BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Desentralisasi Partai Politik

Written By gusdurian on Senin, 11 April 2011 | 15.51

HM Harry Mulya Zein Pakar Ilmu Pemerintahan Unpad, Bandung Memberikan kewenangan secara otonom kepada pengurus DPD dan DPC untuk menentukan calon kepala daerah yang akan diusung bisa menghambat proses politik transaksional."
PEKAN yang lalu, ketika membuka acara Musyawarah Daerah di Tangerang, Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum menegaskan bahwa parpol bukan organisasi perkumpulan anggota keluarga, bukan pula organisasi pertemanan atau paguyuban.

Melainkan organisasi politik yang dikelola secara modern dan profesional.

Pernyataan Anas Urbaningrum itu menyindir kondisi parpol di Banten dan daerah-daerah di Indonesia secara keseluruhan. Parpol hanya dijadikan sebagai alat keluarga untuk melanggengkan politik kekuasaan dinasti. Me ngutip Firmanzah (2010) dalam bukunya, Mengelola Parpol, Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Demokrasi, saat ini ada kecenderungan parpol bersifat elitis.

Secara mikro, gambaran sistem kepartaian di Indonesia diwarnai dengan begitu dominannya peran pemimpin politik dalam menentukan keberhasilan partai di arena politik Indonesia. Hal itu karena parpol tidak berbasis pada grass roots (akar rumput) sehingga rakyat hanya diposisikan sebagai individu yang nilai gunanya ditentukan dari suara yang mereka berikan dalam pemilihan.

Dalam posisi dan peran seperti itu, partai bukannya bertindak sebagai corong aspirasi yang berpihak kepada kepentingan rakyat, tetapi justru menggunakan rakyat sebagai alat dalam memperjuangkan kepentingan pribadi partai semata.

Banyak kasus di beberapa
daerah, penentuan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah (gubernur/bupati/wali kota) ditentukan berdasarkan politik transaksional.

Intinya, hanya calon kepala daerah yang memiliki finansial besar yang akan diusung parpol. Di sinilah politik transaksional berkembang. Politik yang dijadikan lahan bisnis para elite parpol. Setiap proses pelaksanaan pemilu kada, ongkos yang dikeluarkan bagi penyelenggara ataupun kontestan (calon kepala daerah) semakin membengkak. Pendidikan politik dan demokratisasi untuk meningkatkan kesadaran rakyat grass roots mandek. Rakyat hanya disodori perilaku transaksional.
Kondisi ini pula yang membuat sikap pragmatisme rakyat setiap momen pemilu kada semakin membesar.

Pelaksanaan pemilu kada yang bersih dan jujur untuk menciptakan clean government dan good governance baru sebatas angan-angan. Karena itu, jangan bersedih jika teori Lord Acton (1834-1902) bahwa `power tends to corrupt' masih relevan pada kondisi saat ini, meski sudah satu abad teori ini dicetuskan.
Yakni meraih kekuasaan hanya untuk mengumpulkan modal finansial untuk menggantikan utang-utang finansial semasa kampanye.
Potong mata rantai Kita mengharapkan lahirnya parpol yang betul-betul menjual platform dan alternatif kebijakan sesuai dengan ideologi dan landasan yang diusungnya.

Kemudian dengan terbuka menyelenggarakan sosialisasi, mengomunikasikan, dan melakukan agregasi serta artikulasi politik konstituennya.

Inilah jalan yang melempangkan asas untuk merombak pemikiran politik Indonesia yang banyak tercekoki oleh racun perebutan kekuasaan, represivitas, dan eksklusivitas. Wacana desentralisasi parpol lahir atas pemikiran yang bertolak dari kasus implementasi otonomi daerah. Ketika kekuasaan didistribusikan secara besar ke daerah, parpol kurang bisa mengimbangi dengan kebijakan yang sama.

Akibatnya, meski kewenangan ada di daerah untuk pengambilan keputusan, pusatlah yang memegang segalanya. Hal ini mengakibatkan tekanan politik yang kemudian berimbas pada eksklusivitas elite parpol dalam mengurusi masalah kekuasaan.

Daerah tetap diperlakukan sebagai kawula yang harus menuruti kehendak pusat. Di sinilah politik transaksional semakin berkembang. Karena itu, kita harus memotong mata rantai tersebut.

Dalam sebuah seminar di Universitas Gajah Mada (UGM), Joan Richart Angulo dari Uni
versidad Complutense de Madrid Spanyol mengatakan secara ideal parpol merupakan proses pemantapan politik, baik secara struktural dalam rangka memolakan perilaku maupun secara kultural dalam memolakan sikap dan budaya. Proses pelembagaan ini mengandung dua aspek, yaitu aspek internaleksternal dan aspek struktural kultural.

Bila kedua dimensi itu dipersilangkan, akan tampak sebuah tabel empat sel, yaitu; pertama, dimensi kesisteman suatu partai (systemness) sebagai hasil persilangan aspek internal dengan struktural. Kedua, dimensi identitas nilai suatu partai (value infusion) sebagai hasil persilangan aspek internal dengan kultural. Ketiga, dimensi otonomi suatu partai dalam pembuatan keputusan (decisional autonomy) sebagai hasil persilangan aspek eksternalstruktural. Keempat, dimensi pengetahuan atau citra publik (reifi cation) terhadap suatu parpol sebagai per silangan aspek eksternal-kultural.

Dalam dimensi kesisteman, systemness memiliki arti sebagai proses pelaksanaan fungsifungsi parpol, yang dilakukan menurut aturan, persyaratan, prosedur, dan mekanisme yang disepakati dalam parpol. Dalam dimensi identitas nilai, value infusion parpol merupakan nilai yang didasarkan pada ideologi atau platform par tai. Nilai inilah yang menjadi basis ikatan bagi para kader dan simpatisan untuk mendukung partai tersebut karena value infusion adalah representasi dari pola dan arah perjuangan parpol.

Dalam dimensi decisional autonomy, independensi parpol akan ditentukan oleh kemampuan partai untuk membuat keputusan secara otonom. Rendahnya nilai decisional autonomy menunjukkan bahwa pembuatan keputusan di dalam partai merupakan transaksi kepentingan antara elite partai dan kepentingan aktor lain yang berada di luar partai. Adapun dalam dimensi yang terakhir atau citra publik, reification merupakan kedalaman pengetahuan publik atas keberadaan parpol tersebut.
Sayangnya, dalam kasus di Indonesia parpol terlihat belum memiliki kesatuan yang erat di dalam tubuh internal partai.

Sementara dari dimensi va lue infusion, parpol masih belum mampu menginternalisasi nilainilai yang menjadi ciri partai yang dapat membawa manfaat jangka panjang. Sebagian besar partai di Indonesia masih ter fokus untuk mendapatkan po pularitas dan keberhasilan secara instan, sehingga pengabaian pada pe numbuhan ideologi dan platform jangka panjang membuat partai tersebut menjual pragmatisme sebagai produk politik kepada masyarakat.

Dari dimensi decional autonomy, pembuatan keputusan parpol biasanya sarat dengan hasil negosiasi lingkaran elite politik di level pusat dan bukan ditentukan suara dan kepentingan para pendukungnya di tingkat daerah. Kemudian yang terakhir, dari dimensi reifi cation, parpol baru mampu menanamkan citra partainya kepada rakyat melalui serangkaian simbol-simbol kepartaian saja, misalnya warna atau gambar partai, bukan pada visi misi yang dibawa partai tersebut.

Perkembangan otonomi daerah dan desentralisasi politik seharusnya juga dibarengi dengan otonomi daerah sistem parpol. Desentralisasi pada saat ini hanya dimaknai sebagai penyerahan urusan dari pusat ke daerah, sedangkan daerah sendiri tidak memiliki kekuasaan
yang otonom untuk mandiri karena masih begitu dependen terhadap pusat.

Salah satu bentuk dependensi daerah terhadap pusat adalah ketidakmampuan daerah untuk memengaruhi kebijakan politik nasional karena daerah tidak memiliki kekuatan politik yang memadai. Dengan hilangnya kekuatan otonom parpol di tingkat lokal dalam bekerja dengan masyarakat--demi membangun kekuatan bersama--penumbuhan parpol di tingkat lokal di Indonesia tidak ubahnya sebagai rangkai an sistem franchise.

Parpol di tingkat lokal hanya mengadopsi secara serupa segala hal yang distandarisasi parpol di tingkat pusat dan bahkan pemimpin di tingkat lokal itu dengan begitu mudah dapat dipengaruhi dan diperin tah pengurus tingkat pusat. Se cara berjangka, kondisi ini berkontribusi kepada pelemahan institusionalisasi parpol di daerah.

Desentralisasi parpol menjadi sangat penting. Memberikan kewenangan secara otonom kepada pengurus DPD dan DPC untuk menentukan calon kepala daerah yang akan diusung bisa menghambat proses politik transaksional. Yang patut diperhatikan juga meningkatkan otonomi fi skal parpol daerah yang bertujuan agar parpol tingkat lokal memiliki kemandirian fi nansial dalam menggerakkan roda organisasi. Terakhir, meningkatkan kekuatan masyarakat sipil sehingga akan tercipta tuntutantuntutan kepada parpol untuk membuat program dan platform yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2011/04/05/ArticleHtmls/05_04_2011_015_024.shtml?Mode=0

Laskar Dagelan

NALISIS POLITIK

SUKARDI RINAKIT

Minggu lalu, setelah menonton Laskar Dagelan: From Republik Jogja with Love besutan Butet Kartaredjasa, Djaduk Ferianto, dan Agus Noor, saya menjadi lebih memahami kuatnya pendekatan kultural dalam sebuah pergerakan, termasuk untuk kontestasi politik.

Ke dalam, pendekatan itu tidak saja dapat mengukuhkan soliditas bersama, tetapi juga melahirkan jargon politik yang ampuh guna memompa alam bawah sadar dan identitas kesejarahan. Dalam kasus Yogyakarta, terakit kalimat sakral ”Yogya tetap istimewa, istimewa orangnya, istimewa negerinya”. Energi ini sulit dikempiskan oleh langkah politik konvensional, apalagi hanya oleh manuver politik prosedural.

Ke luar, lawan politik bisa dibuat malu tak bertepi karena kebijakan politiknya hanya dilawan oleh satu regu pasukan bersenjata simbol kultural yang kaya lelucon dan pelesetan. Tidak perlu bambu runcing, brent, granat, atau meriam. Laskar Dagelan ngluruk tanpa bala (menyerang tanpa pasukan). Serangannya terasa menggetarkan. Pendeknya, pemerintah harus ingat, pengaruh perang kultural semacam itu tidak mudah dibunuh oleh waktu, apalagi oleh bedil. Sebab itu, jangan memaksakan kehendak hanya untuk memonolitkan demokrasi.

Mulai mengendur

Kekayaan simbolik yang dihadirkan dalam lakon Laskar Dagelan tanpa terasa juga memperhalus sensitivitas penulis dalam menangkap sinyal politik yang berkembang dewasa ini. Karena itu, saat seorang teman bertanya tentang situasi Republik sekarang, dengan spontan penulis menjawab, ”Secara hipotesis, dukungan dunia internasional pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mulai mengendur.” Teman itu kaget mendengar jawaban tersebut. Padahal, jika diamati secara saksama, hipotesis semacam itu layak diuji di lapangan sekarang ini.

Hal itu terkait dengan beberapa fenomena aneh belakangan ini. Sejak terjadinya kekerasan horizontal atas nama agama di Temanggung (Jawa Tengah) dan Cikeusik (Banten), Indonesia dihantam oleh beberapa kejadian yang datang bergelombang. Sebut saja bocoran Wikileaks yang dimuat The Age dan The Sydney Morning Herald tentang dugaan penyalahgunaan wewenang oleh Presiden, protes 27 anggota Kongres Amerika Serikat sehubungan dengan kekerasan terhadap warga Ahmadiyah, teror bom buku, dan isu kudeta oleh jenderal purnawirawan seperti dilansir Al-Jazeera.

Rangkaian kejadian itu hampir mustahil berdiri sendiri dan tanpa ada nilai di belakangnya. Ia bisa ditafsirkan sebagai peringatan bagi Presiden SBY bahwa masyarakat internasional akan menarik dukungannya apabila Presiden tidak segera melakukan langkah yang perlu untuk menegakkan hak asasi manusia, utamanya melindungi warganya dari aksi kekerasan atas nama agama.

Selain itu, tebaran bom buku dan isu kudeta, entah siapa yang melakukan, terkesan dimaksudkan untuk merapuhkan kepercayaan publik pada otoritas keamanan. Masalah itu harus segera dibuat terang. Jika tidak, ketidakpercayaan masyarakat kepada penguasa akan semakin akut dan kerusuhan sosial bisa meledak kapan saja.

Serangkaian fenomena aneh itu tentu saja memperburuk keadaan yang memang sudah miskin optimisme. Harga pangan yang masih relatif mahal, distribusi bahan bakar minyak yang tersendat, dan infrastruktur yang buruk adalah beberapa prakondisi yang memelihara sekam konflik sosial tetap menyala.

Sementara dalam tiga bulan terakhir Presiden dililit oleh manuver politik dari partai koalisi yang terhimpun dalam Sekretariat Gabungan. Ada yang berinisiatif mengumpulkan koin untuk Presiden, mengibarkan bendera perombakan kabinet, dan mengusung hak angket pajak. Dalam situasi seperti itu, sulit untuk mengidentifikasi apa yang dilakukan pemerintah selama tiga bulan terakhir. Yang tampak di permukaan hanya kegaduhan politik dari hari ke hari.

Gambaran tentang politik Indonesia menjadi makin tidak menggairahkan apabila perilaku parlemen ikut diperhitungkan. Dalam kondisi sulit, mereka bukannya menahan diri demi menjaga perasaan rakyat, tetapi malah bersikeras akan membangun gedung baru senilai Rp 1,16 triliun lebih. Fakta ini menjadi tanda bahwa karakter kebanyakan politisi kita, meminjam istilah Mancur Olson (2000), tak lebih dari bandit pengembara (roving bandits). Mereka tidak tunduk kepada ”bos” dan tidak ada yang mereka takuti dalam menguras kekayaan rakyat.

Katup pengaman

Indonesia adalah Indonesia. Meskipun eksekutif, legislatif, dan tentu saja yudikatif secara umum terjebak pada kepentingan sempit pribadi dan golongan, tetap ada kelompok masyarakat yang setia memanggul prinsip bahwa ”berpolitik adalah bernegara dan bernegara adalah berkonstitusi”.

Dalam konteks sekarang ini, peran itu dimainkan oleh tokoh lintas agama, aktivis dan mahasiswa, serta seniman. Terlepas dari kritik dan perilaku mereka yang sering memerahkan telinga para elite, eksistensi kelompok masyarakat ini telah menjadi katup pengaman yang menguntungkan penguasa. Mereka menjadi saluran dari rasa ketidakpuasan dan frustrasi rakyat. Namun, jangan coba-coba meremehkan pengaruh mereka. Apabila mereka sudah berdiri bersama-sama di depan rakyat, ibarat air bah, tembok kekuasaan pun akan dapat dirobohkan.

Sama seperti Laskar Dagelan, masyarakat sipil tersebut juga menerapkan strategi luhur ngluruk tanpa bala dalam melawan kekuasaan.

SUKARDI RINAKIT Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate

http://cetak.kompas.com/read/2011/04/05/0319462/laskar.dagelan

Elite (Gedung) Miring

Yuna Farhan

Entah apa yang ada di pikiran Ketua DPR Marzuki Alie ketika melontarkan pernyataan kontroversialnya: ”Rakyat biasa jangan diajak membahas pembangunan gedung baru, hanya orang-orang elite, orang-orang pintar yang bisa diajak membicarakan masalah itu” (Kompas, 1/4/2011).

Sebagai elite, seharusnya Marzuki paham, anggaran yang digunakan untuk membangun gedung DPR berasal dari pajak rakyat. Ibaratnya, sejak dalam kandungan hingga ke liang lahat, rakyat telah membayar pajak untuk negara ini.

Pajak merupakan bentuk hubungan antara warga dan negara. Warga miskin sekalipun memiliki andil pada perekonomian negara. Tidak pada tempatnya Ketua DPR yang memperoleh tunjangan pajak penghasilan yang ditanggung negara merasa lebih berhak membahas gedung DPR dibandingkan rakyat jelata.

Dalam kaitan dengan pembangunan gedung DPR, tampaknya DPR lupa prinsip-prinsip keuangan negara dan fungsi anggaran seperti diatur pada Pasal 3 UU Nomor 17 Tahun 2003, di antaranya prinsip efisien, ekonomis, serta memerhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

Terkait prinsip efisien, tak ada seorang pun yang bisa menjamin bahwa setelah pindah ke gedung baru, DPR akan meningkat kinerjanya. Terkait prinsip ekonomis, Presiden SBY dalam pidato penyampaian Nota Keuangan APBN 2011 mengungkapkan pentingnya mempercepat pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan belanja modal. Namun, belanja modal ini tak akan ada artinya jika dipakai untuk membangun gedung DPR.

Akan lebih bermanfaat bagi perekonomian jika anggaran Rp 1,1 triliun untuk membangun gedung DPR yang akan dihuni 560 elite ini dipakai untuk membangun jalan sepanjang 1.100 kilometer yang menghubungkan jalur distribusi pangan, misalnya.

Anggaran juga memiliki fungsi distribusi, yang artinya kebijakan anggaran negara harus memerhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Bagaimana bicara rasa keadilan dan kepatutan jika program-program penanggulangan kemiskinan, seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS), harus dibiayai dengan utang, sementara pajak dari rakyat yang seharusnya menjadi instrumen pemerataan pendapatan justru untuk membangun gedung DPR yang hanya dinikmati segelintir elite Senayan? Dengan garis kemiskinan setara pendapatan Rp 221.000 per bulan, anggaran gedung baru DPR yang akan dibangun ini setara dengan pendapatan 5,5 juta orang miskin.

Sedari awal, alasan pembangunan gedung baru DPR juga sudah sarat kebohongan. Mulai dari alasan karena gedung miring hingga kelebihan kapasitas. DPR juga mengatakan, pembangunan gedung baru merupakan rekomendasi tim kinerja dan telah disetujui DPR periode sebelumnya. Dalam kenyataannya, ternyata tidak ada dalam rekomendasi tim kinerja (Kompas, 1/4/2010).

Dari sisi harga, angkanya juga terus berubah. Usulan awal, biaya Rp 1,8 triliun, dan dengan adanya kritik publik, angkanya diturunkan menjadi Rp 1,6 triliun, Rp 1,3 triliun, dan terakhir Rp 1,1 triliun. Oleh karena itu, tak heran jika kemudian muncul kecurigaan bahwa usulan anggaran tersebut jauh di atas biaya sesungguhnya. Dari sini muncul sinyalemen adanya elite yang mencari rente dari proyek mercu suar ini. Berangkat dari pengalaman pengadaan Rumah Jabatan Anggota DPR Kalibata yang juga bersifat tahun jamak, bukan tak mungkin anggaran proyek gedung DPR berpotensi membengkak jauh di atas dari yang telah direncanakan.

Penolakan fraksi

Dalam perjalanannya kemudian muncul penolakan dari beberapa fraksi dan gerakan moral penggalangan tanda tangan lintas fraksi untuk menolak gedung baru itu. Keanggotaan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) merupakan perwakilan fraksi-fraksi. UU No 27/ 2009 menyatakan kewajiban BURT menyampaikan hasil keputusan dan kebijakan BURT ke setiap anggota DPR dan menyampaikan laporan kinerja dalam Rapat Paripurna DPR.

Jika ini tidak dilakukan, fraksi-fraksi yang saat ini menolak dituntut konsistensinya untuk menarik perwakilan anggota fraksinya di BURT dan melaporkannya ke Badan Kehormatan karena tidak menjalankan tugas. Persoalannya, dari pengalaman yang sudah-sudah, sikap penolakan atau penundaan sering kali dilakukan hanya untuk mencari popularitas politik, atau sekadar mencari selamat di tengah kritik publik. Setelah kritik publik mereda atau tenggelam oleh isu lain, usulan kembali diajukan secara diam-diam, seperti dalam kasus dana aspirasi, dengan dibentuknya Dana Penguatan Infrastruktur Daerah (DPID).

Kalau memang penolakan ini serius, DPR harus segera menghapuskan anggaran gedung baru pada APBN Perubahan. Perbaikan lebih strategis ke depan juga perlu dilakukan dengan memperbaiki mekanisme perencanaan anggaran di tubuh BURT. DPR yang mulai mengalami krisis legitimasi dapat merebut kembali hati rakyat jika berani membuka rencana anggaran yang disusun BURT, termasuk rencana studi banding untuk diuji dan diberikan penilaian oleh publik.

Presiden SBY telah mengeluarkan Inpres Nomor 7 Tahun 2011 tentang penghematan belanja kementerian/lembaga tahun 2011. Berpegang pada inpres ini, bukankah semestinya para kader Partai Demokrat (partai dari mana Presiden SBY berasal) yang memimpin DPR dan memiliki fungsi anggaran menjadi lokomotif dalam penghematan anggaran sesuai amanat konstitusi? Jika praktik aji mumpung dan penghamburan uang negara sekarang ini tidak dihentikan dan semakin menjadi-jadi, DPR akhirnya akan kehilangan posisi tawar dan kemandulan dalam menjalankan fungsi anggaran dalam merespons proposal anggaran pemerintah.

Yuna Farhan Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra)


http://cetak.kompas.com/read/2011/04/05/05444082/elite.gedung.miring

Kalau Ada Putra Sang Fajar, Siapakah Putra Sang Senja?

SISI LAIN ISTANA


Jumat (1/4) di Universitas Bung Karno, Menteng, Jakarta, berlangsung acara pembukaan latihan pergelaran drama panggung kolosal ”Putera Sang Fajar” untuk mengenang presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno atau Bung Karno. Ia lahir pada 6 Juni 1901 dan wafat 21 Juni 1970.

Drama ini akan digelar di Jakarta, Juni mendatang. Widyawati, bintang film senior, yang akan berperan sebagai Ny Fatmawati, istri Bung Karno, hadir pada acara pembukaan latihan itu. Dengan pakaian serba putih dan penampilan anggun, istri almarhum Sophan Sophiaan yang duduk di dekat putri ketiga Bung Karno, Rachmawati Soekarnoputri, mengatakan, ”Saya kenal Ibu Fatmawati. Beliau ramah dan baik hati.”

Pemimpin berkarakter

Mantan Menteri Koordinator Perekonomian Kabinet Abdurrahman Wahid (2000-2001) Rizal Ramli dalam sambutan pada acara itu, antara lain, mengatakan, Bung Karno besar karena punya gagasan dan pemikiran besar.

”Bung Karno juga terkenal di dunia. Kalau kita ke Afrika atau Amerika Latin dan memperkenalkan diri sebagai orang Indonesia, orang-orang di kedua benua itu sering berkata tentang Bung Karno,” ujar Rizal Ramli.

”Kalau kita naik taksi di New York, tidak jarang sopir taksi di sana akan bicara nama Bung Karno kalau mereka tahu kita dari Indonesia,” kata Rizal Ramli.

Menurut Rizal Ramli, Bung Karno adalah pemimpin yang mengajarkan tentang pembangunan karakter bangsa ini. Menurut Rizal, pemimpin bangsa dan seniman harus punya karakter.

Rizal Ramli memberi contoh tentang pelukis asal Belanda, Van Gogh (1853-1890), yang tidak dikenal pada masa hidupnya. Ia tidak dikenal karena karakternya yang tidak ikut-ikutan mode yang sedang populer pada masanya. ”Setelah meninggal, lukisannya termasuk yang paling bernilai di dunia,” ujar Rizal.

Rizal juga berbicara soal teater. ”Teater juga bagus untuk melatih mahasiswa bekerja secara tim dan belajar mengekspresikan diri,” ujar Rizal.

”Sejumlah universitas terkenal di Amerika banyak yang mengajarkan tentang teater,” ujar Rizal Ramli yang mendapatkan doktor ilmu ekonomi dari Boston University, Amerika Serikat, 1990.

Menurut Rizal, seni teater atau seni lain bukan hanya persoalan teknik, melainkan juga penjiwaan atau bisa menangkap rohnya. ”Seperti yang dikatakan Rachmawati Soekarnoputri, pentas ’Putera Sang Fajar’ ini harus bisa mengekspresikan roh dari Bung Karno,” ujar Rizal.

”Geng Ngopi”

Sejak Sabtu (2/4) hingga Senin, ”Putera Sang Fajar” dilontarkan dalam percakapan di tiga kelompok Blackberry Messenger (BBM), yakni ”Eks Istana” (sebagian besar anggotanya wartawan istana pada masa Presiden Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri), ”Geng Ngopi” (para wartawan istana masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, anggota DPR, dan seniman), serta ”Istana” (kelompok wartawan istana pada masa SBY).

Novi Lumanauw dari ”Geng Ngopi” dan ”Istana” mengatakan, yang disebut Putera Sang Fajar itu Bung Karno. ”Karena Bung Karno dilahirkan saat fajar menyingsing,” ujar Novi.

Nana Marha dari ”Geng Ngopi” yang juga anggota panitia humas Sea Games XXVI/2011 yang sedang pusing soal dana yang tidak kunjung turun pun bertanya, ”Lalu, Putera Sang Senja siapa, ya?”

(J Osdar)

http://cetak.kompas.com/read/2011/04/05/03221662/kalau.ada.putra.sang.fajar.siapakah..putra.sang.senja

Timteng dan War for Oil

Sebagai lembaga kajian, International Conference of Islamic Scholars (ICIS) selama ini telah melakukan studi kasus per kasus dalam konflik dan pergolakan yang terjadi di berbagai kawasan, termasuk di Timur Tengah (Timteng).


Kajian rutin tentang masalah Timteng ini sudah menjadi program ICIS beberapa tahun terakhir. Belakangan ini, sejumlah negara di Timteng sedang bergolak. Mulai dari Mesir, Libya, Yaman,Tunisia hingga sejumlah negara lain.Terkait dengan itu, ada beberapa aspek yang harus diperhatikan.Bahwa negara- negara yang bergolak saat ini umumnya beragama Islam atau mayoritas penduduknya muslim, tetapi banyak aturan Islami yang tidak dijalankan dengan baik. Islam memang ada di dalamnya, tetapi belum merupakan aksi kenegaraan untuk menciptakan keadilan. Di negara-negara tersebut, selama ini kurang ada dialog antara penguasa dengan rakyat.

Di sisi lain, juga terjadi penumpukan kekuasaan dan kekayaan dalam satu tangan. Tentu itu semua tidak sesuai dengan ajaran Islam. Selain faktor penumpukan kekayaan, faktor lain adalah keterputusan hubungan antara rakyat dan kekuasaan serta faktor hubungan kedekatan Pemerintah Mesir dengan Israel.Kedekatan Pemerintah Mesir dengan Israel ini memang sangat menguntungkan Mesir sebagai negara, tetapi menyakitkan rakyat Mesir. Soal fenomena Muammar Khadafi agak berbeda. Sejak awal ia memang punya sifat sangat keras. Sikap keras selama 40 tahun lebih dalam memimpin itulah yang kini menimbulkan perang saudara. Konflik Libya tidak akan pecah jika Khadafi mau mengerti keinginan rakyatnya.

Kepentingan minyak

Serangan Amerika Serikat (AS) dan sekutunya akan semakin menciptakan suasana yang jauh dari kedamaian. Sebab, dalam serangan yang mendompleng misi kemanusiaan itu ada kepentingan penguasaan minyak (war for oil). Meskipun mengatasnamakan penyelamatan terhadap wargasipil,ternyatakorbanjiwa yang ditimbulkan lebih banyak dari konflik awal.Padahal,mandatyangdikeluarkanPBBadalah untuk melindungi warga sipil. Memang akhirnya tercipta gencatan senjata sebagai langkah awal untuk menciptakan perdamaian.Namun, gencatan senjata saja tentu tidak cukup untuk menyelesaikan masalah.

Harus diperjelas, setelah gencatan senjata, apa yang akan dilakukan? Jika setelah gencatan tidak ada langkah konkret,Libya bisa jatuh ke tangan AS dan sekutunya. Jika itu yang terjadi,ujungujungnya yang akan dirugikan adalah rakyat Libya sendiri. Dunia harus belajar dari perang Irak pada 2003.Saat itu,AS dan sekutunya berhasil menaklukkan Saddam Hussein.Namun, setelah Irak jatuh ke tangan AS dan sekutunya, rakyat Irak justru semakin larut dalam konflik antarkelompok. Saat ini ada upaya pemecahan antara Libya Barat dan Libya Timur oleh pihak asing. Wilayah barat Libya dikenal sangat kaya minyak. Hal itu mengingatkan pada konflik di Darfur, Sudan Selatan.

Negara kaya minyak ini juga dibelah menjadi dua, yaitu Sudan Utara dan Sudan Selatan. Sama seperti di Libya, di Sudan juga ada intervensi asing. Kini, ada kabar perkembangan menarik. Barack Obama menyatakan,AS tidak ingin terlibat terlalu jauh dalam invasi ke Libya.Pernyataan Obama ini memperkuat prediksi bahwa operasi koalisi Barat di Libya adalah persoalan minyak (war for oil). AS tampaknya tidak punya perusahaan minyak di Libya, yang punya perusahaan minyak di Libya adalah negara-negara Eropa seperti Inggris, Prancis, Spanyol sehingga mereka yang sangat berkepentingan diLibya.

Negara-negara Eropa ini kerap menemui kesulitan menghadapi Khadafi yang berperangai eksentrik sehingga mereka perlu “menumpang kepentingan” atas nama kemanusiaan dalam pemberontakan. Bisajadi,pemerintahanObama tidak bisa terus-menerus ikut operasi di Libya kecuali sebatas kepentingan “solidaritas Barat”. Namun, Obama yang selalu mengobarkan soft policy terhadap dunia Islam bisa merugi secara politis,termasuk namanya sebagai pemenang Nobel dunia akan tercemar.

Di sisi lain,apa yang dilakukan negara-negara Eropa di Libya sebenarnya bersifat spekulatif. Jika Khadafi menang, Eropa akan rugi besar. Karena itu,mereka berusaha membagi Libya menjadi dua, barat dan timur, karena barat penghasil minyak serta banyak investasi Eropa di situ.Adapun wilayah timur merupakan wilayah yang sangat kondusif sebagai basis oposisi.

Keuntungan Dunia Arab

Lalu,kenapa sejumlah negara Timteng bergabung ke Eropa? Negara-negara Arab penghasil minyak sangat diuntungkanolehkrisisLibya karenaharga minyak bisa naik dari USD80 ke USD110 per barel. Hitung saja, jika Arab Saudi mampu menghasilkan minyak terbesar di dunia, yaitu mencapai 9 juta barel sehari, berarti Saudi bisa mendapat kenaikan pendapatan USD270 juta dolar per hari. Bagaimana kalau dihitung selama satu bulan? Selanjutnya, Qatar yang menghasilkan 2 juta barel sehari, Bahrain dan Kuwait yang bisa mencapai 2 sampai 3 juta barel sehari, tentu juga dapat menikmati keuntungan yang sangat besar.

Namun, negara pengimpor minyak yang “miskin” seperti Indonesia, Bangladesh, dan Pakistan tidak dapat menikmati keuntungan tersebut. Justru mereka terkapar karena sebagai negara miskin sama halnya dengan hanya “setor” ke eksportir minyak besar. Indonesia sendiri secara politis seharusnya tegas mendorong negara-negara Timteng agar melakukan demokrasi ekonomi dan politik agar tidak ada kekuasaan seumur hidup. Namun, di lain pihak, Indonesia juga harus tegas menentang agresi asing yang menumpang di setiap pemberontakan.

Apalagi kalau pemberontakan tersebut didesain oleh asing. Ini sangat berbahaya karena Indonesia pun dapat diperlakukan seperti Libya.Mereka bisa menyulut pemberontakan di dalam negeri,kemudian melakukan intervensi atau invasi berdasarkan “kemanusiaan”. Sayangnya,di Indonesia,orang bisa bicara dan meminta apa saja, kecuali “meminta ketegasan”. ●

KH HASYIM MUZADI
Sekjen International Conference of Islamic Scholars (ICIS)

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/391087/

Kemakmuran yang Timpang

Kita bisa merasa senang bahwa berbagai guncangan ekonomi yang datang setelah krisis ekonomi Asia 1997/1998 yang lalu tidak membawa ekonomi Indonesia masuk ke dalam krisis ekonomi lagi.


Meskipun guncangan ekonomi yang serius sempat terjadi pada 2005, dengan inflasi mencapai 17% dan rupiah menyentuh Rp13.000, secara umum dapat kita katakan ekonomi Indonesia pasca-reformasi ekonomi 1997/1998 telah berkembang menjadi lebih kuat dan memiliki stabilitas ekonomi makro yang membaik. Pulihnya ekonomi mulai 2004 telah mampu menjadi dasar pada pembangunan ekonomi Indonesia.Dengan demikian stabilitas ekonomi terjaga dengan baik dan pertumbuhan ekonomi juga pelan-pelan meningkat, sudah di atas 6% tahun lalu (di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi Orde Baru yang di atas 7%).

Meski demikian Biro Pusat Statistik melaporkan bahwa produk domestik bruto (PDB) per kapita Indonesia pada 2010 adalah Rp 27 juta (setara dengan USD3.000). Tentunya capaian ini pantas kita syukuri. Namun apakah kita memang pantas berpuas diri? Memang kita dapat merasa lega bahwa pendapatan per kapita sudah tembus USD3.000. Namun membaiknya perekonomian ataupun membaiknya pendapatan per kapita jika tidak diikuti dengan pemerataan yang membaik ataupun masih banyak saudara sebangsa yang hidupnya menderita, apa gunanya?

Belum Membaik

Pemerataan pendapatan suatu negara biasanya dihitung dengan gini ratio (GR); jika angkanya mendekati nol berarti pemerataan membaik, tetapi jika mendekati 1 pemerataan memburuk.Pemerataan pendapatan Indonesia dalam 9 tahun terakhir ini tidak mengalami perbaikkan. Dalam rentang itu,GR Indonesia menurut data Bappenas pada 2002 sebesar 0,33, pada 2010 masih tetap 0,33. Meskipun dalam periode tersebut angkanya sempat naik turun,yaitu pada 2003 dan 2004 turun menjadi 0,32 dan pada 2009 sempat tinggi hingga mencapai angka 0,37,secara umum pemerataan Indonesia dalam hampir satu dekade ini tidak membaik. Dibandingkan dengan negara lain pun potret kesejahteraan Indonesia ternyata juga belum baik.

Data dari IMF menunjukkan bahwa Indonesia masih berada pada kelompok menengah bawah dari 182 negara pada 2010, yaitu pada peringkat ke-109 dengan pendapatan per kapita USD2.963. Posisi Indonesia masih di atas Filipina dengan PDB per kapita USD2.011 ataupun Vietnam dengan PDB per kapita USD1.155. Namun masih kalah jauh dari Malaysia yang berada pada posisi ke-65 dengan PDB per kapita lebih dari dua kali lipat kita,apalagi dengan Singapura. Bahkan posisi Thailand masih jauh lebih baik dengan pendapatan per kapita lebih dari 150% kita.Dari potret tersebut dapat kita lihat bahwa kita mungkin bisa juga “senang”karena PDB per kapita kita naik, tetapi dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain di dunia kita masih berada pada posisi menengah bawah,ketinggalan, bahkan dengan Malaysia dan Thailand.

Apalagi naiknya pendapatan masyarakat tidak berarti ketimpangan akan turun. Data dari berbagai negara juga menunjukkan hal itu.Data UNDP 2007/2008 menunjukkan data GR Indonesia adalah 0,34. Angka tersebut berada pada posisi sekitar di tengah-tengah, tidak baik ataupun buruk. Namun memang juga tidak ada bukti bahwa negara yang makin maju dan kaya, pemerataan pendapatannya membaik ataupun negara miskin pemerataannya memburuk.

Negara-negara Eropa Timur yang eks negara sosialis pada umumnya memiliki pemerataan yang baik, berada pada kisaran di bawah 0,30, meskipun merupakan negara sedang berkembang. Beberapa negara maju juga relatif tinggi GR-nya seperti Amerika Serikat 0,40,Singapura 0,42, dan Hong Kong 0,43. Mereka contoh negara kaya yang pemerataannya kurang baik.Namun ada juga contoh negara sedang berkembang yang ketimpangannya tinggi dan negara maju yang ketimpangannya rendah. Tidak ada pola yang pasti.Negara maju seperti Jepang memiliki GR 0,24 (salah satu yang paling rendah di dunia) dan Jerman 0,28 sehingga termasuk negara kaya dan maju yang dapat membagi kue ekonominya dengan baik. Sementara Malaysia yang GRnya 0,49, ketimpangan pendapatannya cukup tinggi.

Kesejahteraan Masyarakat

Selain pendapatan per kapita ataupun GR merupakan salah satu indikator yang dapat menggambarkan kesejahteraan masyarakat, human development indexatauindekspembangunan manusia (IPM) biasanya juga digunakan untuk melihat tingkat kualitas hidup masyarakat, bahkan dapat dikatakan sebagai ukuran kesejahteraan lebih komprehensif. Indikator IPM menggambarkan lebih komprehensif kesejahteraan masyarakat. Namun posisi Indonesia masih memprihatinkan,berada pada posisi ke-108 (dari 169 negara) pada 2010, cukup rendah. Bahkan Filipina, Suriname, Sri Lanka, dan Guyana pun lebih baik dari kita.

Jelas angka tersebut tidak menggembirakan.Apalagi kondisi kualitas manusia Indonesia pada 1999, saat krisis ekonomi menghantam kita paling dalam, IPM Indonesia berada pada posisi ke-105. Itu berarti belum ada kemajuan yang signifikan, bahkan terjadi kemunduran. Tampaknya masih banyak yang perlu dilakukan oleh Indonesia agar masyarakatnya menikmati kehidupan adil dan sejahtera, tidak terlalu kalah dari bangsa tetangga kita.Sepanjang masyarakat itu sejahtera, meskipunadaketimpangan, sebenarnya bukan masalah besar asalkan masyarakat yang termiskin pun dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak.

Lihat saja ketimpangan pendapatan di Malaysia dan Singapura cukup tinggi, tetapi kita tidak mendengar isu besar mengenai masalah ketimpangan pendapatan seperti di Indonesia. Rakyat Malaysia dan Singapura memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih baik dari kita, demikian juga lapangan kerja secara umum cukup tersedia (bahkan mengambil tenaga kerja dari Indonesia) sehingga ketimpangan bukan isu utama di sana.

Namun, untuk Indonesia, isu ketimpangan menjadi isu besar karena meskipun pendapatan per kapita ataupun ekonomi tumbuh lumayan,masyarakat sulit mendapatkan pekerjaan dan kehidupan orang miskinnya benar-benar menderita. Oleh karena itu, Indonesia perlu balik, fokus lagi dalam membangun ekonominya setelah lebih dari satu dekade heboh dengan politik. Agar masyarakat paling miskin pun dapat tersenyum di bumi kita yang tercinta ini.Semoga.●

DR SRI ADININGSIH
Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/391092/

Indonesia Diserang Opini Negatif

JAKARTA– Bangsa Indonesia diminta mewaspadai munculnya informasi negatif dari luar negeri. Beberapa berita miring dilansir sejumlah media internasional bukanlah informasi biasa, melainkan sebuah ancaman serius.


Peringatan ini disampaikan sejumlah pengamat dan politisi. Pengamat pertahanan Wawan Purwanto misalnya menilai berita tentang pariwisata Bali maupun informasi WikiLeaks sebagai informasi tendensius dan politis dengan target untuk menimbulkan instabilitas politikdiIndonesia.” Berita-berita itu jelas politis sekali,”katanya.

Pengamat militer dari Universitas Indonesia Andi Widjajanto juga menilai, informasi negatif yang disebarkan media internasional sebagai bagian dariperang.Diamenyebut,sejak berakhirnya perang dingin model perang konvensional atau peperangan dengan menggunakan cara-cara militer sudah bergeser ke peperangan model baru.Model peperangan seperti ini biasa disebut sebagai perang asimetris (asymmetric warfare). ”Efek perang model baru seperti ini sangat luar biasa. Kerugiannya tidak sebatas fisik, tapi juga merusak sendisendi kehidupan bangsa yang lain,”kata Andi saat dihubungi SINDOtadi malam.

Menurut dia, perang asimetris merupakan suatu model peperangan yang dikembangkan dari cara berpikir yang tidak lazim dan di luar aturan peperangan yang berlaku dengan spektrum perang yang sangat luas. Sekarang ini lini pertempuran sudah bergeser ke lini informasi.Bombardir informasi akan membentuk citra yang tertanam di kawasan lawan dan akan melemahkan posisi lawan. ‘’Teknologi informasi dan komunikasi semakin meningkat dan menduduki peranan utama dalam kehidupan sehari- hari.Karena itu,teknologi informasi telah menjadi sesuatu yang bernilai sekaligus dapat menjadi senjata perusak,’’ ungkapnya.

Berdasarkan data yang dia himpun,Indonesia sebenarnya sudah lama dijadikan sasaran perang asimetris. Sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Indonesia terus melakukan perang asimetris terhadap pendudukan Belanda hingga 1950,Gerakan Aceh Merdeka (GAM),krisis Timor-Timur, Gerakan Pengacau Keamanan di Papua, dan lainnya. Dia menyebut,kehancuran Uni Soviet pascaperang dingin yang memuncak pada 1980-an terjadi tidak secara alamiah. NegeriBeruangMerahitukalah karena Amerika Serikat (AS) melancarkan perang asimetris. Andi Widjajanto menjelaskan, AS dan negara-negara Barat pandai memainkan strateginya dalam perang informasi yang lebih bersifat psychological warfare.

”Secara ideologi, kemunculan glasnost dan perestroika sudah berhasil menyerang ideologis komunis yang telah lama menjadi perekat kesatuan Soviet,’’ katanya. Anggota Komisi I DPR Yahya Sacawiria mengakui ancaman terhadap keamanan dan kepentingan nasional saat ini tidak berasal dari ancaman tradisional berupa kekuatan militer,namun didominasi oleh ancaman nirmiliter yang sifatnya asimetris. Ancaman asimetris ini dapat berasal dari teknologi dan informasi. ”Ancaman ini aktornya bisa dari negara atau non-negara. Dan memang implikasi dari keterbukaan dalam informasi global,” ujarnya. Indonesia dengan sumber daya yang melimpah,menurutnya, tidak bisa terhindar dari ancaman tersebut. ”Dengan sumber daya yang kita punya, pasti ancaman selalu ada,” katanya. Dia menyebutkan, salah satu contohnya artikelartikel tentang Indonesia yang dimuat oleh situs WikiLeaks.

Menurutnya, informasi sepihak yang dikeluarkan tersebut bertujuan melemahkan kondisi Indonesia. Begitupun dengan munculnya berita negatif terkait Pulau Bali di media internasional. Anggota Fraksi Partai Demokrat ini menilai, pemberitaan tersebut lebih menjurus pada ancaman untuk kepentingan ekonomi.”Ini pasti karena persaingan mengingat di manamana negara lain berebut menjadi tujuan wisata utama dunia,” katanya. Terkait ancaman asimetris berupa teknologi dan informasi, Yahya menyebutkan, rambu berupa regulasi untuk mengatasinya memang diperlukan.

Karena itu, Undang- Undang tentang Keamanan Nasional yang sejumlah substansinya berkaitan dengan penanganan ancaman asimetris akan segera dibahas di DPR. Namun, lanjut Yahya, seluruh komponen masyarakat dalam negeri juga seharusnya turut berpartisipasi dalam melakukan penangkalan atas informasi- informasi tersebut. ”Kita juga harus introspeksi. Jika memang Bali ternyata kotor, jangan tinggal diam. Jangan sampai ada celah muncul informasi-informasi negatif,” katanya. Situs TIME yang terbit 1 April kemarin menurunkan artikel editorial berjudul ”Holidays in Hell : Bali’s Ongoing Woes”. Artikel yang ditulis Andrew Marshall menyebut, berlibur di Bali bagai berlibur di ‘neraka’.

Sebagai daerah tujuan wisata, Bali disebut penuh sampah serta informasi miring lainnya. Sebelumnya,The Wall Street Journal edisi 30 Maret 2011 merilis tulisan opini Kelley Currie yang mendiskreditkan Pemerintah Indonesia.Mantan Asisten Khusus Wakil Menlu AS untuk Demokrasi dan Urusan Global dan Koordinator Khusus untuk Isu Tibet di Departemen Luar Negeri AS itu menyoroti sejumlah kegagalan SBY dalam mengelola sistem politik, hukum, dan HAM di Tanah Air. Masih di bulan yang sama, tepatnya 11 Maret, dua media Australia, The Age dan Sydney Morning Herald, memberitakan informasi yang menyudutkan pemerintah. Berita di kedua harian ini bersumber pada WikiLeaks.

Terkait informasi The Age dan Sudney Morning Herald, Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi pernah menyatakan bahwa semua pemberitaan di dua koran tersebut sama sekali tidak benar dan penuh kebohongan. ”Itu semua tidak benar.Tidak mengandung kebenaran. Ini semua mengandung serangan asing kepada kita. Hati-hati kita,”tutur Sudi saat itu.

Bali Segera Bersih

Gubernur Bali Made Mangku Pastika mengaku tidak mau berprasangka ada pihak ketiga yang sengaja mendiskreditkan pariwisata Bali di mata internasional. ”Tidakperluberprasangka buruk seperti itu. TIME itu media yang sangat kredibel dan dibaca warga di dunia,”ujarnya. Sebaliknya, Pastika mengaku telah gagal mencitrakan Bali di mata internasional karena pemberitaan TIME yang menurunkan berita berlibur di Bali bagaikan di neraka lantaran membeludaknya sampah dan parahnya kemacetan. ”Apa yang mau kita sikapi kalau faktanya memang begitu.

Bali ini memang kotor dengan sampah yang membeludak dan kemacetan yang parah,”katanya. Sementara itu, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik optimistis Bali akan bersih dari sampah dalam waktu singkat karena sudah ada sistem yang bekerja dengan baik. ”Itu sekarang dibersihkan, besok juga sudah bersih kok,” kata Jero Wacik ketika ditemui di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu, terkait pemberitaan TIMEtentang sampah di Bali. pasti liberti/nurul huda/maesaroh/ant

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/391588/

Ketika Api Melanda Powerhouse

Wajah-wajah letih masih tergambar di raut insan Pertamina, tak lama setelah berhasil memadamkan api di Tangki No 31 T 7 Cilacap. Selasa (5/4) pagi itu mereka sudah bergegas pulang.


Konferensi pers sudah diberikan. Namun, itu tak berlangsung lama. Angin dan hujan membuyarkan tumpukan foam yang mengubur api. Seperti mendapatkan oksigen, perlahan api naik kembali,dan semua orang tampak panik. Bukanlah powerhouse kalau sumber daya manusia (SDM)- nya mudah menyerah. Meski CEO-nya bukan ”orang dalam”, insan Pertamina dapat diibaratkan sebagai Mahasiswa UI, IPB, ITB, atau UGM, yang dipilih secara khusus. Motonya, seperti yang terbaca di Kampus IPB: ”Mencari dan Memberikan yang Terbaik!” Kalau tentara, mereka adalah pasukan komando. Otak saja tak cukup membuat mereka diterima di Pertamina. Hal ini pernah saya ulas dalam buku saya yang berjudul Powerhouse.

Powerhouse adalah lokomotif ekonomi suatu bangsa. DNA-nya bertulang besar,menjadi icon,dan ber-DNA Alpha. Dalam mitologi Yunani, alpha adalah ”The first of everything”. Ia menempati urutan pertama dalam abjad. Tak heran kalau setiap bangsa berlomba-lomba membangun setidaknya satu powerhouse. Korea Selatan di bawah Jenderal Park Chung-hee pernah membidani delapan lokomotif yang disebut chaebol (konglomerat). Berkat chaebol itulah ekonomi Korea bergerak ke segala arah,mulai dari banking sampai automotif.Namun, begitu terkena virus, powerhouse menjadi beban negara. Malaysia juga jatuh bangun dengan Khazanah,Axiata, dan Petronas. Jepang sudah lebih dulu membangun puncak-puncak Gunung Fuji yang menyembul ke atas cakrawala.Toyota, Suzuki,Yamaha sampai Sumitomo, dan Mitsui.

Mereka semua belajar dari Amerika Serikat yang menguasai dunia melalui Exxon, McD, Boeing, Microsoft, GM, Apple, dan P&G. Apa yang membuat powerhouse berjaya? Jawabnya: Semua kekuatan harus berada dalam one team,one spirit.Lihat saja bagaimana negara-negara maju itu mati-matian membela powerhouse-nya kendati digerogoti dan dicaci maki para politisi yang marah-marah karena proyek-proyek pribadinya gagal menembus dinding-dinding sistem yang dibangun profesional powerhouse. Maka menarik disimak bagaimana sikap para politisi saat powerhouse bangsanya menghadapi musibah.Apakah mereka membantu mengirim foam penyejuk untuk mematikan api atau justru mengirim badai agar api kembali bertiup dan terbakarlah seluruh kilang?

One Spirit

Prinsip one spirit ada di sejumlah anggota Dewan yang prihatin. Tetapi, yang lain bersikap sebaliknya. Sejak tag line Pertamina yang bunyinya: ”Pertamina Untung–Bangsa Untung”,sikap negatif mereka sudah jelas.Tag line itu mereka hina. Lalu ketika pembersihan dilakukan Pertamina di depot logistiknya di Cakung, sampai terjadi kebakaran di sana dan ketika sistem pengendalian komputernya down, mereka juga menertawakan Pertamina.

Direksi yang lama mereka kritik, penggantinya pun ditertawakan. Setiap ada kejadian mereka ingin buru-buru mengatakan : Ganti saja lagi. Ganti lagi,dan ganti lagi. Beda benar sikap politisi kita dengan para politisi di negeri-negeri powerhouse yang berjaya. Di sana, mereka berkelahi di Parlemen. Meski begitu, powerhouse-nya terganggu dan dapat mengakibatkan daya saing bangsanya terkalahkan, mereka semua bersekutu.Right or wrong is my country. Saat Perdana Menteri Jepang bersusah payah memimpin operasi untuk mengendalikan pembangkit tenaga nuklirnya yang terhempas badai tsunami bahkan tak ada orang yang menuntutnya mundur. Bencana,kata orang-orang pintar, adalah force majeure.

Bukan kehendak manusia. Jadi, itu bukanlah saatnya untuk berkelahi, apalagi saling menuding dan melemahkan. Kata orang Jepang, itulah gambaru atau gambatee. Come on! You can!Ayo bekerja lebih keras lagi. Dengan prinsip ”One spirit– One team” kita saksikan powerhouse– powerhouse baru bermunculan di berbagai penjuru dunia. Australia kini dikendalikan delapan powerhousenya mulai dari BHP Biliton (Melbourne), West Farmers (Perth), Woolworth (Bellavista), sampaiANZ (Dockland). India juga dipimpin delapan powerhouse: Indian Oil (New Delhi), Reliance, Tata Steel (Mumbai) sampai Oil & gas Natural (Dehradun). Singapura memiliki dua: Flextronics International dan Wilmar International. Hal serupa dilakukan dua negara eks komunis yang bergabung ke market-economy, Rusia dan China.

Rusia mendongkrak kemajuan perekonomiannya dengan Gazprom, Lukoil, Rosneft Oil, Sberbank, TNK–BP, dan Sistema.Semuanya berpusat di Moskow. Di China lokomotif-lokomotif ekonomi besar disebar di sejumlah provinsi. Mulainya hanya delapan, lalu menjadi 12, 20, dan sekarang China memiliki lebih dari 50 powerhouse: Sinopec, State Grid, China Life Insurance (Beijing), Dongfeng Motor (Wuhan),Baosteel Group (Shanghai), Huawei (Shen Zhen), Jiangsu (Zhanjiagang), dan Wuhan Iron (Wuhan). Sulit sekali suatu bangsa keluar dari belenggu hierarki dan otoritarianisme memasuki prinsip one team-one spirit ini. Masa lalu yang kental dengan kekuasaan membuat raguragu memasuki medan pasar yang terbuka, kompetitif, dan serbatransparan.

Saling mengejek dan takut tertinggal membuat kehilangan percaya diri dan berebut peran. Prinsip one spirit prasyarat mutlak untuk memiliki powerhouse. Kita tentu tidak bisa membangun kekuatan hanya melalui 52,7 juta usaha mikro. Kita perlu lokomotif dengan prinsip huruf ”X”: Di bagian atas,kekuatan berhenti di satu titik (komisaris utama) yang berpengetahuan dan profesional. Sementara kekuatan manajerialnya bertumpu pada CEO. Kita memerlukan perusahaan- perusahaan yang fleksibel dan lincah bergerak. Tetapi, kita juga butuh perusahaan- perusahaan besar untuk menghasilkan produk-produk berkualitas global dengan jelajah eksplorasi yang luas.

Untuk semua itu diperlukan SDM dan politisi-politisi berkelas dunia. Coba tengok betapa mengagumkannya Wal-Mart yang menampung lebih 3 juta pekerja, sebagian besar lansia. China Petroleum mempekerjakan hampir 2 juta pegawai.Kalau kita bersungguh-sungguh, Pertamina, Telkom, Astra, RGE, Adaro, dan Sinar Mas berpotensi menjadi lokomotif.

Politisi Kelas Dunia

Sekali lagi,prinsip one spirit harus ada di semua lini. Percuma memiliki SDM kelas dunia kalau politisi-politisinya hanya kelas kampung yang bekerja dengan amarah. Politisi kelas dunia adalah politisi berwawasan global, bepergian ke luar negeri bukan melulu atas biaya dinas, berbahasa asing dengan baik sehingga tidak memalukan saat ke luar negeri. Namun, lebih dari itu, berpengetahuan yang memadai dan bekerja dengan etika. Bukan asal bicara, apalagi bicara bila kepentingannya terganggu. Politisi berkelas dunia bekerja bukan demi kantongnya sendiri, melainkan demi keunggulan daya saing bangsanya.

Mengapa kita memerlukan politisi kelas dunia? Sebab merekalah yang mengatur anggaran dan membuat peraturan. Mereka juga yang berbicara dan menjadi pengawas pembangunan. Sekarang lihatlah sinyal-sinyal yang menunjukkan perlawanan rakyat terhadap politisi. Minggu lalu, orang-orang yang kursinya ”disambar” seorang politisi di atas pesawat Lion, ramai-ramai mengeluarkannya dari pesawat. Mereka bukan cuma mengusir dan melawan secara tegas, melainkan juga meng-entertain-nya lewat perbincangan pendek di jejaring media sosial.

RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/391586/

Gaya Politikus Salon

Indra Tranggono

Parlemen sebagai habitat cendekia politik yang terlibat dengan penderitaan rakyat kini kian memudar.

Publik pun kian sulit merasakan tetes keringat kerja keras berbasis integritas, komitmen, dan kapabilitas sebagian besar wakil rakyat. Publik lebih kerap menjumpai politikus salon: rapi, wangi, modis, dan penuh gaya, tetapi steril dari keprihatinan sosial. Rencana pembangunan gedung 36 lantai yang akan menghamburkan Rp 1,1 triliun lebih hanyalah salah satu gaya berkuasa para politikus salon.

Politikus salon bekerja atas panggilan kekuasaan, bukan pe- ngabdian. Karena itu, politikus salon bisa dimaknai sebagai pekerja politik, bukan pejuang politik. Pekerja politik melakukan kegiatan berdasarkan rutinitas dan berbagai kesepakatan atas pesanan, permintaan, dan imbalan. Pertaruhan dalam disiplin pekerja adalah kecakapan dan keterampilan memberikan hasil yang memuaskan bagi pemesan.

Bekerja berbeda dengan mencipta. Bekerja menghasilkan kerajinan. Mencipta melahirkan berbagai kemungkinan dari yang semula tidak ada jadi ada. Mencipta berarti juga bereksplorasi dan berinovasi. Pejuang politik menciptakan sesuatu berdasarkan ideologi, komitmen, integritas, dan kapabilitas. Panggilan berpolitiknya adalah dedikasi atas kemanusiaan, kemasyarakatan, dan cita-cita membangun peradaban negara-bangsa. Bukan panggilan kekuasaan: karier, jabatan, dan penghasilan.

Politik dipahami sebagai jalan suci mewujudkan cita-cita profetik: membebaskan dan meninggikan eksistensi rakyat dalam pertarungan melawan struktur tak adil dan kultur dekaden.

Pilihan atas nilai-nilai ideal menjadikan politikus pejuang, tak sibuk memikirkan segala hal artifisial: gaya, penampilan, citra, kekayaan, dan hedonisme. Kesederhanaan dan kewajaran jadi cakrawala. Kesantunan berperilaku jadi langgam interaksi sosial. Kejujuran dan ketulusan jadi napas hidup. Etika dan moralitas jadi panduan pikiran dan tindakan. Keberhasilan mengangkat rakyat dari lautan lumpur penderitaan adalah pamrihnya, seperti cita-cita priayi dalam novel Para Priyayi Umar Kayam.

Kesatria politik

Hakikat politikus-pejuang adalah petarung sejati, kesatria. Bukan pecundang, pialang, makelar, apalagi juragan. Kesatria politik berani mengambil risiko atas tugas dan amanah yang ia emban. Ia tak pernah memilah dan memilih tugas atas pertimbangan enak dan tak enak atau populer dan tak populer. Satu-satunya pertimbangan, amanah yang digariskan konstitusi, bukan cari pujian konstituen tertentu. Menjunjung nilai konstitusi otomatis menjunjung kehidupan para pemangku kepentingan.

Kini kita kian sulit menemukan politikus-pejuang yang punya kapasitas kesatria sekaligus negarawan. Di tengah kesulitan itu kita justru menjumpai banyak politikus salon, termasuk yang menghuni parlemen. Sebagian memasuki gedung parlemen dengan rekam jejak politik kabur. Umumnya mereka tak tumbuh dari tradisi politik yang kental, tradisi mengunyah dan mencerna ideologi, tradisi jadi kader dan tradisi jadi aktivis sejati politik.

Kita mengenal asal-usul mereka hanya dari dua hal: uang dan popularitas. Jika masih harus ditambah syarat lain, itulah kedekatan dengan tokoh-tokoh parpol. Inilah tragedi demokrasi liberal yang nirkompetensi dan nirideologi. Demokrasi disamakan dengan uang dan popularitas. Politikus salon memahami peran sosial sebagai profesi umum, tanpa horizon ideologis dan pertaruhan eksistensial. Mereka juga menginginkan segalanya serba mudah, instan, mewah, menyenangkan, dan memberi hasil berlimpah, baik secara material maupun nonmaterial (citra mencorong, status sosial terhormat).

Mereka lupa pada esensi jadi politikus: agen sekaligus pelaku perubahan yang punya cita-cita ideal atas masyarakat. Sebuah pilihan yang, tentu saja, menuntut politikus sanggup berkubang dalam lautan lumpur persoalan guna menemukan berbagai kemungkinan bagi kesejahteraan rakyat. Ini dilakukan bukan atas dasar upah dan fasilitas, melainkan komitmen sosial. Upah dan fasilitas yang terukur hanya efek dari pengabdian.

Beban

Karena berbagai persoalan rakyat dianggap sebagai beban yang sangat berat, bahkan menyiksa, para politikus salon pun menuntut banyak hal: fasilitas gedung mewah, studi banding ke luar negeri, gaji tinggi, dan tunjangan jabatan. Intinya, mereka menuntut harus berbeda dari rakyat yang mereka wakili. Berbeda artinya memiliki penghasilan, fasilitas, status, dan citra yang jauh lebih tinggi daripada rakyat, sang juragan mereka. Ironisnya, tuntutan tinggi itu tak sebanding kualitas kinerja yang diberikan kepada rakyat. Rakyat tetap saja hidup pontang-panting didera berbagai kesulitan, bahkan hanya sekadar untuk makan.

Indra Tranggono Pemerhati Budaya


http://cetak.kompas.com/read/2011/04/07/04315720/gaya.politikus.salon

Layanan Kesehatan Keluarga Miskin Perlu Direformasi

HARI KESEHATAN


Jakarta, Kompas - Hari Kesehatan Dunia jatuh pada hari ini, Kamis (7/4). Berkenaan dengan itu, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta mendesak pemerintah agar mereformasi layanan kesehatan bagi warga, khususnya keluarga miskin.

”Yang kita minta, adanya standar layanan kesehatan, bukan layanan sekadarnya,” ujar Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Nurkholis Hidayat, Rabu.

Dalam laporan LBH, jumlah kasus pelanggaran hak atas pelayanan kesehatan terlihat semakin meningkat dari tahun 2007 hingga 2010. Pelanggaran hak atas kesehatan yang ditangani LBH paling banyak terjadi di Jakarta. Pada tahun 2007 hanya ada tiga laporan. Pada tahun 2008 jumlahnya menjadi enam kasus dengan korban sebanyak 135 orang. Pada tahun 2009 LBH menangani tiga kasus malapraktik. Sementara pada tahun 2010 ada tujuh pengaduan kasus pelanggaran hak atas kesehatan.

Berdasarkan data LBH, ada beberapa klien korban yang melaporkan bahwa mereka diwajibkan menandatangani sejumlah kuitansi kosong oleh oknum pegawai rumah sakit. Selain itu, mereka juga mendapatkan pelayanan kesehatan yang sangat minim.

RS dan dokter melanggar

Nurkholis meyakini jumlah kasus yang sesungguhnya terjadi lebih banyak lagi karena pasien, khususnya warga miskin, tidak banyak mengetahui pelanggaran hak atas kesehatan atau memilih diam ketika mengalami pengalaman buruk. ”Hasil identifikasi menunjukkan bahwa rumah sakit dan dokter menjadi pihak yang diduga paling banyak melakukan pelanggaran hak,” kata Nurkholis.

Sementara itu, Johnny Simanjuntak, anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta, mempertanyakan hak-hak warga yang tinggal di daerah ilegal. ”Mereka tidak bisa memperoleh KTP. Padahal, semua fasilitas layanan publik, termasuk kesehatan, hanya bisa diakses jika mereka memiliki KTP. Pemerintah harus mencari jalan keluar karena ketika pemilu, pemerintah mengambil suara mereka juga,” kata Johnny.

Audit anggaran

Penggunaan anggaran kesehatan untuk warga miskin juga harus diaudit rutin oleh akuntan independen. Menurut Nurkholis, audit akan menjamin akuntabilitas penggunaan anggaran.

Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo sepakat perlu ada reformasi layanan kesehatan untuk keluarga miskin. ”Yang diperlukan itu keseimbangan anggaran untuk perawatan ketika sakit dan anggaran untuk mendidik warga hidup sehat,” kata Sudaryatmo.

YLKI juga meminta program layanan kesehatan bagi warga miskin disesuaikan dengan kebutuhan daerah tersebut. Di Jakarta, misalnya, anggaran bagi pegawai negeri golongan rendah harus lebih diperhatikan.

”YLKI pernah menangani pegawai negeri sipil yang akhirnya meninggal karena tidak tertangani kebutuhan perawatan kesehatannya. Alasannya, kartu Askes ternyata tidak menjamin perawatan untuk penyakitnya. Ia pun telantar,” ujar Sudaryatmo.

(NEL/ARN)

http://cetak.kompas.com/read/2011/04/07/04001325/layanan.kesehatan.keluarga.miskin.perlu.direformasi

Pembangunan Kesehatan bagi Anak Indonesia

Dian A Syakhroza Anggota DPR RI; Kaukus DPR RI untuk Kesehatan Rakyat

Pemerintah juga harus menjamin akses penduduk terhadap pangan dengan peningkatan produksi pangan dan peningkatan pendapatan keluarga.

Pendapatan dan masalah gizi memang dua persoalan yang saling berpengaruh erat.”

"The wise man should consider that health is the greatest of human blessings. Let food be your medicine." (Hippocrates) S EJAK 63 tahun lalu, tanggal 7 April menjadi hari penting bagi pen duduk bumi. Tanggal kelahiran World Health Organization (WHO) ini diperingati sebagai Hari Kesehatan Sedunia. WHO selalu mengangkat tema berbeda setiap tahun untuk merayakannya. Tema khusus ini menjadi gerakan global di setiap negara anggota WHO.

Di luar hal tersebut, momen tahunan ini juga menjadi saat tepat untuk merefleksikan hasil pembangunan kesehatan di Indonesia. Meski kondisi perekonomian Indonesia makin membaik, pembangunan kesehatan di Indonesia masih tertinggal.

Salah satu indikator paling jelas ialah peringkat indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia yang stagnan di zona ketiga, yaitu negara berkembang menengah. IPM adalah ukuran keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa yang dilihat dari parameter pembangunan ekonomi, kesehatan, dan pendidikan.

Menurut laporan UNDP terbaru, IPM Indonesia tahun 2010 masih 0,6 dan berada di peringkat 108 dari 169 negara.
Jauh tertinggal dari Singapura, Brunei, Malaysia, Thailand, bahkan Filipina. Rendahnya peringkat IPM ini disebabkan persoalan mendasar kesehatan, yaitu tingginya angka kematian ibu melahirkan dan pemenuhan gizi pada anak.
Masalah gizi dan kualitas SDM Selama beberapa tahun terakhir, Indonesia menghadapi masalah gizi ganda. Sebagian anak mengalami gizi kurang, sebagian mengalami gizi lebih.
Penderita gizi kurang menunjukkan kecenderungan menurun, sebaliknya penderita gizi lebih cenderung meningkat.

Terdapat serangkaian penelitian ilmiah yang membuktikan pengaruh kekurangan gizi terhadap kualitas sumber daya manusia.

Gangguan pertumbuhan pada masa janin sampai usia balita tak dapat dikejar pada fase berikutnya, meskipun kebutuhan gizi anak terpenuhi setelah melewati masa emas pertumbuhan ini (window of opportunities). Sebab, pertumbuhan sel-sel otak pada masa tersebut ialah yang tertinggi jika dibandingkan dengan fase selanjutnya.

Sel otak tumbuh sampai 70% sampai anak berusia 2 tahun dan mencapai 90% dari kapasitas otak pada usia 5 tahun.

Bila terjadi gangguan seperti kekurangan gizi, pertumbuhan sel-sel otak tak maksimal dan volume sel otak menjadi lebih kecil daripada ukuran normal.

Karenanya, kekurangan gizi pada janin sampai usia 2 tahun punya dampak jangka pendek menghambat pertumbuhan dan perkembangan otak anak dan untuk jangka panjang menurunkan kemampuan kognitif dan kemampuan belajar (Soekirman, 2000).

Bahkan penelitian Mendez & Adair (1999) di Filipina menunjukkan skor kecerdasan anak-anak bertubuh pendek (stunting) lebih rendah daripada anak dengan tinggi badan normal.

Selain itu, kurang gizi juga akan memengaruhi produktivitas. Kajian Liu et al (2004) mengungkapkan bahwa kekurangan gizi sampai pada usia 3 tahun berpengaruh pada perilaku-perilaku seperti apatis, yang menurunkan produktivitas pada usia dewasa. Pada kondisi gizi buruk, penurunan produktivitas
perorangan diperkirakan lebih dari 10% dari potensi pendapatan seumur hidup; dan secara agregat menyebabkan kehilangan PDB antara 2%-3% (Bank Dunia, 2006).

Pada anak-anak, kekurangan gizi menurunkan daya tahan
tubuh dari serangan penyakit dan berakhir dengan kematian.
Data statistik United Nations Foods and Agriculture Organization (FAO) menyebutkan 5 juta anak meninggal setiap tahun akibat kekurangan gizi (FAO, 2009). Kekurangan gizi pada balita ini meliputi kurang energi dan protein serta kekurangan zat gizi seperti vitamin A, zat besi, yodium, dan zinc.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 mengungkapkan prevalensi gizi kurang pada 2010 adalah 17,9%, jauh menurun dari tahun 1989 sebesar 31%. Sebanyak 4,9% (sekitar 1 juta anak) menderita gizi buruk dan 37% anak termasuk pendek.

Adapun prevalensi balita gemuk sebesar 14,2%, lebih tinggi daripada balita kurus yang 13,3%. Seperti halnya kekurangan gizi, kelebihan gizi yang ditandai dengan kegemukan juga bisa menyebabkan kematian.

Obesitas merupakan salah satu risiko utama penyakit tidak menular sebagai penyebab utama kematian di Indonesia. Penyebab kegemukan antara lain semakin meningkatnya makanan siap saji yang cenderung rendah serat, tinggi garam, serta tinggi gula dan lemak.

Uniknya, hasil Riskesdas 2010 juga menunjukkan kasus anak gemuk dan kurus tidak dipengaruhi kondisi sosial ekonomi. Prevalensi gizi lebih pada kelompok yang paling miskin 12,4%, sedangkan pada kelompok yang paling kaya 14,9%.
1 Ini menunjukkan bahw faktor-faktor pengetahuan wa dan perilaku masyarakat sangat berpengaruh terhadap kejadian gizi.
Upaya perbaikan gizi Undang-Undang Kesehatan menyebutkan arah dan kebijakan pembangunan gizi didasarkan kepada peningkatan mutu gizi perorangan dan masyarakat. Untuk mendukung pemenuhan gizi individu, perlu dilakukan perubah an pola asuh keluarga.
Sampai kini masih banyak orang tua yang tidak mengetahui pola pemberian makanan bayi yang tepat, masih berperilaku jauh dari pola hidup bersih dan sehat, serta belum sadar gizi.

Karena itu, pemerintah berkewajiban untuk memberikan pengetahuan dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi. Pengetahuan gizi prioritas yang harus diketahui publik antara lain pentingnya pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama agar bayi cerdas dan sehat, mengonsumsi beraneka ragam makanan sesuai dengan gizi seimbang, memantau berat badan secara teratur, penyusunan hidangan sesuai ketersediaan pangan setempat, dan menerapkan pola hidup sehat dan bersih.

Selain itu, pemerintah juga harus menjamin akses penduduk terhadap pangan dengan peningkatan produksi pangan dan peningkatan pendapatan keluarga. Pendapatan dan masalah gizi memang dua persoalan yang saling berpengaruh erat.

Data Kementerian Pertanian menunjukkan hampir 80% penduduk dengan pendapatan di bawah Rp1.000.000 per bulan mengalami defi sit energi, yakni ha nya mengonsumsi energi 70% dari kebutuhannya.

Sementara penduduk dengan pendapatan di atas Rp1.000.000 per bulan mengalami defi sit energi sebesar 4,9%.

Langkah ketiga yang harus dilakukan pemerintah adalah peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehatan. Hal ini bisa dilakukan dengan merevitalisasi pelayanan kesehatan primer, memberikan dana taktis untuk upaya preventif dan promotif kesehatan di tingkat puskesmas, menjamin ketersediaan obat, memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan sampai ke pelosok, pengembangan sistem jaminan kesehatan nasional, dan peningkatan pelayanan kesehatan di wilayah terpencil.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2011/04/07/ArticleHtmls/07_04_2011_015_021.shtml?Mode=0

Zona Perang Informasi Global

Laporan utama harian Seputar Indonesia, Kamis (7/4), mengulas secara khusus opini negatif yang belakangan kembali marak menyerang Indonesia.

Tulisan “Indonesia Diserang Opini Negatif” seolah mengingatkan pembaca akan sebuah konstelasi perang global yang kerap luput dari perhatian khalayak, yakni perang informasi. Relasi kuasa antarnegara serta antarblok kekuatan politik dan ekonomi kerap membentuk zona perang asimetris (zona of asymetric warfare) yang tak lagi berbasis gerakan militer sebagaimana kita pahami dalam konsep perang konvensional, melainkan melalui penetrasi informasi. Media menjadi alat pengendalian isu, penggiringan opini, penciptaan momentum spesifik, sekaligus juga penekan melalui “tsunami informasi”yang membuat pihak kawan maupun lawan terhenyak dan tak mampu mengelak.

Strategi Perang

Perang informasi yang patut kita cermati sekarang ini beroperasi melalui tiga strategi. Pertama, strategi pengemasan informasi melalui media massa konvensional seperti tv, radio, majalah, koran maupun new media yang bersifat interaktif dan dinamis. Para pemangku kekuasaan di dunia ini tentu sangat sadar jika media merupakan second hand reality atau realitas buatan sehingga sangat mungkin dipengaruhi oleh acuan ideologi dan politik yang dikemas menjadi seolaholah “kepribadian” masingmasing media.Fenomena inilah yang oleh C Wright Mills dalam buku The Power Elite (1968) dikategorikan sebagai penyajian dunia “pulasan”.

Dalam konteks ini, sangatlah wajar jika muncul pembacaan ulang, bahwa apa yang diberitakan The Age, Sydney Morning Herald (SMH), Times, The Wall Street Journal terkait juga dengan upaya menjadikan Indonesia dalam zona perang informasi.Pada 11 Maret 2011, The Age dan SMH yang samasama berada di dalam naungan grup Fairfax Media secara berbarengan memublikasikan informasi yang mendiskreditkan SBY.Judul besar The Age misalnya, Yudhoyono ‘Abused Power’, menjadi headline dan didedah dengan bahasa yang provokatif yang bersumber dari bocoran WikiLeaks. Terlepas dari benar tidaknya substansi pemberitaan tersebut, ada garis merah penyetingan agenda terkait dengan momentum ledakan informasi tersebut.

Isu itu dicuatkan bersamaan dengan kunjungan Wakil Presiden Boediono ke Canberra untuk berunding dengan pelaksana Perdana Menteri (PM) Australia Wayne Swan. Berita negatif soal Indonesia juga dipaparkan dalam tulisan Kelley Currie di harian The Wall Street Journal yang berjudul Indonesia’s Seven-Year Itch.Kemasan artikel opini yang dimuat 30 Maret 2011 ini pun langsung menusuk kredibilitas SBY yang dianggap gagal mengelola sistem politik,hukum,dan HAM. Berita terkini yang sama negatifnya soal Indonesia adalah berita Majalah Time “Holidays in Hell: Bali’s Ongoing” yang ditulis oleh Andrew Marshall yang menulis secara provokatif soal Bali.

Marshall sengaja menggunakan istilah neraka untuk menggambarkan Bali yang penuh sampah, limbah industri, dan kemacetan lalu lintas yang akut.Secara faktual laporan Marshall tersebut memang banyak benarnya.Hanya pengemasan kata-kata yang sangat provokatif dan sinis membuat kita seolah sedang membaca media kuning bukan majalah bereputasi baik di dunia Internasional. Menurut Maxwell McCombs dan Donald L Shaw dalam tulisan klasik mereka berjudulThe Agenda Setting Function of Mass Media (1972) dijelaskan jika media memberikan tekanan pada suatu peristiwa,maka media akan memengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting.

Sangat mungkin media massa dijadikan instrumen dalam perang informasi di era modern seperti sekarang. Strategi kedua melalui penguasaan akses pendistribusian informasi global. Saat ini arus informasi internasional mengalir deras dari negaranegara maju ke negara berkembang sehingga muncul ketergantungan media-media massa di negara berkembang seperti Indonesia ke kantor-kantor berita negara maju. Sebanyak 60–70% berita media di antero dunia bersumber dari AP (Associated Press), UPI (United Press International), Reuters, dan AFP (Agence France Presse). Kantor berita Amerika (AP dan UPI) sejak lama beroperasi di 110 dan 114 negara. Reuters milik Inggris beroperasi di 153 negara. Sementara AFP milik Prancis beroperasi di 147 negara.Tentu perang informasi bisa dimulai dari sini.

Strategi ketiga, perang informasi juga biasa dilakukan melalui film dan games.Produk budaya seperti film dan games ini biasanya digunakan dengan memanfaatkan proses kultivasi atau menanam cara pandang, nilai, keyakinan, gaya hidup yang perlahan tetapi dalam jangka waktu tertentu berdampak signifikan.Inilah yang oleh penggagas teori kultivasi George Gerbner disebut sebagai the central cultural arm.

Pola Implementasi

Dalam praktik perang informasi melalui media massa,ada beberapa pola yang biasanya bisa kita baca. Pertama,memberikan status (status conferral) pada orang atau negara yang sedang dijadikan target dalam zona perang simetris. Hal ini lazimnya digunakan melalui berbagai media massa. Pemberian status ini misalnya melalui teknik name calling atau pemberian label negatif untuk melemahkan serta mendelegitimasi lawan. Contohnya pemberian label “neraka”, abuse of power,pemimpin gagal,pelanggar HAM, gang of nih, Nine Dragon, dan lain-lain.

Kedua, biasanya perang dihembuskan oleh komunikator dalam hal ini penulis dan media yang memiliki reputasi, sehingga diharapkan memberi impresi sekaligus gaung yang kuat pada khalayak yang dituju. The Wall Street Journal yang terbit di New York misalnya, merupakan koran sangat berpengaruh di AS.Koran ini bertiras 1,8 juta eksemplar. Pernah nomor satu di AS dengan tiras 2,6 juta eksemplar, meski sekarang menjadi nomor dua setelahUSA Today.Begitu pun Time,The Agedan SMH merupakan media-media yang berpengaruh. Para penulisnya seperti Kelley Currie yang menulis di TheWall Street Journalmerupakan peneliti senior Project 2049 Institute,sebuah lembaga think-tank di Washington. Philip Dorling yang menulis di The Age dan SMH, adalah sejarawan alumni program doktor dari Flinders University yang saat ini tercatat sebagai visiting fellow pada Australian Defence Force Academy yang berafiliasi pada University of New South Wales, Australia.

Perpaduan antara reputasi media dan penulisnya ini dalam perang informasi menjadi modal penting terutama untuk peneguhan pengaruh saat informasi didistribusikan ke khalayak internasional. Zona perang informasi global memang nyata ada di hampir seluruh negara di dunia, oleh karenanya Indonesia harus terus mencermati pergerakannya sehingga tak sekadar menjadi korban atau pelengkap penderita.●

GUN GUN HERYANTO
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/391695/

Perang Peradaban Informasi

Filsuf perang Prusia, Carl von Clausewitz (1780- 1871) menawarkan konsep Pusat Kekuatan (Schwerpunkt/ Center of Gravity) sebagai terminologi kunci yang harus dipelajari untuk memenangkan perang.

Bagi Clausewitz, pusat kekuatan suatu negara terletak di pertemuan gaya tarik (gewicth) tiga unsur kekuatan negara (macht),yaitu rakyat, pemerintah,dan militer. Interaksi antara pemerintah dan rakyat terjadi melalui proses kelola pemerintahan dan pembangunan yang menyediakan kesejahteraan dan keamanan bagi warga negara. Interaksi antara pemerintah dan militer terjadi melalui alokasi sumber daya untuk membangun kekuatan pertahanan yang tangguh. Adapun interaksi antara rakyat dan militer terjadi melalui doktrinasi ideologi kebangsaan yang menghasilkan semangat patriotisme nasionalis untuk bela negara.

Empat Generasi Perang

Sejarah perang global menunjukkan terjadinya pergeseran pusat kekuatan strategis negara. Dalam perang generasi I, pusat kekuatan strategis ditumpukan kepada interaksi pemerintah dan militer dengan cara membangun benteng-benteng pertahanan yang kokoh.Untuk menghancurkan bentengbenteng ini, strategi militer diarahkan untuk mengembangkan kekuatan penghancur yang efektif sehingga perang yang terjadi di era ini memiliki karakter perang penghancuran (war of attrition).

Napoleon Bonaparte menggeserkonsep benteng pertahanan ini dalam perang generasi II. Napoleon lebih mengandalkan kemampuan manuver pasukan infanteri, kavaleri, dan artileri untuk menghancurkan kekuatan militer lawan. Di masa tersebut pusat kekuatan lebih ditumpukan kepada angkatan bersenjata yang memiliki mobilitas strategis yang tinggi. Di era Napoleon ini perang generasi II didominasi oleh karakter perang manuver. Perang penghancuran dan perang manuver dipandang mengalami kulminasinya saat pecah Perang Dunia II.

Taktik perang kilat (bliztkrieg) yang digunakan Hitler, taktik penghancuran tank Stalin di pertempuran Kursk,dan strategi invasi Normandi yang dilakukan Eisenhower dipandang sebagai titik puncak perang generasi I dan II. Perang generasi III muncul di titik puncak perang generasi I dan II. Bom atom yang meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki memunculkan strategi perang nuklir.Berbeda dengan perang generasi I dan II,perang nuklir memunculkan konsep senjata absolut,yaitu satu jenis senjata yang cukup digunakan satu kali untuk mengakhiri peperangan. Senjata absolut pemusnah massal (nuklir) ini digelar dengan kerangka strategi penangkalan strategis (strategic deterrence).

Logika utama dari strategi ini adalah senjata nuklir merupakan satu-satunya senjata absolut yang digelar tidak untuk digunakan dalam suatu peperangan. Saat ini kita memasuki era perang generasi IV dan V. Perang generasi IV merupakan wujud dari prediksi Albert Einstein tentang Perang Dunia III, yaitu: “Saya tidak tahu senjata apa yang akan digunakan di Perang Dunia III,namun saya bisa memastikan bahwa perang-perang setelah itu akan kembali menggunakan tongkat dan batu.” Perang generasi IV tidak terjadi sesuai prediksi Einsten. Perang generasi IV muncul sebagai strategi perang asimetrik yang digunakan oleh pihak lemah untuk mengatasi lawan yang lebih kuat.

Perang ini muncul dalam bentuk perang gerilya dan insurgensi yang digunakan oleh para pejuang perang kemerdekaan di Asia dan Afrika. Banyak pihak menilai bahwa puncak pencapaian perang generasi IV adalah Perang Vietnam dan Perang Afghanistan yang menunjukkan bagaimana dua pihak yang lebih lemah (Vietnam utara dan mujahidin Afghanistan) berhasil memukul mundur dua kekuatan militer utama dunia (AS dan Uni Soviet).

Perang Generasi V

Berdasarkan pengalaman tersebut,AS mengembangkan konsep perang generasi V. Perang ini mengandalkan teknologi informasi yang dipandang mampu untuk tidak hanya melumpuhkan infrastruktur militer, namun juga mampu melumpuhkan infrastruktur nasional, bahkan integrasi sosial suatu bangsa. Jika diktum perang Clausewitz mengarahkan para jenderal untuk mencari satu pusat kekuatan lawan untuk dihancurkan dengan satu pukulan, konsep perang generasi V mengarahkan para jenderal untuk melakukan strategi komprehensif berlapis untuk secara sistematis melemahkan seluruh kekuatan negara-bangsa.

Tujuan utama dari perang generasi V ini adalah mengalahkan lawan tanpa pertempuran militer. Lawan akan berupaya untuk melemahkan interaksi antarpusat kekuatan strategis secara simultan.Interaksi antara pemerintah dan rakyat dilemahkan dengan memunculkan beragam krisis yang membuat rakyat tidak lagi mempercayai kemampuan pemimpin. Interaksi antara pemerintah dan militer dilemahkan dengan memangkas sumber daya yang bisa dialokasikan ke sektor pertahanan. Interaksi antara pemerintah dan militer dilemahkan dengan memunculkan nilai-nilai baru yang mengaburkan makna nasionalisme dan yang mengendurkan militansi patriotik rakyat. Kunci keberhasilan taktik perang generasi V ini terletak di penguasaan teknologi informasi.

Dengan menguasai teknologi informasi, lawan bisa menurunkan kepercayaan rakyat terhadap SBY dengan memuat bocoranbocoran Wikileaks tentang penyalahgunaan kekuasaan oleh SBY di dua media cetak Australia. Penguasaan teknologi informasi memudahkan lawan untuk mengintervensi penguatan aliran modal ke Indonesia yang bisa meningkatkan kapasitas industri strategis nasional. Penguasaan teknologi informasi bisa juga digunakan untuk memunculkan subkultur baru yang bertabrakan dengan norma konservatif yang ada di Indonesia.

Jika kita tidak segera menyiapkan kemampuan strategis untuk turut bertarung di perang generasi V,kita akan mengalami rangkaian pendadakan strategis yang secara sistematis melemahkan pusat kekuatan strategis kita. Jika kita tidak memiliki kesadaran strategis bahwa lawan sudah memulai perang generasi V,kita akan dikejutkan oleh kondisi di mana kita tidak lagi memiliki kekuatan strategis untuk mempertahankan kepentingan nasional.●

ANDI WIDJAJANTO
Ketua Program Studi Hubungan Internasional, FISIP UI

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/391696/

Pasar Malam di Den Haag

Orang Belanda merasa bangga pada kehebatan diri mereka.Namun, kebanggaan mereka bercampur protes kepada Tuhan.Katanya, hampir semua bangsa hidup di atas bumi ciptaan Tuhan, kecuali Belanda.


Mengapa begitu? Karena Bangsa Belanda menciptakan buminya sendiri dengan tangan mereka, dengan cara menyulap lautan menjadi daratan. Mereka menimbun rawa dan pantai dengan tanah, lalu dibuat bendungan untuk mencegah air laut agar tidak menelan tempat tinggal mereka yang posisinya lebih rendah daripada permukaan laut. Lantaran mereka hidup di bawah ancaman laut yang selalu pasang-surut, mereka dikenal ahli dalam membuat teknologi bendungan.Kota-kota di Belanda dihiasi kanal untuk menghindari luapan air pasang. Lebih dari itu,di samping sebagai hiasan kota, sungai-sungai itu juga sebagai sarana rekreasi, restoran kapal, bahkan ada yang jadi rumah mengapung di atas air.

Warga Belanda saat ini berjumlah 16,5 juta jiwa, sekitar 10% adalah Indisch,yaitu orang tua mereka, bapak dan kakeknenek mereka pernah tinggal di Indonesia, bahkan banyak yang lahir di Indonesia. Generasi Indisch yang muda-muda hari ini sebagian besar belum pernah ke Indonesia,tapi orang tua mereka selalu menceritakan pengalaman tinggal di Indonesia, sebuah negara dengan alam yang sangat indah. Demi memenuhi kerinduan warga Indisch dan untuk menghidupkan kembali kenangan semasa tinggal di Indonesia, KBRI di Den Haag menyelenggarakan Pasar Malam Indonesia (PMI) dengan menyewa lapangan Malieveld,Den Haag,1- 7 April 2011. Saya melihat dari dekat dan ngobrol-ngobrol dengan para pengunjung.

Begitu antusias tamu-tamu berdatangan menikmati makanan Indonesia dan menyaksikan lebih dari 60 stan mewakili berbagai provinsi Indonesia serta BUMN.Ada lagi panggung kesenian dan forum dialog budaya. Bagi saya suasananya tak ubahnya masuk mal di Jakarta, bedanya di sini kebanyakan pengunjungnya warga Belanda. “Kami ingin menghadirkan suasana Indonesia,tapi dengan penampilan modern. Untuk mengubah persepsi orang Belanda yang dulu pernah menjajah kita,” kata Umar Hadi, Pelaksana,Ketua Perwakilan RI di Den Haag. Orang-orang Belanda sangat terkesan dengan acara ini.“PMI ini juga dimaksudkan untuk mengusir kenangan dan gambaran Indonesia sebagai negara inlander yang terbelakang dan kurang berpendidikan,” katanya lagi.

Itu juga untuk sarana promosi turisme, menjalin kerja sama bisnis dan teknologi dengan pemerintah serta dengan para pengusaha Belanda. Pemegang paspor Indonesia yang tinggal di Belanda saat ini sekitar 15.000 orang, 1.400 adalah mahasiswa dan 1.000-an pekerja profesional. Adapun warga Belanda keturunan Maluku sekitar 60.000. Jadi, rupanya frase ’pasar malam’, yang berasal dari bahasa Indonesia ini telah masuk menjadi bahasa Belanda. Meski istilahnya pasar malam, tapi sejak pukul 11 pagi sudah ramai pengunjung. Mereka rindu dengan suasana Indonesia dan ketemu lagi dengan makanan Indonesia. Salah satu acara di PMI itu adalah forum dialog ilmiah dan budaya tentang masalah demokrasi dan kehidupan beragama yang dihadiri para wartawan, pengamat ahli tentang Indonesia dan pimpinan agama,termasuk Ahmadiyah.

Saya diminta berbicara tentang demokrasi dan kerukunan hidup beragama bersama Dr Bahrul Hayat, Sekretaris Jenderal Kementerian Agama RI. Dengan segala problem yang tengah dihadapi bangsa Indonesia, bagi masyarakat luar kerukunan hidup di Indonesia sangat mengagumkan. Pluralitas etnis dan agama serta aliran kepercayaan yang sedemikian banyak dan kompleks tetap tumbuh di Indonesia, sehingga ramalan orang tentang akan terjadinya Balkanisasi di Indonesia jauh dari kenyataan. Bahkan gerakan Aceh Merdeka pun justru mereda. Sekalipun paham dan gerakan keagamaan kadang menimbulkan gesekan dan konflik, namun secara umum peranan agama sangat besar bagi ketahanan dan kohesi bangsa Indonesia.Sesama elite agama dan elite pemerintah terjalin hubungan yang bersifat kritis-konstruktif.

Kalaupun muncul konflik antarkelompok, volumenya masih kecil dan itu pun diduga ada agenda-agenda kepentingan nonagama di belakangnya. Antara lain pembajakan simbol- simbol agama untuk mobilitas politik seseorang atau kelompok. Yang juga perlu mendapatkan perhatian serius adalah gerakan ideologi keagamaan yang bersifat transnasional yang mengundang perhatian dan solidaritas masyarakat asing, seperti halnya Ahmadiyah dan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Saat ini pemerintah mesti bekerja keras untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat,pendidikan,dan penegakan hukum. Kalau itu terwujud, keragaman etnis, budaya dan agama akan menjadi kekayaan dan keindahan bangsa dan masyarakat Indonesia, yang membuat kagum masyarakat dunia.

Kesejahteraan juga menjadikan kita tidak mudah digoyang-goyang oleh kekuatan asing. Ketika berada di luar negeri, hal yang sangat memprihatinkan antara lain adalah kurangnya sarjana ahli Indonesia yang menguasai studi kawasan. Misalnya sekarang ini di Afrika tengah berlangsung perubahan politik yang amat radikal. Tetapi rasanya kita tidak punya sarjana ahli yang benar-benar ahli sebagai analis tentang wilayah itu. Begitu pun anatomi dan dinamika konflik di semenanjung Balkan, di mana kaitan antara etnis dan agama sedemikian kental.Sayangnya, lingkungan universitas tidak memiliki profesor ahli tentang kawasan ini.Yang juga kurang diperhatikan oleh ilmuwan kampus adalah dinamika perubahan di Asia Tengah dan perkembangan Islam di China.

Kita hanya pengetahuan yang samar-samar tentang itu. Ketika terjadi perubahan politik di kawasan yang tengah bergolak itu, narasumber dan para pengamat kita tampak sekali tidak dalam dan tidak luas penguasaannya. Ini mesti direspons secara aktif oleh pemerintah dan dunia kampus. Pengetahuan sarjana kita tentang Belanda dan Amerika Serikat tak perlu diragukan. Tetapi tentang negara-negara lain terasa miskin.Padahal, di era global ini kita mesti saling belajar dan berbagi pengalaman. Kita mesti aktif-inovatif go global, jangan sampai jadi korban terdesak gelombang globalisasi. 

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor UIN Syarif Hidayatullah

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/391722/

Berhentilah Sekolah Sebelum Terlambat!

Yudhistira ANM Massardi

Jika orientasi pendidikan adalah untuk mencetak tenaga kerja guna kepentingan industri dan membentuk mentalitas pegawai—katakanlah hingga dua dekade ke depan—yang akan dihasilkan adalah jutaan calon penganggur.

Sekarang saja ada sekitar 750.000 lulusan program diploma dan sarjana yang menganggur. Jumlah penganggur itu akan makin membengkak jika ditambah jutaan siswa putus sekolah dari tingkat SD hingga SLTA. Tercatat, sejak 2002, jumlah mereka yang putus sekolah itu rata- rata lebih dari 1,5 juta siswa setiap tahun. Dalam ”kalimat lain”, ada sekitar 50 juta anak Indonesia yang tak mendapatkan layanan pendidikan di jenjangnya.

Jadi, untuk apa sebenarnya generasi baru bangsa bersekolah hingga ke perguruan tinggi? Jika jawabannya agar mereka bisa jadi pegawai, fakta yang ada sekarang menunjukkan orientasi tersebut keliru. Dari sekitar 105 juta tenaga kerja yang sekarang bekerja, lebih dari 55 juta pegawai adalah lulusan SD! Pemilik diploma hanya sekitar 3 juta orang dan sarjana sekitar 5 juta orang.

Jika sebagian besar lapangan kerja hanya tersedia untuk lulusan SD, lalu untuk apa anak-anak kita harus buang-buang waktu dan uang demi melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi?

Sir Ken Robinson, profesor pakar pendidikan dan kreativitas dari Inggris, dalam orasi-orasinya, yang menyentakkan ironisme: menggambarkan betapa sekarang ini sudah terjadi inflasi gelar akademis sehingga ketersediaannya melampaui tingkat kebutuhan. Akibatnya, nilainya di dunia kerja semakin merosot. Lebih dari itu, ia menilai sekolah-sekolah hanya membunuh kreativitas para siswa. Maka, harus dilakukan revolusi di bidang pendidikan yang lebih mengutamakan pembangunan kreativitas.

Paul Krugman, kolumnis The New York Times yang disegani, dalam tulisannya pada 6 Maret 2011, menegaskan fakta-fakta di Amerika Serikat bahwa posisi golongan kerah putih di level menengah— yang selama beberapa dekade dikuasai para sarjana dan bergaji tinggi—kini digantikan peranti lunak komputer. Lowongan kerja untuk level ini tidak tumbuh, malah terus menciut. Sebaliknya, lapangan kerja untuk yang bergaji rendah, dengan jenis kerja manual yang belum bisa digantikan komputer, seperti para petugas pengantaran dan kebersihan, terus tumbuh.

Kreativitas dan imajinasi

Fakta lokal dan kondisi global tersebut harus segera diantisipasi oleh para pemangku kepentingan dalam dunia pendidikan. Persepsi kultural dan sosial yang mengangankan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan semakin mudah mendapatkan pekerjaan adalah mimpi di siang bolong!

Namun, jika orientasi masyarakat tetap untuk ”jadi pegawai”, yang harus difasilitasi adalah sekolah-sekolah dan pelatihan-pelatihan murah dan singkat. Misalnya untuk menempati posisi operator, baik yang manual seperti pekerjaan di bidang konstruksi, manufaktur, transportasi, pertanian, ataupun yang berbasis komputer di perkantoran. Untuk itu, tak perlu embel-embel (sekolah) ”bertaraf internasional” yang menggelikan itu karena komputer sudah dibuat dengan standar internasional.

Akan tetapi, kualitas peradaban sebuah bangsa tak cukup hanya ditopang oleh para operator di lapangan. Mutlak perlu dilahirkan para kreator yang kaya imajinasi. Oleh karena itu, seluruh potensi kecerdasan anak bangsa harus dibangun secara lebih serius yang hanya bisa dicapai jika rangsangannya diberikan sejak usia dini. Maka, diperlukan metode pengajaran yang tak hanya membangun kecerdasan visual-auditori-kinestetik, juga kreativitas dan kemandirian.

Kata kuncinya adalah ”kreativitas” dan ”imajinasi”; dua hal yang belum akan tergantikan oleh komputer secerdas apa pun! Zaman terus berubah. Sistem pendidikan dan paradigma usang harus diganti dengan yang baru. Era teknologi analog sudah ketinggalan zaman. Kini kita sudah memasuki era digital.

Itu artinya, konsep tentang ruang dan waktu pun berubah. Hal-hal yang tadinya dikerjakan dalam waktu panjang, dengan biaya tinggi, dan banyak pekerja, jadi lebih ringkas. Maka, tujuan paling mendasar dari suatu sistem pendidikan baru harus bisa membangun semangat ”cinta belajar” pada semua peserta didik sejak awal. Dengan spirit dan mentalitas ”cinta belajar”, apa pun yang akan dihadapi pada masa depan, mereka akan bisa bertahan untuk beradaptasi, menguasai, dan mengubahnya.

Membangun semangat ”cinta belajar” tak perlu harus ke perguruan tinggi. Kini seluruh ilmu pengetahuan sudah tersedia secara digital, bisa diakses melalui komputer di warnet ataupun melalui telepon genggam.

Jadi, cukup berikan kemampuan menggunakan komputer, mencari sumber informasi yang dibutuhkan di internet, dan bahasa Inggris secukupnya karena di dunia maya tersedia mesin penerjemah aneka bahasa yang instan. Anak-anak cukup sekolah 12 tahun saja (mulai dari pendidikan anak usia dini, PAUD)! Mereka tidak usah jadi pegawai. Dunia kreatif yang bernilai tinggi tersedia untuk mereka, sepanjang manusia masih ada.

Yudhistira ANM Massardi Sastrawan; Pengelola Sekolah Gratis untuk Dhuafa, TK-SD Batutis Al-Ilmi Bekasi

http://cetak.kompas.com/read/2011/04/08/03583312/berhentilah.sekolah.sebelum.terlambat

Lho, Emangnya Haram Gunakan Kata-kata Itu...

WAWANCARA



TIFATUL SEMBIRING


RMOL. Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring dinilai bertindak seperti Anak Baru Gede (ABG). Sebab, dalam twitternya menulis dengan gaya ‘alay’.

Gaya menulis ‘alay’ yakni kom­binasi huruf dan angka yang selama ini digemari ABG. Tapi pekan lalu, bekas Presiden PKS ikut ‘ngalay’. Inilah yang bikin santer dunia maya, dan menjadi tren­ding topic di twitter.

Menanggapi hal itu, Tifatul Sembiring mengaku, tidak ada motif apa pun di balik twit alay­nya yang diposting, Senin (28/3) sekitar pukul 20.19 WIB itu.

“Masalah ‘alay’ itu begini, kami kan ada riset tentang peng­guna internet. Menurut riset ter­sebut, 20 persen pengguna inter­net adalah penggemar sepakbola, dan 30 persennya adalah ‘alay’. Karena itu, saya coba membuat tulisan dalam bahasa seperti itu. Kemudian ditanggapi banyak orang,” ujar Tifatul kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Seperti diketahui, status alay @tifsembiring yakni, JAn64n 4d4 Du5t4 d14ntar4 K1ta. k4L4u b3nC1, b1l4ng b3nC1. k4l4U CiNt4, b1l4Ng C1Nt4. J4N64n B1ArK4n hat1mu tertU5uK 53mB1lu... hE3x.

Tifatul selanjutnya menegas­kan, selain ingin memahami para pengguna sosial media, tidak ada motif lain dalam tulisan tersebut.

“Pengguna sosial media kan di Indonesia tinggi, di atas 30 juta. Itu hal yang harus kita fahami. Kita kan tidak dapat membatasi hak orang untuk berkomunikasi,” paparnya.

Berikut kutipan selengkapnya:

Gaya ‘alay’ dinilai tidak pan­tas dilakukan seorang men­teri, ba­gai­mana tanggapan Anda?
Lho, memangnya haram atau melanggar hukum, kan tidak. Saya juga tidak setiap hari menge­­luarkan hal-hal seperti itu. Saya hanya ingin melihat suasa­nanya seperti apa sih di twitter. Ya, coba saya keluarkan bahasa alay, dan memang 64 persen pengguna twitter, menurut sebuah riset adalah anak-anak ABG. Jadi, hal itu harus kita fahami. Toh, bahasanya juga seperti itu, tidak ada hal-hal yang krusial.

Targetnya apa?
Cuma ingin memahami saja. Seperti yang saya katakan tadi, ada survei seperti ini, dan saya mencoba menulis kalimat seperti ini, ternyata tanggapannya ba­nyak. Bukankah, jika kita ingin masuk ke sebuah lingkungan, kita kan harus terlebih dahulu menge­nali lingkungan tersebut.

Selain itu, twitter juga bagian dari teknologi IT yang harus saya fahami luar dan dalamnya. Ja­ngan sampai, saya ditanya orang, Pak Tifatul bagaimana tentang twitter, terus saya bingung dan mengata­kan, twitter itu jenis makan apa ya. Kan saya nggak boleh begitu.

Dengan memahami perangkat tersebut, saya dapat menjelaskan twitter itu adalah suatu mikro blok yang bisa digunakan untuk komunikasi, atau biasa disebut sosial media.

Artinya, Anda ingin meng­kampanyekan media tersebut?
Bukan, ini bukan kampanye untuk menggunakan peralatan tersebut. Tiba-tiba peralatan ini hadir, kemudian digunakan ba­nyak orang, ya kita harus meng­gunakan peralatan itu untuk mengetahuinya, ada apa ini.

Kalau alat ini harus digunakan untuk kepentingan hubungan-hubungan sosial, ya kita jangan justru merusak hubungan sosial dengan alat tersebut. Ini kan ko­munikasi sosial, dan komunikasi itu penting untuk menjaga hu­bungan satu sama lain. Jadi, gunakan bahasa-bahasa yang sopan. Kita kan orang timur.

Apa yang Anda harapkan dari para pengguna media ter­sebut?
Saya berharap, masyarakat menggunakan media itu untuk hal-hal positif, untuk berkomuni­kasi. Tidak menggunakan ba­hasa-bahasa yang memaki. Biar pun bahasanya ditulis dengan terang-benderang, tidak ‘alay’ tapi kalau memaki, ya nggak benar juga.

Di sana orang bebas berbicara, nggak ada Presiden atau Perdana Menteri twitter, semuanya sejajar. Meski demikian, kita harus ber­tanggung jawab atas tulisan yang kita buat, melanggar hukum nggak, melanggar agama nggak. Kan jadi enak komunikasi sama orang.

Jadi, perlu pembatasan?
Menurut saya, tidak perlu di­batasi. Yang saya sampaikan tadi hanya sekadar imbauan.

Bagaimana dengan usulan agar BIN mengawasi pengguna akun jejaring sosial facebook dan twitter untuk keamanan nasional?
Nggak apa-apa. Itu kan ter­buka, siapa saja bisa mengawasi twitter dan facebook. Saya saja diawasi terus, apalagi yang lain. Masa nggak boleh diawasi sih.

Maksud diawasi adalah status pengguna twitter dan facebook karena dibaca siapa saja. Saya juga dari dulu mantau twitter dan facebook, nggak usah diperintah. Masa’ harus diperintah kita main twitter dan facebook. [RM]

http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=23565

Nasional Demokrat Bisa Saja Jadi Parpol

Apakah Nasional Demokrat (Nasdem) merupakan cikal-bakal sebuah partai politik baru di Indonesia?
Bisa ya, bisa tidak. Belum atau tidak maksudnya adalah kami saat ini masih sebagai sebuah organisasi masyarakat. Organisasi yang tumbuh dan hadir di tengah masyarakat. Tapi bisa ya, apabila ada keinginan dari anggota untuk mengubah menjadi sebuah partai. Tapi, sebagai Ketua Umum, saya tegaskan jika sampai saat ini Nasdem tetap menjadi sebuah ormas.

Tapi, apakah sudah ada keinginan dari anggota untuk menjadi sebuah partai?
Seperti yang dikemukakan, Nasdem hingga saat ini tetap menjadi sebuah organisasi masyarakat yang hadir untuk mengembalikan nilai-nilai dan landasan kebangsaan. Kami membawa semangat rasa kecintaan terhadap kebangsaan. Ini yang kami maksudkan dengan restorasi. Restorasi untuk mengembalikan semangat kebangsaan dan landasan berbangsa yang kini makin menjauh dari tujuan awal, yang dibawa para pendiri bangsa.
Kita lihat saat ini, bangsa telah menjauh dari cita-citanya. Telah terjadi defisiasi akan sebuah ideologi dan konstitusi. Orang kini sudah mempertanyakan apa itu ideologi. Sudah terjadi sikap masa bodoh dan apatis. Ini tentunya yang tidak kita hendaki.

Jadi, kondisi berbangsa saat ini telah membahayakan?
Saat ini masih dalam tahap mengkhawatirkan yang bila di biarkan bisa jadi membahayakan.
Atas hal itu, kita kini dihadapkan pada dua pilihan. Mau tetap apatis pada keadaan atau bergerak untuk mengubah. Tentunya kita mana sampai hati membiarkan kondisi seperti itu (defisiasi akan ideologi dan demoralisasi bangsa) terjadi. Kita tidak bisa membiarkan bangsa ini kehilangan harkat. Kita harus bangkit! Bangkit! Masih ada harapan.
Kita harus bangkit dengan mengedepankan keyakinan spiritual, moral, dan kejujuran.

Perlu ada perubahan?
Tentunya. Efektifnya perubahan dari segala segmen harus terjadi. Efektifnya perubahan harus terjadi dari atas. Masyarakat perlu panutan. Perubahan dari atas bisa mempercepat perubahan di level masyarakat bawah. Mereka para pemuka agama, pejabat, politisi, aparat harus memberi pa nutan. Harus jadi contoh bagi masyarakat. Kedudukan dan keilmuan mereka harusnya menjadi amanah yang ditunaikan kepada masyarakat. Apabila itu dilakukan, insya Allah akan memberikan teladan yang baik dan mampu mengubah masyarakat.

Bentuk tindakan Nasdem untuk mengubah keadaan saat ini?
Kita tentunya bukan sebuah lembaga yang bisa langsung melakukan perubahan. Kita tidak punya wewenang untuk mengubah undang-undang. Jadi, kita sampai saat ini mendorong kepada semua pihak yang memiliki kewenangan untuk bertindak, berbuat demi kepentingan rakyat. Kami dalam tahap memberikan dukungan moral akan terjadinya perubahan.
Kita memberikan dukungan moral pada setiap pihak yang bertindak demi kepentingan rakyat.

Nasdem dan Islam?
Islam tentunya suatu kekuatan, inspirasi, dan sumber yang sangat mengagumkan. Pandangan ini bukan karena saya sebagai pemeluk Muslim, tapi memang ajaran Islam jika ditetapkan secara benar, dapat menjadi sebuah gagasan. Intinya Islam dapat menjadi penggerak utama, tapi juga dapat menjadi penghambat utama. Islam dapat jadi penghambat jika ada oknum yang menjalankan ajaran dengan menjauhi nilai kesalehan. Jadi, bukannya membangun malah menghancur. Tapi, Islam pada dasarnya merupakan ajaran yang rahmatan lil alamin.

http://republika.pressmart.com/PUBLICATIONS/RP/RP/2011/04/07/ArticleHtmls/Surya-Paloh-Ketua-Umum-Nasdem-Nasional-Demokrat-Bisa-07042011004030.shtml?Mode=1

Kejahatan Perbankan dan Pencucian Uang

Yenti Garnasih FH Universitas Trisakti



Pihak bank sendiri harus menjaga integritas dengan senantiasa menjalankan aktivitas berbisnis secara tepat dan terhormat (codes of conduct for the correct, honourable and proper performance of the activities of business). "
Selama hampir tiga minggu terakhir media dipenuhi pemberitaan pembobolan dana nasabah Citigold Citibank (program pelayanan untuk nasabah prima) yang dilakukan senior relationship manager bank itu sendiri. Jumlah uang yang dibobol mencapai puluhan miliar rupiah. Juga ditemukan fakta bahwa pegawai bank tersebut memiliki beberapa mobil mewah, apartemen, dan sejumlah kekayaan lainnya yang diduga terkait dengan kejahatan yang dilakukannya. Beberapa waktu sebelumnya juga diberitakan adanya pemberitaan tentang pembobolan Bank Mandiri yang pelakunya juga customer service untuk nasabah prioritas.
Juga, beberapa bank ternyata kebobolan karena ulah para pegawai bank atau ada keterlibatan pegawai bank.

Kejahatan perbankan ditengarai marak sejak era penggunaan IT system untuk alasan efisiensi dan efektivitas.
Namun, sistem itu ternyata juga rentan dengan terjadinya pembobolan dana nasabah baik yang dilakukan orang luar bank maupun yang dilakukan pihak bank. Dalam kurun dua tahun terakhir saja telah terjadi delapan kasus pembobolan bank dengan kerugian berkisar Rp250 miliar (Kompas, 31/3).
Bahkan, sangat mungkin lebih dari itu karena ada indikasi dalam hal terjadi kejahatan perbankan pihak bank ada kalanya menutup-nutupi dengan alasan untuk menjaga kepercayaan masyarakat. Tentu keadaan itu harus dievaluasi. Hal-hal apa saja yang menyebabkan begitu seringnya terjadi kejahatan perbankan? Itu membahayakan industri perbankan secara nasional, bila sampai berdampak pada merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan yang akan berujung pada perekonomian negara.
Kriteria kejahatan perbankan Sejalan dengan era digital system, modus kejahatan perbankan yang terjadi di Indonesia juga mengalami perkembangan ke arah modus yang canggih dalam bentuk white collar crime. Cirinya antara lain sulitnya dilacak (untraceable crime), tidak ada bukti tertulis (paperless crime), tidak kasatmata (discernible crime), dan dilakukan dengan cara yang rumit (intricate crime).

Namun, bukan berarti tidak terjadi yang konservatif seperti yang terjadi belakangan ini, yaitu dengan modus pemalsuan, penipuan, dan penggelapan atas dana nasabah yang dilakukan pegawai bank atau orang lain atau kerja sama di antara mereka. Menarik untuk dicermati adalah bahwa sebagian besar kejahatan perbankan selalu melibatkan oknum bank, mulai teller sampai dengan top level lembaga keuangan tersebut.
Perihal kejahatan perbankan diatur Undang-Undang No 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Keterlibatan pihak bank seperti anggota dewan komisaris, direksi, pegawai bank atau pemegang saham, diatur dalam Pasal 47, Pasal 47A, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 50A. Adapun kejahatan perbankan yang tidak melibatkan pegawai bank hanya diatur dalam satu pasal, yaitu Pasal 46 tentang menghimpun dana masyarakat tanpa seizin BI.

Kejahatan yang diatur dalam undang-undang tersebut, pertama, berkaitan dengan pembukaan rahasia bank yang tidak sesuai dengan peraturan atau bahkan tidak memberikan keterangan pembukaan rahasia bank ketika diperlukan (Pasal 46-47). Kedua, pihak bank dengan sengaja tidak mem berikan keterangan kepada BI mengenai kegiatan usaha, pemeriksaan buku-buku, dan berkas-berkas ketika diminta BI (Pasal 48). Dalam kaitan pasal itu sering terjadi praktik bank dalam bank yang dilarang atau melakukan kegiatan usaha yang dilarang dengan menggunakan dana nasabah tanpa sepengetahuan BI. Dana, misalnya, dimasukkan ke perusahaan yang dilarang ketentuan perbankan.

Selanjutnya pasal yang sering kali dilanggar berkaitan dengan Pasal 49 ayat (1) huruf a, yaitu perbuatan yang berkaitan dengan pencatatan palsu dalam pembukuan atau laporan atau dokumen kegiatan usaha, transaksi, atau rekening. Lainnya berkaitan dengan tidak memasukkan pencatatan dalam pembukuan dan Pasal 49 ayat (1) huruf b dan huruf c, yaitu menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidak dilakukan pencatatan atau mengubah, mengaburkan, atau menyembunyikan atau menghapus pencatatan dalam pembukuan atau laporan atau dokumen kegiatan usaha, transaksi, atau rekening. Ketentuan itulah yang paling sering dilakukan pihak bank yang terdiri dari pegawai bank, direksi, dan komisaris. Modusnya dana nasabah tidak masuk ke catatan bank, atau digunakan untuk kepentingan pribadi, dengan diawali memindahkan dana nasabah bukan ke pembukuan bank, tetapi masuk ke rekening pribadi pelaku kejahatan atau orang lain yang bekerja sama dengannya. Ada juga dengan modus lain, yaitu memberikan catatan pembukuan yang berbeda kepada nasabah sehingga mereka tidak mengetahui dana mereka sebetulnya telah hilang. Ayat (2) berkaitan dengan perbuatan sengaja meminta dan menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima imbalan atau komisi untuk keuntungan pribadi dan keluarganya dalam hal membantu orang lain memperoleh fasilitas kredit atau fasilitas lain yang disediakan bank tersebut. Ayat selanjutnya menjelaskan tentang tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan terhadap ketentuan undang-undang perbankan. Itu pada umumnya terkait dengan pemberian kredit pada orang yang sebetulnya tidak layak untuk mendapatkan fasilitas tersebut, tetapi diberikan karena adanya imbalan. Juga, pada umumnya persyaratan seperti agunan yang palsu atau fiktif, atau memberikan fasilitas kredit yang di luar batas yang diizinkan dan atas apa yang dilakukan mereka mendapatkan komisi. Kejahatan itu berpotensi menimbulkan kredit macet atau bahkan nasabah mereka melarikan diri dengan menilap uang nasabah bank tersebut. Apabila pelakunya juga melibatkan pemegang saham, akan dijerat dengan ketentuan Pasal 50 dan 50A.
Telaahan atas kasus Citibank Berdasarkan pemberitaan kasus Citibank, relationship manager tersebut diduga menyalahgunakan kepercayaan nasabah premiumnya. Modusnya mungkin dengan mem bujuk nasabah untuk menandatangani blangko kosong atau bisa juga nasabahnya dengan sukarela menandatangani kegiatan penarikan atau penyetoran dengan menandatangani blangko. Selanjutnya yang terjadi adalah tidak ada laporan dalam pembukuan atau laporan transaksi kepada pihak otoritas bank tersebut dan pelaku justru mengalirkan dana nasabah ke rekeningrekening pribadinya dan mentransaksikan untuk pembelian barang-barang pribadi tersangka atau juga diduga masuk ke beberapa perusahaan termasuk yang fiktif.

Jika mengingat posisi pelaku sebagai manajer yang menangani nasabah premium, tampaknya yang terjadi adalah adanya kepercayaan yang berlebihan dari nasabah kepada pejabat tersebut. Akibatnya, hubungan di antara mereka bukan lagi hubungan bisnis, melainkan sudah mengarah ke hubungan per sonal yang menurunkan tingkat profesionalitas dari pihak bank dan memang se cara moral ada etika tidak baik. Perbua ka tidak baik. tan tersebut bisa terjang kau oleh Pasal 49 yang pada prinsipnya memang menjelaskan tentang menggelapkan dana na sabah untuk digunakan secara pribadi.
Dengan besarnya jumlah dana nasabah yang digelapkan tersebut dan telah dilakukan selama tiga tahun, apalagi nasabahnya premium yang minimum mempunyai dana sebesar Rp500 juta, seharusnya penelusuran dit erapkan tidak saja terhadap kejahatan yang dilakukan pe jabat bank itu. Perlu juga diungkap perihal proses awal masuknya nasabah dan mengapa sampai selama itu tidak terendus oleh atasan dan teman selevelnya. Pencucian uang dalam kasus e Citibank Dugaan pencu cian uang yang terjadi dari kasus pembobolan Citibank seharusnya dilihat mulai dari ketika nasabah premium tersebut memasukkan dana ke Citibank. Terutama yang harus diwaspadai adalah istilah private banking diartikan sebagai apa. Dalam konteks tersebut selayaknya program itu adalah memberikan kemudahan dan kenyamanan dalam melakukan transaksi bagi nasabah tanpa adanya pelanggaran hukum terutama terkait dengan persyaratan yang telah ditentukan dalam hal asal usul uang tersebut.

Yang paling penting dipertanyakan adalah apakah terhadap para nasabah diberlakukan tindakan know your customer (KYC), yang mengidentifikasi jati diri nasabah dan kegiatan yang dilakukan terkait dengan dana yang bank tersebut.
Jangan sampai asal usul dana tersebut juga dirahasiakan.
Dalam hal itu terkait kewajiban pelaporan atas transaksi mencurigakan berapa pun jumlahnya yang harus dilaporkan pihak bank kepada PPATK atau laporan atas transaksi tunai yang jumlahnya Rp500 juta ke atas. Dalam kasus itu tersangka telah tiga tahun menjadi manajer humas dengan nasabah mempunyai transaksi dalam jumlah Rp500 juta ke atas. Jadi, seharusnya PPATK sejak tiga tahun lalu telah mempunyai laporan atas data nasabah tersebut dan menganalisisnya. Dengan demikian, ketika sekarang kasus ini meledak semestinya P PAT K s u d a h lebih progresif lagi kare na telah mem punyai data sejak tiga tahun. Selanjutnya dugaan praktik pencucian uang bisa juga terjadi setelah adanya kejahatan perbankan yang dilakukan tersangka. Dalam hal itu perlu ditelusuri dari aliran dana dalam rekening tersangka mulai ketika masuk secara ilegal ke rekeningnya sampai ke mana saja aliran dana itu mengalir atau digunakan untuk kepentingan di luar kepentingan nasabahnya.
Siapa bertanggung jawab? Dari apa yang terjadi atas skandal Citibank tersebut, tentu harus ditelusuri siapa saja yang terlibat sehingga ada pembobolan dana nasabah premium tersebut dan apakah telah terjadi dugaan pencucian uang pada saat awal dana nasabah masuk. Bila terjadi, siapa saja yang memberikan kemudahan sehingga tidak dilakukan KYC dan siapa saja pihak bank yang tidak melaporkan identitas dan asal usul dana nasabah kepada PPATK? Apakah hanya manajer humas ini saja dengan mengelabui atasan dan semua pejabat otoritas bank terkait? Setelah itu, siapa saja yang terlibat dalam kejahatan perbankan Pasal 49 sejauh ini, apakah hanya melibatkan teller bawahan tersangka atau ada sejumlah pejabat bank yang terlibat? Kemudian tentu saja tentang pencucian uang atas hasil kejahatan bank yang telah dilakukan yang membuat keka yaan tersangka begitu melimpah melampaui profil nasabah terse but. Misalnya terkait dengan pembelian sejumlah mobil mewah dan properti serta dana yang masuk ke perusahaanperusahaan. Semua orang yang pernah melakukan transaksi dengan tersangka perlu diperiksa, terutama berkenaan dengan pengetahuan mereka atau paling tidak dugaan mereka atas asal usul uang yang diterima dari tersangka. Bila memenuhi kriteria mengetahui atau patut menyangka bahwa uang yang diterimanya mencurigakan dan mereka tidak mau peduli, mereka bisa dijerat dengan ketentuan pencucian uang pasif dan ancaman pidananya selama lima tahun.
Bagaimana penyelesaiannya?
Bagaimanapun juga dugaan kejahatan perbankan dan pencucian uang atas Citibank harus dituntaskan karena selain sangat mengusik rasa keadilan tiap nasabah, meresahkan masyarakat Indonesia serta membahayakan perekonomian nasional. Penegak hukum harus bekerja secara profesional dan menjaga integritas mereka. Semua kemungkinan seperti yang telah diuraikan tersebut harus didalami tanpa pandang bulu dan jangan menyisakan celah sedikit pun untuk berkompromi, apalagi terlibat mafia hukum.

Terakhir, pihak bank sendiri harus menjaga integritas dengan senantiasa menjalankan aktivitas berbisnis secara tepat dan terhormat (codes of conduct for the correct, honourable and proper performance of the activities of business). Prinsip-prinsip etika bagi para manajer bank harus secara mutlak dipahami serta diimple mentasikan di lapangan. Mis alnya menerap kan prosedur yang dapat memastikan profil iap nasabah, memastikan bahwa tiap tran saksi tidak melanggar hukum, serta harus selalu bekerja sama dengan penegak hukum.

Apabila hal-hal tersebut tidak diindahkan dan masih juga dilanggar, jangan terkejut bila akan bermunculan Melinda-Melinda lain di masa yang akan datang.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2011/04/11/ArticleHtmls/11_04_2011_020_003.shtml?Mode=0