BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Reformasi, Tanpa atau Dengan Sanksi FIFA

Reformasi, Tanpa atau Dengan Sanksi FIFA

Written By gusdurian on Rabu, 29 Juni 2011 | 02.36

Toriq Hadad :

Reformasi, Tanpa atau Dengan Sanksi FIFA Toriq Hadad, KEPALA PEMBERITAAN KORPORAT DAN DIREKTUR PRODUKSI KELOMPOK TEMPO INTI MEDIA

Kongres Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia akan diadakan pada 9 Juli di Solo. Setelah kongres di Pekanbaru dan Jakarta gagal memilih ketua umum, Komite Normalisasi di bawah Agum Gumelar agaknya yakin kongres kali ini akan berhasil. Salah satu “keberhasilan”Komite Normalisasi adalah menciptakan “atmosfer”bahwa siapa pun yang membuat kongres di Solo gagal, dialah yang harus dicatat sebagai biang kerok keluarnya sanksi FIFA.

Semestinya ada kesempatan yang adil untuk menjelaskan kondisi sesungguhnya sepak bola kita oleh pihak selain Komite Normalisasi. Kita prihatin atas simpang-siurnya informasi tentang sepak bola kita kepada FIFA.

Dalam kongres terakhir yang ricuh pada Mei lalu, pernyataan Direktur Keanggotaan FIFA Thierry Regenass menunjukkan hal itu. FIFA menganggap Nurdin Halid, Nirwan Bakrie, dan George Toisutta sebagai bagian dari kekisruhan yang melanda sepak bola Indonesia. Adapun pengusaha Arifin Panigoro dicoret lantaran menggelar kompetisi Liga Primer Indonesia (LPI) yang dianggap ilegal oleh FIFA.

Pernyataan itu menunjukkan bahwa FIFA tidak mendapat informasi yang memadai atas keinginan sebagian masyarakat untuk memajukan sepak bola Indonesia.

Pernyataan Thierry Regenass agaknya tidak didasari oleh data mutakhir tentang LPI.

Dalam jumpa pers di Jakarta, 11 April lalu, Komite Normalisasi memberi jaminan tak akan menghentikan kegiatan LPI. Masalah teknis dijanjikan akan dibahas kemudian.

Artinya, sejak pernyataan itu, seharusnya tidak ada masalah prinsip dengan LPI.

Bahkan boleh disimpulkan, status LPI di mata PSSI bukan lagi kompetisi terlarang.

Buktinya, PSSI kemudian memanggil Irfan Bachdim dalam tim nasional yang disiapkan untuk SEA Games Palembang. Padahal kita tahu Irfan masih bergabung dengan Persema Malang, salah satu klub anggota LPI. Sebelumnya, gara-gara bergabung dengan Persema, Irfan Bachdim tidak dipanggil masuk tim nasional.

Tidak sampai sebulan kemudian, di dalam kongres di Jakarta, mendadak LPI kembali menjadi “kompetisi haram”. Perubahan sikap Komite Normalisasi terhadap LPI rupanya tidak dilaporkan kepada FIFA. Akibatnya, FIFA tetap menganggap status LPI “haram”, seperti pada zaman Nurdin Halid dulu. Thierry Regenass masih memakai “kacamata lama”itu untuk memandang LPI.

Anehnya, Komite Normalisasi seperti tak
berdaya memberi penjelasan tentang perubahan pandangan PSSI terhadap LPI itu.

Pandangan “kacamata lama“Regenass membawa banyak akibat. Selain LPI dianggap kompetisi tidak sah, Arifin Panigoro sebagai penggagasnya dianggap sebagai figur yang menabrak aturan FIFA sehingga perlu disingkirkan dari pencalonan sebagai Ketua Umum PSSI. George Toisutta, yang kini masih menjabat Kepala Staf TNI Angkatan Darat, juga ikut dicoret dari bursa ketua umum lantaran dianggap bagian dari kekisruhan sepak bola Indonesia.

Lalu, pertengahan Juni lalu, datanglah ke Jakarta, Pangeran Ali bin Al-Hussein, 35 tahun, anak keempat Raja Hussein dari Yordania, yang sejak Januari lalu terpilih sebagai Wakil Presiden FIFA. Kedatangan Pangeran Ali harus diakui banyak mengubah “atmosfer“ketakutan akan jatuhnya sanksi FIFA.
Untuk pertama kalinya ada utusan FIFA yang bertemu dengan hampir semua pihak yang berkepentingan dengan sepak bola Indonesia, termasuk para pendukung ToisuttaPanigoro yang selama ini dianggap sebagai sumber keributan. Pangeran Ali berjanji akan menyampaikan hasil kunjungannya kepada pemimpin FIFA.

Memang terasa ada optimisme baru bahwa FIFA akan berubah memandang Toisutta dan Panigoro setelah mendengar laporan Pangeran Ali.Tapi sebaiknya mereka yang peduli terhadap reformasi sepak bola Indonesia tidak menggantungkan nasib pada laporan Pangeran Ali dan keputusan final FIFA nanti.

Semua bisa terjadi di FIFA. Kekuasaan besar sebagai penentu tuan rumah Piala Dunia, misalnya, banyak dituding sebagai sumber rezeki besar para individu di lapisan yang menentukan. Proposal yang dulu dirancang untuk menyukseskan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022, umpamanya, mencantumkan dana Rp 240 miliar sebagai dana lobi. Menurut Ketua Umum PSSI ketika itu, Nurdin Halid, dalam sebuah jumpa pers di Jakarta pada 1 November 2009 seperti dikutip liputan6.com, PSSI sudah mempunyai sponsor utama, yaitu PT Bakrie Capital Indonesia.

Tak pernah jelas apakah lobi sejenis ini halal atau setengah legal atau sejenis suap untuk memenangi pencalonan. Kita juga tak pernah pasti apakah figur seperti Regenass juga bebas dari segala bentuk lobi dan suap ini. Maka Kongres Solo akan berjalan paling tidak dengan tiga skenario.Yang pertama, FIFA akan membuka pintu bagi George Toisutta dan Arifin Panigoro. Kendati didukung oleh 78 pemilik suara—dari 101 suara total—belum tentu keduanya akan mulus merebut kursi orang nomor satu dan dua PSSI.

Terlalu naif bila Toisutta-Panigoro menyepelekan kemungkinan pihak yang didukung pengurus lama PSSI untuk bergerilya.

Kita tahu bahwa di antara pemilik 78 suara itu terdapat para pejabat daerah, yang berasal dari partai politik tertentu. Tak ada yang bisa menjamin jalur struktural partai tidak dipakai untuk “mengambil” suara kelompok pendukung Toisutta-Panigoro. Cara lain adalah sesuatu yang “purba” dalam kancah pemilihan di negeri kita: politik uang. Dengan kata lain, walaupun FIFA meloloskan Toisutta-Panigoro, peluang “utusan”kelompok pendukung pengurus lama PSSI masih terbuka cukup lebar.

Bila skenario pertama ini yang terjadi, perlu dipastikan prosedur pemilihan yang diselenggarakan Komite Normalisasi tidak menimbulkan benih yang bisa membuat runyam. Penggunaan fasilitas teknologi e-voting, umpamanya, rasanya tidak diperlukan mengingat jumlah pemilih tidak luar biasa besar, hanya tercatat 101 suara. Transparansi penghitungan suara akan menjadi salah satu kunci sukses kongres di Solo nanti.

Bisa juga skenario kedua yang terjadi:
kongres kembali deadlock. Ini mungkin terjadi bila Toisutta-Panigoro tetap dilarang maju dan pendukungnya terus memprotes.

Dalam hal ini, kiranya perlu mendengar langsung suara FIFA dari figur yang (semogalah) bukan diwakili Thierry Regenass.

Tak perlu dihantui sanksi FIFA dalam mengupayakan kejelasan ini. Pilihan yang ideal untuk sepak bola Indonesia: reformasi jalan terus, sanksi FIFA bisa dihindari. Tapi, kalau terpaksa memilih: reformasi seharusnya menjadi prioritas, walaupun Indonesia harus menerima sanksi. Pembenahan ke dalam jauh lebih penting ketimbang kebutuhan berkiprah di dunia internasional. Toh, kita bukan “jagoan”di pentas dunia. Indonesia pada Mei lalu berada di peringkat ke130 FIFA—di bawah Thailand.

Perlu dicatat, tak ada sanksi FIFA yang berlangsung berbilang tahun. Dalam tiga tahun terakhir ini, Brunei yang paling lama menjalani sanksi. Sultan Brunei membentuk kepengurusan baru federasi sepak bolanya, dan FIFA menghukum Brunei selama 20 bulan sejak Desember 2008. Akibat intervensi pemerintah, Kuwait dicabut keanggotaannya selama 15 hari, Bosnia selama dua bulan, dan Peru selama sebulan.

Ada skenario ketiga, Toisutta dan Panigoro dilarang maju, tapi kongres tetap berlangsung. Siapa pun ketua umum terpilih— baik yang memihak pengurus lama PSSI maupun yang pro-Toisutta-Panigoro—urusan yang akan dihadapi lebih berat daripada sekadar menghindari sanksi FIFA.“Dapur” PSSI adalah rimba raya yang tak kalah menakutkan.

Majalah Tempo, Januari lalu, mencatat kepemimpinan Nurdin Halid selama tujuh tahun tidak mewariskan satu pun prestasi membanggakan. Indonesia tak sekali pun merebut prestasi di ASEAN, apalagi Asia.

Kompetisi kacau-balau, diwarnai kericuhan, baku hantam, juga dugaan pengaturan hasil pertandingan.

Sebuah kantor auditor internasional, pada pertengahan 2010, memeriksa 16 klub— sebagian besar bertarung di Liga Super Indonesia. Meski menelan dana anggaran pendapatan dan belanja daerah puluhan miliar setiap tahun, hanya tiga klub yang punya laporan keuangan teraudit. Bahkan hanya empat klub yang berbadan hukum.

Selebihnya tak jelas bentuk organisasinya.
Jadi skenario apa pun yang berjalan di Solo, sebuah pertanyaan penting bisa diajukan: masih adakah Ketua Umum PSSI yang bermimpi mencetak prestasi dengan keadaan compang-camping begini.

http://epaper.korantempo.com/PUBLICATIONS/KT/KT/2011/06/23/ArticleHtmls/Reformasi-Tanpa-atau-Dengan-Sanksi-FIFA-23062011011007.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: