BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Timteng dan War for Oil

Timteng dan War for Oil

Written By gusdurian on Senin, 11 April 2011 | 15.44

Sebagai lembaga kajian, International Conference of Islamic Scholars (ICIS) selama ini telah melakukan studi kasus per kasus dalam konflik dan pergolakan yang terjadi di berbagai kawasan, termasuk di Timur Tengah (Timteng).


Kajian rutin tentang masalah Timteng ini sudah menjadi program ICIS beberapa tahun terakhir. Belakangan ini, sejumlah negara di Timteng sedang bergolak. Mulai dari Mesir, Libya, Yaman,Tunisia hingga sejumlah negara lain.Terkait dengan itu, ada beberapa aspek yang harus diperhatikan.Bahwa negara- negara yang bergolak saat ini umumnya beragama Islam atau mayoritas penduduknya muslim, tetapi banyak aturan Islami yang tidak dijalankan dengan baik. Islam memang ada di dalamnya, tetapi belum merupakan aksi kenegaraan untuk menciptakan keadilan. Di negara-negara tersebut, selama ini kurang ada dialog antara penguasa dengan rakyat.

Di sisi lain, juga terjadi penumpukan kekuasaan dan kekayaan dalam satu tangan. Tentu itu semua tidak sesuai dengan ajaran Islam. Selain faktor penumpukan kekayaan, faktor lain adalah keterputusan hubungan antara rakyat dan kekuasaan serta faktor hubungan kedekatan Pemerintah Mesir dengan Israel.Kedekatan Pemerintah Mesir dengan Israel ini memang sangat menguntungkan Mesir sebagai negara, tetapi menyakitkan rakyat Mesir. Soal fenomena Muammar Khadafi agak berbeda. Sejak awal ia memang punya sifat sangat keras. Sikap keras selama 40 tahun lebih dalam memimpin itulah yang kini menimbulkan perang saudara. Konflik Libya tidak akan pecah jika Khadafi mau mengerti keinginan rakyatnya.

Kepentingan minyak

Serangan Amerika Serikat (AS) dan sekutunya akan semakin menciptakan suasana yang jauh dari kedamaian. Sebab, dalam serangan yang mendompleng misi kemanusiaan itu ada kepentingan penguasaan minyak (war for oil). Meskipun mengatasnamakan penyelamatan terhadap wargasipil,ternyatakorbanjiwa yang ditimbulkan lebih banyak dari konflik awal.Padahal,mandatyangdikeluarkanPBBadalah untuk melindungi warga sipil. Memang akhirnya tercipta gencatan senjata sebagai langkah awal untuk menciptakan perdamaian.Namun, gencatan senjata saja tentu tidak cukup untuk menyelesaikan masalah.

Harus diperjelas, setelah gencatan senjata, apa yang akan dilakukan? Jika setelah gencatan tidak ada langkah konkret,Libya bisa jatuh ke tangan AS dan sekutunya. Jika itu yang terjadi,ujungujungnya yang akan dirugikan adalah rakyat Libya sendiri. Dunia harus belajar dari perang Irak pada 2003.Saat itu,AS dan sekutunya berhasil menaklukkan Saddam Hussein.Namun, setelah Irak jatuh ke tangan AS dan sekutunya, rakyat Irak justru semakin larut dalam konflik antarkelompok. Saat ini ada upaya pemecahan antara Libya Barat dan Libya Timur oleh pihak asing. Wilayah barat Libya dikenal sangat kaya minyak. Hal itu mengingatkan pada konflik di Darfur, Sudan Selatan.

Negara kaya minyak ini juga dibelah menjadi dua, yaitu Sudan Utara dan Sudan Selatan. Sama seperti di Libya, di Sudan juga ada intervensi asing. Kini, ada kabar perkembangan menarik. Barack Obama menyatakan,AS tidak ingin terlibat terlalu jauh dalam invasi ke Libya.Pernyataan Obama ini memperkuat prediksi bahwa operasi koalisi Barat di Libya adalah persoalan minyak (war for oil). AS tampaknya tidak punya perusahaan minyak di Libya, yang punya perusahaan minyak di Libya adalah negara-negara Eropa seperti Inggris, Prancis, Spanyol sehingga mereka yang sangat berkepentingan diLibya.

Negara-negara Eropa ini kerap menemui kesulitan menghadapi Khadafi yang berperangai eksentrik sehingga mereka perlu “menumpang kepentingan” atas nama kemanusiaan dalam pemberontakan. Bisajadi,pemerintahanObama tidak bisa terus-menerus ikut operasi di Libya kecuali sebatas kepentingan “solidaritas Barat”. Namun, Obama yang selalu mengobarkan soft policy terhadap dunia Islam bisa merugi secara politis,termasuk namanya sebagai pemenang Nobel dunia akan tercemar.

Di sisi lain,apa yang dilakukan negara-negara Eropa di Libya sebenarnya bersifat spekulatif. Jika Khadafi menang, Eropa akan rugi besar. Karena itu,mereka berusaha membagi Libya menjadi dua, barat dan timur, karena barat penghasil minyak serta banyak investasi Eropa di situ.Adapun wilayah timur merupakan wilayah yang sangat kondusif sebagai basis oposisi.

Keuntungan Dunia Arab

Lalu,kenapa sejumlah negara Timteng bergabung ke Eropa? Negara-negara Arab penghasil minyak sangat diuntungkanolehkrisisLibya karenaharga minyak bisa naik dari USD80 ke USD110 per barel. Hitung saja, jika Arab Saudi mampu menghasilkan minyak terbesar di dunia, yaitu mencapai 9 juta barel sehari, berarti Saudi bisa mendapat kenaikan pendapatan USD270 juta dolar per hari. Bagaimana kalau dihitung selama satu bulan? Selanjutnya, Qatar yang menghasilkan 2 juta barel sehari, Bahrain dan Kuwait yang bisa mencapai 2 sampai 3 juta barel sehari, tentu juga dapat menikmati keuntungan yang sangat besar.

Namun, negara pengimpor minyak yang “miskin” seperti Indonesia, Bangladesh, dan Pakistan tidak dapat menikmati keuntungan tersebut. Justru mereka terkapar karena sebagai negara miskin sama halnya dengan hanya “setor” ke eksportir minyak besar. Indonesia sendiri secara politis seharusnya tegas mendorong negara-negara Timteng agar melakukan demokrasi ekonomi dan politik agar tidak ada kekuasaan seumur hidup. Namun, di lain pihak, Indonesia juga harus tegas menentang agresi asing yang menumpang di setiap pemberontakan.

Apalagi kalau pemberontakan tersebut didesain oleh asing. Ini sangat berbahaya karena Indonesia pun dapat diperlakukan seperti Libya.Mereka bisa menyulut pemberontakan di dalam negeri,kemudian melakukan intervensi atau invasi berdasarkan “kemanusiaan”. Sayangnya,di Indonesia,orang bisa bicara dan meminta apa saja, kecuali “meminta ketegasan”. ●

KH HASYIM MUZADI
Sekjen International Conference of Islamic Scholars (ICIS)

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/391087/
Share this article :

0 komentar: