BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Utopia The Greater Jakarta

Utopia The Greater Jakarta

Written By gusdurian on Rabu, 29 Juni 2011 | 02.47

Utopia The Greater Jakarta
Taufik Rahzen BUDAYAWAN DAN PENELITI DI URBANUS ANTARA INSTITUTE

Setiap kota memiliki utopianya sendiri, sebagai cara berhubungan dengan masa lalu sekaligus penanda arah bagi masa depannya. Berbeda dengan kehidupan di desa yang nilai-nilainya masih diharapkan terjaga dan diwariskan secara turun-temurun, di kota nilai diciptakan dan secara terusmenerus dibentuk kembali.

Ketika Malaka ditaklukkan oleh Portugis 500 tahun silam (1511), sesungguhnya ini bukanlah jatuhnya sebuah kota, melainkan pergantian utopia, yang mengawali tumbuhnya peradaban baru, peradaban kapitalisme Asia Tenggara. Hal yang sama tidak terjadi pada Bandar Sunda Kelapa, kota pelabuhan Jayakarta. Meski telah dibuat perjanjian perdagangan dengan Portugis pada 1522, Bandar Sunda Kelapa direbut kembali oleh Fatahillah pada 1527. Betapapun syarat-syarat sebuah kota terpenuhi, tapi penduduknya belumlah bersikap atas kemungkinan baru, atas utopia baru.

Sejarah kemudian mencatat, dibutuhkan 100 tahun sejak direbutnya Malaka, yakni ketika Pieter Both pada 1611 membeli sebidang tanah untuk mendirikan loji di Batavia, yang kemudian menjadi benteng utama VOC semasa Jan Pieterszoon Coen. Loji dan benteng menjadi dasar utopia baru, mengiringi penaklukan demi penaklukan yang memulai kapitalisme Hindia Belanda. Sejak itu, utopia loji dan benteng, yang mengusung kesejahteraan dan kekuatan, menjadi karakter dasar Batavia dan Jakarta sebagai sentra ekonomi dan pusat politik.
Bergesernya ekonomi, berpencarnya kekuasaan Selama 400 tahun, Jakarta belum pernah mengalami tekanan, yang langsung menyerang karakter dasarnya sebagai simbol ekonomi dan politik.
Sejak tiga dasawarsa terakhir, globalisasi menggeser pusat kekuatan ekonomi, yang dulunya berpusat di kota atau negara, ke arah regionalisme kawasan dalam bentuk kota metropolitan.

Tumbuhnya kota metropolitan di seluruh dunia menjadikannya sebagai unit dasar ekonomi global. Persaingan antara metropolitan dunia dalam memperebutkan sumber daya dan membagi utopia yang sama dalam gaya hidup memperkeras kompetisi yang menekan daya dukung warganya.
Kecenderungan ini mempengaruhi secara mendalam cara-cara menangani perkotaan, dalam kebijakan publik, perencanaan fisik, kualitas hidup, harapan warga, dan pengelolaan birokrasi.

Tekanan lainnya berasal dari ledakan harapan yang menyertai reformasi politik. Otonomi daerah, kesenjangan Jawa dan luar Jawa, harapan hidup yang meningkat, serta desakan adanya partisipasi warga melampaui kemampuan Jakarta untuk melayaninya. Kekuasaan berpencaran dan wewenang meleleh di tengah kepenuhsesakan, kemacetan, banjir, kelangkaan kerja, kekerasan, dan kelumpuhan fungsi. Pada saat yang sama, pembangunan infrastruktur, maraknya pa sar, konsumerisme gaya hidup, dan integrasi dengan ekonomi global berjalan berdampingan.
Paradoks ini melahirkan kegamangan dan rasa jenuh. Kepercayaan terhadap kemampuan pemerintah melemah, dan masyarakat membuat utopianya sendiri.
Greater Jakarta Gagasan pemindahan ibu kota baru sesungguhnya membuka pertanyaan dasar tentang kemampuan Kota Jakarta, apakah masih mampu menjadi loji dan benteng, baik sebagai sentra ekonomi maupun sebagai simbol kekuasaan?
Apakah diperlukan pembaruan utopia, yang lebih kontekstual dengan semangat zaman?
Menarik untuk dicermati apa yang digagas Presiden Prancis Nicolas Sarkozy tentang Grand Paris, sebagai model supermetropolis abad ke-21, mo del kota pasca-Kyoto tentang kota berkelanjutan. Sar kozy mengundang 10 arsitek dan perencana kota terkemuka dari berbagai negara untuk duduk bersama dan berimaji nasi bagi penyegaran salah satu kota terpenting di bumi. Umumnya mereka mengusung dan diikat oleh tema, kota yang puitis, utopia, dan ekologis.

Meminjam apa yang dilakukan para perencana di Paris, menarik untuk diajukan beberapa pertanyaan untuk Jakarta. Apakah ibu kota harus memiliki satu pusat ataukah tersebar secara multipolar di berbagai tempat? Bagaimana warga kota dan kawasan pendukungnya, yang berbeda secara sosial, ekonomi, dan status, dapat diikat dalam solidaritas bersama? Bagaimana sistem transportasi yang manusiawi dan penanganan lingkungan yang berkelanjutan agar memudahkan warga mengadaptasinya?
Kita membayangkan The Greater Jakarta akan meliputi kawasan metropolitan terpadu, yang terdiri atas beberapa pusat kota, yang diperantarai oleh hutan kota dan taman/kebun kota yang menjadi penanda ekologis. Ibu kota akan tetap berkedudukan di Jakarta dengan istana negara dan istana bangsa yang akan memperantarai simbol republik dan publik. Kawasan Monas dan Kota Tua direvitalisasi dengan tujuan memperkuat kohesi dan solidaritas sosial.

Istana Presiden dan pusat pemerintahan terletak di Bogor, dengan dukungan Sentul dan Jonggol. Daerah Sunda Kelapa dan Kepulauan Seribu diintegrasikan sebagai waterfront city sekaligus mengantisipasi perubahan iklim. Tiga belas sungai yang mengaliri Jakarta dikembangkan menjadi sabuk hijau dan koridor ekologis. Kampung-kampung disegarkan dalam konsep yang padu, dengan dimediasi oleh partisipasi warga yang aktif. Daerah industri akan dikembangkan di Purwakarta hingga Cirebon, membawa kota kota penyangga di Sukabumi, Depok, Karawang, dan Bekasi, dihubungkan dengan transportasi publik yang berkelanjutan. Penggunaan energi diperbarui, mulai tenaga air di Jatiluhur hingga tenaga matahari dan angin di Karawang dan Sukabumi akan menjadi landmark serta digunakan untuk seni publik.

Demikian pula hutan padi di Karawang, di samping dikelola dan ditata sebagai tempat riset sebagai simbol bangsa agraris Iabadiou (pulau padi) sekaligus penanda perubahan musim dan irama waktu. Penghutanan kembali kawasan pendukung, mulai Gunung Gede-Pangrango hingga kawasan Puncak, akan menjadi punggung hutan kota dan urban forest. Keseluruhan perubahan ini disertai perubahan birokrasi dan pengelolaan pemerintah dalam satu kendali Ibu Kota Jakarta Raya. Bersama dengan ini di usulkan pula un tuk menyebarkan kota raja (istana presiden) beserta departemen pendukungnya di kawasan regional yang kini sedang dikembangkan.Yogyakarta (Jawa), Tampaksiring (Bali dan Nusa Tenggara), Makassar (Sulawesi), Bukittinggi (Sumatera), Palangkaraya (Kali mantan), dan Raja Ampat (Papua-Maluku).

Kota dibangun oleh utopia. Pada utopia, imajinasi, harapan, dan ketidaksadaran kolektif dipadatkan dalam tindakan. Utopia bisa bersifat rekonstruktif, bisa eskapis. Sejarah memberi contoh kepada kita bagaimana Mpu Kuturan, sang bijaksana dari Bali, membuat pertemuan agung di antara pihak yang bertikai karena perbedaan agama, status, dan kekuasaan. Pertikaian yang menghancurkan ikatan desa-desa di Jawa dan Bali. Pertemuan yang diselenggarakan di Samuan Tiga Bedahulu, tepat 1.000 tahun silam (1011), menjadi awal penataan desa pakraman yang kita kenal sekarang. Atas visi dan keyakinan kuatnya, Mpu Kuturan mewariskan utopianya melalui kekayaan tradisi desa-desa di Bali, yang bertahan hingga 1.000 tahun matahari.

http://epaper.korantempo.com/PUBLICATIONS/KT/KT/2011/06/22/ArticleHtmls/Utopia-The-Greater-Jakarta-22062011011003.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: