Toeti Adhitama :
ika mau berbenah diri, bahaya-bahaya arogansi kekuasaan pasti bisa disingkirkan.
Ini berarti bersedia mengorbankan sebagian perasaan yang menganggap diri hebat."DEMOKRASI Indo nesia mendapat pujian banyak ne gara. Sistem politik yang berlaku sekarang sangat beda dari sistem otoriter di zaman Orde Baru. Situasi makroekonomi pun dalam posisi nyaman bila dibandingkan dengan banyak negara berkembang lainnya. Di antara negaranegara Asia„ Indonesia dinyatakan paling banyak mendapat limpahan dana masuk. Namun, akhir-akhir ini kritik-kritik pedas terhadap pemerintah yang berlalu-lalang dengan kerasnya mengindikasikan masih banyak yang harus dibenahi. Mungkin teramat banyak.
Situasi begini biasa terjadi di negara-negara berkembang yang menginginkan kemajuan dalam berbagai hal dapat terwujud dalam waktu bersamaan.
Hal yang tidak mungkin dilaksanakan dalam masyarakat plural yang demikian heterogen, yang jumlah warganya terbesar ke-4 di dunia; yang bahkan pembagian kekayaan negara masih jauh dari merata dan pada gilirannya pendidikan menengah atas dan tinggi masih dianggap kemewahan bagi mayoritas rakyatnya. Maka, betapa pun hebatnya hujatan yang dilancarkan, rasanya--dan mudah-mudahan--tidak akan mengakibatkan revolusi sosial seperti yang terjadi di wilayah Timur Tengah. Masyarakat umumnya tidak menginginkan kekacauan; yang menengah ke bawah tampak memilih tinggal diam.
Jika melihat kondisi masyarakat, yang mayoritas hanya berbekal pendidikan di bawah rata-rata yang diharapkan, kita tidak mungkin mampu menjalankan sistem liberal yang memungkinkan kita merangkul seluruh masyarakat dari segenap lapisan untuk menentukan kebijakan negara. Sistem liberal tidak bisa dipaksakan karena pendidikan mayoritas yang terbatas. Kondisi itu tidak pula cocok untuk sistem pemerintahan radikal yang memungkinkan penguasa memaksakan kehendak kepada masyarakat karena sikap itu akan bertentangan dengan falsafah negara, Pancasila.
Masyarakat konservatif Bila mengkaji pengamatan ahli-ahli kemasyarakatan tentang berbagai sistem pemerintahan yang ada, rupanya yang sedang berjalan di masyarakat kita ialah sistem konservatif. Gambaran itu yang paling mendekati. Faktor adat-istiadat, budaya, dan agama banyak berpengaruh.
Konservatisme melihat pemerintahan terutama sebagai sarana memelihara ketertiban dan mengintegrasikan berbagai sistem kemasyarakatan ke dalam kesatuan yang harmonis (Society Today, 1971). Menurut perspektif ideologi ini, yang paling penting ialah menjaga agar hubungan antarkelompok tetap stabil.
Dalam arena politik, yang memegang peranan penting ialah golongan elite. Golongan itu tidak hanya memiliki kekuasaan terbesar dan sumber-sumber lain yang diperlukan sebagai bekal kepemimpinan (termasuk pendidikan dan harta kekayaan), tetapi mereka juga diberkahi dengan kebijaksanaan, pengalaman, dan--'seharusnya' yang tidak kalah penting--keluhuran moral. Golongan inilah yang membuat keputusan-keputusan demi kepentingan orang banyak. Kelompok-kelompok lain bersedia menerima mereka sebagai pimpinan.
Dasar kestabilan berbentuk mulai dari kesediaan menerima penuh hak elite untuk menjalankan kekuasaan sampai kesediaan penguasa membiarkan golongan oposisi secara terang-terangan mendesakkan keinginan kepada rezim penguasa--kalau perlu. Partaipartai politik dianggap sarana menyalurkan kebijakan dan keputusan-keputusan bertanggung jawab kalangan elite.
Konservatisme menganggap keanekaragaman dalam masyarakat sebagai kenyataan yang tidak dapat dielakkan, meskipun kadang-kadang disa yangkan kalau bukan dikecam oleh yang berkuasa. Keanekaragaman diperlukan karena ada perbedaan-perbedaan dan spesialisasi yang dibutuhkan demi berfungsinya masyarakat yang kompleks.
Konservatisme menghendaki perubahan sosial terjadi secara minimum, dalam arti berlangsung tertib dan damai tanpa kekerasan, di bawah bimbingan kaum elite. Tujuan perubahan secara itu ialah membiasakan masyarakat akan situasi dan suasana baru yang tidak menyimpang dari nilai-nilai tradisional. Konflik terbuka hendaknya ditekan pada taraf minim.
Mencari penyembuhan Napoleon Bonaparte pernah berkata, “Sepuluh orang yang berbicara terdengar lebih gemuruh daripada 10 ribu yang membisu.“ Apa pun konsep Napoleon ketika mengucapkan kata-kata itu, arti harfiahnya agaknya tepat untuk menggambarkan karut-marut wacana perpolitikan yang ada sekarang, yang pastilah melelahkan bagi mayoritas yang tinggal diam.
Namun, memang harus ada restorasi. Seperti kata teolog dan filsuf Prancis Albert Schweitzer (1875-1965), “Harus datang suatu pembaruan yang akan membawa manusia pergi dari kenyataan yang menyedihkan ini--kehidupan modern yang berjalan tidak menentu, mabuk oleh kemajuan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan kekua saan. Padahal kalau manusia mau berpikir jujur dan mendalam, tujuan pokok hidupnya ialah mencapai kesempurnaan, baik spiritual maupun etis. Untuk itu, perlu tercipta peradaban yang etis, suatu peradaban yang mengusahakan kedamaian untuk dunia tempat tinggalnya.
Hanya dengan sikap demikian hidup akan ada artinya dan umat manusia dapat terhindar dari bencana dan kekejaman akibat konflik yang tidak ada gunanya.“
Jika melihat situasi masyarakat kita sekarang sambil merujuk pada pendapat Schweitzer, menjadi kewajiban kalangan elite--untuk tidak khusus menyebut para pemimpin-ataupun masyarakat umumnya untuk memiliki tekad mengadakan pembaruan; memelopori suatu restorasi. Ibarat orang yang sedang menderita sakit, dia perlu pengobatan. Bagaimana pendekatan kuratifnya?
Misalnya, bukankah sudah waktunya kalangan elite membersihkan kuman-kuman yang mengganggu kesehatan diri dan pikirannya?
Sikap berpihak kepada mereka yang bersalah--yang haus harta dan kekuasaan--sama saja dengan sikap tidak rela mengusir unsur-unsur yang menyebabkan penyakit menahun dan merepotkan semua orang. Memanjakan sakit menahun akan melemahkan kesehatan pikiran dan citra apa pun dan siapa pun. Satu-satunya cara ialah menumpas penyakit demi kesehatan diri agar mampu memimpin kembali dengan kesehatan mental spiritual.
Pada gilirannya, kalangan elite, khususnya para pemimpin, akan mendapatkan kembali wibawanya.
Mereka akan kembali bisa efektif mengambil keputusankeputusan dalam kehidupan bermasyarakat. Dua tahun rasanya terlalu lama untuk menyaksikan keonaran yang berlarut-larut, tetapi memang terlalu singkat untuk mengambil tindakan-tindakan kuratif yang tepat. Maka, lebih cepat diambil tindakan, lebih baik.
Dalam rangkaian upaya tersebut, harap waspada bahwa yang memiliki kekuasaan selalu rentan terhadap keinginan untuk bersikap arogan--arogansi kekuasaan, yang akan mengganggu dan menekan perasaan rakyat yang dipimpinnya. Padahal, hanya rakyat yang bisa membantu.
Seperti dikatakan dalam The Arrogance of Power (William Fulbright), `Jika mau berbenah diri, bahaya-bahaya arogansi kekuasaan pasti bisa disingkirkan. Ini berarti bersedia mengorbankan sebagian perasaan yang menganggap diri hebat; pengorbanan yang memadai untuk akibat-akibat positif yang bisa ditimbulkan.'
http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2011/07/01/ArticleHtmls/Pendekatan-Kuratif-01072011026036.shtml?Mode=1
ika mau berbenah diri, bahaya-bahaya arogansi kekuasaan pasti bisa disingkirkan.
Ini berarti bersedia mengorbankan sebagian perasaan yang menganggap diri hebat."DEMOKRASI Indo nesia mendapat pujian banyak ne gara. Sistem politik yang berlaku sekarang sangat beda dari sistem otoriter di zaman Orde Baru. Situasi makroekonomi pun dalam posisi nyaman bila dibandingkan dengan banyak negara berkembang lainnya. Di antara negaranegara Asia„ Indonesia dinyatakan paling banyak mendapat limpahan dana masuk. Namun, akhir-akhir ini kritik-kritik pedas terhadap pemerintah yang berlalu-lalang dengan kerasnya mengindikasikan masih banyak yang harus dibenahi. Mungkin teramat banyak.
Situasi begini biasa terjadi di negara-negara berkembang yang menginginkan kemajuan dalam berbagai hal dapat terwujud dalam waktu bersamaan.
Hal yang tidak mungkin dilaksanakan dalam masyarakat plural yang demikian heterogen, yang jumlah warganya terbesar ke-4 di dunia; yang bahkan pembagian kekayaan negara masih jauh dari merata dan pada gilirannya pendidikan menengah atas dan tinggi masih dianggap kemewahan bagi mayoritas rakyatnya. Maka, betapa pun hebatnya hujatan yang dilancarkan, rasanya--dan mudah-mudahan--tidak akan mengakibatkan revolusi sosial seperti yang terjadi di wilayah Timur Tengah. Masyarakat umumnya tidak menginginkan kekacauan; yang menengah ke bawah tampak memilih tinggal diam.
Jika melihat kondisi masyarakat, yang mayoritas hanya berbekal pendidikan di bawah rata-rata yang diharapkan, kita tidak mungkin mampu menjalankan sistem liberal yang memungkinkan kita merangkul seluruh masyarakat dari segenap lapisan untuk menentukan kebijakan negara. Sistem liberal tidak bisa dipaksakan karena pendidikan mayoritas yang terbatas. Kondisi itu tidak pula cocok untuk sistem pemerintahan radikal yang memungkinkan penguasa memaksakan kehendak kepada masyarakat karena sikap itu akan bertentangan dengan falsafah negara, Pancasila.
Masyarakat konservatif Bila mengkaji pengamatan ahli-ahli kemasyarakatan tentang berbagai sistem pemerintahan yang ada, rupanya yang sedang berjalan di masyarakat kita ialah sistem konservatif. Gambaran itu yang paling mendekati. Faktor adat-istiadat, budaya, dan agama banyak berpengaruh.
Konservatisme melihat pemerintahan terutama sebagai sarana memelihara ketertiban dan mengintegrasikan berbagai sistem kemasyarakatan ke dalam kesatuan yang harmonis (Society Today, 1971). Menurut perspektif ideologi ini, yang paling penting ialah menjaga agar hubungan antarkelompok tetap stabil.
Dalam arena politik, yang memegang peranan penting ialah golongan elite. Golongan itu tidak hanya memiliki kekuasaan terbesar dan sumber-sumber lain yang diperlukan sebagai bekal kepemimpinan (termasuk pendidikan dan harta kekayaan), tetapi mereka juga diberkahi dengan kebijaksanaan, pengalaman, dan--'seharusnya' yang tidak kalah penting--keluhuran moral. Golongan inilah yang membuat keputusan-keputusan demi kepentingan orang banyak. Kelompok-kelompok lain bersedia menerima mereka sebagai pimpinan.
Dasar kestabilan berbentuk mulai dari kesediaan menerima penuh hak elite untuk menjalankan kekuasaan sampai kesediaan penguasa membiarkan golongan oposisi secara terang-terangan mendesakkan keinginan kepada rezim penguasa--kalau perlu. Partaipartai politik dianggap sarana menyalurkan kebijakan dan keputusan-keputusan bertanggung jawab kalangan elite.
Konservatisme menganggap keanekaragaman dalam masyarakat sebagai kenyataan yang tidak dapat dielakkan, meskipun kadang-kadang disa yangkan kalau bukan dikecam oleh yang berkuasa. Keanekaragaman diperlukan karena ada perbedaan-perbedaan dan spesialisasi yang dibutuhkan demi berfungsinya masyarakat yang kompleks.
Konservatisme menghendaki perubahan sosial terjadi secara minimum, dalam arti berlangsung tertib dan damai tanpa kekerasan, di bawah bimbingan kaum elite. Tujuan perubahan secara itu ialah membiasakan masyarakat akan situasi dan suasana baru yang tidak menyimpang dari nilai-nilai tradisional. Konflik terbuka hendaknya ditekan pada taraf minim.
Mencari penyembuhan Napoleon Bonaparte pernah berkata, “Sepuluh orang yang berbicara terdengar lebih gemuruh daripada 10 ribu yang membisu.“ Apa pun konsep Napoleon ketika mengucapkan kata-kata itu, arti harfiahnya agaknya tepat untuk menggambarkan karut-marut wacana perpolitikan yang ada sekarang, yang pastilah melelahkan bagi mayoritas yang tinggal diam.
Namun, memang harus ada restorasi. Seperti kata teolog dan filsuf Prancis Albert Schweitzer (1875-1965), “Harus datang suatu pembaruan yang akan membawa manusia pergi dari kenyataan yang menyedihkan ini--kehidupan modern yang berjalan tidak menentu, mabuk oleh kemajuan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan kekua saan. Padahal kalau manusia mau berpikir jujur dan mendalam, tujuan pokok hidupnya ialah mencapai kesempurnaan, baik spiritual maupun etis. Untuk itu, perlu tercipta peradaban yang etis, suatu peradaban yang mengusahakan kedamaian untuk dunia tempat tinggalnya.
Hanya dengan sikap demikian hidup akan ada artinya dan umat manusia dapat terhindar dari bencana dan kekejaman akibat konflik yang tidak ada gunanya.“
Jika melihat situasi masyarakat kita sekarang sambil merujuk pada pendapat Schweitzer, menjadi kewajiban kalangan elite--untuk tidak khusus menyebut para pemimpin-ataupun masyarakat umumnya untuk memiliki tekad mengadakan pembaruan; memelopori suatu restorasi. Ibarat orang yang sedang menderita sakit, dia perlu pengobatan. Bagaimana pendekatan kuratifnya?
Misalnya, bukankah sudah waktunya kalangan elite membersihkan kuman-kuman yang mengganggu kesehatan diri dan pikirannya?
Sikap berpihak kepada mereka yang bersalah--yang haus harta dan kekuasaan--sama saja dengan sikap tidak rela mengusir unsur-unsur yang menyebabkan penyakit menahun dan merepotkan semua orang. Memanjakan sakit menahun akan melemahkan kesehatan pikiran dan citra apa pun dan siapa pun. Satu-satunya cara ialah menumpas penyakit demi kesehatan diri agar mampu memimpin kembali dengan kesehatan mental spiritual.
Pada gilirannya, kalangan elite, khususnya para pemimpin, akan mendapatkan kembali wibawanya.
Mereka akan kembali bisa efektif mengambil keputusankeputusan dalam kehidupan bermasyarakat. Dua tahun rasanya terlalu lama untuk menyaksikan keonaran yang berlarut-larut, tetapi memang terlalu singkat untuk mengambil tindakan-tindakan kuratif yang tepat. Maka, lebih cepat diambil tindakan, lebih baik.
Dalam rangkaian upaya tersebut, harap waspada bahwa yang memiliki kekuasaan selalu rentan terhadap keinginan untuk bersikap arogan--arogansi kekuasaan, yang akan mengganggu dan menekan perasaan rakyat yang dipimpinnya. Padahal, hanya rakyat yang bisa membantu.
Seperti dikatakan dalam The Arrogance of Power (William Fulbright), `Jika mau berbenah diri, bahaya-bahaya arogansi kekuasaan pasti bisa disingkirkan. Ini berarti bersedia mengorbankan sebagian perasaan yang menganggap diri hebat; pengorbanan yang memadai untuk akibat-akibat positif yang bisa ditimbulkan.'
http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2011/07/01/ArticleHtmls/Pendekatan-Kuratif-01072011026036.shtml?Mode=1