BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Semakin Besar Jakarta, Semakin Besar Masalah Indonesia

Semakin Besar Jakarta, Semakin Besar Masalah Indonesia

Written By gusdurian on Rabu, 29 Juni 2011 | 02.36

Semakin Besar Jakarta, Semakin Besar Masalah Indonesia
Andrinof A. Chaniago, KOORDINATOR TIM VISI INDONESIA 2033; PENULIS BUKU GAGALNYA PEMBANGUNAN (LP3ES, 2001)

Ide The Greater Jakarta adalah ide yang tiba-tiba menjadi berita besar tapi lahir di luar proses kebijakan yang seharusnya. Ketika dikemukakan pertama kali oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Rektor Institut Teknologi Bandung Profesor Akhmaloka pada 11 Januari 2011, ide ini jelas tanpa landasan yang kuat karena sama sekali belum melalui telaah akademik, apalagi uji publik yang representatif. Karena itu, ketika ia meluncur ke publik melalui media massa keesokan harinya, bentuknya tidak lebih dari selembar kertas berjudul tapi tanpa narasi.

Penyimpangan proses perbuatan kebijakan selanjutnya terus berjalan sampai akhirnya ide ini tertuang dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), yang aktor-aktor dominan sebagai pemberi input adalah konsultan proyek, pengusaha, dan kalangan profesional dari ilmu-ilmu pragmatis. Rektor ITB sendiri, sebagai orang pertama yang diberi tahu, merespons ide itu, juga memberi respons pragmatis dengan menyatakan kesiapan ITB menyediakan tenaga-tenaga ahli yang berkecimpung dalam perancangan infrastruktur kota
dan lain-lain.
Artinya, ide The Greater Jakarta lebih dilihat sebagai proyek besar yang meng asumsikan persoalan-persoalan lain di kawasan ini dengan sendirinya akan teratasi karena adanya proyekproyek dalam rangka mewujudkan The Greater Jakarta. Jika ide The Greater Jakarta ini berlanjut menjadi proyek-proyek pembangunan, ia akan berhadapan dengan kompleksitas kehidupan puluhan juta warga dengan ekosistemnya. Karena itu, semestinya ide seperti ini dituntaskan dulu lewat proses kebijakan yang baik, yakni pengkajian dan perencanaan yang komprehensif sehingga menjadi ide kebijakan yang responsif dan antisipatif terhadap kompleksitas persoalan mega-urban yang memiliki karakteristik sebuah kawasan mega-urban negara berkembang pada umumnya.

Karena sifat permasalahan yang akan dihadapinya amat kompleks, seyogianya ide ini dibawa ke ranah ilmu interdisiplin dan melewati proses dialog yang representatif.

Tidak ada salahnya kita perlu waspada terhadap dampak-dampak The Greater Jakarta yang membuat bangsa ini terjerumus ke dalam krisis besar gelombang kedua.

Gelombang besar yang kita sangka adalah pertumbuhan pesat ekonomi, ternyata berujung pada empasan dahsyat yang menghancurkan sebagian aset yang kita banggakan.

Potensi ke arah itu sangatlah besar, kecuali kalau kita nanti dipaksa menerima arti dan makna pembangunan yang sudah dipersempit menjadi kumpulan proyek pembangunan fisik dan PDRB semata. Namun nilai fisik dan agregat produk ekonomi domestik kawasan itu pun bisa tiba-tiba rusak dan menyusut drastis akibat kekacauan sosial sebagaimana terjadi pada 1998.

Dari mana potensi krisis besar gelombang kedua itu terjadi dan bagaimana proses menuju krisis itu datang? Mari kita lihat dari tiga aspek saja dulu. Pertama, proyek The Greater Jakarta akan mengundang migrasi penduduk dan urbanisasi besar-besaran ke kawasan itu, baik dari pedesaan Jawa maupun dari luar Jawa. Angka migrasi yang tinggi itu bukanlah ilusi kalau saat ini saja pertumbuhan penduduk di Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi ratarata 3,5 persen per tahun. Di
tambah karakteristik sosiologisnya, jumlah besar ini jelas sumber masalah struktural bagi aneka masalah pelayanan publik di kawasan megaurban tersebut.

Kedua, dengan sistem ekonomi dan pemilikan atas tanah yang sangat liberal dan sistem penyediaan perumahan rakyat yang juga diserahkan kepada mekanisme pasar, segregasi permukiman dan polarisasi sosial di kawasan itu akan makin tajam. Ketiga, gangguan keseimbangan ekosistem pasti tidak akan terelakkan karena tingginya permintaan terhadap lahan dan kebutuhan air baku. Kebutuhan lahan akan mengurangi daerah resapan dan daerah tangkapan air di kawasan itu. Sementara itu, lonjakan kebutuhan akan air baku akan mendorong orang-orang di kota untuk menyedot air tanah lebih banyak, yang berakibat makin turunnya permukaan tanah. Belum lagi potensi konflik antara petani dan otoritas pengelola air pada saat musim kemarau.

Bila tiga aspek yang penulis sebutkan di atas dikaitkan dengan proyeksi kapasitas kelembagaan yang bisa dibangun oleh pemerintah, dapat dipastikan kelak antarjenjang, antarinstansi, dan antarwilayah pemerintahan akan saling lempar tanggung jawab atas masalah gangguan kesehatan publik, polusi, perumahan dan permukiman, kriminalitas, kemacetan, ketersediaan air bersih, sistem transportasi mudik Lebaran, dan sebagainya. Belum lagi kita memprediksi respons politikus dan partai politik yang hanya akan mempolitisasi persoalanpersoalan tersebut tanpa mengajak pemerintah yang sedang berkuasa untuk menyelesaikan persoalan secara mendasar.

Melihat komitmen, konsep, dan tindakan pemerintah dari periode ke periode untuk membangun kelembagaan pemerintahan dan mengubah mentalitas orang-orang di birokrasi hingga saat ini, kita bisa keliru berharap perangkat pemerintahan di semua jenjang dan instansi akan mampu menangani aneka masalah sosial dan pelayanan publik yang disebutkan tadi di masa akan datang. Katakanlah akan ada sedikit perbaikan di pemerintahan. Namun untuk menghadapi masalah seberat sekarang pun perbaikan itu tidak akan cukup, apalagi masalah-masalah itu bisa membesar dengan berjalannya proyek The Greater Jakarta.

Di sini kita belum memperluas pandangan untuk melihat Jawa dan Indonesia secara keseluruhan. Secara nasional, ide The Greater Jakarta jelas berpotensi memperparah masalah urbanisasi dari desa-desa di Jawa ke kawasan The Greater Jakarta yang daya tariknya menjadi menguat.

Kalau dilihat lagi ke luar Jawa, ide ini jelas akan membuat sejumlah proyek pembangunan, seperti pembangunan daerah perbatasan, percepatan pembangunan daerah tertinggal, transmigrasi, dan peningkatan kapasitas perguruan tinggi di luar Jawa, akan setengah siasia. Daya tarik The Greater Jakarta dengan keunggulan infrastruktur fisik, teknologi jasa, lembaga keuangan dan pasar modal, dan sebagainya jelas akan makin kencang menyedot uang hasil produksi sumber daya alam dan mendorong keluarnya sumber daya manusia terbaik dari daerah itu bermigrasi ke Jawa. Maka konsekuensi kumulatif dari realisasi The Greater Jakarta ini yang harus dibayangkan adalah makin lebarnya kesenjangan antara desa dan kota di Jawa serta antara Jawa dan luar Jawa. Kalau ini yang terjadi, yang hadir adalah musuh pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan musuh pembangunan yang berkualitas. Mari kita pilih, apakah ingin mensejahterakan rakyat sebanyak mungkin secara berkelanjutan atau membesarkan segelintir pihak yang makin mendominasi aset kehidupan bagi orang banyak.

http://epaper.korantempo.com/PUBLICATIONS/KT/KT/2011/06/22/ArticleHtmls/Semakin-Besar-Jakarta-Semakin-Besar-Masalah-Indonesia-22062011012007.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: