BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Pembangunan Kesehatan bagi Anak Indonesia

Pembangunan Kesehatan bagi Anak Indonesia

Written By gusdurian on Senin, 11 April 2011 | 15.27

Dian A Syakhroza Anggota DPR RI; Kaukus DPR RI untuk Kesehatan Rakyat

Pemerintah juga harus menjamin akses penduduk terhadap pangan dengan peningkatan produksi pangan dan peningkatan pendapatan keluarga.

Pendapatan dan masalah gizi memang dua persoalan yang saling berpengaruh erat.”

"The wise man should consider that health is the greatest of human blessings. Let food be your medicine." (Hippocrates) S EJAK 63 tahun lalu, tanggal 7 April menjadi hari penting bagi pen duduk bumi. Tanggal kelahiran World Health Organization (WHO) ini diperingati sebagai Hari Kesehatan Sedunia. WHO selalu mengangkat tema berbeda setiap tahun untuk merayakannya. Tema khusus ini menjadi gerakan global di setiap negara anggota WHO.

Di luar hal tersebut, momen tahunan ini juga menjadi saat tepat untuk merefleksikan hasil pembangunan kesehatan di Indonesia. Meski kondisi perekonomian Indonesia makin membaik, pembangunan kesehatan di Indonesia masih tertinggal.

Salah satu indikator paling jelas ialah peringkat indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia yang stagnan di zona ketiga, yaitu negara berkembang menengah. IPM adalah ukuran keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa yang dilihat dari parameter pembangunan ekonomi, kesehatan, dan pendidikan.

Menurut laporan UNDP terbaru, IPM Indonesia tahun 2010 masih 0,6 dan berada di peringkat 108 dari 169 negara.
Jauh tertinggal dari Singapura, Brunei, Malaysia, Thailand, bahkan Filipina. Rendahnya peringkat IPM ini disebabkan persoalan mendasar kesehatan, yaitu tingginya angka kematian ibu melahirkan dan pemenuhan gizi pada anak.
Masalah gizi dan kualitas SDM Selama beberapa tahun terakhir, Indonesia menghadapi masalah gizi ganda. Sebagian anak mengalami gizi kurang, sebagian mengalami gizi lebih.
Penderita gizi kurang menunjukkan kecenderungan menurun, sebaliknya penderita gizi lebih cenderung meningkat.

Terdapat serangkaian penelitian ilmiah yang membuktikan pengaruh kekurangan gizi terhadap kualitas sumber daya manusia.

Gangguan pertumbuhan pada masa janin sampai usia balita tak dapat dikejar pada fase berikutnya, meskipun kebutuhan gizi anak terpenuhi setelah melewati masa emas pertumbuhan ini (window of opportunities). Sebab, pertumbuhan sel-sel otak pada masa tersebut ialah yang tertinggi jika dibandingkan dengan fase selanjutnya.

Sel otak tumbuh sampai 70% sampai anak berusia 2 tahun dan mencapai 90% dari kapasitas otak pada usia 5 tahun.

Bila terjadi gangguan seperti kekurangan gizi, pertumbuhan sel-sel otak tak maksimal dan volume sel otak menjadi lebih kecil daripada ukuran normal.

Karenanya, kekurangan gizi pada janin sampai usia 2 tahun punya dampak jangka pendek menghambat pertumbuhan dan perkembangan otak anak dan untuk jangka panjang menurunkan kemampuan kognitif dan kemampuan belajar (Soekirman, 2000).

Bahkan penelitian Mendez & Adair (1999) di Filipina menunjukkan skor kecerdasan anak-anak bertubuh pendek (stunting) lebih rendah daripada anak dengan tinggi badan normal.

Selain itu, kurang gizi juga akan memengaruhi produktivitas. Kajian Liu et al (2004) mengungkapkan bahwa kekurangan gizi sampai pada usia 3 tahun berpengaruh pada perilaku-perilaku seperti apatis, yang menurunkan produktivitas pada usia dewasa. Pada kondisi gizi buruk, penurunan produktivitas
perorangan diperkirakan lebih dari 10% dari potensi pendapatan seumur hidup; dan secara agregat menyebabkan kehilangan PDB antara 2%-3% (Bank Dunia, 2006).

Pada anak-anak, kekurangan gizi menurunkan daya tahan
tubuh dari serangan penyakit dan berakhir dengan kematian.
Data statistik United Nations Foods and Agriculture Organization (FAO) menyebutkan 5 juta anak meninggal setiap tahun akibat kekurangan gizi (FAO, 2009). Kekurangan gizi pada balita ini meliputi kurang energi dan protein serta kekurangan zat gizi seperti vitamin A, zat besi, yodium, dan zinc.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 mengungkapkan prevalensi gizi kurang pada 2010 adalah 17,9%, jauh menurun dari tahun 1989 sebesar 31%. Sebanyak 4,9% (sekitar 1 juta anak) menderita gizi buruk dan 37% anak termasuk pendek.

Adapun prevalensi balita gemuk sebesar 14,2%, lebih tinggi daripada balita kurus yang 13,3%. Seperti halnya kekurangan gizi, kelebihan gizi yang ditandai dengan kegemukan juga bisa menyebabkan kematian.

Obesitas merupakan salah satu risiko utama penyakit tidak menular sebagai penyebab utama kematian di Indonesia. Penyebab kegemukan antara lain semakin meningkatnya makanan siap saji yang cenderung rendah serat, tinggi garam, serta tinggi gula dan lemak.

Uniknya, hasil Riskesdas 2010 juga menunjukkan kasus anak gemuk dan kurus tidak dipengaruhi kondisi sosial ekonomi. Prevalensi gizi lebih pada kelompok yang paling miskin 12,4%, sedangkan pada kelompok yang paling kaya 14,9%.
1 Ini menunjukkan bahw faktor-faktor pengetahuan wa dan perilaku masyarakat sangat berpengaruh terhadap kejadian gizi.
Upaya perbaikan gizi Undang-Undang Kesehatan menyebutkan arah dan kebijakan pembangunan gizi didasarkan kepada peningkatan mutu gizi perorangan dan masyarakat. Untuk mendukung pemenuhan gizi individu, perlu dilakukan perubah an pola asuh keluarga.
Sampai kini masih banyak orang tua yang tidak mengetahui pola pemberian makanan bayi yang tepat, masih berperilaku jauh dari pola hidup bersih dan sehat, serta belum sadar gizi.

Karena itu, pemerintah berkewajiban untuk memberikan pengetahuan dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi. Pengetahuan gizi prioritas yang harus diketahui publik antara lain pentingnya pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama agar bayi cerdas dan sehat, mengonsumsi beraneka ragam makanan sesuai dengan gizi seimbang, memantau berat badan secara teratur, penyusunan hidangan sesuai ketersediaan pangan setempat, dan menerapkan pola hidup sehat dan bersih.

Selain itu, pemerintah juga harus menjamin akses penduduk terhadap pangan dengan peningkatan produksi pangan dan peningkatan pendapatan keluarga. Pendapatan dan masalah gizi memang dua persoalan yang saling berpengaruh erat.

Data Kementerian Pertanian menunjukkan hampir 80% penduduk dengan pendapatan di bawah Rp1.000.000 per bulan mengalami defi sit energi, yakni ha nya mengonsumsi energi 70% dari kebutuhannya.

Sementara penduduk dengan pendapatan di atas Rp1.000.000 per bulan mengalami defi sit energi sebesar 4,9%.

Langkah ketiga yang harus dilakukan pemerintah adalah peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehatan. Hal ini bisa dilakukan dengan merevitalisasi pelayanan kesehatan primer, memberikan dana taktis untuk upaya preventif dan promotif kesehatan di tingkat puskesmas, menjamin ketersediaan obat, memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan sampai ke pelosok, pengembangan sistem jaminan kesehatan nasional, dan peningkatan pelayanan kesehatan di wilayah terpencil.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2011/04/07/ArticleHtmls/07_04_2011_015_021.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: