politikus Demokrat itu di Istana Presiden. ISMA SAVITRI | ADDI MAWAHIBUN IDHOM | MAHARDIKA SATRIA HADI | RINA WIDIASTUTI | EKO ARI WIBOWO | RAJU FEBRIAN

http://epaper.korantempo.com/PUBLICATIONS/KT/KT/2011/07/01/ArticleHtmls/NAZARUDDIN-ANAS-DAN-ANDI-TERIMA-SETORAN-01072011001007.shtml?Mode=1

Tak Ada Mantan Anak dan Mantan Orang Tua

Tak Ada Mantan Anak dan Mantan Orang Tua Reza Indragiri Amriel DOSEN PSIKOLOGI FORENSIK UNIVERSITAS BINA NUSANTARA, JAKARTA

Bagi komunitas muslim di Indonesia, perceraian dan hak asuh dita ngani oleh pengadilan agama. Ha kim pengadilan agama mengha dapi kendala membuat putusan yang selaras dengan prinsip kepentingan terbaik anak, khususnya terkait dengan legislasi dan mekanisme yang digunakan dalam menyikapi masalah hak asuh ini.
Umumnya putusan hakim tentang hak asuh memuat dua legislasi: Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA). Filosofi KHI adalah maternal preference, mengatur bahwa anak (korban perceraian) yang belum mumayiz berada di bawah penguasaan ibunya. Mumayiz berbeda dengan akil balig. Akil balig merujuk pada dimensi fisik, yakni kematangan--antara lain--organ seksual yang menjadi pembeda antara usia kanak-kanak dan usia pasca-kanak-kanak.

Mumayiz menyangkut kematangan psikologis anak (usia mental), yakni kemampuan anak dalam membedakan baik dan buruk, benar dan salah, dan sejenisnya.
Tuntutan bagi hakim memahami psikologi perkembangan anak, yang jauh lebih pelik ketimbang memahami kondisi akil balig, menjadi mutlak. Namun, karena tidak mudah, hakim cenderung by default menjadikan ibu sebagai pemegang hak asuh atas anak--di sini anak sebatas ditimbang berdasarkan usia biologisnya.

Menjadikan KHI sebagai pedoman kerja, hakim semakin mudah menjatuhkan putusan hak asuh hanya ke salah satu pihak (sole custody) yang bercerai, dan pihak tersebut biasanya adalah ibu.

Kontras dan UUPA tidak menaruh preferensi (keberpihakan) kepada gender tertentu. UUPA menyebut hak anak untuk diasuh oleh kedua orang tuanya. Dengan demikian, apabila hakim benar-benar konsekuen menjadikan UUPA sebagai legislasi, hakim sepatutnya lebih mantap membuat putusan bahwa anak tetap diasuh kedua orang tuanya (joint/shared custody).

Dituangkan dalam putusan, karena KHI “lebih memudahkan“hakim, UUPA pun menjadi instrumen normatif yang tidak aplikatif. Hak asuh tetap jauh lebih banyak diputuskan sebagai sesuatu yang bersifat tunggal, yaitu dipegang oleh salah sa tu pihak yang bercerai.

Sekarang tengok dua poin putusan majelis hakim di salah satu kantor pengadilan agama di wilayah DKI Jakarta berikut ini.
KHI dan UUPA juga tercantum sebagai dasar-dasar putusan hakim. Pertama, “(Majelis hakim) menetapkan dua orang anak penggugat konvensi (istri) dan tergugat konvensi (suami), masing-masing bernama: ? berada dalam pengasuhan dan pemeliharaan penggugat konvensi (istri, ibu kedua anak tersebut).“Kedua,“Memerintahkan kepada penggugat konvensi memberikan hak tergugat konvensi untuk menyalurkan kasih sayangnya terhadap anakanak tersebut tanpa batas waktu.“

Poin pertama putusan menunjukkan penetapan hak asuh tunggal bagi ibu. Tapi, karena poin kedua memuat “tergugat konvensi? menyalurkan kasih sayang? tanpa batas waktu“, justru dapat ditafsirkan pihak ayah juga mempunyai hak asuh atas kedua anaknya tersebut. Dengan kata lain, ketika poin pertama digandeng dengan poin kedua, justru implisit terkandung putusan bahwa hak asuh atas anak dimiliki bersama (joint custody), bukan oleh salah satu pihak saja.

Isi putusan di atas mengindikasikan kegamangan hakim. Sangat mungkin persidangan pada dasarnya meyakinkan hakim bahwa ayah adalah pihak yang sesungguhnya paling pantas--atau setidaknya setara dengan ibu--dalam mengasuh anak. Namun, karena KHI berlandaskan maternal preference, dan hakim tidak cukup percaya diri menyandarkan diri pada UUPA yang spiritnya adalah pengasuhan bersama, hakim membuat putusan “kompromistis“.
Putusan seperti itu berpeluang membuka konflik susulan, karena pihak ibu bisa memakai poin pertama guna mempertahankan hak asuh atas anak, sedangkan pihak ayah dapat “menguasai“anak dengan berlandaskan kondisi “tanpa batas waktu“.
Ketika salah satu pihak kemudian menyumbat akses mantan pasangannya bertemu dan mencurahkan cintanya kepada anak-anak, bagaimana lembaga peradilan menyikapinya?
Hingga saat ini, lembaga peradilan agama tampak berlepas tangan manakala ma salah hak asuh tidak dieksekusi sebagaimana tercantum dalam putusan hakim.
Rebutan anak tetap berlangsung, sebagai tanda gagalnya peradilan melindungi prinsip kepentingan terbaik anak.

Beberapa usulan berikut ini dapat dipertimbangkan agar akses anak-orang tua tetap terbuka. Pertama, walaupun hak asuh adalah perkara perdata, ketika akses anak untuk bertemu dengan orang tua ditutup oleh orang tua pemegang hak asuh, perlu dicari mekanisme agar situasi kemudian dapat digeser ataupun dikembangkan menjadi pidana. Pemutusan hubungan antara anak dan orang tuanya, bagi saya, merupakan kekerasan sekaligus penelantaran.

Kedua, jika penutupan akses tersebut berlangsung, dan ini berarti salah satu pihak telah bertindak menyimpang dari putusan hakim, pengadilan agama dapat menyatakan pihak tersebut telah melakukan indirect civil contempt of court. Di sini mekanisme baru dirancang agar sanksi tertentu dijatuhkan sebagai upaya paksa agar pihak-pihak yang bercerai memenuhi kewajiban seperti yang telah diputuskan hakim demi terealisasinya kepentingan terbaik anak.

Ketiga, perlu dibentuk mekanisme pemantauan agar penutupan akses anakorang tua tetap terbuka. Sebagai tambahan bagi mediasi, peradilan agama dapat pula berinisiatif mengenakan keharusan kepada masing-masing orang tua menyampaikan laporan berkala perihal pelaksanaan hak asuh setelah berakhirnya persidangan. Dengan cara ini, orang tua akan terdorong untuk dapat tetap seoptimal mungkin menjalankan peran pengasuhan sesuai dengan putusan hakim atau bahkan dengan cara yang lebih baik lagi sesuai dengan perkembangan di luar persidangan.
Orang tua yang merasa telah dihalang-halangi oleh mantan pasangan untuk bertemu dengan anak juga dapat memanfaatkan pendekatan ini sebagai mekanisme pengaduan.

Peran pemantauan tersebut dapat dilaksanakan oleh lembaga-lembaga perlindungan anak. Lembaga itu pula yang dapat merekomendasikan otoritas peradilan untuk mengambil langkah hukum yang lebih tegas manakala terlihat bahwa penutupan akses telah berlangsung.

http://epaper.korantempo.com/PUBLICATIONS/KT/KT/2011/07/01/ArticleHtmls/Tak-Ada-Mantan-Anak-dan-Mantan-Orang-Tua-01072011011003.shtml?Mode=1

Polisi Dambaan Masyarakat

A.M. Fatwa ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN DAERAH RI

Pada dasarnya setiap bangsa ingin memiliki polisi yang profesional, bersih, berwibawa, bermartabat, dan dicintai rakyat, yang mampu melaksanakan tugas memelihara keamanan dan ketertiban, menegakkan hukum, melindungi dan mengayomi, serta memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Juga ada keinginan mewujudkan Kepolisian RI menjadi polisi sipil dalam arti civilian police yang dekat dan bermitra dengan masyarakat, jujur, berdisiplin, santun, ramah, tidak arogan, tidak angker, dan tidak berbuat sewenang-wenang.
Dalam pelaksanaan tugas pokoknya itu masih jauh dari harapan masyarakat. Namun harus diakui bahwa kinerja Polri dari hari ke hari telah mengalami kemajuan, bahkan banyak prestasinya yang membanggakan, walaupun belum dapat memenuhi tuntutan tugas secara optimal memenuhi harapan masyarakat. Dalam reformasi internalnya, kepolisian sudah mengalami kemajuan di bidang struktur dan instrumental, tapi masih lemah pencapaiannya di bidang kultur. Dalam pelaksanaan tugas pokoknya, masih diperlukan peningkatan agar hasilnya lebih baik. Masyarakat masih belum sepenuhnya merasa aman dan tertib dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari. Kejahatan yang semakin brutal kurang diimbangi dengan sistem keamanan yang menyeluruh.

Dalam penegakan hukum secara umum, kepolisian mengalami kemajuan walaupun masih perlu peningkatan kinerja secara sungguh-sungguh. Demikian juga dalam perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Di samping itu, masih banyak polisi yang menggunakan kekuasaan diskresi-fungsional yang tidak proporsional untuk kepentingan pribadi, bukan untuk kepentingan tegaknya hukum dan keadilan. Adanya istilah “denda damai”masih menjadi omongan masyarakat walaupun sulit dibuktikan. Juga banyak sopir truk yang mengeluh karena di jalan harus mengeluarkan uang pungutan liar. Pengawasan di lapangan oleh setiap atasan perlu digalakkan terus-menerus.

Akibatnya, harapan masyarakat memiliki polisi yang benar-benar baik dan bersih masih belum menjadi kenyataan. Masih banyak oknum polisi yang melakukan pelanggaran atau penyimpangan moral dan etika profesi polisi, seperti pelanggaran Kode Etik Polri yang merupakan inti nilai-nilai yang dirumuskan dalam Tribrata dan Catur Prasetya Polri. Penyimpangan dilakukan oknum anggota Polri karena masih lemahnya reformasi kultural, yang banyak menyangkut masalah pelanggaran moral, etika, dan tidak berfungsinya hati nurani. Banyak masyarakat yang belum merasa benar-benar menjadi mitra polisi, padahal perkara ini sangat penting dalam mendukung tugas pokok Polri.

Karena itu, harus dilakukan pembenahan dari dalam secara sungguh-sungguh dan berlanjut agar citra Polri di mata masyarakat menjadi baik. Untuk itu, perlu ditingkatkan pembinaan mental, moral, etika profesi, dan berfungsinya hati nurani. Hal itu diharapkan akan menjadi pendorong untuk menjadi polisi yang baik, yang menuntun sikap, perilaku, dan tindakan polisi.

Peningkatan kesadaran/kemampuan emosional dan spiritual akan mengarah pada kehendak Tuhan, meruntuhkan nafsu jahat, dan menyumbat sumber kelalaian, sebaliknya akan meneguhkan dan melembutkan hati nurani. Terkait dengan tindakan polisi sebagai penegak hukum dan keadilan, polisi harus menggunakan hukum secara

semestinya. Mungkin ada aturan hukum yang tidak sempurna, tapi hukum tersebut masih dapat menciptakan kebaikan jika penegak hukumnya baik. Sebaliknya, hukum yang baik tidak menjamin akan terciptanya keadilan atau kebaikan jika aparat penegak hukumnya buruk. Di sini akan terlihat pentingnya peningkatan moral, etika, dan berfungsinya hati nurani.
Dalam melaksanakan tugasnya, polisi memerlukan partisipasi masyarakat. Untuk itu, polisi harus benar-benar dekat dengan masyarakat dan menjadi pelindung serta pelayan masyarakat. Pelaksanaan tugas Polri harus menggunakan pendekatan kemanusiaan, menjunjung tinggi hak asasi manusia, mengedepankan pencegahan, bersifat edukatif dan persuasif, tapi tidak meninggalkan sikap serta tindakan tegas. Untuk itu, masyarakat harus menjadi mitra, teman, bahkan sahabat baiknya. Polisi tidak selalu menempatkan diri sebagai penguasa, tapi justru harus mewujudkan kondisi agar masyarakat merasa memiliki dan mencintai Polri. Polri harus dapat merebut hati masyarakat, dekat dengan masyarakat dengan menunjukkan sikap, perilaku, dan pelayanan yang baik kepada masyarakat, sehingga benar-benar dapat mewujudkan perpolisian masyarakat. Keberhasilan perpolisian masyarakat akan ditentukan oleh citra Polri yang baik yang mendapat kepercayaan masyarakat karena memang layak dipercaya. Citra Polri yang bersih, disiplin, ramah, santun, tegas, dan bermartabat akan menjadi senjata utama yang ampuh dalam melaksanakan tugasnya.

Semoga hal itu dapat menjadi kenyataan. Dirgahayu Polri.

http://epaper.korantempo.com/PUBLICATIONS/KT/KT/2011/07/01/ArticleHtmls/Polisi-Dambaan-Masyarakat-01072011012009.shtml?Mode=1

Ekstradisi dari Singapura

ROMLI ATMASASAMITA :

Optimisme KPK untuk menjemput paksa Nazaruddin dan Nunun melalui bantuan polisi dan KPK Singapura juga melalui Interpol patut diapresiasi. Seharusnya semangat itu yang tetap tidak surut pada diri kita semua jika sungguh-sungguh hendak memberantas korupsi.


Namun, optimisme harus memperhatikan realita betapa tidak mudahnya membawa tersangka atau saksi dari Singapura. Selain sistem hukum berbeda, juga kepentingan negara setempat ikut menentukan. Negara itu telah dikenal rendah komitmennya untuk kooperatif dengan setiap negara terkait ekstradisi, kecuali dengan sesama negara anggota Commonwealth.

Perjanjian ekstradisi IndonesiadanSingapuratelahditandatangani 27 April 2007,namun dipaketkan dengan perjanjian pertahanan. Masih ada perbedaan tafsir hukum atas pelaksanaan perjanjian pertahanan (implementing arrangement) antara kedua negara sehingga menunda ratifikasi atas kedua perjanjian tersebut.

Kelemahan

Namun, mengingat keperluan Indonesia dalam perjanjian ekstradisi lebih besar dari Singapura,di dalam perjanjian tersebut masih ada beberapa kelemahan-kelemahan mendasar yang merugikan Indonesia sebagai negara peminta (requesting state).Pertama, landasan ekstradisi (Pasal 3) sangat ditentukan oleh hukum Singapura dan diskresi pejabat Singapura ketimbang Indonesia.

Pasal 3 menegaskan bahwa tersangka hanya dapat diekstradisi ke negara lain (peminta ekstradisi) jikamenuruthukum Singapura telah ada bukti awal (prima facie evidence) atau bukti cukup kuat (sufficient evidence) dan dipandang sebagai telah dilakukan di wilayah yurisdiksi Singapura dan bagi terdakwa hanya dapat diekstradisi jika telah ada putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Kedua, disepakati bahwa putusan in absensia dapat diekstradisikan. Akan tetapi, dengan syarat negara peminta ekstradisi wajib menerangkan secara rinci bahwa terdakwa telah diberikan kesempatan untuk hadir di persidangan.

Serta jika diserahkan ada jaminan bahwa yang bersangkutan dapat diberikan kesempatan untuk diadili kembali. Klausul ini bertentangan dengan prinsip ne bis in idem yang berlaku dalam sistem hukum pidana Indonesia (Pasal 76 KUHP). Ketiga, dalam perjanjian ekstradisi Indonesia dan Singapura 2007, ditegaskan bahwa negara yang diminta ekstradisi (requested state) dapat menolak dengan alasan ekstradisi akan menimbulkan ketidakadilan, opresif, dan penghukuman yang kejam terhadap tersangka/ terdakwa.

Kelemahan ini semakin nyata dihubungkan dengan ketentuan Pasal 12 UU Ekstradisi Singapura tahun 1870/1935, yang menegaskan bahwa ekstradisi tidak akan dijalankan jikatersangka/terdakwa mengajukan keberatan denganmengajukan hak “habeas corpus” kepada pengadilan Singapura dengan alasan penahanan oleh polisi Singapura untuk tujuan ekstradisi telah dilakukan sewenang- wenang.

Pasal 13 UU Ekstradisi Singapura tahun 1870/1935 menegaskan bahwa jika dalam tempo dua bulan tersangka/terdakwa tidak diserahkan ke negara peminta, pengadilan tinggi dapat memerintahkan tersangka/terdakwa dibebaskan.

Keempat,Pasal 7 Perjanjian Ekstradisi Indonesia dan Singapura (2007) menegaskan bahwa jika telah lewat waktu 45 hari dokumen kelengkapan ekstradisi tidak diserahkan ke Singapura, penahanan sementara (provisional arrest) atas tersangka/terdakwa dicabut kembali.Waktu 45 hari untuk melengkapi dokumen ekstradisi bukan waktu yang cukup bagi sistem kerja administrasi pemerintah Indonesia.

Kemenkumham sebagai central authority (pusat pengendali) ekstradisi dan mutual legal assistance (MLA) di Indonesia harus bekerja sama dengan Polri, Kejaksaan, KPK, Kemlu, serta Kantor Koordinator Polhukham dan Sekneg. Kegagalan administratif ini telah terjadi ketika tim buru aset korupsi bekerja sama dengan pemerintah federal Swiss empat tahun yang lampau.

Kelima,Pasal 15 Perjanjian Ekstradisi Indonesia dan Singapura 2007 menegaskan, ekstradisi tidak dilakukan jika terhadap tersangka/terdakwa yang dituntut oleh negara peminta telah dituntut dengan dasar tindak pidana lain selain tindak pidana untuk mana tersangka/ terdakwa dimintakan ekstradisi.

Dalam kasus korupsi ini, hambatan serius lainnya adalah bahwa pemerintah Singapura telah mengajukan reservasi terhadap ketentuan Pasal 44 tentang Ekstradisi dan Pasal 66 tentang Penyelesaian Sengketa Konvensi PBB Antikorupsi 2003.Akibatnya, Singapura dapat menolak ketentuan konvensi tersebut sebagai basis pelaksanaan ekstradisi dengan negara manapun termasuk Indonesia.

Tergantung Kemenkumham
Merujuk pada hambatanhambatan di atas,keberhasilan memulangkan Nunun dan Nazaruddin sangat bergantung pada sistem administrasi pusat pengendali (central authority) yaitu Kemenkumham di Indonesia dan perlakuan hukum oleh penegak hukum terhadap kedua orang tersebut di Indonesia.

Kedua prasyarat tersebut dapat menjadi batu sandungan yang serius untuk dapat memulangkan kedua orang itu ke Indonesia. Solusi segera yang seharusnya dilakukan aparat penegak hukum di Indonesia,jika sungguh- sungguh, adalah menggunakan jalur MLA yang telah ditandatangani Indonesia dan Singapura pada 29 November 2004 dan telah diratifikasi oleh kedua negara.

Namun, yang diberi wewenang mengajukan permintaan MLA adalah menteri hukum dan HAM untuk Indonesia dan menteri hukum untuk Singapura. Jalur ini tidak digunakan KPK yang justru berguna untuk melokalisasi keberadaan kedua orang tersebut dan identifikasi serta pemeriksaan di tempat bersama-sama pihak berwajib di Singapura.

Serta bisa digunakan untuk meminta keterangan/kesaksian setiap orang termasuk saksisaksi yang berada di Singapura disertai mengumpulkan buktibukti. Lebih jauh MLA dapat digunakan untuk menelusuri aset dan menyita aset khusus tersangka/terdakwa yang berada di Singapura.● ROMLI ATMASASAMITA Guru Besar Hukum Pidana
Internasional Universitas Padjadjaran (Unpad

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/409743/

Antara BUMN Asuransi, RUU BPJS, dan Pasar Modal

RAKHMAT BAIHAQI : Catatan -
Kisruh rencana peleburan empat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) asuransi yang terdiri atas PT Jamsostek (Persero), PT Askes (Persero), PT Taspen (Persero) dan PT Asabri (Persero) terus berlanjut. Kisruh berawal dari rencana Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang (RUU) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang ingin melebur empat BUMN asuransi tersebut menjadi dua BPJS.


Pemerintah pun tak satu suara soal ini. Menteri BUMN Mustafa Abubakar bahkan pada 24 Juni lalu menyurati tujuh menteri sekaligus, yakni Menteri Keuangan, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Sosial, Menteri PPN/Kepala Bappenas, Menteri Kesehatan, Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi, serta Menteri Hukum dan HAM. Dalam surat tersebut, Mustafa tidak setuju dengan rencana transformasi empat BUMN asuransi menjadi BPJS.

Dia mengaku sebelumnya dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) pemerintah tidak terdapat pengaturan mengenai transformasi. Tidak hanya alasan legal yang dikemukakan Mustafa seperti suatu undang-undang tidak dapat menganulir aturan perundang-undangan lain, tetapi penggabungan atau peleburan hanya dapat dilakukan antar-BUMN [Pasal 63 ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara], penggabungan, peleburan, pengambilalihan atau pemisahan wajib memperhatikan kepentingan perseroan, karyawan perseroan, kreditor (termasuk peserta asuransi), dan mitra usaha (Pasal 126 UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas),dan pengalihan program dan peserta memerlukan persetujuan dan/atau kesepakatan peserta (Pasal 1340 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata /KHU Perdata).

Yang menarik lagi dari alasan yang dikemukakan Mustafa adalah pengalihan aset, program, peserta, dan kelembagaan akan menimbulkan gejolak ekonomi mengingat dana yang dikelola empat BUMN asuransi sosial sebesar lebih dari Rp190 triliun telah diinvestasikan pada beberapa portofolio deposito,saham,dan obligasi.

Jika dikaji, pernyataan Mustafa ini akan menjadi kenyataan apabila pemegang dana di empat BUMN asuransi tersebut melakukan pengambilan dananya secara serentak.Ini sungguh mengerikan, terlebih beberapa serikat pekerja yang anggotanya menjadi peserta Jamsostek telah mengancam akan menarik dana mereka jika empat BUMN ini dilebur atau ditransformasikan menjadi BPJS.

Apabila dana Jamsostek di-rush (penarikan besar- besaran) oleh para pekerja, tidak hanya Jamsostek saja yang kolaps, tetapi juga pasar modal dan perbankan. Hal ini akan diperparah jika peserta Askes,Taspen,dan Asabri juga melakukan penarikan besarbesaran. Saat ini dana kelolaan (aset) Jamsostek sekitar Rp110 triliun, dari jumlah tersebut 97%- nya merupakan dana jaminan hari tua (JHT) yang bisa ditarik sewaktu-waktu oleh pemiliknya.

Tentu, jumlah itu bukan angka yang kecil. Terlebih, portofolio investasi Jamsostek dialokasikan ke instrumenintrumen yang bisa menggerakkan roda ekonomi. Tercatat, dana Jamsostek yang diinvestasikan di pasar saham mencapai lebih dari Rp22 triliun, obligasi Rp48,4 triliun,deposito Rp30,8 triliun, dan reksa dana Rp4,4 triliun.

Jika Jamsostek menarik dananya dari pasar saham, akan terjadi guncangan yang cukup hebat di sektor finansial.Pasalnya, para analis meyakini dari total transaksi harian di Bursa Efek Indonesia (BEI),30%-nya digerakkan oleh dana Jamsostek. Jamsostek juga disinyalir menguasai sekitar 30% sahamsaham bluechips melalui sekuritas- sekuritas yang cukup besar.

Belum lagi jika Jamsostek menarik dananya yang ditempatkan pada deposito perbankan, tentu hal ini akan membuat likuiditas perbankan sedikit terganggu. Kita berharap, dampakdampak yang akan muncul dengan adanya transformasi atau peleburan empat BUMN asuransi tersebut dapat dipikirkan oleh Panja RUU BPJS yang saat ini tengah bekerja.

Implementasi Undang-Undang (UU) Nomor 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) memang sangat penting untuk memberikan jaminan sosial kepada seluruh rakyat Indonesia.Namun, implementasi UU SJSN seyogianya jangan merusak sistem yang sudah ada. Untuk itu, alangkah bijaknya jika BPJS baru tetap dibentuk, tetapi BUMN asuransi juga dibiarkan eksis untuk mengurusi apa yang mereka kerjakan selama ini.

BPJS baru bisa dimanfaatkan untuk mengcover rakyat miskin yang belum terlindungi jaminan sosial,khususnya jaminan kesehatan. Sementara bagi para pekerja yang belum menjadi peserta Jamsostek, ini merupakan pekerjaan rumah (PR) bagi pemerintah dalam hal ini Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk mencari formula yang tepat dalam menyelesaikan masalah tersebut.

Kementerian BUMN juga dituntut untuk menertibkan BUMN-BUMN yang belum menjadi peserta Jamsostek ataupun yang masih menjadi PDS (perusahaan daftar sebagian) upah maupun tenaga kerja.

Diharapkan dengan perhatian yang penuh dari pemerintah, seperti halnya kewajiban membayar pajak, maka pada waktu yang tidak lama lagi seluruh pekerja (buruh) di Indonesia akan terlindungi asuransi sosial.● RAKHMAT BAIHAQI

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/409766/

Proses Mengindonesia

KOMARUDDIN HIDAYAT :

Sejak 1974 saya hijrah ke Jakarta.Sejak itu hampir tidak pernah berbahasa Jawa, kecuali ketika pulang kampung ke Magelang berkumpul dengan keluarga.Sebaliknya, keluarga saya hampir tidak pernah berbahasa Indonesia, kecuali ketika bertemu teman- teman saya dari Jakarta yang singgah ke rumah.


Lalu, anaksaya yanglahirdantumbuh di Jakarta hanya mengenal bahasa Indonesia plus bahasa Inggris. Apa makna semua ini dari segi psikologis-antropologis? Pertama,keluarga yang melakukan urbanisasi dari desa ke kota setidaknya memiliki dua rumah budaya. Meski mereka sudah merasa menjadi penduduk kota,seperti saya di Jakarta, meskipun tinggal di Ciputat,masih memiliki ingatan dan hubungan emosional yang kuat dengan kampung halaman.

Kerinduan untuk menengok kampung halaman masih kuat, sehingga setiap Lebaran ikut meramaikan acara pulang mudik. Kedua,pada generasi anak yang lahir dan tumbuh di kota,merekasecaraemosionaltidakmemiliki dorongan pulang mudik.Kalaupun ramai-ramai pulang mudik, lebih karena dorongan solidaritas pada orang tuanya dan hitung-hitung rekreasi.

Ketiga, ikatan dan penjaga tradisi serta bahasa daerah sekarang ini kian melemah.Penduduk Jawa,misalnya, yang merupakan penduduk terbesar Indonesia yang didominasi bahasa Sunda dan Jawa, sekarang yang menjadi bahasa utamanya adalah bahasa Indonesia. Dalam hal ini pengaruh media massa sangat dahsyat.

Surat kabar atau majalah yang menggunakan bahasa daerah sulit ditemukan. Keempat, disadari atau tidak, dengan segala plus-minusnya proses Indonesianisasi sekarang ini kiat menguat. Setidaknya dari segi bahasa.Tentu saja jati diri bangsa Indonesia tidak cukup hanya diandalkan pada penggunaan bahasa Indonesia.

Namun, setidaknya bahasa Indonesia menjadi pengikat dan medium paling efektif untuk menjaga dan memperkuat rasa keindonesiaan kita.Dibanding negara-negara lain di dunia, politik bahasa nasional kita paling berhasil.Sekian ratus etnis bisa diikat dan disatukan dengan satu bahasa Indonesia,sehingga komunikasi sosial dan medium pembelajaran di sekolah dapat berlangsung dengan mudah.

Bayangkan saja, betapa repotnya melakukan komunikasi sosial dan proses pembelajaran di sekolah kalau tidak memiliki bahasa nasional yang dipahami semua masyarakat. Pusat terjadi proses indonesianisasi yang paling efektif tentu saja berlangsung di universitas- universitas unggulan yang mahasiswa maupun dosennya datang dari berbagai wilayah Nusantara.

Saya sendiri sangat merasakan dengan kuliah di UIN Jakarta.Di situ saya berjumpa teman-teman kuliah maupun pengajar lintas etnis. Lalu aktif di organisasi mahasiswa dan pers sehingga memudahkan bergaul dengan temanteman lintas profesi dan agama. Hanya saja, sekali-sekali muncul kekhawatiran.

Akibat desentralisasi yang telah mendorong munculnya semangat dan identitas kedaerahan bisa saja akan menggerogoti semangat keindonesiaan. Ada lagi perguruan tinggi yang warna dan aura lokalnya begitu kental.Ini kurang bagus untuk mempersiapkan caloncalon pemimpin dan politisi yang hendak berkiprah dalam panggung nasional dengan penduduknya yang plural.

Semangat dan komitmen keindonesiaan itu tidak saja digerogoti oleh militansi etnisprovinsialisme, tetapi bisa juga oleh eksklusivisme kepartaian dan ideologi transnasional.

Aktivis politik yang bergabung dalam parpol jangan sampai lebih sibuk memikirkan target next election sampai lengah berpikir tentang next generation. Parpol yang bermunculan di era reformasi ini pada awalnya mengusung tema dan semangat membangun negara, memajukan bangsa, bukan sebuah perseroan terbatas untuk mengejar kedudukan dan keuntungan materi.

Memudarnya identitas kedaerahan haruslah diarahkan beralih untuk menemukan semangat, identitas,dan rumah keindonesiaan. Sungguh tragis kalau identitas kedaerahan memudar, sementara kebanggaan keindonesiaan juga kian melemah. Mestinya para elite dan aktivis parpol berdiri paling depan untuk mengembalikan kebanggaan berbangsa dan bernegara.

Sangat disayangkan,proses politik yang tengah berlangsung akhir-akhir ini bukannya memberikan semangat dan solusi untuk memperkokoh keindonesiaan dan menyejahterakan rakyatnya, melainkan yang mengemuka masih saja seputar korupsi dan lemahnya penegakan hukum.  PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT Rektor UIN Syarif Hidayatullah



http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/409760/

Narkoba Mengebiri Anak Negeri (Bagian 1)

Perhelatan Hari Anti narkoba Internasional (HANI), Ahad (26/6) lalu, di Monumen Nasional, Jakarta, berlangsung semarak. Ribuan orang menyemut di sana.
Mereka berasal dari beragam kalangan, mulai dari siswa sekolah dasar hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Belasan penari ikut memeriahkan acara. Mereka pun meneriakkan seruan antinarkoba.

Hampir setiap tahun acara seperti itu digelar untuk menyebarluaskan ancaman bahaya narkoba. Ancaman yang sejatinya tak bisa dianggap remeh.

Lihat saja data yang bersumber dari Badan Narkotika Nasional (BNN). Setiap tahun, prevalensi penyalah guna narkoba terus meningkat. Jumlahnya mencapai jutaan orang. Tahun ini prevalensi penyalah guna narkoba diperkirakan bertambah menjadi 2,21 persen atau sekitar 4,02 juta orang.

Jika narkoba dibiarkan menyebar, BNN khawatir pemakai narkoba akan terus meningkat hingga menjadi 2,8 persen atau sekitar 5,1 juta orang dari total penduduk Indonesia pada 2015. Sedangkan pada 2008 atau 2009, BNN mendata prevalensi penyalah guna narkoba hanya 1,99 persen.

Angka pemakai narkoba yang begitu tinggi memantik tanya kriminolog Adrianus Meliala. “BNN harus berpikir mengapa jumlah penyalah guna selalu bertambah,“ ujarnya saat dihubungi Republika beberapa hari lalu.

Penyalah guna narkoba yang terus bertambah membuat Adrianus berpendapat, upaya mencegah dan memberantas pemakaian narkoba telah gagal. Peringatan HANI yang seharusnya menjadi momentum untuk merenungkan kegagalan tersebut, rupanya hanya sekadar seremoni.

Target Indonesia menuju bebas narkoba pada 2015 pun dipandang pesimistis oleh Adrianus. Dia melihat, kejahatan penyalahgunaan narkoba marak terjadi di kota besar. Pelakunya berasal dari berbagai profesi, mulai pekerja konstruksi (10,1 persen), pekerja tambang (7,5 persen), dan pekerja angkutan umum (5,7 persen). Sisanya berasal dari pekerja jasa, pedagang dan pengusaha, pertanian, dan industri.

BNN pernah melakukan riset pada 2008 lalu terkait usia penyalah guna narkoba.

Hasilnya, jumlah penyalah guna narkoba berusia lanjut mencapai 40 persen dari to tal 3,6 juta penyalah guna.

Sisanya adalah anak muda berusia produktif. Yang bila dijabarkan lagi maka dida pat hasil 63 persen dari go longan anak muda ini ber usia 16-18 tahun.

Berdasarkan jenis kela min, hanya 22 persen wanita yang mengonsumsi narkoba.

Sebagian besarnya laki-laki.

BNN juga mendapatkan fak ta satu dari 20 pelajar

atau mahasiswa pernah menyalahgunakan narkoba.
Total siswa yang mengonsumsi narkoba mencapai 921.695 orang.
Siswa SMA mendominasi penyalah guna narkoba dengan jumlah 48 persen. Sejumlah 30 persennya siswa SMP. Sisanya dari kalangan mahasiswa. BNN juga merekam, sebanyak 17,2 persen mengonsumsi ganja. Penyalahguna narkoba yang mengonsumsi sabu mencapai empat persen dan 11,4 persen memakai amphetamine.

Angka kematian akibat narkoba di Tanah Air juga terbilang fantastis. Data BNN memperlihatkan, angkanya berkisar 15 ribu orang per tahun atau 40 orang per hari. Setiap jam hampir dua orang tewas akibat penya lahgunaan narkoba.

Mereka tewas di luar pusat atau tempat rehabilitasi penyalah guna narkoba.

Ada yang tewas di jalanan, jembatan, dan rumah kos.

Namun, dari sekian ba nyak penyalah guna nar koba, baru sekitar 17 ribu orang yang melapor untuk mengikuti rehabilitasi. Pada 2009 lalu, BNN bahkan baru menjangkau 261 korban penyalah guna narkoba yang semua nya menjalani rehabilitasi di Lido, Sukabumi, Jawa Barat.

Tahun lalu, penyalah guna narkoba yang direhabilitasi baru sekitar 350 orang.

Kepala BNN Komisaris Jenderal Gories Mere ber

janji akan bersungguhsungguh memberantas narkoba. “Pernyataan bebas narkoba bukan berarti sama sekali tidak ada narkoba,“ katanya. Bebas narkoba diartikannya sebagai kata penyemangat agar masyarakat terdorong memberantas, mencegah, dan tidak menyalahgunakan narkoba.
Gories menyatakan, peningkatan penyalah guna narkoba memancing para bandar dan jaringan narkoba internasional asal Iran, Nigeria, India, Cina, dan Malaysia, untuk masuk dan mengedarkan narkoba di Indonesia. Di mana ada permintaan, katanya, di situ ada barang. Semakin banyak permintaan maka se makin banyak pula barang beredar.

Pria asal Nusa Tenggara Timur ini menyayangkan, banyak anggota masyarakat yang menganggap melapor kan penyalah guna narkoba sebagai tindakan aib. Dia me minta agar anggapan se perti itu dihapus. “Laporkan saja, nanti kita obati,” katanya.

Kepala Humas BNN Ko misaris Besar Sumirat Dwi Yulianto mengimbau agar pe nyalah guna narkoba ja ngan dibiarkan terus terjebak dalam lingkaran candu. Me reka pun sebaiknya jangan dikucilkan dari kehidupan.

Mereka tetap membutuhkan perhatian dan semangat agar terlepas dari narkoba selamanya. n ed: budi raharjo
http://republika.pressmart.com/PUBLICATIONS/RP/RP/2011/07/01/ArticleHtmls/trending-news-Dua-Pemakai-Narkoba-Tewas-Setiap-Jam-01072011001037.shtml?Mode=1
--

Utopia The Greater Jakarta

Written By gusdurian on Rabu, 29 Juni 2011 | 02.47

Utopia The Greater Jakarta
Taufik Rahzen BUDAYAWAN DAN PENELITI DI URBANUS ANTARA INSTITUTE

Setiap kota memiliki utopianya sendiri, sebagai cara berhubungan dengan masa lalu sekaligus penanda arah bagi masa depannya. Berbeda dengan kehidupan di desa yang nilai-nilainya masih diharapkan terjaga dan diwariskan secara turun-temurun, di kota nilai diciptakan dan secara terusmenerus dibentuk kembali.

Ketika Malaka ditaklukkan oleh Portugis 500 tahun silam (1511), sesungguhnya ini bukanlah jatuhnya sebuah kota, melainkan pergantian utopia, yang mengawali tumbuhnya peradaban baru, peradaban kapitalisme Asia Tenggara. Hal yang sama tidak terjadi pada Bandar Sunda Kelapa, kota pelabuhan Jayakarta. Meski telah dibuat perjanjian perdagangan dengan Portugis pada 1522, Bandar Sunda Kelapa direbut kembali oleh Fatahillah pada 1527. Betapapun syarat-syarat sebuah kota terpenuhi, tapi penduduknya belumlah bersikap atas kemungkinan baru, atas utopia baru.

Sejarah kemudian mencatat, dibutuhkan 100 tahun sejak direbutnya Malaka, yakni ketika Pieter Both pada 1611 membeli sebidang tanah untuk mendirikan loji di Batavia, yang kemudian menjadi benteng utama VOC semasa Jan Pieterszoon Coen. Loji dan benteng menjadi dasar utopia baru, mengiringi penaklukan demi penaklukan yang memulai kapitalisme Hindia Belanda. Sejak itu, utopia loji dan benteng, yang mengusung kesejahteraan dan kekuatan, menjadi karakter dasar Batavia dan Jakarta sebagai sentra ekonomi dan pusat politik.
Bergesernya ekonomi, berpencarnya kekuasaan Selama 400 tahun, Jakarta belum pernah mengalami tekanan, yang langsung menyerang karakter dasarnya sebagai simbol ekonomi dan politik.
Sejak tiga dasawarsa terakhir, globalisasi menggeser pusat kekuatan ekonomi, yang dulunya berpusat di kota atau negara, ke arah regionalisme kawasan dalam bentuk kota metropolitan.

Tumbuhnya kota metropolitan di seluruh dunia menjadikannya sebagai unit dasar ekonomi global. Persaingan antara metropolitan dunia dalam memperebutkan sumber daya dan membagi utopia yang sama dalam gaya hidup memperkeras kompetisi yang menekan daya dukung warganya.
Kecenderungan ini mempengaruhi secara mendalam cara-cara menangani perkotaan, dalam kebijakan publik, perencanaan fisik, kualitas hidup, harapan warga, dan pengelolaan birokrasi.

Tekanan lainnya berasal dari ledakan harapan yang menyertai reformasi politik. Otonomi daerah, kesenjangan Jawa dan luar Jawa, harapan hidup yang meningkat, serta desakan adanya partisipasi warga melampaui kemampuan Jakarta untuk melayaninya. Kekuasaan berpencaran dan wewenang meleleh di tengah kepenuhsesakan, kemacetan, banjir, kelangkaan kerja, kekerasan, dan kelumpuhan fungsi. Pada saat yang sama, pembangunan infrastruktur, maraknya pa sar, konsumerisme gaya hidup, dan integrasi dengan ekonomi global berjalan berdampingan.
Paradoks ini melahirkan kegamangan dan rasa jenuh. Kepercayaan terhadap kemampuan pemerintah melemah, dan masyarakat membuat utopianya sendiri.
Greater Jakarta Gagasan pemindahan ibu kota baru sesungguhnya membuka pertanyaan dasar tentang kemampuan Kota Jakarta, apakah masih mampu menjadi loji dan benteng, baik sebagai sentra ekonomi maupun sebagai simbol kekuasaan?
Apakah diperlukan pembaruan utopia, yang lebih kontekstual dengan semangat zaman?
Menarik untuk dicermati apa yang digagas Presiden Prancis Nicolas Sarkozy tentang Grand Paris, sebagai model supermetropolis abad ke-21, mo del kota pasca-Kyoto tentang kota berkelanjutan. Sar kozy mengundang 10 arsitek dan perencana kota terkemuka dari berbagai negara untuk duduk bersama dan berimaji nasi bagi penyegaran salah satu kota terpenting di bumi. Umumnya mereka mengusung dan diikat oleh tema, kota yang puitis, utopia, dan ekologis.

Meminjam apa yang dilakukan para perencana di Paris, menarik untuk diajukan beberapa pertanyaan untuk Jakarta. Apakah ibu kota harus memiliki satu pusat ataukah tersebar secara multipolar di berbagai tempat? Bagaimana warga kota dan kawasan pendukungnya, yang berbeda secara sosial, ekonomi, dan status, dapat diikat dalam solidaritas bersama? Bagaimana sistem transportasi yang manusiawi dan penanganan lingkungan yang berkelanjutan agar memudahkan warga mengadaptasinya?
Kita membayangkan The Greater Jakarta akan meliputi kawasan metropolitan terpadu, yang terdiri atas beberapa pusat kota, yang diperantarai oleh hutan kota dan taman/kebun kota yang menjadi penanda ekologis. Ibu kota akan tetap berkedudukan di Jakarta dengan istana negara dan istana bangsa yang akan memperantarai simbol republik dan publik. Kawasan Monas dan Kota Tua direvitalisasi dengan tujuan memperkuat kohesi dan solidaritas sosial.

Istana Presiden dan pusat pemerintahan terletak di Bogor, dengan dukungan Sentul dan Jonggol. Daerah Sunda Kelapa dan Kepulauan Seribu diintegrasikan sebagai waterfront city sekaligus mengantisipasi perubahan iklim. Tiga belas sungai yang mengaliri Jakarta dikembangkan menjadi sabuk hijau dan koridor ekologis. Kampung-kampung disegarkan dalam konsep yang padu, dengan dimediasi oleh partisipasi warga yang aktif. Daerah industri akan dikembangkan di Purwakarta hingga Cirebon, membawa kota kota penyangga di Sukabumi, Depok, Karawang, dan Bekasi, dihubungkan dengan transportasi publik yang berkelanjutan. Penggunaan energi diperbarui, mulai tenaga air di Jatiluhur hingga tenaga matahari dan angin di Karawang dan Sukabumi akan menjadi landmark serta digunakan untuk seni publik.

Demikian pula hutan padi di Karawang, di samping dikelola dan ditata sebagai tempat riset sebagai simbol bangsa agraris Iabadiou (pulau padi) sekaligus penanda perubahan musim dan irama waktu. Penghutanan kembali kawasan pendukung, mulai Gunung Gede-Pangrango hingga kawasan Puncak, akan menjadi punggung hutan kota dan urban forest. Keseluruhan perubahan ini disertai perubahan birokrasi dan pengelolaan pemerintah dalam satu kendali Ibu Kota Jakarta Raya. Bersama dengan ini di usulkan pula un tuk menyebarkan kota raja (istana presiden) beserta departemen pendukungnya di kawasan regional yang kini sedang dikembangkan.Yogyakarta (Jawa), Tampaksiring (Bali dan Nusa Tenggara), Makassar (Sulawesi), Bukittinggi (Sumatera), Palangkaraya (Kali mantan), dan Raja Ampat (Papua-Maluku).

Kota dibangun oleh utopia. Pada utopia, imajinasi, harapan, dan ketidaksadaran kolektif dipadatkan dalam tindakan. Utopia bisa bersifat rekonstruktif, bisa eskapis. Sejarah memberi contoh kepada kita bagaimana Mpu Kuturan, sang bijaksana dari Bali, membuat pertemuan agung di antara pihak yang bertikai karena perbedaan agama, status, dan kekuasaan. Pertikaian yang menghancurkan ikatan desa-desa di Jawa dan Bali. Pertemuan yang diselenggarakan di Samuan Tiga Bedahulu, tepat 1.000 tahun silam (1011), menjadi awal penataan desa pakraman yang kita kenal sekarang. Atas visi dan keyakinan kuatnya, Mpu Kuturan mewariskan utopianya melalui kekayaan tradisi desa-desa di Bali, yang bertahan hingga 1.000 tahun matahari.

http://epaper.korantempo.com/PUBLICATIONS/KT/KT/2011/06/22/ArticleHtmls/Utopia-The-Greater-Jakarta-22062011011003.shtml?Mode=1

Semakin Besar Jakarta, Semakin Besar Masalah Indonesia

Semakin Besar Jakarta, Semakin Besar Masalah Indonesia
Andrinof A. Chaniago, KOORDINATOR TIM VISI INDONESIA 2033; PENULIS BUKU GAGALNYA PEMBANGUNAN (LP3ES, 2001)

Ide The Greater Jakarta adalah ide yang tiba-tiba menjadi berita besar tapi lahir di luar proses kebijakan yang seharusnya. Ketika dikemukakan pertama kali oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Rektor Institut Teknologi Bandung Profesor Akhmaloka pada 11 Januari 2011, ide ini jelas tanpa landasan yang kuat karena sama sekali belum melalui telaah akademik, apalagi uji publik yang representatif. Karena itu, ketika ia meluncur ke publik melalui media massa keesokan harinya, bentuknya tidak lebih dari selembar kertas berjudul tapi tanpa narasi.

Penyimpangan proses perbuatan kebijakan selanjutnya terus berjalan sampai akhirnya ide ini tertuang dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), yang aktor-aktor dominan sebagai pemberi input adalah konsultan proyek, pengusaha, dan kalangan profesional dari ilmu-ilmu pragmatis. Rektor ITB sendiri, sebagai orang pertama yang diberi tahu, merespons ide itu, juga memberi respons pragmatis dengan menyatakan kesiapan ITB menyediakan tenaga-tenaga ahli yang berkecimpung dalam perancangan infrastruktur kota
dan lain-lain.
Artinya, ide The Greater Jakarta lebih dilihat sebagai proyek besar yang meng asumsikan persoalan-persoalan lain di kawasan ini dengan sendirinya akan teratasi karena adanya proyekproyek dalam rangka mewujudkan The Greater Jakarta. Jika ide The Greater Jakarta ini berlanjut menjadi proyek-proyek pembangunan, ia akan berhadapan dengan kompleksitas kehidupan puluhan juta warga dengan ekosistemnya. Karena itu, semestinya ide seperti ini dituntaskan dulu lewat proses kebijakan yang baik, yakni pengkajian dan perencanaan yang komprehensif sehingga menjadi ide kebijakan yang responsif dan antisipatif terhadap kompleksitas persoalan mega-urban yang memiliki karakteristik sebuah kawasan mega-urban negara berkembang pada umumnya.

Karena sifat permasalahan yang akan dihadapinya amat kompleks, seyogianya ide ini dibawa ke ranah ilmu interdisiplin dan melewati proses dialog yang representatif.

Tidak ada salahnya kita perlu waspada terhadap dampak-dampak The Greater Jakarta yang membuat bangsa ini terjerumus ke dalam krisis besar gelombang kedua.

Gelombang besar yang kita sangka adalah pertumbuhan pesat ekonomi, ternyata berujung pada empasan dahsyat yang menghancurkan sebagian aset yang kita banggakan.

Potensi ke arah itu sangatlah besar, kecuali kalau kita nanti dipaksa menerima arti dan makna pembangunan yang sudah dipersempit menjadi kumpulan proyek pembangunan fisik dan PDRB semata. Namun nilai fisik dan agregat produk ekonomi domestik kawasan itu pun bisa tiba-tiba rusak dan menyusut drastis akibat kekacauan sosial sebagaimana terjadi pada 1998.

Dari mana potensi krisis besar gelombang kedua itu terjadi dan bagaimana proses menuju krisis itu datang? Mari kita lihat dari tiga aspek saja dulu. Pertama, proyek The Greater Jakarta akan mengundang migrasi penduduk dan urbanisasi besar-besaran ke kawasan itu, baik dari pedesaan Jawa maupun dari luar Jawa. Angka migrasi yang tinggi itu bukanlah ilusi kalau saat ini saja pertumbuhan penduduk di Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi ratarata 3,5 persen per tahun. Di
tambah karakteristik sosiologisnya, jumlah besar ini jelas sumber masalah struktural bagi aneka masalah pelayanan publik di kawasan megaurban tersebut.

Kedua, dengan sistem ekonomi dan pemilikan atas tanah yang sangat liberal dan sistem penyediaan perumahan rakyat yang juga diserahkan kepada mekanisme pasar, segregasi permukiman dan polarisasi sosial di kawasan itu akan makin tajam. Ketiga, gangguan keseimbangan ekosistem pasti tidak akan terelakkan karena tingginya permintaan terhadap lahan dan kebutuhan air baku. Kebutuhan lahan akan mengurangi daerah resapan dan daerah tangkapan air di kawasan itu. Sementara itu, lonjakan kebutuhan akan air baku akan mendorong orang-orang di kota untuk menyedot air tanah lebih banyak, yang berakibat makin turunnya permukaan tanah. Belum lagi potensi konflik antara petani dan otoritas pengelola air pada saat musim kemarau.

Bila tiga aspek yang penulis sebutkan di atas dikaitkan dengan proyeksi kapasitas kelembagaan yang bisa dibangun oleh pemerintah, dapat dipastikan kelak antarjenjang, antarinstansi, dan antarwilayah pemerintahan akan saling lempar tanggung jawab atas masalah gangguan kesehatan publik, polusi, perumahan dan permukiman, kriminalitas, kemacetan, ketersediaan air bersih, sistem transportasi mudik Lebaran, dan sebagainya. Belum lagi kita memprediksi respons politikus dan partai politik yang hanya akan mempolitisasi persoalanpersoalan tersebut tanpa mengajak pemerintah yang sedang berkuasa untuk menyelesaikan persoalan secara mendasar.

Melihat komitmen, konsep, dan tindakan pemerintah dari periode ke periode untuk membangun kelembagaan pemerintahan dan mengubah mentalitas orang-orang di birokrasi hingga saat ini, kita bisa keliru berharap perangkat pemerintahan di semua jenjang dan instansi akan mampu menangani aneka masalah sosial dan pelayanan publik yang disebutkan tadi di masa akan datang. Katakanlah akan ada sedikit perbaikan di pemerintahan. Namun untuk menghadapi masalah seberat sekarang pun perbaikan itu tidak akan cukup, apalagi masalah-masalah itu bisa membesar dengan berjalannya proyek The Greater Jakarta.

Di sini kita belum memperluas pandangan untuk melihat Jawa dan Indonesia secara keseluruhan. Secara nasional, ide The Greater Jakarta jelas berpotensi memperparah masalah urbanisasi dari desa-desa di Jawa ke kawasan The Greater Jakarta yang daya tariknya menjadi menguat.

Kalau dilihat lagi ke luar Jawa, ide ini jelas akan membuat sejumlah proyek pembangunan, seperti pembangunan daerah perbatasan, percepatan pembangunan daerah tertinggal, transmigrasi, dan peningkatan kapasitas perguruan tinggi di luar Jawa, akan setengah siasia. Daya tarik The Greater Jakarta dengan keunggulan infrastruktur fisik, teknologi jasa, lembaga keuangan dan pasar modal, dan sebagainya jelas akan makin kencang menyedot uang hasil produksi sumber daya alam dan mendorong keluarnya sumber daya manusia terbaik dari daerah itu bermigrasi ke Jawa. Maka konsekuensi kumulatif dari realisasi The Greater Jakarta ini yang harus dibayangkan adalah makin lebarnya kesenjangan antara desa dan kota di Jawa serta antara Jawa dan luar Jawa. Kalau ini yang terjadi, yang hadir adalah musuh pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan musuh pembangunan yang berkualitas. Mari kita pilih, apakah ingin mensejahterakan rakyat sebanyak mungkin secara berkelanjutan atau membesarkan segelintir pihak yang makin mendominasi aset kehidupan bagi orang banyak.

http://epaper.korantempo.com/PUBLICATIONS/KT/KT/2011/06/22/ArticleHtmls/Semakin-Besar-Jakarta-Semakin-Besar-Masalah-Indonesia-22062011012007.shtml?Mode=1

Reformasi, Tanpa atau Dengan Sanksi FIFA

Toriq Hadad :

Reformasi, Tanpa atau Dengan Sanksi FIFA Toriq Hadad, KEPALA PEMBERITAAN KORPORAT DAN DIREKTUR PRODUKSI KELOMPOK TEMPO INTI MEDIA

Kongres Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia akan diadakan pada 9 Juli di Solo. Setelah kongres di Pekanbaru dan Jakarta gagal memilih ketua umum, Komite Normalisasi di bawah Agum Gumelar agaknya yakin kongres kali ini akan berhasil. Salah satu “keberhasilan”Komite Normalisasi adalah menciptakan “atmosfer”bahwa siapa pun yang membuat kongres di Solo gagal, dialah yang harus dicatat sebagai biang kerok keluarnya sanksi FIFA.

Semestinya ada kesempatan yang adil untuk menjelaskan kondisi sesungguhnya sepak bola kita oleh pihak selain Komite Normalisasi. Kita prihatin atas simpang-siurnya informasi tentang sepak bola kita kepada FIFA.

Dalam kongres terakhir yang ricuh pada Mei lalu, pernyataan Direktur Keanggotaan FIFA Thierry Regenass menunjukkan hal itu. FIFA menganggap Nurdin Halid, Nirwan Bakrie, dan George Toisutta sebagai bagian dari kekisruhan yang melanda sepak bola Indonesia. Adapun pengusaha Arifin Panigoro dicoret lantaran menggelar kompetisi Liga Primer Indonesia (LPI) yang dianggap ilegal oleh FIFA.

Pernyataan itu menunjukkan bahwa FIFA tidak mendapat informasi yang memadai atas keinginan sebagian masyarakat untuk memajukan sepak bola Indonesia.

Pernyataan Thierry Regenass agaknya tidak didasari oleh data mutakhir tentang LPI.

Dalam jumpa pers di Jakarta, 11 April lalu, Komite Normalisasi memberi jaminan tak akan menghentikan kegiatan LPI. Masalah teknis dijanjikan akan dibahas kemudian.

Artinya, sejak pernyataan itu, seharusnya tidak ada masalah prinsip dengan LPI.

Bahkan boleh disimpulkan, status LPI di mata PSSI bukan lagi kompetisi terlarang.

Buktinya, PSSI kemudian memanggil Irfan Bachdim dalam tim nasional yang disiapkan untuk SEA Games Palembang. Padahal kita tahu Irfan masih bergabung dengan Persema Malang, salah satu klub anggota LPI. Sebelumnya, gara-gara bergabung dengan Persema, Irfan Bachdim tidak dipanggil masuk tim nasional.

Tidak sampai sebulan kemudian, di dalam kongres di Jakarta, mendadak LPI kembali menjadi “kompetisi haram”. Perubahan sikap Komite Normalisasi terhadap LPI rupanya tidak dilaporkan kepada FIFA. Akibatnya, FIFA tetap menganggap status LPI “haram”, seperti pada zaman Nurdin Halid dulu. Thierry Regenass masih memakai “kacamata lama”itu untuk memandang LPI.

Anehnya, Komite Normalisasi seperti tak
berdaya memberi penjelasan tentang perubahan pandangan PSSI terhadap LPI itu.

Pandangan “kacamata lama“Regenass membawa banyak akibat. Selain LPI dianggap kompetisi tidak sah, Arifin Panigoro sebagai penggagasnya dianggap sebagai figur yang menabrak aturan FIFA sehingga perlu disingkirkan dari pencalonan sebagai Ketua Umum PSSI. George Toisutta, yang kini masih menjabat Kepala Staf TNI Angkatan Darat, juga ikut dicoret dari bursa ketua umum lantaran dianggap bagian dari kekisruhan sepak bola Indonesia.

Lalu, pertengahan Juni lalu, datanglah ke Jakarta, Pangeran Ali bin Al-Hussein, 35 tahun, anak keempat Raja Hussein dari Yordania, yang sejak Januari lalu terpilih sebagai Wakil Presiden FIFA. Kedatangan Pangeran Ali harus diakui banyak mengubah “atmosfer“ketakutan akan jatuhnya sanksi FIFA.
Untuk pertama kalinya ada utusan FIFA yang bertemu dengan hampir semua pihak yang berkepentingan dengan sepak bola Indonesia, termasuk para pendukung ToisuttaPanigoro yang selama ini dianggap sebagai sumber keributan. Pangeran Ali berjanji akan menyampaikan hasil kunjungannya kepada pemimpin FIFA.

Memang terasa ada optimisme baru bahwa FIFA akan berubah memandang Toisutta dan Panigoro setelah mendengar laporan Pangeran Ali.Tapi sebaiknya mereka yang peduli terhadap reformasi sepak bola Indonesia tidak menggantungkan nasib pada laporan Pangeran Ali dan keputusan final FIFA nanti.

Semua bisa terjadi di FIFA. Kekuasaan besar sebagai penentu tuan rumah Piala Dunia, misalnya, banyak dituding sebagai sumber rezeki besar para individu di lapisan yang menentukan. Proposal yang dulu dirancang untuk menyukseskan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022, umpamanya, mencantumkan dana Rp 240 miliar sebagai dana lobi. Menurut Ketua Umum PSSI ketika itu, Nurdin Halid, dalam sebuah jumpa pers di Jakarta pada 1 November 2009 seperti dikutip liputan6.com, PSSI sudah mempunyai sponsor utama, yaitu PT Bakrie Capital Indonesia.

Tak pernah jelas apakah lobi sejenis ini halal atau setengah legal atau sejenis suap untuk memenangi pencalonan. Kita juga tak pernah pasti apakah figur seperti Regenass juga bebas dari segala bentuk lobi dan suap ini. Maka Kongres Solo akan berjalan paling tidak dengan tiga skenario.Yang pertama, FIFA akan membuka pintu bagi George Toisutta dan Arifin Panigoro. Kendati didukung oleh 78 pemilik suara—dari 101 suara total—belum tentu keduanya akan mulus merebut kursi orang nomor satu dan dua PSSI.

Terlalu naif bila Toisutta-Panigoro menyepelekan kemungkinan pihak yang didukung pengurus lama PSSI untuk bergerilya.

Kita tahu bahwa di antara pemilik 78 suara itu terdapat para pejabat daerah, yang berasal dari partai politik tertentu. Tak ada yang bisa menjamin jalur struktural partai tidak dipakai untuk “mengambil” suara kelompok pendukung Toisutta-Panigoro. Cara lain adalah sesuatu yang “purba” dalam kancah pemilihan di negeri kita: politik uang. Dengan kata lain, walaupun FIFA meloloskan Toisutta-Panigoro, peluang “utusan”kelompok pendukung pengurus lama PSSI masih terbuka cukup lebar.

Bila skenario pertama ini yang terjadi, perlu dipastikan prosedur pemilihan yang diselenggarakan Komite Normalisasi tidak menimbulkan benih yang bisa membuat runyam. Penggunaan fasilitas teknologi e-voting, umpamanya, rasanya tidak diperlukan mengingat jumlah pemilih tidak luar biasa besar, hanya tercatat 101 suara. Transparansi penghitungan suara akan menjadi salah satu kunci sukses kongres di Solo nanti.

Bisa juga skenario kedua yang terjadi:
kongres kembali deadlock. Ini mungkin terjadi bila Toisutta-Panigoro tetap dilarang maju dan pendukungnya terus memprotes.

Dalam hal ini, kiranya perlu mendengar langsung suara FIFA dari figur yang (semogalah) bukan diwakili Thierry Regenass.

Tak perlu dihantui sanksi FIFA dalam mengupayakan kejelasan ini. Pilihan yang ideal untuk sepak bola Indonesia: reformasi jalan terus, sanksi FIFA bisa dihindari. Tapi, kalau terpaksa memilih: reformasi seharusnya menjadi prioritas, walaupun Indonesia harus menerima sanksi. Pembenahan ke dalam jauh lebih penting ketimbang kebutuhan berkiprah di dunia internasional. Toh, kita bukan “jagoan”di pentas dunia. Indonesia pada Mei lalu berada di peringkat ke130 FIFA—di bawah Thailand.

Perlu dicatat, tak ada sanksi FIFA yang berlangsung berbilang tahun. Dalam tiga tahun terakhir ini, Brunei yang paling lama menjalani sanksi. Sultan Brunei membentuk kepengurusan baru federasi sepak bolanya, dan FIFA menghukum Brunei selama 20 bulan sejak Desember 2008. Akibat intervensi pemerintah, Kuwait dicabut keanggotaannya selama 15 hari, Bosnia selama dua bulan, dan Peru selama sebulan.

Ada skenario ketiga, Toisutta dan Panigoro dilarang maju, tapi kongres tetap berlangsung. Siapa pun ketua umum terpilih— baik yang memihak pengurus lama PSSI maupun yang pro-Toisutta-Panigoro—urusan yang akan dihadapi lebih berat daripada sekadar menghindari sanksi FIFA.“Dapur” PSSI adalah rimba raya yang tak kalah menakutkan.

Majalah Tempo, Januari lalu, mencatat kepemimpinan Nurdin Halid selama tujuh tahun tidak mewariskan satu pun prestasi membanggakan. Indonesia tak sekali pun merebut prestasi di ASEAN, apalagi Asia.

Kompetisi kacau-balau, diwarnai kericuhan, baku hantam, juga dugaan pengaturan hasil pertandingan.

Sebuah kantor auditor internasional, pada pertengahan 2010, memeriksa 16 klub— sebagian besar bertarung di Liga Super Indonesia. Meski menelan dana anggaran pendapatan dan belanja daerah puluhan miliar setiap tahun, hanya tiga klub yang punya laporan keuangan teraudit. Bahkan hanya empat klub yang berbadan hukum.

Selebihnya tak jelas bentuk organisasinya.
Jadi skenario apa pun yang berjalan di Solo, sebuah pertanyaan penting bisa diajukan: masih adakah Ketua Umum PSSI yang bermimpi mencetak prestasi dengan keadaan compang-camping begini.

http://epaper.korantempo.com/PUBLICATIONS/KT/KT/2011/06/23/ArticleHtmls/Reformasi-Tanpa-atau-Dengan-Sanksi-FIFA-23062011011007.shtml?Mode=1

Transisi Demokrasi Bagian Pertama dari Dua Tulisan

ANIS H BAJREKTAREVIC :

Setelah berbulan-bulan menerima laporan mengenai kerusuhan di dunia Arab kita mengabaikan satu hal penting: setiap negara yang dilanda pemberontakan menganut sistem republik, sedangkan monarki (yang umumnya terletak di Semenanjung Arab,GCC) tetap utuh.


Perbedaan antara Libya atau Tunisia dengan Arab Saudi atau Uni Emirat Arab bukan hanya terletak pada posisi geografis, ada masalah fundamental di balik itu.Libya dan Tunisia adalah negara yang menganut demokrasi formal dengan tipe republikan (yang pada dasarnya mempromosikan pan-Arabisme).

Sebaliknya,Arab Saudi dan Uni Emirat Arab adalah bukti hidup sistem autokrasi dengan jenis monarki yang mewariskan kekuasaan secara turun-temurun. Keduanya lebih dekat ke kanan Islam daripada ideologi pan-Arabisme. Sejak merdeka, Tunisia, Libya, atau Mesir secara formal menjalankan proses pemilihan yang demokratis yang juga diterapkan dalam sistem kelembagaan eksekutif,yudikatif,dan legislatif.

Meskipun dalam kenyataannya demokrasi mereka sering dijalankan oleh struktur kekuasaan yang terpusat pada pemimpin partai berkuasa dengan berbagai nama yang pada dasarnya sama seperti guardian of revolution atau jenis lain dari ‘father of the nation’.

Sementara sistem monarki otoriter telah sejak lama diperintah langsung oleh raja (dan berbagai sebutan lainnya) tanpa ada pemilihan lembaga-lembaga negara secara demokratis.

Transisi

Analisis sejarah politik modern memberi kita peringatan tegas bahwa negara paling terbuka dan paling rentan adalah negara yang sedang melakukan transisi dari demokrasi formal ke demokrasi yang sesungguhnya. Rezim despotik absolut selalu cepat,brutal,dan memaksa dalam menekan pemberontakan rakyat demi mempertahankan kekuasaan.

Memang, ada yang setelah beberapa dekade terpaksa mengikuti keinginan rakyat untuk mengakui penegakan HAM. Namun itu pun setelah tak sanggup melawan keinginan rakyat banyak. Sumber legitimasi utama rezim otoriter adalah kemampuan untuk melakukan represi melalui berbagai alat negara yang ada di mana-mana dan memiliki mandat tak terbatas (polisi, penjaga kerajaan, militer).

Kekuasaan itu bukan dari dukungan rakyat yang secara demokratis yang diperebutkan dalam sistem multipartai. Pemerintahan yang lahir dalam suasana demokrasi substansial— dengan lembaga- lembaga yang terkonsolidasi baik, serta sektor sipil dan budaya partisipasi politik yang matan—menikmati legitimasi yang lebih besar.

Mereka adalah orang yang dipilih oleh rakyat dan mampu menggunakan saluran mana pun untuk menyelesaikan berbagai isu miring terkait pemerintahan dalam proses politik mainstream. Lembaga-lembaga demokrasi berbasis partisipasi politik tinggi juga meningkatkan transparansi keputusan politik tertentu.

Mereka mampu menempatkan batasan kekuasaan yang diperlukan pada cabang eksekutif/ kepresidenan. Sistem demokrasi yang terkonsolidasi dapat menerjemahkan protes massal dari demonstrasi jalanan ke suatu proses demokratis, partisipatif, yang dilembagakan secara sosio-ekonomi dengan reformasi politik yang kompromistis.

Tujuannya adalah untuk memenuhi kepentingan minimal sebagian besar masyarakat yang merupakan stakeholder negara. Di lain pihak,rezim otoriter akan secara brutal menghantam semua bentuk protes. Mereka akan menyebarkan tentara dan polisi mengintimidasi pemrotes tanpa ragu untuk mempertahankan status quo (misalnya yang terjadi di Bahrain).

Bahkan jika protes jalanan dapat menaklukkan kekuatan rezim, maka transformasi yang dilakukan akan lebih bersifat pribadi alih-alih perubahan struktural, misalnya dengan berbagai janji dari rezim terhadap pemprotes. Militer sebagai salah saktu aktor pun sering bertindak pragmatis.

Sering sekali terjadi pasukan bersenjata memutuskan untuk mengalihkan dukungan mereka ke protes jalanan yang menguat, sementara secara substansial transisi demokrasi malah terbajak. Dalam transisi dari demokrasi formal ke demokrasi substansial— dengan institusi yang berkembang lambat dan budaya politik yang masih berevolusi—pemberontakan jalanan menghadapi tantangan yang sangat membosankan.

Mereka tidak bisa membawa semua agenda protes jalanan ke dalam proses institusional yang semestinya. Situasi mengambang itu yang saat ini kita saksikan di Mesir dan Tunisia.

Kebebasan

Dalam mayoritas pergolakan, para pengunjuk rasa (terorganisir atau spontan) umumnya tidak berpengalaman. Kadang mereka menjadi tergagap- gagap ketika akhirnya mampu menggulingkan rezim otoriter. Bagaimanapun kebebasan lebih kompleks daripada sebuah ajakan Facebook atau seruan yang dikumandangkan lewat Aljazeera.

Inti dari kebebasan bukan hanya bebas memilih, melainkan memikul tanggung jawab penuh untuk pilihan yang dibuat. Mengangkat senjata dan memblokade jalan-jalan vital di kota selama berbulan-bulan bukan merupakan ekspresi kebebasan ataupun pilihan demokratis. Itu adalah bentuk anarki autarkis yang tidak bertanggung jawab.

Membuat pilihan tanpa konsekuensi adalah anarki.Dengan logika yang sama, demokrasi bukan hanya slogan lemah dari situs jaringan sosial, yang belakangan mengilhami dan memobilisasi para demonstran jalanan. Demokrasi bukan sebuah acara keramaian yang menghipnotis massa secara sesaat.

Demokrasi adalah prosedur dan konten. Secara tradisional hak pilih pasif dan aktif (untuk dipilih dan memilih) digambarkan sebagai pencapaian utama dari demokrasi. Berkaca pada hal itu,pemboikotan pemilihan umum adalah sebuah aksi untuk menghambat pelaksanaan hak politik paling mendasar.

Saya sering menjelaskan kepada mahasiswa bahwa ada perbedaan substansial antara tinggal di rumah dengan datang ke tempat pemungutan suara dan mencoret kesemua pilihan (golput). Efeknya sama, tapi pesannya berbeda.Perbedaannya, yang pertama kita absen, tidak terikat, dan tidak peduli; yang kedua kita berpartisipasi tapi tidak setuju dengan pilihan yang ditawarkan.

Demokrasi merupakan kontrak sosial yang mengikat semua segmen horizontal dan vertikal masyarakat. Ini adalah cara yang benar-benar komprehensif dan berkelanjutan untuk memahami masa lalu, keberadaan, dan masa depan bangsa. Bersambung ● ANIS H BAJREKTAREVIC Professor and Chairperson International Law/Global Political Studies, IMC Universitiy of Applied Sciences Krems

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/407881/

Gaji PNS Ancam Pemda Kolaps

Besarnya anggaran untuk belanja pegawai akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi. Dulu pernah ada kebijakan zero growth, yang artinya tidak akan ada pembukaan PNS lagi, tapi kenapa sekarang malah jadi membengkak."

Sri Adiningsih Pengamat ekonomi UGM
PEMERINTAH dae rah (pemda) di ham pir seluruh Indonesia dikhawatirkan akan bangkrut akibat lebih dari 50% anggaran pendapatan belanja daerah digunakan untuk menggaji pegawai negeri sipil (PNS). Hal itu dikatakan Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Uchok Sky Khadafi di Jakarta, kemarin.

“Pemda harus waspada, karena kalau sudah 50%, tidak tertutup kemungkinan meningkat menjadi 60%-70%. Aceh bangkrut karena belanja pegawainya sampai 70%,“ ujarnya. Dia menjelaskan penelitian yang dilakukan Fitra di 47 kabupaten/kota dan lima provinsi menunjukkan belanja pegawai cenderung terus meningkat.
Tentunya hal itu akan berimplikasi terhadap belanja modal, barang, dan jasa yang pada akhirnya bisa menghambat laju pertumbuhan ekonomi.

“Berdasarkan penelitian kami, rata-rata belanja modal menurun dari 39% pada 2007 menjadi hanya 28% pada 2010,“ paparnya.

Untuk mengatasi itu, Uchok mengusulkan agar pemda menutup pengadaan PNS baru untuk sementara waktu. “Minimal satu atau dua tahun dengan memberdayakan yang sudah ada. Ini berpengaruh terhadap belanja pegawai,“ jelasnya. Selain itu, lanjutnya, PNS yang masih aktif diimbau untuk pensiun dini.

Salah satu contoh beratnya belanja untuk PNS terjadi di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Pada tahun anggaran 2011 ini dipastikan defisit Rp20 miliar.

“Mudah-mudahan defisit itu bisa kami tutup dari silpa, yakni dari sisa pelelangan, sisa belanja, sisa efisiensi, dan peningkatan pendapatan,“ kata Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Temanggung, Bambang Dewantoro.
Efisiensi Pengamat ekonomi dari UGM, Sri Adiningsih, mengatakan pemerintah seharusnya konsisten untuk tidak membuka lowongan PNS. “Dulu pernah ada kebijakan zero growth, yang artinya tidak akan ada pembukaan PNS lagi, tapi kenapa sekarang malah jadi membengkak,“ kata Sri.

Sri menekankan pemerintah dapat melakukan efisiensi terkait membengkaknya jumlah PNS.
Efisiensi dibutuhkan karena banyak bidang pekerjaan yang dapat dilakukan oleh satu orang, tetapi kenyataannya ditempati lebih dari dua orang. “Setiap kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah harus menekan jumlahnya,“ lanjut Sri.

Berdasarkan catatan, sejak 2005 anggaran belanja PNS meningkat setiap tahunnya. Saat itu anggarannya Rp54,3 triliun, tetapi pada APBN 2010 menjadi Rp147,9 triliun. Kenaikan drastis juga terjadi pada 2011, anggaran belanja PNS sebesar Rp180,6 triliun (RAPBN).

Mengenai wacana pensiun dini bagi PNS yang kurang produktif, Sri menilai hal itu sulit dilakukan. “PNS maunya justru usia pensiunnya lebih lama. Kemudian kalau pensiun dini apa tawaran ke mereka, apa golden shakehand, nanti malah membebani anggaran juga,“ urainya.

Hal senada disampaikan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi EE Mangindaan. Ia memilih opsi memperkecil rekrutmen daripada melakukan pensiun dini.

Menurutnya, pengetatan rekrutmen dapat dilakukan berdasar kebutuhan formasi. Angkanya dapat dibandingkan dengan pensiun yang dilakukan.

Selain itu, lanjutnya, jumlah PNS saat ini masih bisa dikelola dengan melakukan perimbangan ke daerah yang membutuhkan, karena beberapa daerah masih memerlukan PNS lebih banyak.
Saat ini jumlah PNS tercatat 4,7 juta. Jumlah ini belum termasuk pegawai honorer. (TS/ AO/X-5)

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2011/06/27/ArticleHtmls/Gaji-PNS-Ancam-Pemda-Kolaps-27062011012003.shtml?Mode=1

Gertakan untuk 9 Penjaga Konstitusi

Nyali Mahkamah Konstitusi jangan ciut, karena penghapusan sebagian kewenangan melalui revisi UU MK nyata bertentangan dengan UUD 1945. i Dengan gertakan l ini, MK jangan ciut karena jelas penghapusan kewenangan itu bertentangan dengan konstitusi."

Irmanputra Sidin Pakar hukum tata negara
REVISI Undang-Un dang (UU) Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) telah memangkas sebagian kewenangan MK, antara lain larangan mengeluarkan putusan ultra petita atau penjatuhan putusan melebihi dari yang diminta (lihat grafik).

Dapat ditengarai, hubungan kewenangan MK dalam mengeluarkan putusan ultra petita menjadi ujung keseriusan DPR untuk mengebiri MK.
Superiornya MK saat membatalkan UU buatan DPR dan pemerintah, yang melahirkan persekongkolan tersebut.

Hal tersebut dikemukakan oleh pakar hukum tata negara Irmanputra Sidin, kepada Media Indonesia di Jakarta, kemarin. “MK diberi mandat oleh konstitusi untuk mengawal UU agar tidak bertentangan dengan konstitusi. Sedangkan, DPR bersama pemerintah, sebagai pemegang hak legislasi bersama peme sama pemerintah. Dua posisi yang sangat potensial untuk terjadinya gesekan,“ ujarnya.

Dalam catatan Media Indonesia, sejumlah putusan MK yang kontroversial antara lain, pembatalan UU APBN 2008 karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak menganggarkan 20% anggaran pendidikan. Dibolehkannya calon independen dalam penyelenggaraan pemilu kada setelah MK membatalkan sejumlah pasal dalam UU No 32/2004.

Selain itu, MK membatalkan penetapan perolehan kursi dan penetapan caleg terpilih DPR RI pada Pemilu 2009 karena prosedur dan mekanisme penetapannya keliru serta tidak sesuai dengan UU Pemilu.

Yang teranyar, MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi UU Kejaksaan Pasal 22 ayat (1) yang diajukan Yusril Ihza Mahendra, mantan Menteri Kehakiman dan HAM.
Dengan putusan itu, Hendarman Supandji tidak sah lagi sebagai jaksa agung.

Irman menegaskan, bahwa bentuk penghapusan kewenangan untuk memutus perkara melebihi permohonan, lebih merupakan sebuah sikap politik pemerintah dan DPR terhadap eksistensi MK selama ini.

“Namun, ini hanya kerikil kecil di tengah penegakan konstitusi dan eksistensi MK selama ini. Namun, dengan gertakan ini, MK jangan ciut karena jelas penghapusan kewenangan itu bertentangan dengan konstitusi. Sehingga, MK bisa dengan mudah membatalkannya,“ tegas Irman.

B i s a dibayangkan, s a m b u n g I rman, jika pasal yang diujikan dengan UU ternyata adalah ruh UU itu. Jika tidak dibatalkan secara keseluruhan, akan terjadi kekosongan hukum akibat hubungan antarpasal yang terputus. “Ultra petita tidak bisa dipisahkan dengan MK. Kewenangan tersebut penting untuk memberikan kepastian hukum,“ cetusnya.

Selain mampu memberikan norma baru, kata Irman, MK sebenarnya juga punya kewenangan untuk menafsirkan konstitusi. “Praktik pengebirian semacam ini lazim terjadi di negara yang mempunyai MK. Bahkan, awal pembentukan MK di AS, tak jauh beda.
Banyak kepentingan DPR dan pemerintah dalam sebuah UU yang pupus karena diujikan di MK,“ ungkapnya. Jelas halal Ketua MK Periode 2003-2008 Jimly Asshiddiqie menegaskan, MK melakukan ultra petita juga bukannya tanpa dasar. Dengan kewenangannya mengawal konstitusi, terang Jimly, hak ultra petita jelas halal.

Apalagi, putusan MK terkait pengujian UU terhadap UUD 1945 bersifat erga omnes atau mengikat kepentingan umum.

Jimly menilai tindakan DPR memangkas kewenangan MK tersebut sebagai sebuah kelucuan. Sebagai tim ahli yang ikut merumuskan berdirinya MK, DPR dinilai ngawur. “Saya menilai DPR banyak ngawurnya merevisi UU MK,“ ujar Jimly.

Te r k a i t m a s u k n y a D P R dan pemerintah dalam unsur Majelis Kehormatan Hakim (MKH) MK, Jimly mengingatkan potensi conflict of interest yang akan muncul. “MK itu harus independen. Jangan dari anggota DPR, tapi DPR bisa mengusulkan nama. Bisa saja mantan anggota DPR dari perguruan tinggi, tapi jangan dia sendiri,“ sahutnya.

Ketua Badan Legislasi DPR Ignatius Mulyono menuturkan, anggota DPR mempunyai tiga orang yang diusulkan jadi hakim konstitusi. “Harus diingat, anggota hakim itu juga ada yang dari unsur DPR dan pemerintah. Tiga orang dari DPR dan itu alasan mengapa di Majelis Kehormatan ada yang dari unsur DPR,“ terangnya.
Menurutnya, keikutsertaan DPR dalam MKH hanya untuk mengawasi kode etik dan bukan untuk intervensi hukum.
Ia menambahkan, MK juga diharapkan memutuskan perkara sesuai dengan permohonan pemohon dan tidak melebar.
(*/P-3)
http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2011/06/27/ArticleHtmls/Gertakan-untuk-9-Penjaga-Konstitusi-27062011004003.shtml?Mode=1

Berpikir Jernih tentang TKI

Sonny Harry :


Isu TKI bukanlah komoditas politik yang hanya dibahas dari satu diskusi ke diskusi lainnya.
Moratorium dapat mengurangi peluang munculnya masalah TKI, tetapi tidak untuk menyelesaikan problem penciptaan kesempatan kerja. Perlu akselerasi kebijakan pemerintah yang tepat dan cepat selama pelaksanaan moratorium.
Ada ribuan calon TKI berharap-harap cemas menunggu langkah konkret pemerintah.''
HARI ini kita masih terbayang kasus pemancungan Ruyati, TKI di Arab Saudi. Belum lagi ancaman hukuman serupa yang masih dihadapi Darsem dan TKI lainnya di Arab Saudi. Pemerintah telah menetapkan moratorium (penghentian sementara) penempatan TKI di Arab Saudi untuk penata laksana rumah tangga (PLRT) yang efektif berlaku mulai 1 Agustus 2011.

Masalah TKI merupakan konsekuensi alamiah dari negara berpenduduk besar, tapi masih rendah dalam hal kualitas. Ada banyak reaksi terhadap setiap masalah TKI.
Ada yang berpendapat seharusnya Indonesia hanya mengirim TKI yang berpendidikan tinggi dengan keterampilan memadai. Namun, kita harus secara jernih melihat akar permasalahan yang ada. TKI dan kesempatan kerja Saat ini 51,50% pekerja Indonesia hanya berpendidikan sekolah dasar (SD) ke bawah. Hanya 4,60% pekerja kita yang berpendidikan sarjana. Persaingan para pekerja berpendidikan SD ke bawah begitu tinggi. Padahal di saat yang bersamaan, pertumbuhan ekonomi Indonesia justru ditopang oleh lapangan kerja yang membutuhkan pekerja berpendidikan di atas SD seperti telekomunikasi (teknologi informasi), pertambangan (energi), maupun industri.

Akibatnya, terjadi tekanan di pasar kerja untuk sektor yang dapat me kerja untuk sektor yang dapat menampung tenaga kerja berpendidikan rendah. Tekanan terjadi karena jumlah tenaga kerja berpendidikan rendah sangat besar, tapi permintaannya terbatas. Dampak tekanan ini ialah rendahnya upah bagi pekerja berpendidikan rendah.

Tanpa sistem jaminan sosial, kenaikan biaya hidup yang terus terjadi, mengharuskan setiap pekerja, termasuk para pekerja berpendidikan dan berpendapatan rendah untuk dapat bertahan hidup. Muncul aliran pekerja ke luar negeri agar pekerja ke luar negeri agar memperoleh pendapatan yang lebih layak untuk kehidupan keluarga mereka.
Adapun kelompok pekerja dengan pendidikan tinggi cenderung memiliki alternatif pekerjaan yang lebih banyak dengan upah yang lebih tinggi di dalam negeri.

Tidaklah bijak jika kita melarang aliran pekerja berpendidikan rendah ke luar negeri.
Bayangkan saja jika kita justru berharap para pekerja berpendidikan sarjana yang jumlahnya kurang dari 5 juta orang bekerja di luar negeri. Lalu siapa yang akan menjadi ujung tombak pembangunan negeri ini? Bukankah terkadang ada yang `mencibir' bahwa para kaum intelektual Indonesia yang bekerja di luar negeri dianggap tidak cinta tanah air?
Maka, sudah seharusnya kita berpikir jernih tentang siapa yang semestinya bekerja di luar negeri. Tidak perlu tiba-tiba kita menjadi `malu' karena masih banyak TKI yang `hanya' berprofesi sebagai pembantu rumah tangga. Apapun jenis pekerjaan yang digeluti para TKI, tetap bermartabat, sejauh dilakukan secara profesional dengan perlindungan yang jelas. Banyak contoh di negara maju, bekerja sebagai tukang sampah, pesuruh, ataupun pengemudi merupakan pekerjaan terhormat.

Lalu siapa yang semestinya dipersalahkan? Apakah para TKI yang hanya berpendidikan SD ke bawah? Atau kita yang gagal meningkatkan taraf pendidikan penduduk setelah hampir 66 tahun merdeka? Tentunya kita harus bersikap arif. Kenyataan yang ada mengharuskan kita untuk bersikap realistis. Sektor ekonomi yang tumbuh di Indonesia ialah sektor modern, namun ketersediaan tenaga kerja didominasi pekerja berpendidikan rendah.
Negara tujuan dan fenomena TKI perempuan Mengapa mayoritas masalah TKI terjadi di Malaysia dan Arab Saudi? Jawabannya sederhana, karena kedua negara tersebut menjadi negara tujuan utama TKI.

Lebih dari 73% TKI mengalir ke kedua negara itu setiap tahunnya. Semakin banyak jumlah TKI di suatu negara, semakin besar peluang terjadinya masalah TKI di negara tersebut. Pilih an Malaysia tersebut. Pilih an Malaysia dan Arab Saudi oleh para TKI sebagai negara tujuan utama didasarkan pada fenomena chain migration.

Rantai migrasi terbentuk karena keberadaan teman atau sanak keluarga serta tetangga yang pernah menjadi TKI di kedua negara tersebut, selain juga karena para agen yang memang sudah memiliki jalur penyaluran.

Mengapa TKI perempuan lebih sering menjadi korban?
Dari sekitar 2,7 juta TKI yang tercatat bekerja di luar negeri (tahun 2010), 70% di antaranya adalah perempuan. Fenomena perempuan menjadi TKI muncul karena dua sebab. Pertama, keberhasilan program KB di masa lalu menyebabkan jumlah anak dalam keluarga lebih sedikit, sehingga perempuan memiliki kesempatan lebih besar masuk ke pasar kerja. Kedua, tekanan ekonomi keluarga menyebabkan perempuan harus bekerja dan menjadi secondary worker setelah suami.

Data Kemenakertrans menunjukkan bahwa 90% TKI perempuan bekerja di sektor informal yang justru rentan dan tidak memiliki perlindungan hukum memadai. Bahkan untuk kasus di Arab Saudi, hampir 100% TKI perempuan bekerja di sektor informal terutama sebagai PLRT. Di Malaysia, hampir separuh TKI perempuan yang bekerja di sektor informal. Kebalikannya, TKI laki-laki justru sebagian besar bekerja di sektor formal. Ini menjadi penyebab mengapa kasus yang muncul umumnya menimpa para TKI perempuan.
Moratorium penempatan TKI merugikan siapa?
Usulan moratorium penempatan TKI menimbulkan perdebatan tentang dampak yang dihasilkannya. Apa dampak moratorium penempatan TKI di luar negeri? Siapa yang akan dirugikan? Marilah kita analisis secara saksama.

Di negara tujuan TKI, jumlah pekerja berpendidikan rendah semakin terbatas. Pekerja untuk beberapa jenis pekerjaan tertentu seperti pekerja bangunan, pembantu rumah tangga, pekerja perkebunan, pengemudi jumlahnya sedikit. Padahal, permin taan tenaga kerja seperti ini cukup tinggi. Akibat kelangkaan tersebut, upah pekerja di be berapa jenis pekerjaan men in g kat. Ad an ya selisih upah yang cukup an kondisi di dalam negeri besar dengan kondisi di dalam negeri menarik para TKI datang.

Tanpa masuknya para pekerja migran, biaya produksi di negara tujuan TKI menjadi lebih tinggi. Ini konsekuensi dari mahalnya upah pekerja kasar lokal. Misalkan di Malaysia dan Arab Saudi sebagai dua negara utama tujuan TKI. Tingginya biaya produksi perkebunan di Malaysia (akibat terbatasnya pekerja Malaysia yang bersedia bekerja di perkebunan) akan melemahkan daya saing produk mereka. Jika produk tersebut diekspor, mungkin akan kalah bersaing dengan produk negara lain yang lebih murah. Tingkat ekspor Malaysia akan turun yang berdampak pada penurunan kinerja perekonomian secara keseluruhan. Ini akan berdampak luas pada lapangan kerja lainnya, termasuk yang mayoritas diisi oleh pekerja Malaysia itu sendiri.

Serupa untuk kasus Arab Saudi, yang banyak TKI bekerja sebagai PLRT. Mahalnya upah pekerja rumah tangga lokal akan menyebabkan mahalnya biaya hidup.
Dampak lanjutannya ialah tingginya tuntutan upah seluruh pekerja lokal di sana.
Biaya produksi akan meningkat dan dapat melemahkan daya saing ekonomi Arab Saudi. Bayangkan jika para keluarga di sana memutuskan untuk menangani sendiri pekerjaan rumah tangga. Maka mereka akan kehilangan kesempatan untuk bekerja di sektor produktif lainnya. Dalam ekonomi dikenal dengan istilah opportunity cost (biaya kesempatan).

Arab Saudi akan menanggung akibat negatif dari kebijakan moratorium. Namun, seberapa besar kerugian yang akan ditanggung oleh Arab Saudi tergantung pada dua hal. Pertama, apakah tersedia cukup banyak substitusi pekerja sejenis dari negara selain Indonesia. Bisa saja PRT di Arab Saudi didatangkan dari negara berkembang lainnya. Kedua, seberapa besar porsi TKI dalam mengisi pasar kerja PLRT. Jika mayoritas PLRT di Arab Saudi berasal dari Indonesia, amat mungkin akan berdampak buruk terhadap perekonomian Arab Saudi, dan sebaliknya.
Langkah strategis selama moratorium Selama pemberlakuan moratorium, pemerintah Indonesia harus mengambil tiga langkah strategis. Pertama, renegosiasi dengan pemerintah Arab Saudi tentang perlindungan TKI khususnya PLRT. Kedua, mencari alternatif negara tujuan lainnya (di luar Arab Saudi) untuk jenis pekerjaan PLRT.
Yaitu negara dengan perlindungan pekerja PLRT yang lebih baik. Tidaklah bijak jika kita mengorbankan para calon TKI yang gagal berangkat dan tidak memberikan alternatif lebih baik.

Ketiga, mendorong penciptaan lapangan kerja dalam negeri secara tepat. Mayoritas PLRT ke Arab Saudi adalah perempuan berpendidikan rendah. Untuk menghindari dampak negatif moratorium, pemerintah perlu segera mendorong investasi di sektor tertentu. Investasi spesifik yang dapat menyerap pekerja perempuan dengan pendidikan rendah. Konsentrasi investasi dilakukan di daerah utama pengirim TKI.
Bagaimanapun juga, TKI berkontribusi besar bagi perekonomian Indonesia.
Setidaknya bisa mengurangi beban angka pengangguran hingga 3% dari angkatan kerja. Nilai remitansi dari TKI diperkirakan Rp50 triliun hingga Rp70 triliun per tahun.
Sumber devisa negara terbesar kedua setelah ekspor minyak dan gas. Mereka menjadi `pahlawan' yang mencari solusi sendiri untuk dapat mengangkat harkat dan martabat keluarga mereka. Isu TKI bukanlah komoditas politik yang hanya dibahas dari satu diskusi ke diskusi lainnya. Moratorium dapat mengurangi peluang munculnya masalah TKI, tetapi tidak untuk menyelesaikan problem penciptaan kesempatan kerja. Perlu akselerasi kebijakan pemerintah yang tepat dan cepat selama pelaksanaan moratorium.
Ada ribuan calon TKI berharap-harap cemas menunggu langkah konkret pemerintah.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2011/06/27/ArticleHtmls/Berpikir-Jernih-tentang-TKI-27062011017003.shtml?Mode=1

Menanti Kotak Pandora Mafia Pemilu Terkuak

Cacat penyelenggara dan penyelenggaraan Pemilu 2009 kian terang-benderang.KOMISI II DPR telah membentuk sebuah panitia kerja (panja) untuk meneliti dugaan kecurangan yang terjadi pada Pemilu 2009. Pemben ukan panja yang tidak didukung oleh Fraksi Partai Demokrat itu diberi nama Panja Mafia Pemilu.

Panja yang diketuai oleh Chairuman Harahap dari F-PG itu telah meminta keterangan dari Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD pada Selasa (21/6). Pasalnya, dugaan mafia pemilu itu memang digelinding kan oleh Mahfud. Salah satu aktor yang disebut terlibat dalam aksi mafia pemilu ialah mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Andi Nurpati yang kini menjabat Ketua Divisi Komunikasi Publik Partai Demokrat.

MK sebenarnya telah melapor kan ke Mabes Polri soal dugaan pemalsuan surat MK bernomor 112/PAN.MK/2VII/2009 yang me libatkan Andi Nurpati. Hanya saja, Polri sempat mendiamkan kasus itu.

Sengkarut pemilu itu bermula pada 17 Agustus 2009, saat MK menyerahkan dua surat sekaligus kepada Andi Nurpati, surat nomor 112 dan 113 di sebuah studio stasiun televisi atas permintaan Andi Nurpati.

Setelah menerima langsung dan mengetahui si surat, Andi Nurpati meminta agar itu diserahkan kepada sopirnya, Aryo. “Aryo yang menandatangani berita acara penyampaian surat,“ kata Mahfud saat memaparkan kejadian itu di ruang Komisi II DPR.

Surat bernomor 112 yang asli, kata Mahfud, menjelaskan jawaban panitera MK atas pertanyaan surat ketua KPU nomor 1351/KPU/ VIII/2009 yang meminta penjelasan putusan MK atas perkara nomor 84/PHPU.C/VII/2009 yang diajukan Partai Hanura untuk daerah pilihan Sulawesi Selatan I.

Surat bernomor 113 menjawab surat Ketua KPU nomor 1352/KPU/VIII/2009 yang meminta penjelasan mengenai putusan MK Nomor 74/PHPU.C/VII/2009. Putusan untuk perkara diajukan Partai Amanat Nasional (PAN) di daerah pemilihan Sumatra Selatan 7.

Untuk surat bernomor 113, KPU menggunakan versi asli. Adapun untuk yang bernomor 112, KPU menggunakan surat palsu. Pada 11 September 2009, MK mengintervensi keputusan KPU bernomor 379/Kpts/KPU/Tahun 2009 karena menggunakan surat MK palsu.

Surat palsu tertanggal 14 Agustus 2009 itu digunakan oleh Andi Nurpati--sebagai pemimpin rapat pleno pengambilan keputusan KPU pada 2 September 2009--untuk menetapkan calon anggota legislatif (caleg) dari Partai Hanura Dewi Yasin Limpo.
Indikasi kuat Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Bambang Eka Cahya Widodo tidak memungkiri keberadaan mafia dalam Pemilu 2009.
“Kalau dibilang ada mafia, yah saya bilang indikasinya kuat,“ kata Bambang.

Kasus pemalsuan surat MK itu, kata dia, sudah terendus ketika rapat putusan MK terkait sengketa hasil pemilu untuk daerah pemilihan Sulsel.
“Ada yang aneh waktu rapat itu yang kebetulan dipimpin oleh Bu Andi Nurpati. Saat dibacakan surat MK itu, disebut dalam surat yang dibacakan Bu Andi itu, Partai Hanura

Sulsel ada penambahan suara. Serentak saya bingung waktu itu,“ kata dia.

Pasalnya, dirinya juga mengantongi putusan MK yang diunduh dari laman resmi MK. Untuk versi miliknya hanya tertulis perolehan suara, sedangkan versi yang dibacakan Andi Nurpati disebut penambahan suara.

“Jadi, saya protes waktu itu, tapi nyatanya yang dipegang KPU seperti yang dibacakan Bu Andi,“ terang Bambang.

Setelah itu, dirinya bersama Ketua Bawaslu pada waktu itu Nur Hidayat Sardini mendatangi MK. “Memang ada perbedaan, seperti karakter huruf, lambang garuda pada kop surat yang lebih besar dari versi KPU, demikian juga dengan tulisan MK-nya lebih besar. Pokoknya tidak sesuai dengan tata naskah dinas di MK,“ ujarnya.

Bambang menambahkan, indikasi mafia pemilu kian kuat karena kerap terjadi penambahan caleg tertentu yang diambil dari partai yang tidak lolos parliamentary threshold (PT/ ambang batas parlemen.

“Itu yang sering terjadi. Bawaslu memang kesulitan untuk mencari buktinya. Ini makanya saya bilang ada indikasi mafia. Kami kesulitan untuk mendapatkan bukti, tahu-tahu ada penambahan suara, dari yang tadinya tidak ada sama sekali,“ kata Bambang.

Chairuman Harahap mengakui ada kemungkinan panja akan membuka jaringan mafia pemilu yang selama ini tersimpan di dalam kotak pandora. Sebab, panja itu tidak hanya bertujuan membongkar pemalsuan surat MK yang melibatkan Andi Nurpati.

“Kemungkinan kena yang lain, bisa saja. Itu tentu akan ada, tapi kami belum menemukan indikasi itu. Sesudah selesai pemeriksaan barulah kita lihat apakah memang ada kursikursi yang sepatutnya atau tidak seharusnya ditempati,“ ujar Chairuman.

Saat ini, kata Chairuman, panja akan mendengarkan berbagai keterangan dari pihak terkait. “Selasa (28/6), Pak Arsyad Sanusi (mantan hakim konstitusi) dan Neshawaty (anak Arsyad) akan kami dengar keterangannya. Kemudian pada Kamis (30/6) kami panggil Andi Nurpati,“ tukas Chairuman.
Tantang Mahfud Anggota KPU I Gusti Putu Artha menantang Mahfud MD untuk mengungkap adanya dugaan mafia dalam Pemilu 2009. “Kasus ini pintu masuknya bukan di ibu Andi yang cuma satu surat. Pintu masuknya ada di Mahfud sendiri.
Saya menantang Pak Mahfud untuk membuka 16 surat palsu itu kepada publik. Supaya tidak ada dusta di antara kita,“ ujar dia.

Apalagi, lanjut dia, ada sekitar 700 kasus sengketa pemilu yang masuk ke MK, baik di tingkat pusat, provinsi, ataupun kabupaten/ kota.

Menurut dia, persoalan pemilu dalam kasus Andi Nurpati hanya berupa cacat administrasi, sedangkan MK, lanjut dia, justru membuat cacat substansi.

Ia mencontohkan laporan dari Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Dari laporan itu, tambah dia, terjadi perpindahan kursi akibat putusan MK.
Namun, amar putusan MK itu tidak pernah diregistrasi dan disidangkan.

“Itu artinya ada problem di MK. Saya mendorong kita semua itu buka-bukaan. Itu sangat mungkin, saya sedang mengumpulkan dokumen bahwa sejumlah amar putusan MK itu bermasalah,“ kata dia.

Andi Nurpati pernah membantah terlibat dalam kasus itu. Dirinya mengaku hanya menerima surat putusan MK itu dari sopirnya.
Ia juga merasa nama baiknya dirugikan atas pembentukan Panja Mafia Pemilu. “Surat itu bukan dari saya, mana tahu saya penomoran surat dari MK,“ ungkapnya. (AO/*/P-1)
http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2011/06/27/ArticleHtmls/Menanti-Kotak-Pandora-Mafia-Pemilu-Terkuak-27062011028035.shtml?Mode=1