BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Kejahatan Perbankan dan Pencucian Uang

Kejahatan Perbankan dan Pencucian Uang

Written By gusdurian on Senin, 11 April 2011 | 15.08

Yenti Garnasih FH Universitas Trisakti



Pihak bank sendiri harus menjaga integritas dengan senantiasa menjalankan aktivitas berbisnis secara tepat dan terhormat (codes of conduct for the correct, honourable and proper performance of the activities of business). "
Selama hampir tiga minggu terakhir media dipenuhi pemberitaan pembobolan dana nasabah Citigold Citibank (program pelayanan untuk nasabah prima) yang dilakukan senior relationship manager bank itu sendiri. Jumlah uang yang dibobol mencapai puluhan miliar rupiah. Juga ditemukan fakta bahwa pegawai bank tersebut memiliki beberapa mobil mewah, apartemen, dan sejumlah kekayaan lainnya yang diduga terkait dengan kejahatan yang dilakukannya. Beberapa waktu sebelumnya juga diberitakan adanya pemberitaan tentang pembobolan Bank Mandiri yang pelakunya juga customer service untuk nasabah prioritas.
Juga, beberapa bank ternyata kebobolan karena ulah para pegawai bank atau ada keterlibatan pegawai bank.

Kejahatan perbankan ditengarai marak sejak era penggunaan IT system untuk alasan efisiensi dan efektivitas.
Namun, sistem itu ternyata juga rentan dengan terjadinya pembobolan dana nasabah baik yang dilakukan orang luar bank maupun yang dilakukan pihak bank. Dalam kurun dua tahun terakhir saja telah terjadi delapan kasus pembobolan bank dengan kerugian berkisar Rp250 miliar (Kompas, 31/3).
Bahkan, sangat mungkin lebih dari itu karena ada indikasi dalam hal terjadi kejahatan perbankan pihak bank ada kalanya menutup-nutupi dengan alasan untuk menjaga kepercayaan masyarakat. Tentu keadaan itu harus dievaluasi. Hal-hal apa saja yang menyebabkan begitu seringnya terjadi kejahatan perbankan? Itu membahayakan industri perbankan secara nasional, bila sampai berdampak pada merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan yang akan berujung pada perekonomian negara.
Kriteria kejahatan perbankan Sejalan dengan era digital system, modus kejahatan perbankan yang terjadi di Indonesia juga mengalami perkembangan ke arah modus yang canggih dalam bentuk white collar crime. Cirinya antara lain sulitnya dilacak (untraceable crime), tidak ada bukti tertulis (paperless crime), tidak kasatmata (discernible crime), dan dilakukan dengan cara yang rumit (intricate crime).

Namun, bukan berarti tidak terjadi yang konservatif seperti yang terjadi belakangan ini, yaitu dengan modus pemalsuan, penipuan, dan penggelapan atas dana nasabah yang dilakukan pegawai bank atau orang lain atau kerja sama di antara mereka. Menarik untuk dicermati adalah bahwa sebagian besar kejahatan perbankan selalu melibatkan oknum bank, mulai teller sampai dengan top level lembaga keuangan tersebut.
Perihal kejahatan perbankan diatur Undang-Undang No 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Keterlibatan pihak bank seperti anggota dewan komisaris, direksi, pegawai bank atau pemegang saham, diatur dalam Pasal 47, Pasal 47A, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 50A. Adapun kejahatan perbankan yang tidak melibatkan pegawai bank hanya diatur dalam satu pasal, yaitu Pasal 46 tentang menghimpun dana masyarakat tanpa seizin BI.

Kejahatan yang diatur dalam undang-undang tersebut, pertama, berkaitan dengan pembukaan rahasia bank yang tidak sesuai dengan peraturan atau bahkan tidak memberikan keterangan pembukaan rahasia bank ketika diperlukan (Pasal 46-47). Kedua, pihak bank dengan sengaja tidak mem berikan keterangan kepada BI mengenai kegiatan usaha, pemeriksaan buku-buku, dan berkas-berkas ketika diminta BI (Pasal 48). Dalam kaitan pasal itu sering terjadi praktik bank dalam bank yang dilarang atau melakukan kegiatan usaha yang dilarang dengan menggunakan dana nasabah tanpa sepengetahuan BI. Dana, misalnya, dimasukkan ke perusahaan yang dilarang ketentuan perbankan.

Selanjutnya pasal yang sering kali dilanggar berkaitan dengan Pasal 49 ayat (1) huruf a, yaitu perbuatan yang berkaitan dengan pencatatan palsu dalam pembukuan atau laporan atau dokumen kegiatan usaha, transaksi, atau rekening. Lainnya berkaitan dengan tidak memasukkan pencatatan dalam pembukuan dan Pasal 49 ayat (1) huruf b dan huruf c, yaitu menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidak dilakukan pencatatan atau mengubah, mengaburkan, atau menyembunyikan atau menghapus pencatatan dalam pembukuan atau laporan atau dokumen kegiatan usaha, transaksi, atau rekening. Ketentuan itulah yang paling sering dilakukan pihak bank yang terdiri dari pegawai bank, direksi, dan komisaris. Modusnya dana nasabah tidak masuk ke catatan bank, atau digunakan untuk kepentingan pribadi, dengan diawali memindahkan dana nasabah bukan ke pembukuan bank, tetapi masuk ke rekening pribadi pelaku kejahatan atau orang lain yang bekerja sama dengannya. Ada juga dengan modus lain, yaitu memberikan catatan pembukuan yang berbeda kepada nasabah sehingga mereka tidak mengetahui dana mereka sebetulnya telah hilang. Ayat (2) berkaitan dengan perbuatan sengaja meminta dan menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima imbalan atau komisi untuk keuntungan pribadi dan keluarganya dalam hal membantu orang lain memperoleh fasilitas kredit atau fasilitas lain yang disediakan bank tersebut. Ayat selanjutnya menjelaskan tentang tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan terhadap ketentuan undang-undang perbankan. Itu pada umumnya terkait dengan pemberian kredit pada orang yang sebetulnya tidak layak untuk mendapatkan fasilitas tersebut, tetapi diberikan karena adanya imbalan. Juga, pada umumnya persyaratan seperti agunan yang palsu atau fiktif, atau memberikan fasilitas kredit yang di luar batas yang diizinkan dan atas apa yang dilakukan mereka mendapatkan komisi. Kejahatan itu berpotensi menimbulkan kredit macet atau bahkan nasabah mereka melarikan diri dengan menilap uang nasabah bank tersebut. Apabila pelakunya juga melibatkan pemegang saham, akan dijerat dengan ketentuan Pasal 50 dan 50A.
Telaahan atas kasus Citibank Berdasarkan pemberitaan kasus Citibank, relationship manager tersebut diduga menyalahgunakan kepercayaan nasabah premiumnya. Modusnya mungkin dengan mem bujuk nasabah untuk menandatangani blangko kosong atau bisa juga nasabahnya dengan sukarela menandatangani kegiatan penarikan atau penyetoran dengan menandatangani blangko. Selanjutnya yang terjadi adalah tidak ada laporan dalam pembukuan atau laporan transaksi kepada pihak otoritas bank tersebut dan pelaku justru mengalirkan dana nasabah ke rekeningrekening pribadinya dan mentransaksikan untuk pembelian barang-barang pribadi tersangka atau juga diduga masuk ke beberapa perusahaan termasuk yang fiktif.

Jika mengingat posisi pelaku sebagai manajer yang menangani nasabah premium, tampaknya yang terjadi adalah adanya kepercayaan yang berlebihan dari nasabah kepada pejabat tersebut. Akibatnya, hubungan di antara mereka bukan lagi hubungan bisnis, melainkan sudah mengarah ke hubungan per sonal yang menurunkan tingkat profesionalitas dari pihak bank dan memang se cara moral ada etika tidak baik. Perbua ka tidak baik. tan tersebut bisa terjang kau oleh Pasal 49 yang pada prinsipnya memang menjelaskan tentang menggelapkan dana na sabah untuk digunakan secara pribadi.
Dengan besarnya jumlah dana nasabah yang digelapkan tersebut dan telah dilakukan selama tiga tahun, apalagi nasabahnya premium yang minimum mempunyai dana sebesar Rp500 juta, seharusnya penelusuran dit erapkan tidak saja terhadap kejahatan yang dilakukan pe jabat bank itu. Perlu juga diungkap perihal proses awal masuknya nasabah dan mengapa sampai selama itu tidak terendus oleh atasan dan teman selevelnya. Pencucian uang dalam kasus e Citibank Dugaan pencu cian uang yang terjadi dari kasus pembobolan Citibank seharusnya dilihat mulai dari ketika nasabah premium tersebut memasukkan dana ke Citibank. Terutama yang harus diwaspadai adalah istilah private banking diartikan sebagai apa. Dalam konteks tersebut selayaknya program itu adalah memberikan kemudahan dan kenyamanan dalam melakukan transaksi bagi nasabah tanpa adanya pelanggaran hukum terutama terkait dengan persyaratan yang telah ditentukan dalam hal asal usul uang tersebut.

Yang paling penting dipertanyakan adalah apakah terhadap para nasabah diberlakukan tindakan know your customer (KYC), yang mengidentifikasi jati diri nasabah dan kegiatan yang dilakukan terkait dengan dana yang bank tersebut.
Jangan sampai asal usul dana tersebut juga dirahasiakan.
Dalam hal itu terkait kewajiban pelaporan atas transaksi mencurigakan berapa pun jumlahnya yang harus dilaporkan pihak bank kepada PPATK atau laporan atas transaksi tunai yang jumlahnya Rp500 juta ke atas. Dalam kasus itu tersangka telah tiga tahun menjadi manajer humas dengan nasabah mempunyai transaksi dalam jumlah Rp500 juta ke atas. Jadi, seharusnya PPATK sejak tiga tahun lalu telah mempunyai laporan atas data nasabah tersebut dan menganalisisnya. Dengan demikian, ketika sekarang kasus ini meledak semestinya P PAT K s u d a h lebih progresif lagi kare na telah mem punyai data sejak tiga tahun. Selanjutnya dugaan praktik pencucian uang bisa juga terjadi setelah adanya kejahatan perbankan yang dilakukan tersangka. Dalam hal itu perlu ditelusuri dari aliran dana dalam rekening tersangka mulai ketika masuk secara ilegal ke rekeningnya sampai ke mana saja aliran dana itu mengalir atau digunakan untuk kepentingan di luar kepentingan nasabahnya.
Siapa bertanggung jawab? Dari apa yang terjadi atas skandal Citibank tersebut, tentu harus ditelusuri siapa saja yang terlibat sehingga ada pembobolan dana nasabah premium tersebut dan apakah telah terjadi dugaan pencucian uang pada saat awal dana nasabah masuk. Bila terjadi, siapa saja yang memberikan kemudahan sehingga tidak dilakukan KYC dan siapa saja pihak bank yang tidak melaporkan identitas dan asal usul dana nasabah kepada PPATK? Apakah hanya manajer humas ini saja dengan mengelabui atasan dan semua pejabat otoritas bank terkait? Setelah itu, siapa saja yang terlibat dalam kejahatan perbankan Pasal 49 sejauh ini, apakah hanya melibatkan teller bawahan tersangka atau ada sejumlah pejabat bank yang terlibat? Kemudian tentu saja tentang pencucian uang atas hasil kejahatan bank yang telah dilakukan yang membuat keka yaan tersangka begitu melimpah melampaui profil nasabah terse but. Misalnya terkait dengan pembelian sejumlah mobil mewah dan properti serta dana yang masuk ke perusahaanperusahaan. Semua orang yang pernah melakukan transaksi dengan tersangka perlu diperiksa, terutama berkenaan dengan pengetahuan mereka atau paling tidak dugaan mereka atas asal usul uang yang diterima dari tersangka. Bila memenuhi kriteria mengetahui atau patut menyangka bahwa uang yang diterimanya mencurigakan dan mereka tidak mau peduli, mereka bisa dijerat dengan ketentuan pencucian uang pasif dan ancaman pidananya selama lima tahun.
Bagaimana penyelesaiannya?
Bagaimanapun juga dugaan kejahatan perbankan dan pencucian uang atas Citibank harus dituntaskan karena selain sangat mengusik rasa keadilan tiap nasabah, meresahkan masyarakat Indonesia serta membahayakan perekonomian nasional. Penegak hukum harus bekerja secara profesional dan menjaga integritas mereka. Semua kemungkinan seperti yang telah diuraikan tersebut harus didalami tanpa pandang bulu dan jangan menyisakan celah sedikit pun untuk berkompromi, apalagi terlibat mafia hukum.

Terakhir, pihak bank sendiri harus menjaga integritas dengan senantiasa menjalankan aktivitas berbisnis secara tepat dan terhormat (codes of conduct for the correct, honourable and proper performance of the activities of business). Prinsip-prinsip etika bagi para manajer bank harus secara mutlak dipahami serta diimple mentasikan di lapangan. Mis alnya menerap kan prosedur yang dapat memastikan profil iap nasabah, memastikan bahwa tiap tran saksi tidak melanggar hukum, serta harus selalu bekerja sama dengan penegak hukum.

Apabila hal-hal tersebut tidak diindahkan dan masih juga dilanggar, jangan terkejut bila akan bermunculan Melinda-Melinda lain di masa yang akan datang.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2011/04/11/ArticleHtmls/11_04_2011_020_003.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: