BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Perempuan dan Ekonomi

Written By gusdurian on Sabtu, 12 Maret 2011 | 16.05

Penulis Skenario Film, Penerima Penghargaan Penulis Muda Pertanian 2009 Memperingati Hari Perempuan se-Dunia setiap 8 Maret, dunia masih menganggap yang paling memikul beban kemiskinan adalah kaum perempuan.
Beban ini semakin bertambah berat karena perempuan tidak dapat mengakses kesempatan ekonomi, pemilikan lahan, dan lain-lain.

Dari 66 penelitian yang dilakukan oleh International Research Center for Woman (IRCW) di era 80-an, ditemukan fakta bahwa keluarga berkepala perempuan lebih miskin daripada laki-laki. Di Amerika, hampir seluruh keluarga miskin dibiayai oleh perempuan tanpa suami. Iklim ekonomi global yang tidak menentu serta perang di manamana semakin memperburuk keadaan ini.

Mengapa akses ekonomi perempuan dipersoalkan? Ada satu hal yang perlu dicermati terkait fenomena tuntutan kesamaan akses ekonomi antara laki-laki dan perempuan ini.
Jika dalam masalah ekonomi segala sesuatu diukur dengan materi, perempuan yang tidak menghasilkan uang dianggap lebih rendah nilainya. Jika sudah demikian, upaya pemberdayaan perempuan dengan meningkatkan perannya dalam mendongkrak perekonomian negara secara langsung.

Negara kemudian mengembangkan kebijakan dan program-program untuk merangsang distribusi yang adil bagi setiap rumah tangga. Namun, negara dalam hal ini hanya menyediakan sumber daya agar terbuka peluang bagi perempuan untuk mengaksesnya, tanpa memperhatikan masalah distribusi sumber daya tersebut sudah berjalan baik dan mencukupi bagi setiap orang yang membutuhkannya atau belum. Akhirnya, penyelesaian lebih bertumpu pada perempuan-perempuan itu sendiri yang harus mengatasi kemiskinannya.

Dalam posisi seperti itu, peluang bekerja bagi perempuan menjadi sesuatu yang penting untuk diperjuangkan.
Peran domestik perempuan dianggap tidak bermakna dalam perekonomian. Seorang ibu rumah tangga dianggap warga negara kelas dua. Faktor nonmateri seperti cinta kasih, dedikasi, dan kesetiaan tidak dimasukkan dalam teori ekonomi, bahkan dalam ekonomi neoklasik sekalipun. Padahal, seorang ibu rumah tangga memiliki andil yang besar bagi perekonomian suatu negara, walaupun kontribusinya tidak langsung.

Tak seperti di era 70-an di mana peran perempuan belum terlalu diperhitungkan, di tahun 80-an perempuan mulai diperhatikan peranannya dalam pembangunan. Kini, peran tersebut semakin bergeser setelah melihat bukan kesejahteraan yang diraih perempuan setelah mereka terlibat dalam arus pembangunan.

Maka, saat ini yang menjadi sasaran penting adalah perempuan harus pula terlibat sebagai agen pembangunan. Konsep pendekatan pembangunan bergeser dari WID (woman in development) menjadi GAD (gender and development).
Pendekatan GAD sangat menekankan kesadaran relasi yang selama ini dipandang tidak seimbang antara lakilaki dan perempuan, sehingga perempuan harus turut berperan sebagai penentu kebijakan.

Walhasil, penyelesaian persoalan yang ada memang selalu beranjak dari fakta. Pendekatan semacam ini menyebabkan lepasnya satu masalah untuk masuk ke masalah beri kutnya. Bukan tidak mungkin, pendekatan model GAD ini akan kembali menimbulkan persoalan-persoalan baru, sehingga yang dibutuhkan saat ini adalah suatu kerangka berpikir yang baku dengan asas yang benar dan mampu menyelesaikan seluruh masalah sampai akarnya.
Kemiskinan Kita sebetulnya perlu bertanya, betulkah perempuan adalah pihak yang paling memikul beban kemiskinan dunia? Karena apabila diamati fakta kehidupan manusia, kemiskinan tidak hanya menimpa perempuan, tetapi juga laki-laki. Kemiskinan tidak hanya ada pada keluarga yang dikepalai perempuan, tetapi bisa juga pada keluarga yang dikepalai laki-laki.

Kemiskinan tidak hanya ada pada masyarakat yang memiliki budaya patriarki, tetapi juga ada pada masyarakat yang menolak budaya tersebut (seperti Amerika dan Eropa).
Bahkan, kemiskinan perempuan sebenarnya tidak menjadi masalah pada beberapa negara yang memiliki budaya patriarki seperti negara-ne gara Timur Tengah. Dengan demikian, kemiskinan bukan hanya masalah perempuan, melainkan masalah manusia pada umumnya.

Untuk menyelesaikan masalah kemiskinan yang menimpa banyak perempuan di dunia saat ini, tidak hanya dengan memberikan alternatif untuk perempuan agar bisa dengan bebas mengakses sumber daya ekonomi. Sebab, penyelesaian seperti ini bersifat individual dan parsial. Akibatnya bisa muncul masalah baru, sementara masalah sebelumnya belum tuntas.

Yang kita butuhkan adalah penyelesaian yang berangkat dari pandangan yang universal tentang perempuan, yakni pandangan yang melihat perempuan sebagai bagian dari masyarakat manusia yang hidup berdampingan secara harmonis dan damai dengan lakilaki dalam kehidupan ini.

Masyarakat manusia terdiri atas laki-laki dan perempuan yang diciptakan untuk hidup berdampingan, saling melengkapi, dan saling membantu dalam mengarungi kehidupan.
Dan, hanya dengan hidup berdampingan inilah kelestarian umat manusia akan terjamin sehingga yang kita butuhkan saat ini bukanlah kebijakan yang hanya akan memunculkan pemilah-pilahan masyarakat manusia menjadi masyarakat laki-laki dan masyarakat perempuan.

Karena hal itu hanya akan menimbulkan persaingan yang tidak sehat antara laki-laki dan perempuan, keduanya akan sulit hidup berdampingan secara harmonis dan damai.
Akhirnya, muncul sifat saling memusuhi. Keduanya memandang dari sisinya masing-masing. Laki-laki memandang menurut kelelakiannya dan perempuan memandang menurut keperempuanannya. Apabila ini terjadi, kelestarian generasi mendatang terganggu.

Kemiskinan menjadi persoalan karena manusia tidak bisa memenuhi kebutuhan pokoknya. Ini akan membawa dampak pada aktivitas lain dan menghambat manusia untuk meraih cara hidup yang ideal. Oleh karena itu, diperlukan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok bagi setiap individu manusia agar tidak ada hambatan bagi manusia untuk menjalankan kehidupan ini menuju kehidupan yang ideal, yang menjamin kemuliaannya sebagai manusia.

Negara selayaknya menjamin distribusi kekayaan/sumber daya kepada seluruh individu rakyat, yaitu menjamin distribusi ini bagi pemenuhan kebutuhan pokok, serta memberi peluang individu untuk memenuhi kebutuhan pelengkapnya. I

http://republika.pressmart.com/RP/RP/2011/03/10/ArticleHtmls/10_03_2011_002_003.shtml?Mode=1

PENELITI UTAMA BADAN KEBIJAKAN FISKAL KEMENTERIAN KEUANGAN, PENDAPAT PRIBADI

Makmun Syadullah,
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah, pemerintah menargetkan, pada 2014, subsidi listrik dan minyak menjadi nol.

Namun nyatanya, meskipun Dewan Perwakilan Rakyat sudah meng- isyaratkan mendukung, pemerin- tah masih tarik-ulur dalam melak- sanakan program pembatasan konsumsi minyak bersubsidi.
Mata dunia kini terus memonitor perkembangan harga minyak.

Hal ini tidak terlepas dari begitu vitalnya peranan minyak dalam perekonomian. Banyak faktor yang menyebabkan naiknya harga “emas hitam”di pasar dunia. Di samping disebabkan oleh meningkatnya permintaan jenis minyak olahan seiring dengan cuaca dingin yang melanda Eropa dan Timur Laut Amerika, perang nilai tukar mata uang dan musim dingin awal 2011 akan terus mendongkrak harga minyak. Pergolakan harga minyak juga semakin diperparah oleh terus memanasnya situasi di Timur Tengah, yang dimulai dari gejolak di Tunisia, Mesir, Libya, bahkan tanda-tanda akan merembet ke negara-negara lain di kawasan tersebut semakin nyata. Sementara itu, kuota produksi minyak OPEC tidak bertambah karena mempertahankan kuota produksinya pada 24,84 juta barel per hari.

Sulit memprediksi kapan situasi yang memanas di kawasan Timur Tengah ini akan berhenti. Akibatnya, tidak tertutup kemungkinan sepanjang tahun ini harga minyak dunia akan terus bertengger di atas US$ 100 per barel. Untuk itu sejumlah negara, terutama negara pengimpor minyak, mungkin akan beramai-ramai merevisi kondisi fiskalnya. Sebab, neraca perdagangan tiap-tiap negara akan mengalami ketidakseimbangan yang luar biasa.

Itu karena negara yang bukan pengekspor minyak mentah tidak dapat menikmati keuntungan dari naiknya harga minyak di pasar internasional, sehingga mereka akan menguras simpanan devisa mereka untuk membiayai belanja ekonomi negara.

Sementara itu, bagi Indonesia, perkembangan harga minyak dunia perlu terus diwaspadai karena begitu signifikannya pengaruh pergolakan harga tersebut terhadap anggaran pendapatan dan belanja negara. Harga minyak yang telah menembus US$ 100 per barel secara langsung juga akan meningkatkan biaya produksi barang dan jasa serta beban hidup masyarakat, yang pada akhirnya akan memperlemah pertumbuhan ekonomi. Kenaikan harga minyak juga berpotensi menjadi petaka karena kenyataannya Indonesia saat ini sudah menjadi negara pengimpor minyak.

Kenaikan ini akan meningkatkan beban anggaran pos subsidi bahan bakar minyak, yang pada akhirnya akan meningkatkan defisit APBN. Bahkan beberapa pengamat mengingatkan bahwa pergolakan harga minyak dunia sudah menjadi “lampu ku
ning"bagi perekonomian.
Defisit anggaran APBN 2011 disusun dengan menggunakan asumsi harga minyak US$ 80 per barel, sementara realisasi harga minyak dunia sudah melenceng jauh dari asumsi. Hal ini tentunya akan berimplikasi pada meningkatnya dana subsidi bahan bakar minyak yang harus dianggarkan oleh pemerintah. Semakin tinggi deviasi harga mi nyak dunia dengan asumsi harga minyak dalam APBN, maka akan semakin besar pula subsidi yang harus diberikan. Ini tentunya sangat mengganggu perekonomian.

Menyikapi perkembangan harga minyak dunia di atas, hingga saat ini pemerintah belum akan mengubah asumsi defisit anggaran. Pemerintah masih bertahan dengan tingkat defisit sebesar 1,8 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Pertanyaannya, mungkinkah pemerintah mampu mempertahankan asumsi defisit APBN? Setidaknya jawaban atas pertanyaan ini bergantung pada empat hal: pertama, realisasi daya serap anggaran. Jika kita tengok historis tingkat penyerapan anggaran selama ini, mungkin saja pemerintah mampu mempertahankan tingkat defisit APBN. Ini sejalan dengan hasil kajian yang dilakukan oleh Bank Danamon, yang menyimpulkan bahwa realisasi defisit ang garan 2011 tercatat 1,2 persen terhadap PDB, lebih rendah dibanding proyeksi pemerintah, yakni sebesar 1,8 persen terhadap PDB.

Kedua, dampak kenaikan harga minyak terhadap APBN. Meskipun Indonesia telah menjadi nett importer minyak, disadari bahwa pergolakan harga minyak dunia tidak hanya akan berdampak pada sisi pengeluaran, yakni subsidi BBM, tapi juga
memiliki dampak terhadap penerimaan negara. Berdasarkan dokumen Nota Keuangan dan RAPBN 2011, setiap kenaikan harga minyak US$ 1 di atas asumsi US$ 80 per barel, maka defisit APBN berpotensi membengkak sebesar Rp 300 miliar.

Ketiga, dalam konteks dengan harga minyak, kita juga tidak dapat melepaskan dampak variabel nilai tukar rupiah. Terus menguatnya nilai tukar rupiah belakangan ini dapat saja menjadi berkah, tapi dapat pula menjadi petaka bagi pemerintah. Dengan terus menguatnya nilai tukar, maka impor minyak menjadi lebih murah sehingga dampak terhadap alokasi subsidi juga menurun. Namun perlu disadari pula bahwa, dalam konteks APBN, elastisitas nilai tukar rupiah tidak dapat hanya dilihat dari sisi pengeluaran, tapi harus pula diperhitungkan elastisitasnya terhadap penerimaan negara. Bahkan, dalam skala makro, perlu dihitung elastisitas nilai tukar rupiah terhadap aktivitas perekonomian, terutama aktivitas ekonomi yang berorientasi ekspor dan impor.

Keempat, terlepas dari dampak gejolak harga minyak dunia dan nilai tukar terha dap defisit APBN, keberanian pemerin tah dalam menjalankan berbagai prog ram terkait dengan road map subsidi listrik dan minyak juga akan me nentukan apakah pemerintah mampu mempertahankan tingkat defisit sebesar 1,8 persen terha dap PDB. Dalam Rencana Pem bangunan Jangka Menengah, pe merintah menargetkan, pada 2014, subsidi listrik dan minyak menjadi nol. Namun nyatanya, meskipun Dewan Perwakilan Rakyat sudah mengisyaratkan mendukung, peme rintah masih tarik-ulur dalam melaksanakan program pembatasan kon sumsi minyak bersubsidi. Padahal program pembatasan konsumsi minyak bersubsidi ini banyak sekali manfaatnya, tidak hanya mampu menghemat pengeluaran subsidi yang pada akhirnya bisa mempertahankan tingkat defisit APBN, tapi dalam jangka panjang juga akan memacu investasi di bidang renewable resources, sehingga target penurunan emisi yang telah dicanangkan Presiden sebesar 26 persen pada 2020 dapat terwujud. Akhirnya, kita berharap jangan sampai target untuk mempertahankan tingkat defisit anggaran justru akan tersandera oleh ketidakberanian pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan yang telah disusunnya.

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2011/03/12/ArticleHtmls/12_03_2011_009_022.shtml?Mode=1

Hot Money Ancam Negara Berkembang

Siklus lonjakan ekonomi selalu berakhir dengan sebuah krisis. Dunia perlu mewaspadai setidaknya pada 2012 akan terjadi krisis pada emerging markets.
P ASCAKRISIS glo bal pada 2007/2008, pemulihan perekono mian di negara-negara maju berjalan lambat. Sebaliknya, ekonomi negara-negara berkembang melaju cepat. Hal itu membuat aliran modal asing menyerbu Indonesia.

Bank Indonesia (BI) sebagai pemegang kewenangan di sektor moneter terus mewaspadai banjirnya dana asing itu, apalagi yang sifatnya `uang panas' atau hot money, yang bisa dengan cepat mengguncang perekonomian.

"Arus modal masuk secara besar-besaran dalam bentuk portofolio investasi bisa sangat sensitif jika terjadi perubahan karena bisa menyebabkan pembalikan modal," jelas Gubernur BI Darmin Nasution dalam Konferensi Bersama BI-IMFBKPM bertajuk Coping with Asia's Large Capital Inflows in a Multi Speed Global Economy di Nusa Dua, Bali, kemarin.

Darmin menyebutkan, setiap negara harusnya berusaha mengembangkan sektor infrastruktur, sumber daya manusia, dan teknologi sehingga bisa menarik dana asing masuk secara riil dan tak hanya di portofolio atau sektor keuangan.

"Kalau tertinggal, negara tersebut bisa lebih rentan terhadap risiko yang menyertai besarnya `uang panas' yang mengalir," jelas Darmin.

Dalam konferensi satu hari tersebut, BI menggandeng IMF dan BKPM untuk mencari sebuah strategi tepat mengelola banjirnya dana asing ke dalam negeri. "Lonjakan arus mo dal masuk menjadi tantangan untuk bagaimana mengelola risiko yang melekat terhadap dana tersebut. Sementara pada saat yang sama, kita harus bisa memanfaatkan peluang yang ada," Darmin menambahkan.

Seperti diketahui, tahun ini mungkin dana asing sebesar US$15 miliar bakal membanjiri Indonesia. "Sayangnya, dana tersebut lebih banyak dalam bentuk portofolio dan berjangka pendek. Dana seperti itu sangat rentan bagi terjadinya arus pembalikan menjadi uang keluar."

Ancaman krisis Sementara itu, Harpel Professor of Capital Formation and Growth Harvard University Jeffrey Frankel mengingatkan bahwa lonjakan ekonomi (economic boom) yang terjadi saat ini tidak bertahan selamanya.
Dari data historis, siklus lonjakan ekonomi selalu berakhir dengan sebuah krisis. "Jangan berasumsi siklus itu sudah mati. Lonjakan ekonomi yang keempat ini tidak akan bertahan selamanya."

Jeffrey mengingatkan, sebelumnya telah terjadi tiga lonjakan ekonomi dan seluruhnya berakhir dengan krisis. Ia memerinci, lonjakan ekonomi karena ekspor minyak pada 1975-1981 berakhir dengan krisis utang global pada 1982.

Kemudian, lonjakan ekonomi negara-negara ekonomi berkembang (emerging markets) pada 1990-1996 diakhiri oleh krisis ekonomi Asia pada 19971998. Terakhir, lonjakan pasar keuangan pada 2003-2008 berakhir dengan krisis keuangan global 2008-2009. Oleh karena itu, papar Jeffrey, dunia perlu mewaspadai setidaknya pada 2012 akan terjadi krisis pada emerging markets mengingat siklus krisis ekonomi global bertahuntahun sebelumnya. "Siklus itu terjadi 15 tahun sekali, 7 tahun gemuk (lonjakan ekonomi negara maju), diikuti krisis, 7 tahun kurus (lonjakan ekonomi negara berkembang)."

Menurutnya, agar terhindar dari siklus tersebut, bank sentral di negara ekonomi berkembang perlu melakukan kontrol modal (capital control), intervensi untuk menumpuk cadangan devisa, dan sterilisasi. Langkah ini harus didukung pemerintah melalui kebijakan fiskal dan kebijakan komoditas pangan. (*/E-4)

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2011/03/12/ArticleHtmls/12_03_2011_005_022.shtml?Mode=0

Bab Al Qawa'id Pranata Hukum yang Terlupakan


SISWANTINI SURYANDARI



Sebuah kesalahan besar jika orang Siak melupakan kearifan h budayanya sendiri. Bab Al Qawa'id jadi satu bukti lagi bagaimana a - generasi penerus yang ada saat ini tercerabut dari lingkungannya.
m
SUAP, korupsi, dan tabiat buruk sebagian pejaba maupun rakyat jelatadi negeri ini, termasuk teledor menjaga lingkungan, terjadi di mana-mana. Tak terkecuali di tanah Melayu.

Itu semua bukan karena tidak ada hukum yang mengaturnya atau ketidaktahuan anak negeri terhadap akibat yang ditimbulkan dari tabiat buruk tadi. Sebab, sejak Nusantara masih diperintah oleh raja-raja, ternyata semua itu sudah diatur lewat peraturan bahkan sudah dikodifikasi.

Di Kabupaten Siak, Provinsi Riau, misalnya, dahulu dikenal Bab Al Qawa'id, sebuah kitab tua berisi peraturan yang dibuat oleh Kerajaan Siak, yang tampaknya hanya tinggal kenangan sejarah. Nama kitab itu atau biasa disebut dengan Kitab Pintu Segala Pegangan, berupa undang-undang yang mengatur pemerintahan dan hukum. Kitab itu lahir di masa Sultan Assadin Syarif Hasyim Abdul Jalil Saifuddin (18891908), Raja Siak Indrapura yang cukup termasyhur.

Kitab itu ditulis berdasarkan kesepakatan antara raja dan orang-orang berpengaruh di masa itu, pegawai, penghulu, maupun kepala induk di Kerajaan Siak Sri Indrapura. Kitab itu dibagi dalam beberapa bab dan menyangkut 10 provinsi yang ada pada saat itu.

Berdasarkan kitab itu pula, ada pembagian tugas dalam pemerintahan, termasuk pengangkatan hakim, polisi, serta tugas dan fungsinya bagi masyarakat. Kitab tersebut yang kemudian menjadi pegangan hukum pemerintahan Kerajaan Siak.

"Saya yakin, jika Anda bertanya kepada orang Siak tentang kitab itu, mereka tidak akan tahu," ujar peneliti sejarah dari Balai Penelitian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjung Pinang, Anastasia Wiwik Swastiwi.

Dijelaskan, kitab itu mengungkap banyak sisi hukum dan penegakan keadilan di segala bidang, yang bila dirunut masih sangat relevan dengan kondisi sekarang ini.

Bahkan di kitab tersebut telah diatur hukuman bagi mereka yang melanggar undang-undang, termasuk apabila hakim atau polisi menerima suap.
Apabila direfleksikan di masa sekarang, peraturan yang dibuat pada masa Sultan Hasyim telah dipikirkan kemungkinan adanya korupsi yang dilakukan kalangan penegak hukum.

Kitab itu juga memuat pembagian wilayah berdasarkan fungsinya. Hutan lindung yang menjadi hutan adat harus dijaga dan dilestarikan. Pemerintah dan masyarakat punya kewajiban sama untuk menjaga dan melindungi hutan.

Sumber daya alam lainnya juga tidak luput dipagari dengan peraturan.
Kawasan yang dilindungi tidak boleh dieksploitasi begitu saja dengan alasan apa pun, termasuk dijadikan alat untuk menambah devisa negara apalagi dijarah.

Sementara pembangunan di sektor perekonomian difokuskan pada perdagangan. Sektor perekonomian cukup maju.
Perdagangan masyarakat Riau saat itu sudah mencapai Johor dan Malaka.
Dosa sejarah Namun, sangat ironis apabila melihat Riau terkini. Hutan lindung bisa digadaikan untuk kepentingan kelompok, pasir dijual secara ilegal, dan hukum bisa diperjualbelikan.

Saat menanggapi hal itu, budayawan Riau Ok Nizami Jamil yang juga menulis buku Bab Al QawaÊid Transliterasi dan Analisis menilai pemerintah daerah sekarang ini kurang peduli dengan warisan budaya lokalnya.

Bahkan kitab itu pun tidak menjadi pegangan dalam pemerintahan daerah sekarang ini.

Ketua Bidang Budaya dan Adat Lembaga Adat Melayu ini mengakui generasi muda Riau tidak lagi mengenal kitab tersebut. Kitab aslinya pun di pastikan sulit ditemukan lagi.

Namun di negeri jiran Malay sia, kitab yang ditulis dengan huruf Arab Melayu itu bisa ditemukan. Padahal di Riau sendiri, kitab itu telah diterje mahkan dalam bahasa Indo nesia, bukan lagi memakai tulisan Arab Melayu.

Pemerintah Provinsi Riau hanya memakai kitab itu apa bila membahas masalah per batasan wilayah. Sebab da lam Bab Al Qawa'id memang telah dijelaskan masalah batas wilayah suatu daerah.

Sementara materi lainnya jarang dibahas atau dipela jari. Melihat kondisi itu cukup memprihatinkan.

Cita-cita Sultan Hasyim menciptakan keselarasan, keseimbang an antara pe merintah dan rakyat, ber dasarkan norma hukum tidak dilakukan masyarakat Riau masa kini.

Para pemangku budaya Riau menyayangkan waris an budaya Riau asli justru terabaikan dan dilupakan.

Di masa lalu masyarakat Siak Indrapura bisa hidup makmur. Pasalnya mereka patuh pada aturan sehingga roda pemerintahan berjalan dengan baik. Rakyat pun terjamin kehidupannya.

Namun kini, setelah In donesia merdeka, pada se bagian masyarakat Indone sia umumnya, khususnya yang terjadi di Riau, justru sering ditemui pelanggar an-pelanggaran aturan.

Korupsi merajalela, hutan lindung dan sumber daya alam dieksploitasi (asing), lain nya dirusak dan dijarah serta dijual dengan cara ilegal.

Keributan dengan nega ra tetangga yang memper soalkan batas wilayah tidak bisa diselesaikan dengan baik. Malah menyulut ama rah dan pertengkaran.

Kearifan lokal yang dikem bangkan Sultan Hasyim ini harusnya terus dijaga dan dirawat agar anak cucu tidak melupakan ajaran mulia itu.
EADI Pada sisi lain, di negeri te tangga, kitab itu menjadi bahan pelajaran bagaimana menata sebuah pemerintahan berbasis hukum, termasuk bagaimana hukum berbicara menyangkut masalah perbatasan wilayah.

Minimnya promosi yang dilakukan pemerintah daerah ke sekolah atau perguruan tinggi menjadikan warisan Kerajaan Siak itu tinggal kenangan.

Sebuah fakta yang memprihatinkan jika berselancar di dunia maya. Kitab Bab Al Qawa'id saat ini sedang menjadi kajian serius di universitasuniversitas ternama di AS.

Seperti dikatakan Ok Nizami bahwa kitab itu tidak terekam jejaknya. Dia mengaku memiliki kitab itu dari warisan orang tuanya yang masih memiliki hubungan erat dengan keluarga Kerajaan Siak.

Pemikiran Sultan Hasyim pada masa itu telah membuktikan apabila pemerintahan tidak ditata dengan baik, termasuk hukum ditegakkan, yang terjadi adalah malapetaka. Sultan Hasyim pun telah memikirkan apabila sumber daya alam tidak dijaga akan menimbulkan kesengsaraan bagi rakyat.

Kemiskinan yang semakin nyata dialami rakyat, kerusakan lingkungan, dan kerugian negara akibat pelanggaranpelanggaran yang dilakukan segelintir orang atau kelompok seharusnya bisa terhindarkan.
Bahkan harga diri yang menyangkut batas wilayah pun seharusnya bisa diselesaikan dengan arif. Kearifan lokal yang telah dipikirkan para leluhur di masa lalu tidak ada buruknya diangkat lagi, dan ditularkan ke generasi penerus. (M-1)

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2011/03/12/ArticleHtmls/12_03_2011_011_003.shtml?Mode=0

Bab Al Qawa'id Pranata Hukum yang Terlupakan

SISWANTINI SURYANDARI



Sebuah kesalahan besar jika orang Siak melupakan kearifan h budayanya sendiri. Bab Al Qawa'id jadi satu bukti lagi bagaimana a - generasi penerus yang ada saat ini tercerabut dari lingkungannya.
m
SUAP, korupsi, dan tabiat buruk sebagian pejaba maupun rakyat jelatadi negeri ini, termasuk teledor menjaga lingkungan, terjadi di mana-mana. Tak terkecuali di tanah Melayu.

Itu semua bukan karena tidak ada hukum yang mengaturnya atau ketidaktahuan anak negeri terhadap akibat yang ditimbulkan dari tabiat buruk tadi. Sebab, sejak Nusantara masih diperintah oleh raja-raja, ternyata semua itu sudah diatur lewat peraturan bahkan sudah dikodifikasi.

Di Kabupaten Siak, Provinsi Riau, misalnya, dahulu dikenal Bab Al Qawa'id, sebuah kitab tua berisi peraturan yang dibuat oleh Kerajaan Siak, yang tampaknya hanya tinggal kenangan sejarah. Nama kitab itu atau biasa disebut dengan Kitab Pintu Segala Pegangan, berupa undang-undang yang mengatur pemerintahan dan hukum. Kitab itu lahir di masa Sultan Assadin Syarif Hasyim Abdul Jalil Saifuddin (18891908), Raja Siak Indrapura yang cukup termasyhur.

Kitab itu ditulis berdasarkan kesepakatan antara raja dan orang-orang berpengaruh di masa itu, pegawai, penghulu, maupun kepala induk di Kerajaan Siak Sri Indrapura. Kitab itu dibagi dalam beberapa bab dan menyangkut 10 provinsi yang ada pada saat itu.

Berdasarkan kitab itu pula, ada pembagian tugas dalam pemerintahan, termasuk pengangkatan hakim, polisi, serta tugas dan fungsinya bagi masyarakat. Kitab tersebut yang kemudian menjadi pegangan hukum pemerintahan Kerajaan Siak.

"Saya yakin, jika Anda bertanya kepada orang Siak tentang kitab itu, mereka tidak akan tahu," ujar peneliti sejarah dari Balai Penelitian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjung Pinang, Anastasia Wiwik Swastiwi.

Dijelaskan, kitab itu mengungkap banyak sisi hukum dan penegakan keadilan di segala bidang, yang bila dirunut masih sangat relevan dengan kondisi sekarang ini.

Bahkan di kitab tersebut telah diatur hukuman bagi mereka yang melanggar undang-undang, termasuk apabila hakim atau polisi menerima suap.
Apabila direfleksikan di masa sekarang, peraturan yang dibuat pada masa Sultan Hasyim telah dipikirkan kemungkinan adanya korupsi yang dilakukan kalangan penegak hukum.

Kitab itu juga memuat pembagian wilayah berdasarkan fungsinya. Hutan lindung yang menjadi hutan adat harus dijaga dan dilestarikan. Pemerintah dan masyarakat punya kewajiban sama untuk menjaga dan melindungi hutan.

Sumber daya alam lainnya juga tidak luput dipagari dengan peraturan.
Kawasan yang dilindungi tidak boleh dieksploitasi begitu saja dengan alasan apa pun, termasuk dijadikan alat untuk menambah devisa negara apalagi dijarah.

Sementara pembangunan di sektor perekonomian difokuskan pada perdagangan. Sektor perekonomian cukup maju.
Perdagangan masyarakat Riau saat itu sudah mencapai Johor dan Malaka.
Dosa sejarah Namun, sangat ironis apabila melihat Riau terkini. Hutan lindung bisa digadaikan untuk kepentingan kelompok, pasir dijual secara ilegal, dan hukum bisa diperjualbelikan.

Saat menanggapi hal itu, budayawan Riau Ok Nizami Jamil yang juga menulis buku Bab Al QawaÊid Transliterasi dan Analisis menilai pemerintah daerah sekarang ini kurang peduli dengan warisan budaya lokalnya.

Bahkan kitab itu pun tidak menjadi pegangan dalam pemerintahan daerah sekarang ini.

Ketua Bidang Budaya dan Adat Lembaga Adat Melayu ini mengakui generasi muda Riau tidak lagi mengenal kitab tersebut. Kitab aslinya pun di pastikan sulit ditemukan lagi.

Namun di negeri jiran Malay sia, kitab yang ditulis dengan huruf Arab Melayu itu bisa ditemukan. Padahal di Riau sendiri, kitab itu telah diterje mahkan dalam bahasa Indo nesia, bukan lagi memakai tulisan Arab Melayu.

Pemerintah Provinsi Riau hanya memakai kitab itu apa bila membahas masalah per batasan wilayah. Sebab da lam Bab Al Qawa'id memang telah dijelaskan masalah batas wilayah suatu daerah.

Sementara materi lainnya jarang dibahas atau dipela jari. Melihat kondisi itu cukup memprihatinkan.

Cita-cita Sultan Hasyim menciptakan keselarasan, keseimbang an antara pe merintah dan rakyat, ber dasarkan norma hukum tidak dilakukan masyarakat Riau masa kini.

Para pemangku budaya Riau menyayangkan waris an budaya Riau asli justru terabaikan dan dilupakan.

Di masa lalu masyarakat Siak Indrapura bisa hidup makmur. Pasalnya mereka patuh pada aturan sehingga roda pemerintahan berjalan dengan baik. Rakyat pun terjamin kehidupannya.

Namun kini, setelah In donesia merdeka, pada se bagian masyarakat Indone sia umumnya, khususnya yang terjadi di Riau, justru sering ditemui pelanggar an-pelanggaran aturan.

Korupsi merajalela, hutan lindung dan sumber daya alam dieksploitasi (asing), lain nya dirusak dan dijarah serta dijual dengan cara ilegal.

Keributan dengan nega ra tetangga yang memper soalkan batas wilayah tidak bisa diselesaikan dengan baik. Malah menyulut ama rah dan pertengkaran.

Kearifan lokal yang dikem bangkan Sultan Hasyim ini harusnya terus dijaga dan dirawat agar anak cucu tidak melupakan ajaran mulia itu.
EADI Pada sisi lain, di negeri te tangga, kitab itu menjadi bahan pelajaran bagaimana menata sebuah pemerintahan berbasis hukum, termasuk bagaimana hukum berbicara menyangkut masalah perbatasan wilayah.

Minimnya promosi yang dilakukan pemerintah daerah ke sekolah atau perguruan tinggi menjadikan warisan Kerajaan Siak itu tinggal kenangan.

Sebuah fakta yang memprihatinkan jika berselancar di dunia maya. Kitab Bab Al Qawa'id saat ini sedang menjadi kajian serius di universitasuniversitas ternama di AS.

Seperti dikatakan Ok Nizami bahwa kitab itu tidak terekam jejaknya. Dia mengaku memiliki kitab itu dari warisan orang tuanya yang masih memiliki hubungan erat dengan keluarga Kerajaan Siak.

Pemikiran Sultan Hasyim pada masa itu telah membuktikan apabila pemerintahan tidak ditata dengan baik, termasuk hukum ditegakkan, yang terjadi adalah malapetaka. Sultan Hasyim pun telah memikirkan apabila sumber daya alam tidak dijaga akan menimbulkan kesengsaraan bagi rakyat.

Kemiskinan yang semakin nyata dialami rakyat, kerusakan lingkungan, dan kerugian negara akibat pelanggaranpelanggaran yang dilakukan segelintir orang atau kelompok seharusnya bisa terhindarkan.
Bahkan harga diri yang menyangkut batas wilayah pun seharusnya bisa diselesaikan dengan arif. Kearifan lokal yang telah dipikirkan para leluhur di masa lalu tidak ada buruknya diangkat lagi, dan ditularkan ke generasi penerus. (M-1)

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2011/03/12/ArticleHtmls/12_03_2011_011_003.shtml?Mode=0

Kawat Rahasia Sebut Peran Ibu Negara

Rubrik Focus dalam harian The Age memaparkan informasi WikiLeaks dengan judul Bambang thank-you ma'am.
SELAIN tulisan utama di halaman pertama berjudul Yudhoyono `abused power', harian The Age juga menampilkan ulasan di halaman 17 dalam rubrik Focus. Rubrik itu memaparkan informasi WikiLeaks dengan judul Bambang thankyou ma'am.

Berikut tulisan di halaman 17 yang diterjemahkan oleh kontributor Media Indonesia di Albury, New South Wales, Australia, Meilani.

Penyuapan, korupsi, dan memperkaya diri sendiri. Kawat rahasia Amerika Serikat mengungkap tuduhan serius atas penyalahgunaan wewenang oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan istri Kristiani Herawati, laporan oleh Phillip Dorling.

Ketika Yudhoyono secara mengejutkan memenangi Pemilu 2004, AS menyambutnya dengan menyatakan sebagai `kemenangan yang mengagumkan dari seorang figur yang populer dan artikulatif atas rivalnya (incumbent Presiden Megawati) yang memiliki kekuatan lebih besar dan dukungan dana melimpah serta jaringan yang luas'.

Bahkan tiga tahun kemudian, diplomat AS di Jakarta membanggakan pemerintahan Yudhoyono atas komitmen untuk memberantas terorisme.

Namun, prestasi Yudhoyono tersebut tampaknya akan ditinjau ulang setelah kawat rahasia AS, yang bocor ke WikiLeaks dan diserahkan ke The Age, mengungkap penyalahgunaan wewenang yang mengiringi jalan menuju istana.

Menurut kawat diplomatik tersebut, Yudhoyono secara pribadi memengaruhi jaksa dan hakim untuk melindungi tokoh politik yang korup dan menjadikannya sebagai alat penekan.

Dia juga dilaporkan menggunakan tenaga intelijen untuk memata-matai lawan-lawan politiknya dan, paling tidak sekali, terhadap menteri senior di dalam kabinetnya sendiri.

Mantan wakil Yudhoyono juga dilaporkan mengeluarkan jutaan dolar untuk mengontrol partai politik terbesar di Indonesia, sedangkan istri Yudhoyono dan keluarganya dituduh memperkaya diri sendiri melalui koneksi politiknya.

Namun demikian, laporan politik kedubes yang sebagian besar bersifat `Rahasia/ NoForn'--yang berarti hanya untuk mata Amerika--menjelaskan meluasnya pengaruh politik uang di sekitar Yudhoyono meskipun Presiden sudah berkomitmen untuk memberantas korupsi.

Kawat Kedubes AS mengungkapkan, salah satu langkah awal Yudhoyono adalah mengintervensi secara pribadi kasus Taufik Kiemas, suami dari mantan Presiden Megawati Soekarnoputri. Taufik dilaporkan menggunakan pengaruh atas PDIP untuk melindunginya dari dakwaan yang disebut diplomat AS sebagai `korupsi besar-besaran selama pemerintahan istrinya'.

Taufik dituduh, meskipun tidak pernah diadili, atas dugaan korupsi pada proyek infrastruktur besar yang dikerjakan tidak sesuai aturan.
Dia dipercaya diuntungkan dari kesepakatan-kesepakatan proyek JORR (Jakarta Outer Ring Road) senilai US$2,3 miliar, proyek rel ganda MerakBanyuwangi senilai US$2,4 miliar, proyek Trans-Kalimantan senilai US$2,3 miliar, dan TransPapua senilai US$1,7 miliar.

Pada Desember 2004, Kedubes AS di Jakarta melapor kan, salah seorang informan politik pentingnya, penasihat senior Presiden, TB Silalahi, telah menginformasikan Asisten Jaksa Agung Hendarman Supandji, yang memimpin komisi antikorupsi yang baru dibentuk pemerintah, telah mengumpulkan `bukti-bukti korupsi yang cukup untuk menangkap Taufik Kiemas'.
Namun, Silalahi, salah seorang rekan politik terdekat Yudhoyono, mengatakan bahwa Presiden `secara pribadi telah menginstruksikan Hendarman untuk tidak melanjutkan kasus Taufik tersebut'.

Tidak ada tindakan hukum yang dikenakan pada Taufik, tokoh politik berpengaruh yang sekarang menjabat sebagai Ketua MPR, lembaga negara yang anggotanya termasuk anggota DPR.

Sementara Yudhoyono melindungi Taufik dari kejaksaan, wakilnya, Jusuf Kalla, dituduh mengeluarkan apa yang disebut Kedubes AS sebagai `penyuapan besar-besaran' untuk memenangi kursi Ketua Umum Partai Golkar, partai politik terbesar di Indonesia, pada kongres 2004, dalam hal ini diplomat AS menyaksikannya langsung.

"Menurut beberapa sumber yang dekat dengan kandidat unggulan, tim sukses Kalla menawarkan pengurus cabang paling tidak Rp200 juta untuk memilihnya," demikian laporan Kedubes AS.

Diplomat AS melaporkan, karena memerlukan 243 suara untuk menang secara mayoritas, calon ketua umum Golkar harus menyediakan dana sebesar lebih dari US$6 juta. "Seorang sumber mengklaim (Ketua DPR Agung Laksono waktu itu) sendiri-tidak sekaya pendukung Kalla-telah mengalokasikan (jika tidak dikeluarkan) Rp50 miliar (lebih dari US$5,5 juta) pada kongres tersebut." Kawat Kedubes AS juga menuduh Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi telah mengintimidasi hakim pada kasus sengketa PKB pada 2006. PKB adalah partai mantan Presiden Abdurrahman Wahid. Menurut sumber Kedubes AS, kepada hakim tersebut, Sudi mengatakan, "Jika pengadilan membantu, sama saja dengan membantu menyerang pemerintah."

Intervensi dari tangan kanan Yudhoyono tersebut dianggap gagal karena, menurut sumber Kedubes AS yang dekat dengan PKB dan pengacara yang terlibat pada kasus tersebut, pendukung Gus Dur memba yar jaksa sebesar Rp3 miliar (sekitar US$322 ribu) untuk menyuap agar keputusan hakim memenangkan PKB Gus Dur. Di luar kegagalan tersebut, secara strategis tujuan Yudhoyono telah tercapai karena berhasil menjadi tekanan eksternal pada posisi Gus Dur sehingga mampu memaksa PKB untuk mendukung pemerintahannya.

Laporan Kedubes AS lainnya mengindikasikan Yudhoyono menggunakan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk mematamatai baik kawan maupun lawan politiknya. Yudhoyono juga dilaporkan memakai jasa BIN untuk memata-matai bakal calon presiden lainnya.

Praktik tersebut dimulai sejak Yudhoyono bertugas sebagai Menko Polkam pada masa pemerintahan Presiden Megawati. Dia memerintahkan intelijen untuk melaporkan halhal berkenaan dengan mantan Panglima TNI dan calon presiden dari Partai Golkar, yaitu Wiranto. Pada sebuah rapat kabinet, Ketua BIN Syamsir Siregar menyebut Wiranto sebagai `dalang teroris'.

B e rd a s a r k a n i n f o r m a s i dari orang-orangnya sendiri, Wiranto mengetahui bahwa dia menjadi objek `pelecehan' dalam laporan BIN. Namun, ketika dia mengeluhkannya, dia diberi tahu oleh penasihat presiden, TB Silalahi bahwa laporan tersebut tidak ada.

Kawat Kedubes AS yang bocor tersebut tidak memperlihatkan secara jelas keterlibatan Yudhoyono dalam kasus korupsi. Tetapi, diplomat AS melaporkan pada 2006 ketika bertemu Ketua Umum Partai Demokrat, Yudhoyono `hingga saat itu menyesali kegagalannya membangun bisnis untuk dirinya sendiri', dan tampaknya merasa `dia perlu mengejarnya', dan `menginginkan warisan yang cukup untuk anak-anaknya'.

Kristiani Herawati dan keluarga juga menjadi topik menarik dalam laporan tersebut. Diplomat AS menekankan upaya keluarga presiden `khususnya Ibu Negara Kristiani Herawati untuk mendapatkan keuntungan finansial dari posisi politiknya'.

Pada Juni 2006, salah seorang staf presiden memberi tahu staf Kedubes AS bahwa anggota keluarga Kristiani `sangat menginginkan keuntungan fi nansial dari badan-badan usaha milik negara'.

Keinginan ini dilaksanakan dengan sangat rapi, `di mana pelaksana utamanya adalah staf-staf terdekat (seperti Sudi Silalahi), sementara Yudhoyono tetap menjaga jarak hingga tidak terkena akibatnya'.

Kedubes AS menggambarkan pengaruh Kristiani di balik layar ini sebagai `kabinet nomor satu' dan `penasihat utama Presiden yang tidak terbantahkan'.

Kedubes juga melaporkan, "Penasihat Presiden, TB Silalahi, mengatakan bahwa staf presiden mulai merasa terpinggirkan dan tidak punya kekuatan untuk memberikan konsultasi pada Presiden".
Anggota BIN Yahya Asagaf secara pribadi mengatakan pendapat Ibu Negara `menjadi satu-satunya hal penting'.

Sejalan dengan itu, diplomat AS juga mengindikasikan peran utama Kristiani yang mendorong Yudhoyono mengambil keputusan untuk tidak menjadikan Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagai pasangannya dalam Pemilu 2009.

Bersama Gubernur Bank Indonesia Boediono, Yudhoyono meraih kemenangan sebagai presiden periode 2009-2014.
Yudhoyono berhasil meraup 60% suara, mengalahkan mantan Presiden Megawati yang berpasangan dengan Prabowo Subianto, dan Wapres Jusuf Kalla yang berpasangan dengan Wiranto.

Pada Januari 2010, Kedubes AS mengamati, "Sepuluh tahun reformasi politik dan ekonomi telah menjadikan Indonesia demokratis, stabil, dan semakin percaya diri sebagai pemimpin negara-negara Asia Tenggara dan dunia Islam. Indonesia telah menjalankan pemilu dengan sukses, bebas, dan adil, mengatasi krisis keuangan global, dan menangani ancaman keamanan internal."

Akan tetapi, diplomat AS mencatat, serangkaian skandal politik yang terjadi sejak akhir 2009 hingga 2010, sangat merusak posisi politik Yudhoyono. Pertentangan antara Kepolisian RI dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah merusak citra pemberantasan korupsi di Indonesia, ditambah lagi dengan pertanyaan DPR seputar kasus Bank Century yang mengaitkannya dengan kinerja Wapres Boediono yang waktu itu menjabat sebagai Gubernur BI.

Salah satu LSM antikorupsi yang cukup berpengaruh, kepada Kedubes AS mengatakan, berdasarkan sumber yang bisa dipercaya dana dari Bank Century telah digunakan untuk membiayai kampanye pemilu Yudhoyono.

Mantan Wapres Jusuf Kalla, sangat tidak setuju dengan bailout tersebut dan menuding Bank Indonesia yang saat itu dipimpin Boediono, telah gagal melakukan fungsi pengawasan terhadap Bank Century.

Menurut Kalla, Bank Century seharusnya ditutup karena dianggap gagal mengelola dananya. Kegagalan tersebut diakibatkan oleh kecurangan pemegang saham besar.

Latar belakang ini, yang menurut Kedubes AS, menjadikan Yudhoyono semakin lumpuh, di mana popularitas politiknya menurun drastis.

"Yudhoyono dianggap memperlambat proses reformasi karena enggan untuk mengambil risiko berseberangan dengan DPR, media, birokrasi, dan masyarakat sipil. Dia juga enggan untuk menerobos peraturan-peraturan sebelum merasa posisinya kuat, Yudhoyono tidak akan melepas modal politiknya untuk menjalankan agenda reformasi."

Selama 13 tahun terakhir, demokrasi di Indonesia semakin kukuh. Kediktatoran Soeharto telah digantikan oleh sistem politik yang kompetitif yang tecermin dari perdebatan yang sengit dan kebebasan pers.

Akan tetapi, menurut laporan tersebut, di balik kesuksesan pemerintahan Yudhoyono, sebagian kebiasaan buruk dan korup era Soeharto masih mewarnai politik kepresidenan di Indonesia. (P-1)

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2011/03/12/ArticleHtmls/12_03_2011_002_003.shtml?Mode=0

Ada 31.517 warga Indonesia di Jepang.

Lampu hias di gedung parlemen Jepang itu kemarin siang waktu setempat terayun cukup keras. Begitu juga kursi yang diduduki Perdana Menteri Naoto Kan. Tapi pemimpin berusia 64 tahun itu berupaya tetap tenang meski sejumlah orang di gedung tersebut panik.

Di luar sana, di jantung Kota Tokyo, gedung Tokyo Tower setinggi 333 meter bergetar hebat. Penghuninya berhamburan keluar dari gedung menuju taman-taman kota. "Belum pernah saya merasakan getaran sekuat ini,"kata Aya Nakamura, seorang pekerja di Tokyo, setelah gempa berkekuatan 8,9 pada skala Richter menghantam Negeri Matahari Terbit itu.

Gempa itu juga menimbulkan kebakaran di 14 lokasi di Tokyo dan satu tempat penyulingan minyak di Chiba.
Kereta peluru Shinkansen dihentikan operasinya, begitu pula sistem transportasi bawah tanah dan bus-bus.

Alhasil, warga berduyunduyun berjalan kaki ke rumah atau tinggal di kantor.
"Saya belum bisa pulang kantor. Transportasi mandek semua,"kata Rane Hafied, 40 tahun, warga Indonesia yang bekerja di Tokyo.

Tak lama berselang terjadi gempa susulan yang kencang. Enam di antaranya terjadi dalam waktu satu seperempat jam. Semuanya jauh lebih besar dari gempa yang menghantam Kota Christchurch di Selandia Baru, yakni 7,1 pada skala Richter.

Gempa susulan itu kemudian diikuti gelombang tsunami setinggi hampir 10 meter, yang menghantam Sendai, kota berpenduduk sejuta jiwa di pesisir Honshu, 400 kilometer sebelah timur laut Tokyo. Gelombang air pasang itu serta-merta menyapu lebih dari 300 rumah di Kota Ofunato.

Gelombang tsunami itu menyeret reruntuhan, pepohonan, dan kendaraan yang dilintasi. Mobil, truk, bus, dan lumpur menggenangi landasan di Bandar Udara Sendai.
"Menyebabkan kerusakan parah yang meluas di wilayah timur laut Jepang," kata Perdana Menteri Naoto Kan dalam pidatonya di televisi.

Pemerintah Jepang juga mengumumkan kondisi darurat nuklir setelah bangunan turbin pembangkit nuklir Onagawa di Miyagi terbakar.
Namun operator Tohoku Electric Power mengatakan tidak ada indikasi kebocoran radioaktif. Miyagi adalah satu daerah yang paling parah terkena tsunami.

Perdana Menteri Kan pun berjanji memimpin langsung tim evakuasi bencana ini. Kepala Sekretaris KabinetYukio Edano mengatakan pemerintah telah mengerahkan militer, pesawat, dan heli menuju wilayah yang terendam air.
"Kami akan bekerja semaksimal mungkin,"tuturnya.

Media massa setempat me naksir jumlah korban tewas akibat tsunami mencapai lebih dari 100 jiwa. "Ada sekitar 200-300 jenazah ditemukan di tepi pantai,"demikian dilaporkan kantor berita Jiji Pers. Jumlah itu belum termasuk yang hilang. Sebelumnya, dilaporkan sebanyak 96 orang tewas akibat gempa.

Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengatakan telah menugasi Duta Besar Indonesia di Jepang, M. Luthfi, untuk memantau warga Indonesia. Menurut catatan Kementerian Luar Negeri Indonesia, ada 31.517 warga Indonesia di Jepang.

Menurut Kementerian, dari jumlah itu, sebanyak 24 ribu orang berada di Tokyo dan 6.700 orang di Osaka. Warga Indonesia di Tokyo terdiri atas 14 ribu tenaga kerja, profesional hampir 2.000, anak buah kapal 3.150, dan mahasiswa 2.200 orang."Kita bergerak secepat mungkin," kata Marty di Istana Presiden. AP | NHK | REUTERS | CNN | ANDREE PRIYANTO | EKO WIBOWO

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2011/03/12/ArticleHtmls/12_03_2011_003_013.shtml?Mode=1

I G.G. Maha Adi, DIREKTUR EKSEKUTIF THE SOCIETY OF INDONESIAN ENVIRONMENTAL

JOURNALISTS (SIEJ) Korporasi trans-nasional harus diyakinkan untuk ikut bertanggung jawab terhadap komunitas terdekat mereka di pantai dan pesisir Laut Timor sebagai basis penguat bisnis mereka agar berkelanjutan, agar niat baik untuk meningkatkan kesejahteraan manusia benar-benar direalisasi, dan proses-proses ekologis terlanjutkan.
Pencemaran minyak mentah dari anjungan minyak Montara di lepas pantai Laut Timor dua tahun lalu memasuki babak negosiasi. Pemerintah Indonesia dan PTTEP, pemilik anjungan Montara yang meluberkan minyak mentah itu, sepakat mulai menegosiasikan kompensasi dan ganti rugi. Niat baik (good will) adalah modal utama para pihak yang bernegosiasi, sehingga permainan menang-kalah (zero sum game) dapat dihindari karena satu pihak tidak perlu kehilangan muka bila kalah serta pihak kedua mengakui apa yang terjadi merupakan bagian dari tanggung jawabnya dan bersedia ikut mengambil tindakan.

Di kalangan aktivis konservasi, Laut Timor dijuluki Jalan Tol Samudra atau marine superhighway karena menjadi habitat dan perlintasan satwa laut yang melakukan migrasi, seperti paus abu-abu, penyu, dan beberapa spesies lumba-lumba. Perairan yang termasuk ekoregion Sunda Kecil ini juga sangat subur karena menjadi pertemuan berbagai arus laut, sehingga memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Dalam lima hari survei saja, pemerintah Australia mendata 462 mamalia laut (cetaceans), 23 jenis burung, 62 ular laut, dan 25 penyu sekaligus kawasan budi daya rumput laut.

Apakah pemerintah Indonesia telah memperlakukan kasus pencemaran di Laut Timor sepadan dengan potensi kelautannya? Cara pemerintah menangani krisis lingkungan tidak menunjukkan bahwa krisis itu telah dikelola dengan baik. Pencemaran, pertama-tama, adalah persoalan pembuktian ilmiah, walaupun dalam banyak kasus memiliki dimensi sosial politik yang sangat kuat. Pembuktian itu akan meliputi asal polutan, jenis dan volume, cara penyebaran, luas kawasan terkena dampak, serta uraian dampaknya. Hanya isu
terakhir yang menyangkut aspek sosial, dan biasanya berbobot besar, tapi tanpa memenuhi aspekaspek teknisnya apa pun ujung negosiasi itu sulit disepakati.

Perkembangan negosiasi kasus Montara memberi petunjuk bahwa banyak faktor eksternal dan internal yang dapat mempengaruhi hasil negosiasi. Faktor eksternal yang jarang diberi perhatian cukup adalah faktor komunikasi lingkungan dan pengkondisian (conditioning) publik.
Suasana di luar ruang negosiasi harus diupayakan kondusif dengan berfokus pada aliran informasi lingkungan kepada publik yang transparan dan memiliki alas ilmiah yang memadai. Dalam kasus Montara, komunikasi lingkungan tampaknya menjadi barang yang diremehkan. Pemerintah dengan cepat mengumumkan telah menghitung nilai ganti rugi dan meminta PTTEP membayar Rp 23 triliun, tapi beberapa bulan kemudian muncul nilai Rp 500-an miliar atau sekitar 2,5 persen dari perkiraan semula. Tidak ada informasi yang disampaikan kepada khalayak luas bagaimana nilai itu dielaborasi dan kenapa harus diumumkan kepada publik jauh sebelum kesepakatan dan verifikasi sesungguhnya diperoleh.
Dalam negosiasi, maka diseminasi informasi sepihak, apalagi disertai ancaman membawa ke pengadilan, merupakan cara yang kurang elok karena arogan, fait-accompli, dan dapat memukul balik dengan sangat keras. Dampaknya segera terlihat, masyarakat, terutama aktivis lingkungan, menilai pemerintah Indonesia tidak mampu menilai sumber dayanya secara benar dan menegosiasikannya di hadapan para kontraktor minyak asing. Masyarakat telanjur digiring untuk meyakini bahwa nilai ganti rugi yang lebih besar adalah nilai yang sepatutnya mereka terima, bukan yang lebih kecil, apalagi yang "terlalu kecil". Pemerintah sebagai komunikator sebaiknya menyadari bahwa pesan utama yang hendak disampaikan dalam setiap kasus pencemaran adalah pesan bermuatan ilmiah. Para pihak tidak bo MACHFOED GEMBONG (TEMPO) leh mengambil "angka dari langit"hanya karena angka itu dipersepsikan secara su byektif sebagai jumlah yang sesuai untuk mengganti kerugian. Setinggi-tingginya langit dari mana angka Rp 23 triliun itu jatuh, tetap harus diuji dan disepakati para pakar.

Faktor kedua adalah prinsipprinsip di lingkup internal negosiasi. Prinsip pertama, proses itu harus berlangsung rasional, dan pemakaian basis ilmu pengetahuan sebagai landasan negosiasi merupakan bentuk penggunaan rasionalitas terbaik. Para pihak yang menegosiasikan dampak pencemaran harus memakai prinsip-prinsip berdasarkan ilmu pengetahuan untuk menentukan besaran, luasan, kedalaman, dan dampak pencemaran.

Prinsip kedua negosiasi adalah verifikasi dan validasi. Para pihak yang berkepentingan dapat memeriksa dan menguji kembali bila perlu seluruh data dan kesepakatan yang telah dihasilkan oleh kedua belah pihak.Valuasi sumber daya alam serta analisis terhadap data citra satelit atau pemodelan matematika tumpahan minyak harus dapat diuji kembali di lain kesempatan oleh pihak lain dengan memakai standar yang baku dan dapat diterima, sehingga keputusan yang dihasilkan benar. Karena itulah usulan memakai pihak ketiga yang independen menjadi jalan keluar untuk menuntaskan masalah metode dan pemodelan ini.

Prinsip ketiga, nilai ganti rugi harus menimbulkan efek jera (deterrence effect). Prinsip ini membawa konsekuensi bahwa nilai ganti rugi tidak boleh terlalu kecil, sehingga muncul efek bagi korporasi untuk tidak mengulangi lagi kejadian yang sama, dan mereka selalu diingatkan agar lebih berhati-hati dalam melaksanakan prosedur operasi serta semakin menguatkan program perlindungan lingkungan hidup. Bila kesepakatan melakukan audit lingkungan semacam Analisis Risiko Lingkungan (ERA) dipenuhi PTTEP, akan menjadi sistem peringatan dini cukup efektif untuk menilai potensi bencana di masa depan.

Prinsip berikutnya yang tidak kalah penting adalah lengkap, termasuk semua data fisik dan nonfisik. Kerugian sosial, seperti terganggunya proses-proses sosial, merenggangnya kohesi sosial, dan keputusasaan, harus pula tercakup di dalamnya. Korporasi dapat dipersuasi memakai dana corporate social responsibility dalam program ini. Prinsip kelima adalah post-disaster rehabilitation. Nilai ganti rugi harus juga mencakup pertanggungan kegiatan perlindungan lingkungan Laut Timor di masa depan.

Setelah kesepakatan ganti rugi, pemerintah Indonesia harus memilih mekanisme termudah dan tercepat untuk memberikan ganti rugi itu kepada masyarakat dan kawasan yang terkena dampak. Karena PTTEP saat ini juga memiliki beberapa konsesi lapangan minyak lepas pantai di perairan Indonesia, seharusnya negosiasi akan berjalan lebih lancar. Korporasi trans-nasional harus diyakinkan untuk ikut bertanggung jawab terhadap komunitas terdekat mereka di pantai dan pesisir Laut Timor sebagai basis penguat bisnis mereka agar berkelanjutan, agar niat baik untuk meningkatkan kesejahteraan manusia benar-benar direalisasi, dan proses-proses ekologis terlanjutkan.

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2011/03/12/ArticleHtmls/12_03_2011_010_003.shtml?Mode=1

Demonstran UI Belain Dipo Imbau Teve Jangan jadi Propagandis Politik

Laporan: Feril Nawali


RMOL. Sekalipun peristiwa saling cerca antara Sekertaris Kabinet Dipo Alam dan dua stasiun teve, TV One dan Metro Teve sudah lewat, isunya seperti tak pernah berhenti di lansir. Menanggapi itu, salah satu aktivis peristiwa Malari 1974, Bambang Sulistomo, berharap pers tidak terjebak menjadi alat propagandis politik.

‘’Kita dukung pers jadi alat mencerdaskan rakyat yang bersifat kritis, bukan propagandis politik yang bikin situasi tidak nyaman,’’ kata Bambang yang juga pimpinan Lembaga Pengkajian Sosial Politik dan Ketahanan Nasional (LPSPKN) ketika dijumpai di Batam, Jumat (11/3).

Menurut Bambang, jika orang dengan ekstrimnya secara bebas memaki-maki pemerintah, mestinya bisa mengerti jika Dipo pun lewat caranya yang oleh sebagian orang dipersepsikan ekstrim untuk membela pemerintah. ‘’Selama ini jika terjadi permasalahan berkaitan kehidupan pers, diselesaikan lewat UU pokok pers dimana Dewan Pers memegang peranan. Jadi, kita mesti proporsional. Hanya saja, jangan justru media terjebak jadi propagandis politik seperti berita yang dilansir koran Australia The Age,’’ ulasnya.

Bambang dikenal juga duet Dipo Alam (saat itu Ketua Dewan Mahasiswa UI) lewat petisi Bambang-Dipo di tahun 1977 mengusung Almarhum Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin sebagai calon presiden, berharap semua pihak kembali memegang etika dan moral politik dengan tidak menghalalkan segala cara lewat pemutarbalikkan fakta.

‘’Ini penting, lihat saja terlalu banyak peristiwa yang mesti dikonfirmasi akurasinya, tapi diambil alih seolah-olah begitu kejadiannya sebagai propaganda politik yang meracuni di dalam negeri,’’ kecamnya. Padahal, lanjut putera pahlawan nasional Bung Tomo itu, banyak agenda bangsa yang mesti diselesaikan lewat mobilisasi dukungan dari berbagai kalangan. [FN]

http://www.rakyatmerdeka.co.id/news.php?id=20797

Pulsa, Bensin dan Kredit Motor Sedot Pengasilan Masyarakat Miskin

Laporan: Feril Nawali



RMOL. Pemerintah diingatkan memajukan korporasi negara mengimbangi gencarnya gempuran korporasi global yang menguasai berbagai sumber ekonomi. Apalagi, kebutuhan pokok masyarakat terus berkembang, dimana saat ini saja sebagian besar pendapatan kelompok masyarakat menengah ke bawah terkuras buat pembelian pulsa, biaya bensin dan kredit sepeda motor. Ketiga pos pembelanjaan itu ditengarai menyedot lebih dari 50 persen pendapatan rumah tangga kelompok masyarakat miskin.

''Sumberdaya pendapatan masyarakat sekarang terkuras bukan hanya oleh pembelian sembako. Karena itu, sekarang ini yang mesti dikedepankan bagaimana mendorong korporasi negara agar sumberdaya masyarakat menjadi kuat,'' kata ekonom Ichsanuddin Noorsy dalam Seminar dan Rakernas ke-2 Federasi Serikat Pekerja (FSP) BUMN yang berlangsung di Batam, Jumat (11/3).

Menurut Ichsanuddin, para pemodal besar dan perusahaan global datang dan menguasai cabang usaha lewat pengkondisian UU dan ketentuan perundangan yang menjauhi semangat dan jiwa pasal 33 UUD 1945. ''Jadi kalau ditarik garis lurus, para politisi merupakan bagian dari korporasi usaha global yang menguasai berbagai cabang usaha lewat pembuatan peraturan yang menyerahkan segala sesuatunya terhadap mekanisme pasar,'' terangnya.

Karena itu, lanjut Ichsanuddin, dirinya selalu menolak kebijakan privatisasi cabang-cabang usaha negara terhadap pihak swasta, ''Tidak bisa cabang-cabang hidup yang menguasai hajat hidup orang banyak diserahkan begitu saja kepada pasar,'' terangnya.

Dia juga menyebutkan, untuk menyehatkan berbagai usaha BUMN yang merugi, privatisasi bukan sebagai pilihan satu-satunya, apalagi sampai menyerahkan kepemilikan mayoritas terhadap pihak swasta, karena itu mesti dicarikan pola pembiayaan alternatif yang menguatkan sumberdaya perekonomian masyarakat.

Sementara itu, Dirut PT Jamsostek Hotbonar Sinaga mengungkapkan, sekalipun memiliki tugas pengelolaan perlindungan sosial terhadap pekerja, Jamsostek juga melakukan pengembangan investasi memberikan imbal hasil yang tinggi terhadap iuran yang dikumpulkan para pekerja.

''Dalam pengembangan investasinya, PT Jamsostek selalu membeli obligasi negara dan saham-saham BUMN yang bluechip atau saham unggulan,'' terangnya. Sebagai misal, dia menambahkan, sepanjang tahun 2010 dari total dana investasi Jamsostek sebesar Rp 99 triliun, sebesar 40 persen ditempatkan dalam obligasi atau sekitar Rp 37 triliun, sebesar 31 persen ditempatkan dalam deposito terutama bank-bank BUMN sebesar Rp 31 triliun , serta pembelian saham sebesar 22 persen atau berkisar Rp 22 triliun.

Saat ini, lanjut Hotbonar, pihaknya juga tengah mengajukan Jamsostek Investment Company (JIC) bekerjasama dengan anak usaha Islamic Development Bank (IDB). Nantinya, dari dana patungan Rp 1 triliun akan diinvestasikan untuk perusahaan menengah dan kecil yang padat karya sehingga tumbuh menjadi besar, bahkan menjadi worldclass corporate, "Kita akan masuk dalam usaha kesehatan, kontruksi, infrastruktur dan bidang pangan,'' terangnya. [FN]

http://www.rakyatmerdeka.co.id/news.php?id=20795

Bukan Bagian Strategi Intelijen jadi Nggak Perlu Kalang Kabut

Jenderal (Purn) AM Hendropriyono:
Soal Berita The Age & Sydney Morning Herald




RMOL. Berita di koran Australia, The Age dan harian Sydney Morning Herald, bikin geger Istana, kemarin. Karena kedua koran di Negeri Kanguru tersebut benar-benar telah memojokkan orang-orang Istana Republik Indonesia. The Age dengan terang membuat headline di halaman muka dengan judul ‘Yudhoyono Abused Power’, lalau Sydney Morning Herald menampilkan judul “Bambang Thank You Ma’am’.

Berita-berita di kedua ko­ran tersebut dirilis dari bocoran Wikileaks soal kawat diplomatik Kedubes Amerika Serikat di Jakarta. Isinya memang menohok Istana. Di koran itu disebutkan, antara lain, SBY telah menginter­vensi dan mempengaruhi jaksa dan hakim untuk melindungi tokoh politik yang melakukan korupsi, SBY menggunakan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk memantau saingan politik­nya, lalu ada juga yang menyebut dominasi Ibu Ani Yudhoyono, dan kedekatan Ibu Ani dengan pengusaha Tommy Winata.

Adakah motif tersembunyi di balik pemberitaan ‘sampah’ itu? Apakah ada operasi intelijen yang bermain di balik keluarnya berita tersebut? Bekas Kepala BIN Jen­deral (Purn) AM Hendro­priyono tak yakin ada setting inte­li­jen di balik pemberitaan terse­but. Bahkan, Hendro menya­ran­kan, agar semua pihak di Tanah Air tak kalang kabut merespons info-info tersebut.

Lalu apa yang harus dilakukan pemerintah? Berikut kutipan wawancara Rakyat Merdeka dengan Hendro di Jakarta, kemarin.

Apa tanggapan Anda terkait berita The Age dan Sydney Mor­­ning Herald yang dinilai telah memojokkan SBY, Ibu Ani dan koleganya?
Yang dimuat The Age itu bukan strategi intelijen, itu info yang belum terkonfirmasi ke­be­naran­nya.

Apa ada agenda lain dari ke­dua koran itu, misalnya untuk menghancurkan citra pemerin­tah Indonesia di mata interna­sional?
Harus diakui, sekarang ini popularitas pemerintah berada dalam posisi menurun seperti telah dilansir berbagai lembaga survei Tanah Air, maka dalam kondisi seperti ini, gosip dan info yang tak terkonfirmasi kebena­rannya seperti yang dimuat The Age, akan mempengaruhi situasi.

Bagaimana strategi mengha­da­pinya?
Yang paling penting, berpe­gang kepada kebenaran. Tidak perlu pemerintah yang tanggapi info yang nggak terkonfirmasi ke­benarannya, karena saat ini sedang ada krisis kepercayaan ter­hadap pemerintah. Sehingga dikhawatirkan bisa jadi kontra­pro­duktif, apalagi saat ini semua respons yang disampaikan peme­rintah tak terkoordinir dengan baik. Masing-masing pejabat mem­beri­kan respons yang ber­beda-beda.

Kebenaran apa yang Anda mak­sud?
Tunjukkan kebenaran yang telah dicapai pemerintah. Biar mereka malu dan menjadi kerdil.

Lalu, apa yang harus dilaku­kan?
Menurut saya, harus media nasional yang mem­berikan berita se­be­nar­nya, se­hingga info yang tak terkonfir­masi kebenaran itu, bisa di­ker­dilkan.

Bagaimana dengan lang­kah men­yam­pai­kan hak jawab?
Kita memang punya hak ja­wab, tapi mukul balik dengan cara ini nggak akan maksimal.

Terus bagaimana langkah mengcounter info tersebut?
Disinilah peran intelijen ber­main. Lakukan penggalangan dengan pendekatan yang cerdas, smart, dengan cara menggalang media nasional untuk menam­pilkan berita dan keterangan yang sebenarnya. Nggak perlu di­coun­ter, karena mereka juga sudah yakin info-info tersebut pasti di­bantah. Cari materi lain yang lebih baik dan bisa mengker­dil­kan mereka. Bikin kita yang populer mereka yang kerdil. Jangan se­baliknya, kita dikerdil­kan me­reka. Cara ini yang mesti­nya juga dilakukan CIA dalam meng­hadapi pendiri Wikileaks, Julian Assange.

Maksud Anda?
Menurut saya ketika Julian Assange pertama kali melansir semua bocoran kawat diplomatik di internet, pemerintah Amerika dan sekutunya tak perlu sibuk-sibuk menangkap dan memen­jara­kan Julian Assange. Dia itu bocah, tak perlu diurusi pemerin­tah. Mestinya CIA cukup mem­buat situs-situs baru yang me­nyampaikan kebenaran se­sung­guh­nya. Pasti, orang akan ber­pikir ulang untuk menam­pilkan info-info dari situs Wikileaks.

Sejauh ini, menyikapi berita The Age, pemerintah telah me­manggil Duta Besar Amerika Serikat di Indonesia dan mela­yangkan nota protes, menurut Anda apa langkah ini pro­duktif?
Untuk apa panggil Kedubes? Emang dulu zaman Orde Baru bisa tekan-tekan pers. Jangan sampai terkesan yang muncul David melawan Goliath. The Age itu kan koran kecil yang hanya ada di Melbourne.

Anda yakin tidak ada reka­yasa lain dari pemberitaan ter­sebut?
Kecil kemungkinan ada reka­yasa, justru besar kemungkinan hal ini dijadikan pemanfaatan untuk upaya gonjang-ganjing. Hal ini terjadi apabila gosip dan info yang tak terkonfirmasi itu ditanggapi dengan kalang kabut, supaya pemerintah goyah, dan dimanfaatkan lawan-lawan poli­tik­nya. [RM]

http://www.rakyatmerdeka.co.id/news.php?id=20789

Hanya Terobosan yang Bisa Melepaskan Elite dari KKN

WIKILEAKS


Jakarta, Kompas - Ketua Global Nexus Institute Christianto Wibisono, Jumat (11/3) di Jakarta, menanggapi bocoran WikiLeaks. Dia menyatakan, hanya terobosan yang bisa melepaskan para elite dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.

”Sayang, figur yang disebut-sebut dalam WikiLeaks itu hanya elite-elite yang sedang berkuasa atau belum lama berkuasa. Figur-figur lain yang juga tergolong kelas berat dalam praktik intrik dan korupsi kekuasaan di Indonesia tidak disebut-sebut,” ujarnya.

GNI sedang menelusuri struktur dinasti politik ekonomi bisnis Orde Baru yang tidak disentuh oleh Orde Reformasi. GNI telah menelusuri sejarah KKN sejak zaman Orde Lama yang sebagian aset kroninya disita oleh Orde Baru, seperti Aslam Markam Bram Tambunan.

Namun, pada zaman Orde Lama, Penguasa Perang KSAD juga sulit menindak korupsi para kolonel karena akan dieksploitasi oleh Partai Komunis Indonesia.

Hal yang lebih parah adalah warisan kinerja Orde Reformasi, yang tidak menyentuh struktur KKN Orde Baru atau hanya menyentuh bagian pinggiran dan dosa-dosa koruptif kelas marjinal pihak tertentu. Seluruh kerajaan bisnis Orde Baru tetap selamat.

”Dan memang kita lebih baik belajar untuk tidak memiliki sifat dendam kesumat setiap kali terjadi pergantian rezim,” katanya.

Usulan

Pada zaman Orba, putra-putra penguasa masuk peringkat pembayar pajak terbesar. Indonesia juga berkepentingan akan tumbuhnya kekuatan bisnis raksasa model Mitsubishi (Jepang) dan Samsung (Korsel) yang benar-benar hebat dan tidak jatuh walau pergantian rezim terjadi.

”Akan tetapi, konsep konflik kepentingan belum diterapkan secara benar sehingga penguasa Orde Baru menggunakan posisinya untuk menjadi pengusaha, dan pengusaha yang dibesarkan oleh Orde Baru sekarang ini menjadi penguasa politik. Campur aduk dua arah ini menimbulkan fenomena yang ditulis oleh WikiLeaks secara random dari rumor,” kata Christianto.

GNI mengusulkan UU Antikonflik Kepentingan. Pengusaha yang menjadi penguasa harus melepaskan portofolio bisnis kepada lembaga blind trust management seperti di AS. Terhadap praktik KKN masa lalu diberlakukan amnesti. Namun, apabila tetap bandel, dikenai UU Pembuktian Terbalik dan disita seluruh asetnya.

”Hanya dengan terobosan ini kita dapat mengatasi kemelut yang menyandera elite kita karena melakukan KKN serta campur aduk politik dan bisnis yang laten sejak Orde Lama hingga Orde Reformasi,” ujarnya. (*/MON)

http://cetak.kompas.com/read/2011/03/12/04442027/hanya.terobosan.yang.bisa.melepaskan.elite.dari.kkn

Negara ”Sarang Mafia”?

Orang bilang, mafia pajak bisa menghela napas setelah hak angket pajak gugur di parlemen 22 Februari lalu dengan komposisi 266:264 antara yang menolak dan mendukung.


Kita memang kecewa. Publik tahu sendiri bagaimana konsekuensi buruk dari kegagalan parlemen merumuskan keputusan politik mengenai persoalan mafia pajak ini. Yang jelas, kalau dibilang negara kita ibarat sarang mafia, tak ada salahnya juga. Toh, faktanya kita kini bergejolak karena kasus Gayus Tambunan ternyata—sampai saat ini!—tidak cukup untuk menjadi pemicu bagi penegakan hukum. Orang-orang kuat di belakang Gayus masih berkeliaran.Perusahaan- perusahaan besar yang mengemplang pajak juga belum tersentuh hukum. Bagaimana kita bisa berbicara soal reformasi birokrasi dalam konteks seperti ini?

Kesulitan terbesar kita untuk memberikan perhatian khusus pada masalah sosial seperti buta huruf,pengangguran,dan kemiskinan adalah karena negara kekurangan uang untuk mengatasi semua itu.Tapi benarkah kita kekurangan uang? Semua orang tahu,kalau penerimaan pajak berjalan normal, tanpa jalur mafia, negara memiliki cukup uang untuk menaikkan subsidi dan mencicil utang luar negeri. Kalau kita lihat UU 41/2008 APBN 2009 dan UU No 26/2009 APBN-P 2009,target penerimaan pajak tidak tercapai Rp725,8 triliun menjadi Rp651,9 triliun dan realisasi hanya Rp619,9 triliun.

Kalau kita lihat UU 47/2009 APBN 2010 dan UU No 2/2010 APBN 2010,target penerimaan pajak tidak tercapai Rp742,7 triliun menjadi Rp743,3 triliun dan realisasi pajak pada 2010 menurut siaran pers Kahumas Dirjen Pajak 4 Januari 2011 hanya Rp649,04 triliun.

Sumber Utama

Pajak adalah sumber anggaran pembangunan,pada saat ini tax ratio kita adalah yang terendah di kawasan ASEAN, bahkan di antara negaranegara G-20 di mana Indonesia menjadi anggotanya. Sebagai perbandingan, tax ratio Indonesia 14,1%, Brasil 38,8%, dan Australia 30,5%. Tidak maksimalnya penerimaan negara dari perpajakan diikuti dengan meningkatnya jumlah utang Indonesia dari waktu ke waktu.Pada 2005 sebesar Rp1.313 triliun, 2009 Rp1.590 triliun, dan 2010 Rp1.676,15 triliun. Besarnya kenaikan belanja pegawai yang dikaitkan dengan agenda reformasi birokrasi tidak menunjukkan perbaikan kinerja yang ditandai dengan tersendatnya penerimaan pajak dan munculnya kasus-kasus perpajakan yang melibatkan aparatus perpajakan.

Belanja pegawai tahun 2007 sebesar Rp90,425 triliun,2008 Rp112,83 triliun, 2009 Rp127,67 triliun, 2010 Rp162,659 triliun, dan 2011 Rp180,825 triliun (dalam 5 tahun belanja pegawai meningkat dua kali lipat). Dengan tidak maksimalnya penerimaan ini, dari sisi penganggaran negara tidak memiliki cukup banyak uang untukmeningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Titik Rawan

Dalam hal pengelolaan perpajakan di lingkungan pemerintah, Komite Pengawas Perpajakan menemukan 12 titik rawan penyalahgunaan kewenangan yang terjadi di bidang perpajakan. Di antaranya dalam bentuk intervensi dalam pembentukan peraturan untuk kepentingan tertentu melalui pasal pesanan. Hal ini disampaikan Komite kepada DPR RI pada 15 April 2010. Reformasi perpajakan sudah dilakukan sejak lama, bahkan saat ini sudah masuk tahap kedua yang dimulai pada 2009.

Reformasi perpajakan kedua yang sebagian dananya menggunakan pinjaman luar negeri sebesar USD110 juta melalui Bank Dunia adalah bentuk ketidakmampuan negara mengagregasi penambahan peningkatan keuangan negara. Laporan keuangan pemerintah LKPP tahun 2008 menunjukkan ada piutang pajak sebesar Rp55,545 triliun.Pada 28 Januari 2010, Dirjen Pajak menyampaikan ada tunggakan pajak sebesar Rp17.518 triliun dari 100 penunggak pajak terbesar.

Hal ini menunjukkan masih ada persoalan terkait dengan kewenangan yang dimiliki oleh aparatus atas dasar UU maupun penafsiran masyarakat terhadap UU sehingga piutang ini kemudian timbul. Berdasarkan laporan dirjen pajak 31 Desember 2009, terdapat 62.884 kasus sengketa pajak yang sebagian besar adalah masalah data dan menyangkut penafsiran terhadap ketentuan perundang-undangan perpajakan yang digunakan sebagai dasar perhitungan pajak. Hal ini disampaikan Ditjen Pajak kepada DPR pada tanggal 2 Februari 2010.

Kekecewaan Mendalam

Atas dasar pertimbangan masalah-masalah tersebut, kepatuhan untuk menjalankan amanat UU maupun atas dasar dampak yang ditimbulkan sangat luas,hak angket diajukan. Terutama yang terkait dengan utang, minimnya pembangunan, bertambahnya beban negara untuk membayar bunga dan pokok utang dari waktu ke waktu, peningkatan belanja pegawai yang tidak diikuti peningkatan kinerja sehingga hak angket ini konstitusional untuk disahkan. Inilah dasar kenapa Fraksi PDI Perjuangan menyatakan kekecewaan mendalam,begitu juga fraksi lain yang sehaluan tentu, dengan gugurnya hak angket pajak akhir bulan lalu itu.Topik utama kita adalah bagaimana membangun negara yang kuat dan bersih.

Institusi politik dan hukum saat ini harus bersinergi mendorong dan memberikan tekanan agar pemerintahan yang berjalan tampil bersih dan akuntabel.Gejolak berantai di kawasan Timur Tengah pascarontoknya rezim Mubarak di Mesir dan mundurnya Zine el- Abidine ben Ali di Tunisia adalah contoh perlawanan kolektif rakyat terhadap kepemimpinan politik yang kotor dan rakus. Indonesia tentu konteksnya berbeda.Tapi bahwa persepsi buruk terhadap pemerintahan melahirkan perlawanan radikal merupakan logika universal yang kekal dan berlaku di mana-mana.

Oleh karena itu, agar demokrasi bisa menjamin negara, yang mesti mengatur bukan oleh mafia, melainkan pemimpin yang sesungguhnya. Untuk itulah kita mendukung dan sekaligus menekan pemerintahan saat ini untuk memiliki political will memberantas mafia pajak.●

TJAHJO KUMOLO
Sekjen PDI Perjuangan, Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR RI

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/386099/

Pasca-Keretakan Koalisi

Written By gusdurian on Jumat, 11 Maret 2011 | 12.11

Al-Muzzammil Yusuf, ANGGOTA FRAKSI PKS DPR RI

Evaluasi terhadap Sekretariat Gabungan sebagai wujud dari pe- lembagaan koalisi yang mendukung pemerintahan SBY saat ini adalah tidak adanya agenda, struktur, dan mekanisme pengambil- an keputusan yang jelas dan mengikat. Untuk itu, setelah terjadi- nya keretakan koalisi, pemerintahan SBY ini harus mulai memba- ngun pelembagaan koalisi yang mapan.
idato resmi yang disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Selasa (2 Februari) tentang masa depan koalisi ramai menjadi pembahasan politikus dan media. Sebagai ketua koalisi, Presiden SBY menyampaikan keinginannya untuk membangun koalisi yang efektif dalam mendukung pemerintahan ke depan. Pidato ini menunjukkan bahwa ada iktikad Presiden SBY untuk menata ulang koalisi yang selama ini sudah berjalan 1,5 tahun yang dinilainya belum efektif.

Koalisi yang dibangun pada pemilu presiden 2009 ini memang harus ditata ulang karena permasalahan yang terjadi saat ini menunjukkan telah terjadi keretakan dalam koalisi pendukung pemerintah. Penyebab mendasar keretakan koalisi, menurut penulis, adalah dua hal. Pertama, belum ada kesamaan pandangan soal konsep, aturan, dan agenda utama koalisi, sehingga setiap anggota koalisi tidak dapat bekerja sama secara sinergis dalam mendukung pemerintah. Bahkan yang tampak oleh publik adalah perebutan kekuasaan antaranggota koalisi dan menegasikan peran anggota koalisi satu sama lain. Padahal koalisi tidak semata soal siapa menjabat apa dan kapan (who gets what, how and when) seperti yang didengungkan oleh Laswell, tapi harus bekerja sama untuk mewujudkan clean government dan good governance yang telah dicita-citakan dari awal pembentukan koalisi.

Kedua, tidak ada pelembagaan koalisi yang baik dalam memberdayakan potensi besar (75,5 persen kursi di DPR) yang dimiliki oleh anggota koalisi. Sedangkan syarat pelembagaan koalisi yang baik adalah membangun komunikasi yang baik antaranggota koalisi, sehingga semua anggota merasa terlibat dan dihargai dalam pengambilan keputusan. Itulah prinsip demokrasi yang harus diterapkan dalam koalisi.

Dalam hal pelembagaan koalisi ini, kita patut belajar dari praktek koalisi yang sudah mapan seperti di Jerman. Di Jerman, setelah ada kesepakatan untuk berkoalisi, tahap selanjutnya penentuan agenda-agenda utama yang akan diperjuangkan dalam koalisi yang diwujudkan dalam produk rancangan undang-undang. Koalisi mengumumkan secara terbuka kepada publik ihwal konsensus dan struktur koalisi, sehingga tidak ada yang ditutupi. Selain itu, secara teknis koalisi, di Jerman diatur bagaimana cara pengambilan keputusan da
lam koalisi dan bagaimana menyikapi perbedaan atau perselisihan antaranggota koalisi. Komunikasi antaranggota koalisi intens dilakukan untuk membahas agenda utama koalisi. Kendati Jerman menerapkan sistem parlementer, pelembagaan koalisinya dapat pula diadopsi dalam sistem presidensial.

Sistem presidensial yang diterapkan di Indonesia memungkinkan untuk menerapkan pelembagaan koalisi seperti di Jerman.
Evaluasi terhadap Sekretariat Gabungan sebagai wujud dari pelembagaan koalisi yang mendukung pemerintahan SBY saat ini adalah tidak adanya agenda, struktur, dan mekanisme pengambilan keputusan yang jelas dan mengikat. Untuk itu, setelah terjadinya keretakan koalisi, pemerintah SBY ini harus mulai membangun pelembagaan koalisi yang mapan.

Dalam menata pelembagaan koalisi yang mapan, ada empat hal yang harus diperhatikan. Pertama, membangun kembali kesepahaman bersama mewujudkan visi utama koalisi dalam mewujudkan clean government dan good governance.Visi ini harus dioperasikan dalam agenda utama koalisi, baik di pemerintahan maupun parlemen. Sebagai contoh di parlemen, agenda utama koalisi harus diarahkan untuk menghasilkan legislasi yang berpihak pada kemaslahatan publik. Banyak agenda legislasi yang sangat dekat dengan kebutuhan rakyat yang semestinya dibahas dalam koalisi secara serius dan mendalam. Agenda legislasi itu di antaranya rancangan undang-undang reformasi birokrasi dalam meningkatkan pelayanan publik dan menurunkan praktek KKN; RUU perlindungan terhadap pasar tradisional yang terancam oleh keberadaan pasar modern/mal; revisi UU pemilihan kepala daerah agar lebih efisien dan meminimalkan praktek money politics; RUU untuk pemberdayaan potensi kelautan yang jauh tertinggal; RUU Integrated Criminal Justice System untuk menegakkan supremasi hukum secara komprehensif yang akhir-akhir ini terasa karut-marut, dan lain-lain. Jika agenda besar legislasi dapat disepakati, empat tahun ke depan kita akan semakin memperkokoh regulasi reformasi, sebagai bagian yang integral dari sebuah reformasi.

Kedua, perlu disepakati struktur koalisi yang merepresentasikan anggota koalisi yang dibagi dalam tugas-tugas agenda utama koalisi. Jika struktur koalisi ini terbentuk, akan ada komunikasi yang intens dalam koalisi. Pada struktur pimpinan utama koalisi yang terdiri atas pemimpin tertinggi partai koalisi, dilakukan pertemuan khusus yang membahas dan mengevaluasi cita-cita serta agenda utama koalisi secara berkala. Pertemuan antarstruktur pimpinan utama koalisi ini sangat penting untuk menjaga komunikasi politik antaranggota koalisi, sehingga melahirkan stabilitas politik dalam koalisi. Jika ini tidak dilakukan, akan rentan terjadi kekisruhan dalam koalisi yang seharusnya tidak perlu terjadi. Keputusan penting di tingkat ini ditindaklanjuti oleh struktur di bawahnya atau oleh masing-masing partai. Ia bisa menjadi arahan untuk program eksekutif dan juga menjadi program legislatif, termasuk perda jika dibutuhkan untuk itu.

Ketiga, perbedaan sikap politik anggota koalisi yang terjadi dalam menjalankan fungsi pengawasan DPR harus tetap dihormati. Sebab, kekritisan parlemen dalam menjalankan fungsi pengawasan adalah amanah Konstitusi. Dan pengawasan adalah keniscayaan dalam demokrasi dan demi terwujudnya cita-cita clean government and good governance. Tetapi pada saat yang sama, ketika pemerintah memperjuangkan agenda utama koalisi yang sudah disepakati, setiap anggota koalisi harus berjuang mati-matian untuk mengawalnya.

Keempat, dalam proses pengambilan kebijakan koalisi, aspirasi rakyat tidak boleh dinegasikan, karena koalisi parpol merupakan representasi dari koalisi rakyat yang mendukung pemerintahan. Jadi, tiap partai koalisi harus menjaring aspirasi dari konstituennya yang kemudian menjadi pijakan kebijakan bersama dalam koalisi. Jika demikian, kebijakan partai politik tidak mudah “berbalik arah”karena adanya kepentingan sempit elite politik tertentu. Sejatinya, penentu kebijakan itu seharusnya aspirasi rakyat, bukan intervensi elite. Aspirasi itu penting bagi koalisi agar sejalan dengan logika dan naluri kepentingan rakyat, sehingga tidak terjadi defisit demokrasi yang saat ini bergejolak di negara Timur Tengah dan Afrika, yaitu ketidakhadiran partisipasi rakyat dalam pengambilan kebijakan penting yang akan merasakan imbas dari kebijakan tersebut.

Selama koalisi konsisten didasari oleh keempat hal tersebut, seharusnya tidak ada isu pemecatan dalam anggota koalisi.

Jika tata kelola koalisi ini baik dan benar, banyak hal positif dan produktif yang bisa dilakukan untuk kemaslahatan rakyat. Semoga.

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2011/03/11/ArticleHtmls/11_03_2011_011_008.shtml?Mode=1

Dimensi Internasional Supersemar

Oleh Asvi Warman Adam

Pembicaraan tentang Surat Perintah 11 Maret 1966 umumnya menyangkut naskah asli dokumen tersebut atau tentang cara pemerolehannya yang tak biasa. Arsip Supersemar yang otentik belum ditemukan sampai sekarang dan dipercayai bahwa perintah itu diberikan bukanlah atas prakarsa Presiden Soekarno (Bung Karno), melainkan atas tekanan terhadap Bung Karno.

Jarang disinggung aspek internasional surat itu. Padahal, itu berkaitan dengan perubahan sejarah yang sangat besar terhadap negara dan bangsa Indonesia setelah 1965. Begitu diterima, Supersemar digunakan untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia sejak 12 Maret 1966.

Memang ini merupakan tuntutan dari berbagai gerakan kesatuan aksi di Tanah Air. Namun, tidak kalah pentingnya tindakan itu prasyarat masuknya modal asing Barat ke Indonesia. Beberapa hari setelah Supersemar dikeluarkan, teknisi Freeport sudah mendaki gunung di Papua. Karena belum ada aturannya, Amerika Serikat mengirim konsultan untuk membantu membuatkan undang-undang penanaman modal asing.

Dua negara

AS dan Inggris adalah dua negara yang sangat berkepentingan dengan perkembangan politik di Indonesia tahun 1965 dan sebelumnya. AS yang sedang berperang di Vietnam tidak ingin Indonesia jatuh ke tangan komunis. Inggris juga menginginkan hal serupa karena sedang membantu Malaysia menghadapi konfrontasi dengan Indonesia.

AS menyerahkan daftar nama pengurus PKI dan bantuan uang Rp 50 juta untuk Komite Aksi Pengganyangan Gestapu. Inggris mengirim agennya, Norman Reddway, untuk membentuk sebuah lembaga di Singapura dan dari sana melancarkan kampanye antikomunis.

Seminar internasional ”Indonesia and the World in 1965” yang diadakan di Jakarta, Januari 2011, mengungkapkan banyak hal tentang keterlibatan berbagai negara besar di seputar keluarnya Supersemar. Sayangnya, belum ada sejarawan yang menggunakan arsip China tentang peristiwa tersebut.

Ragna Boden yang meneliti arsip Uni Soviet menyimpulkan bahwa Moskwa tidak terlibat dalam kudeta. Negara ini cenderung bersikap oportunistis. Mereka tidak berani, misalnya, menampung tokoh PKI yang diburu aparat keamanan di kedutaan besar mereka.

Pada sebuah kesempatan di Tokyo, Aiko Kurosawa mengatakan kepada saya bahwa saat terjadi G30S 1965, duta besar Jepang di Jakarta sedang berada di Jawa Timur. ”Ini membuktikan bahwa sang diplomat tidak tahu apa-apa tentang kudeta tersebut,” kata guru besar Universitas Keio itu. Namun, pertanyaannya dapat dibalik: kenapa sang dubes berkunjung ke Jawa Timur pada saat genting?

Dubes Perancis di Jakarta tahun 1965 adalah Claude Cheysson, seorang sosialis yang dekat dengan Presiden Francois Mitterand. Bahkan, kemudian ia diangkat menjadi menteri luar negeri Perancis. Perlu pelacakan arsip di Paris tentang apa yang dilakukan dan dilaporkan sang dubes dari Jakarta tahun 1965 karena, menurut Dubes AS Marshal Green, para diplomat Barat itu sering saling kontak.

Sementara itu, reportase dan analisis pers Perancis tentang Indonesia tahun 1965/1966 tidaklah mendalam, seperti diakui pakar Perancis Francois Raillon. Tanggal 22 Maret 1966 koran Le Monde menurunkan artikel panjang berisi puji-pujian tentang Soeharto yang dianggap tokoh alternatif bagi Indonesia.

Tahun 1965 terdapat dua Jerman di Jakarta: Jerman Barat yang telah membuka kedutaan besar sejak 1952 dan Jerman Timur yang berstatus konsulat. Keduanya bersaing dan pihak Jerman Barat merintangi pengakuan negara asing terhadap Jerman Timur (waktu itu baru oleh belasan negara).

Kedutaan Besar Jerman Timur baru dibuka pada era Orde Baru. Namun, kedua Jerman itu bersikap skeptis terhadap politik luar negeri Indonesia dan perkembangan PKI. Dalam ulang tahun PKI (Mei 1965) negara komunis Jerman Timur tidak diundang. Setelah meletus G30S, Jerman Barat melihat peluang ekonomi di Indonesia. Duta Besar Kurt Luedde-Neurath mengatakan ”kesempatan itu harus diambil, jangan dilepaskan.”

Sedikit pengetahuan

Richard Tanter mengungkapkan betapa sedikit pengetahuan masyarakat Australia tentang pembantaian massal tahun 1965 di Indonesia ketimbang pembantaian oleh Nazi Jerman, rezim Stalin Rusia, atau Khmer Merah Kamboja. Suatu masa pernah citra Indonesia buruk di mata sejumlah orang Australia justru karena peristiwa Timor Timur, bukan karena kasus 1965. Tanter mencoba memperlihatkan bahwa pers, akademisi, dan politisi Australia tahu pembantaian tahun 1965. Namun, mereka bungkam dan tidak berbuat apa-apa.

Yang disampaikan Paul Keating tahun 2008 mungkin bisa menjawab sikap politisi Australia yang mendua itu: ”Andai kata Orde Baru tidak menyingkirkan Soekarno dan PKI, akan terjadi destabilisasi di Australia dan seluruh Asia Tenggara.”

Asvi Warman Adam Sejarawan LIPI

http://cetak.kompas.com/read/2011/03/11/04552777/dimensi.internasional.supersemar

The Culture of Fear

Setiap anak manusia terlahir dengan membawa naluri rasa takut. Semakin besar pertumbuhan anak,akan semakin terlihat potensi rasa takut itu.


Hanya saja, tingkat rasa takut seseorang berbeda-beda, begitu pun objek yang menimbulkan juga tidak selalu sama.Dulu orang takut hewan buas,diciptakanlah senjata berupa tongkat, golok, atau panah. Atau seseorang berusaha menghindarinya. Dengan rasa takut,manusia sesungguhnya menjadi kreatif. Orang takut tenggelam di air,diciptakan pelampung.Lantaran takut lapar, orang menimbun padi atau makanan lain.Karena takut sakit,banyak orang rajin berolahraga atau menjaga kesehatan. Membayangkan betapa sengsaranya jatuh miskin, orang bekerja mencari uang dan menabung. Rasa takut ini menjadi tidak sehat kalau membudaya dan yang menjadi objek ketakutan adalah hal-hal yang sesungguhnya tidak menjadi kebutuhan primer dalam kehidupan.

Lebih tidak sehat lagi kalau rasa takut itu lalu menjadi beban serta menimbulkan permusuhan dengan orang lain.Misalnya takut kehilangan jabatan, seseorang berusaha dengan berbagai cara agar jabatannya abadi. Juga menindas siapa-siapa yang dianggap akan menjadi ancaman atau pesaing bagi dirinya.Rasa takut yang demikian ini pasti tidak sehat, bukannya mendorong kreativitas yang konstruktif, melainkan menjadi beban mental yang destruktif bagi diri dan lingkungannya. Judul tulisan ini,The Culture of Fear,mungkin saja dianggap berlebihan. Tetapi kalau kita amati, banyak peristiwa dan perilaku sosial yang menunjukkan munculnya budaya takut.

Kalau Anda hendak naik pesawat terbang jurusan Amerika Serikat (AS) atau Eropa,ketika masuk boarding room, pemeriksaannya sangat ketat sampaisampai terasa risih.Pemerintah Amerika mengidap rasa ketakutan kalau negaranya kesusupan teroris. Untuk mendapatkan visa ke AS atau Eropa juga tidak lagi semudah dahulu sebelum terjadi aksi terorisme. Negara Singapura kapal perangnya sangat canggih untuk ukuran sebuah negara dengan penduduk sekitar lima juta. Ini akibat rasa takut terhadap kemungkinan serangan yang datangdarinegaratetangganya. Katanya, para koruptor juga banyak menyimpan uang di bank Singapura,takut-takut kalau disimpan di Indonesia akan mudah terbongkar.

Yang cukup mencolok adalah perilaku para pejabat daerah maupun pusat. Mereka berusaha dengan berbagai cara agar jabatannya tidak direbut orang.Sementara mereka yang belum menjabat, takut tidak kebagian, kasakkusukkalauperlumenjatuhkan mereka yang lagi di atas. Perhatikan saja perilaku para kontestan dalam pilkada maupun pemilu.Antara nafsu untuk berkuasa bercampur rasa takut untuk kalah atau takut tidak kebagian jabatan. Makanya perilakunya menjadi emosional. Miliaran uang dihamburkan untuk membeli suara, dengan harapan kalau menang bisa kembali meskipun dengan jalan korupsi. Lalu ada calon yang kalah, harta habis pikiran kacau,akhirnya jadi jatuh miskin dan gila.

Kalau dipikir-pikir, perilaku sosial kita sudah sangat dipengaruhi oleh budaya takut yang bersifat destruktif. Banyak orang tua mengejar dan menumpuk kekayaan untuk membahagiakan anak-cucunya secara tidak rasional lagi. Ada rasa ketakutan terhadap masa depan anak-cucu secara berlebihan. Ada ibu-ibu yang takut menghadapi hari tua dengan wajah keriput lalu berusaha melakukan operasi plastik agar mukanya selalu tampak muda sampai-sampai menggeser perhatian dan pekerjaan lain yang jauh lebih manfaat. Ada lagi yang rajin ke dukun untuk mempertahankan karier dan posisinya yang secara alami memang mesti turun dan berganti generasi. Demikianlah,The Culture of Fear akan mudah muncul pada mereka yang hidupnya kurang pasrah kepada Tuhan dan hukum alam.

Mereka yang sudah cukup lama menikmati kedudukan dan materi, namun enggan bersyukur pasti akan selalu gelisah. Sederet pemimpin di Timur Tengah hari-hari ini pasti tengah dilanda rasa takut terjungkal dari singgasananya, mengikuti drama politik di Tunisia dan Mesir. Pejabat yang di atas takut jatuh, sedangkan yang di bawah takut tertindas terus serta tidak kebagian kesempatan untuk naik.

Yang miskin takut menderita dengan kemiskinannya yang berkepanjangan, lalu yang kaya takut berkurang kekayaannya. Jangan-jangan tanpa sadar kita semua ikut memupuk budaya takut, lalu kita ramairamai takut terhadap bayangbayang ketakutan yang kita ciptakan sendiri.(*)

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor UIN Syarif Hidayatullah

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/386514/

Mari Alkatiri: Anak Mudanya Xanana Kelompok Paling Korup

MARI ALKATIRI


RMOL. Bekas Perdana Menteri Timor Leste Mari Alkatiri optimistis partainya, Frente Revolucion·ria do Timor-Leste Independente (Fretilin), akan memenangkan pemilihan umum tahun depan dengan absolute majority.

Muslim berdarah Yaman ini menilai pemerintahan Xanana Gusmao gagal membangun sta­bilitas dan kesejahteraan rakyat.

Pemerintahan Xanana juga gagal melakukan regenerasi poli­tik di Timor Leste, sehingga gene­rasi muda di tubuh pemerin­tahan Xanana menjadi kelompok yang paling korup.

“Saya mengunjungi Timor Leste pada Desember lalu, dan saya melihat Timor Leste kini lebih stabil dan damai. Saya ber­te­rima kasih kepada Fretilin, bukan kepada pemerintah. Sebab, pemerintahan yang korup ini tidak bisa membuat perdamaian dan stabilitas,” ungkap Alkatiri dalam wawancara dengan Rakyat Merdeka akhir pekan lalu.

Berikut petikan wawancara:

Tahun depan, akan ada pe­milihan umum di Timor Leste. Apa rencana Anda? Anda akan mencalonkan diri?
Saya tidak pernah mencalon­kan diri sebagai perdana menteri. Yang mengikuti pemilihan umum adalah partai politik. Nanti (bila menang), partai (Fretilin) yang akan menentukan siapa yang menjadi perdana menteri.

Anda yakin Fretilin menang?
Absolute majority, 50 plus.

Dalam Pemilu 2007 partai Anda menang, tapi Anda akhir­nya kalah karena tidak bisa men­jadi perdana menteri. Apa yang terjadi?
Itu karena ketiadaan etika demo­krasi dan etika politik di kalangan elite (politik). Itu hal biasa yang dapat kita temukan di mana saja, di muka bumi. Se­harus­nya, pemenang pemilu me­mang memiliki hak membentuk pemerintahan.

Apakah ketiadaan etika di ka­langan elite merupakan penye­bab utama terjadinya kudeta di Timor Leste?
Di Timor Leste pernah terjadi dua kudeta secara berturut-turut. Pertama, tahun 2006 (yang me­maksa Mari Alkitiri berhenti, red), dan kedua kudeta setelah pe­milihan umum tahun 2007.

Namun, kudeta kedua saya se­but sebagai kudeta konstitusional, karena aktor utamanya adalah sahabat saya, Xanana Gusmao.

Artinya, hubungan Anda de­ngan Xanana baik-baik saja?
Ya. Itulah sebabnya saya sebut dia sebagai sahabat saya. (Mari Alkatiri tertawa)

Anda pernah menang pemili­han umum tapi gagal memim­pin pemerintahan. Apakah Anda ti­dak khawatir hal serupa akan teru­lang lagi?
Itulah sebabnya kami bekerja keras untuk mendapatkan keme­nangan absolut, seperti yang kami peroleh di tahun 2001. Saat itu, dari 88 kursi di parlemen kami memiliki 57 kursi. Semen­tara sekarang, dari 65 kursi di par­lemen, kami memiliki 21 kursi.

Apa yang akan Anda laku­kan bila mendapatkan masalah yang sama?
Tidak akan. Karena, faktanya kami menghadapi situasi yang berbeda. Bahkan, kalaupun kami hanya menang dengan simple majority, saat ini jauh lebih mu­dah untuk membuat koalisi.

Xanana ingin membuat koalisi dengan yang lain, termasuk de­ngan kami. Jadi, apakah dengan simple majority atau absolute ma­jority, kami akan dapat memim­pin pemerintahan tahun depan.

Jadi, Anda akan menerima Xa­nana?
Sebagai wakil saya, mungkin.

Mengenai regenerasi politik di Timor Leste, bagaimana tangga­pan Anda?
Pemerintah telah gagal dalam me­lakukan regenerasi politik. Generasi muda di dalam peme­rin­tahan Xanana merupakan ke­lompok yang paling korup. Tapi, saya tidak mau menyebut nama mereka. Biarkan Komisi Antiko­rupsi yang bekerja untuk meme­cahkan masalah ini.

Mengapa?
Lebih baik tanya mereka. Tapi, menurut saya ini terjadi karena mereka sama sekali tidak me­miliki kualifikasi sebagai pejabat eksekutif, dan tidak pernah mem­bayangkan hal itu. Namun, tiba-tiba mereka diangkat sebagai pe­jabat eksekutif oleh aliansi yang sangat kosmetikal ini.

Menurut Anda, apakah tidak aneh bila di Timor Leste hanya ada tiga tokoh yang selalu mun­cul, yakni Anda, Ramos Horta, dan Xanana Gusmao?
Kami punya hampir satu juta orang. Dari jumlah itu, sebetul­nya ada yang memiliki kualifi­kasi. Tapi mungkin orang lebih suka nostalgia, berbicara tentang pe­mimpin dari masa lalu. Karena itu, kami perlu menghentikan hal ini.

Banyak yang mengatakan Xanana lebih Timor daripada Anda dan Ramos Horta, karena dia berjuang di Timor Leste se­mentara Anda dan Horta ber­juang di luar negeri?
Kami tidak melarikan diri. Kami dikirim untuk berjuang dari luar negeri. Benar, Xanana ber­juang di Timor Leste Dan saya adalah orang pertama yang meng­hormati hal itu. Tapi, yang dibutuhkan oleh Timor Leste hari ini adalah bergerak ke depan, bukan lagi terjebak pada nostal­gia masa lalu.

Mengenai hubungan Timor Leste dengan Indonesia dan ne­gara tetangga lainnya, bagi­mana?
Kami di antara dua raksasa (Indonesia dan Australia). Kami harus membangun hubungan yang baik dengan keduanya. Kami tidak bisa berpura-pura men­jadi kekuatan besar di kawa­san ini. Masa lalu adalah masa lalu. Kami berbagi batas dan sumber daya alam dengan cara yang tepat dan pantas. Yang juga jelas, kami tidak bisa mengisolasi diri kami. [RM]

http://www.rakyatmerdeka.co.id/news.php?id=20682

Presiden: Pers dan Kekuasaan Jangan Saling Menakuti

Jakarta (ANTARA News) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan, hubungan antara pers dan kekuasaan tidak harus dilihat dalam konteks saling menakuti.

Presiden saat menyampaikan sambutan dalam acara ulang tahun ke-40 Majalah Tempo, Rabu malam, menyatakan, kekuasaan memang harus berjalan dalam mekanisme kontrol oleh pihak lain.

Berikut pidato presiden selengkapnya, seperti dimuat dalam laman remsi www.presidenri.go.id:

Bismillahirrahmanirrahim, Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Salam sejahtera untuk kita semua,
Mas Goenawan Mohamad, Bung Bambang Harimurti dan keluarga besar Tempo yang saya cintai,
Hadirin sekalian yang saya hormati.

Alhamdulillah, malam hari ini kita dapat bersama-sama berbagi rasa syukur dan ikut berbahagia bersama-sama keluarga besar Tempo dalam memperingati Hari Ulang Tahun Tempo yang ke-40. Saya ingin memulai sambutan singkat saya ini dengan mengucapkan selamat berulang tahun kepada keluarga besar Tempo. Semoga Tempo semakin berjaya di masa depan.

Kita mengetahui bahwa perjalanan Tempo adalah perjalanan yang panjang, penuh dengan pasang surut seiring dengan dinamika dan pasang surut kehidupan politik dan demokrasi di negeri ini. Oleh karena itu, saya percaya bahwa Tempo pada usianya yang ke-40 tahun ini bisa melakukan refleksi dan kontemplasi dan yang bisa melakukan hanya Tempo karena Tempo-lah yang ketika mendirikan media ini memiliki cita-cita, idealisme, dan nilai-nilai yang hendak dijunjung tinggi dan dikembangkan. Tentu Tempo akan terus melakukan refleksi dalam perjalanan sejarahnya.

Hadirin yang saya hormati.

Saya berjanji tidak ingin membicarakan yang itu-itu, artinya yang sudah banyak diketahui oleh orang dan setiap ada hajat media massa, Hari Pers Nasional selalu dibicarakan, misalnya tentang freedom of the press, the responsibility of the press, kode etik jurnalisme, pemberitaan yang balance, cover both sides dan sebagainya. Kita sudah tahu dan tentunya itu menjadi bagian dalam kehidupan pers dan menjadi bagian dalam demokrasi sekarang ini. Saya juga tidak berniat untuk menggurui Tempo, karena Tempo sudah menjadi guru tersendiri dalam pasang surut dan romantika kehidupan pers di negeri tercinta ini.

Yang ingin saya sampaikan adalah satu topik yang menurut saya akan tetap relevan dan ini bagus kalau saya sampaikan pada kesempatan reflektif malam hari ini, yaitu hubungan pers dengan kekuasaan. Orang tahu bahwa hubungan antara yang memiliki otoritas dengan pers itu adalah hate and love relation. Juga sering dimaknai, terutama di banyak keadaan siapa yang lebih kuat, apakah pers atau yang memegang kekuasaan, siapa yang lebih powerful. Tentu berbeda-beda di sebuah negara yang sangat otoritarian, dengan yang semi otoritarian, dengan yang betul-betul demokratis.

Dulu pers takut kepada penguasa. Saya tidak tahu barangkali sekarang penguasa takut kepada pers. Tetapi masalahnya apakah hubungan antara pers dengan kekuasaan itu dibangun atas dasar ketakutan, siapa takut kepada siapa. Tentu saja bukan itu power relation yang harus kita maknai dalam demokrasi yang tengah mekar di negeri ini.

Beberapa saat yang lalu di Kupang dalam Hari Pers Nasional, saya juga memberikan sambutan. Saya ingin mengulangi secara singkat dalam suasana yang lebih santai ini tentang the concept of power. Paling tidak ada tiga pertanyaan penting yang harus kita jawab dengan jernih. Pertama, siapa power holder dalam demokrasi? Jawabannya sangat mudah, yang memegang kekuasaan, yaitu pimpinan dan segenap jajaran eksekutif, juga legislatif, juga yudikatif, juga pers, juga NGO dan banyak tempat yang dalam alam demokrasi mereka semua sesungguhnya adalah power holders.

Pertanyaan kedua, bagaimana power itu digunakan? Ini berkaitan dengan the exercise of power dalam politik, dalam demokrasi. Tentu mudah digambarkan bahwa kekuasaan itu akan digunakan sesuai dengan X atau aturan atau undang-undang dan rules yang berlaku.

Sedangkan pertanyaan yang ketiga adalah bagaimana agar tidak ada abuse of power? Ini tetap relevan sepanjang masa di negara mana pun, termasuk di negeri kita, yang sekali lagi, demokrasi kita makin hidup dan berkembang.

Menjawab tiga pertanyaan kritis ini, barangkali kita diingatkan sebuah teori lama yang bisa kita maknai secara lebih longgar, in a wider context kembali kepada prinsip checks and balances. Kita tahu power should not go unchecked, power must be checked by another power. Yang kedua, kita juga pernah mendengar ada satu norma, boleh disebut etika, boleh disebut aturan dalam hal seperti itu atau untuk apa power itu digunakan, siapa pun yang memegang power itu. Pertama-tama, sering disebut ada obligasi, there is an obligation bagi power holder untuk menggunakan power-nya itu untuk kebaikan tentunya.

Yang kedua, ada prinsip necessity. Power itu digunakan tentu untuk sebuah keperluan, bukan asal-asalan, tidak untuk main-main. Kemudian yang ketiga adalah yang disebut dengan teori kepatutan atau proportionality. Konon kata orang bijak, kalau kita semua, termasuk saya yang juga memiliki power, kekuasaan ini, memegang teguh tiga prinsip itu, konon hampir tidak ada konflik apa pun dalam diri kita, dalam menggunakan kekuasaan itu.

Paling tidak hadirin sekalian, teman-teman, itulah pikiran dan pandangan saya tentang the concept of power, tentang power relation antara yang memegang otoritas dengan pers.

Saya bersyukur sebagai presiden dengan telah dilakukan perubahan atas undang-undang dasar kita, empat kali perubahan karena sekarang ini kekuasaan presiden tidak sangat kuat. Sehingga insya Allah bagi presiden siapa pun tidak akan tergoda untuk melakukan penyalahgunaan kekuasaan karena di samping kekuasaan itu sendiri sudah menjadi ramping, banyak yang dilucuti dalam era reformasi dengan tujuan yang baik untuk sebuah checks and balances.

Maka kontrol terhadap kekuasan yang ada itu pun sangat tetap dalam tanda kutip, agar sekali lagi, tidak ada abuse of power. Kita tahu power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely. Tentu ini pesan bijak yang saya akan terus ingat dan semua presiden-presiden yang akan datang pun tentu akan ingat dan hakekatnya juga siapa pun yang memegang kekuasaan.

Meskipun dalam keseharian saya, saya kerap menerima SMS, telpon, orang berbicara langsung, mengirim surat, yang saya pahami masih memiliki mindset yang lama. Dalam pikiran beliau, para sahabat itu, meskipun niatnya baik, dipikirkan presiden itu bisa melakukan apa saja. Ini mendasar dan tentu bapak presiden tidak bisa melakukan apa saja. Ini juga berlaku bagi semua power holders, pemegang kekuasaan karena kita, kita semua juga tidak bisa melakukan apa saja. Dan di sinilah indahnya self control untuk kita semua, agar semua itu bisa digunakan untuk kebaikan kita semua, kebajikan bangsa dan negara yang kita cintai ini.

Begitulah refleksi singkat dari saya. Selamat sekali lagi, Tempo, semoga Tempo terus mengisi ruang demokrasi, makin hidup, makin kritis, makin berjaya.

Sekian.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.(*)

(F008*A017/S025)

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT Š 2011

http://www.antaranews.com/berita/249397/presiden-pers-dan-kekuasaan-jangan-saling-menakuti

--

Franz Magnis-Suseno: 45 Tahun Supersemar

45 Tahun Supersemar

Oleh Franz Magnis-Suseno SJ

Pada 11 Maret 1966 lima setengah bulan paling menegangkan dalam sejarah Indonesia merdeka mulai berakhir. Pada tanggal itu Presiden Soekarno menandatangani sebuah surat. Di situ ia menyuruh Jenderal Soeharto mengambil semua tindakan yang perlu untuk mengembalikan keamanan.

Dalam kenyataan, meski pasti bukan maksud Soekarno, Supersemar menjadi legitimasi pengambilalihan kekuasaan oleh Soe- harto. Dan, Soeharto tak ragu-ragu. Ia langsung melarang Partai Komunis Indonesia dan segera—tanpa menghiraukan protes Presiden Soekarno—menangkap sekitar 12 menteri Kabinet 100 Menteri, lalu membentuk kabinet baru. Sejak tanggal itu kekuasaan efektif di negara RI terletak di tangan Soeharto, yang baru melepaskannya pada 21 Mei 1998.

Empat puluh lima tahun kemudian peristiwa historis itu tetap kontroversial. Tak bisa tidak. Terlalu kompleks situasi dan kondisinya, terlalu raksasa dampaknya bagi bangsa Indonesia, dan terlalu mengerikan jumlah korbannya. Saya ingin menceritakan bagaimana saya waktu itu mengalaminya meski cerita itu barangkali shocking.

45 tahun lalu

Saat itu saya mahasiswa teologi di Yogyakarta. Saya hidup bersama rekan-rekan mahasiswa muda tarekat rohaniwan Yesuit. Percayakah Anda bahwa kami menyambut berita di radio tentang peristiwa Supersemar dengan bersorak gembira? Bahwa kami merasa seakan-akan sebuah beban kekhawatiran gelap terangkat. Reaksi kami itu sendiri ada sejarahnya.

Sejak mendarat di Bandara Kemayoran, Jakarta, 29 Januari 1961, saya cemas dengan ancaman komunis. Bagi saya, komunisme—sesudah nasional-sosialisme Nazi—adalah ideologi paling jahat dan berbahaya: antara 1917 dan 1991 kaum komunis membunuh lebih dari 100 juta orang, sedangkan Nazi antara 1933 dan 1945 membunuh 12 juta orang, tanpa menghitung korban perang.

Saya dapat kesan bahwa PKI maju di semua front. Di mana-mana papan merah PKI dan BTI terpasang. Sesudah Nasakom—persatuan ”revolusioner” Nasionalisme, Agama, dan Komunisme—dipermaklumkan Presiden Soekarno, segenap ungkapan kritis terhadap komunisme dihantam sebagai komunisto-fobi.

Akhir 1964, sebanyak 20 koran pembawa tulisan antikomunis Sayuti Melik ”Badan Penjebar Sukarnoisme” ditutup dan Partai Murba dinonaktifkan. Januari 1965, Soekarno membawa Indonesia keluar dari PBB. Secara internasional Indonesia terisolasi. Sejak akhir 1964 teman saya, para mahasiswa rohaniwan muda Indonesia, yang sebelumnya semua pengikut antusias Soekarno, berkesan mulai meragukan Soekarno.

Pada Agustus 1965 kami dengar kabar burung bahwa Soekarno jatuh sakit dan 10 doktor RRC yang katanya dibawa Ketua PKI Aidit dari Beijing dalam sebuah memo rahasia hanya memberikan tiga bulan lagi kepada Presiden. Suasana tegang meliputi negara. Kami merasa sesuatu akan terjadi.

Sesuatu itu terjadi pada 1 Oktober. Kami di Yogyakarta terus mendengarkan RRI. Sekitar siang hari kami mulai menyangka bahwa ”Gerakan 30 September”, nama yang dipakai oleh gerakan itu sendiri, berhaluan kiri. Malam hari suara Jenderal Soeharto mengumandang lewat RRI bahwa gerakan itu sudah dihancurkan. Kami menyambutnya dengan agak lega.

Namun, Yogyakarta sepertinya diliputi ketakutan. Jalan-jalan dan pasar-pasar sepi. Se- akan-akan orang sudah tahu bahwa darah telah mengalir dan darah akan mengalir lagi (di Yogyakarta pun yang dikuasai selama 16 hari oleh ”Dewan Revolusi”, Komandan Korem 72, Kolonel Katamso, dan stafnya, Letkol Sugiono, dibunuh oleh pasukan mereka sendiri). Orang masih ingat Peristiwa Madiun: kedua belah pihak membunuh jauh lebih banyak orang daripada yang ”perlu secara operasional”.

Kami merasa tegang. Segera menjadi jelas, Presiden Soekarno tak bersedia menonaktifkan PKI sebagaimana dituntut oleh semakin banyak kekuatan antikomunis. Apakah beliau akan berhasil menyelamatkan PKI?

Pada 16 Oktober pasukan yang ”terlibat” meninggalkan Yogyakarta. Kami dengar adanya bentrok di kawasan Klaten-Jatinom. RPKAD mulai ”membersihkan” kampung demi kampung dengan kader-kader tertinggi sering langsung dieksekusi. Pada bulan-bulan berikut kami juga mendapat berita tentang pembunuhan besar-besaran terhadap komunis di Jawa Timur dan Bali. Gelap dan mengerikan.

Di Jakarta, demonstrasi antikomunis kian menjadi. Namun, kesannya Presiden Soekarno lama-kelamaan berhasil merebut kembali inisiatif. Pada Februari dibentuk Kabinet 100 Menteri. Jenderal AH Nasution harapan kami tak lagi termasuk. Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) malah dilarang. Semua itu berakhir pada 11 Maret 1966 itu.

Tiga tahap

Melihat kembali, sebaiknya kita membedakan tiga tahap. Yang pertama adalah kejadian 1 Oktober 1965 dan buntut langsung. Saya tak akan masuk ke dalam spekulasi tentang siapa dalang G30S. Yang jelas, pada hari itu, pagi-pagi, enam jenderal tinggi Angkatan Darat dan ajudan Kapten Pierre Tendean diculik dan dibunuh.

Gerakan itu di Jakarta sudah dipatahkan pada malam hari yang sama dan berakhir sesudah benteng-bentengnya di Solo dan Yogyakarta menyerah. Untuk mematahkan PKI secara definitif, sebenarnya cukup kalau PKI, yang tak memperlihatkan kemampuan melawan, dilarang dengan—barangkali—para kader inti ditahan dulu serta semua yang betul-betul terlibat dalam penculikan dan pembunuhan di Jakarta dan Yogyakarta dibawa ke pengadilan. PKI pasti tidak akan bisa bangkit lagi.

Namun, larangan tak turun. Pada pertengahan Oktober 1965 mulai tahap kedua, tahap paling mengerikan. Di Yogyakarta dan Jawa Tengah, pembersihan dilakukan RPKAD, tak ada pembunuhan dari pihak nonmiliter. Pembunuhan dalam jumlah yang betul-betul di luar segala imajinasi terjadi di Jawa Timur dan Bali, tetapi juga misalnya di Flores dan melibatkan masyarakat nonmiliter. Setidaknya 500.000 orang terbunuh. Ini satu dari lima genosida di dunia pada bagian kedua abad ke-20!

Siapa bertanggung jawab? Soeharto-kah yang memerintahkannya? Apakah dibiarkan berlangsung tanpa ada perintah apa pun? Andai kata PKI langsung dilarang, apakah pembunuhan mengerikan itu barangkali tidak terjadi? Tak ada jawaban. Tak ada jawaban juga mengapa bangsa Indonesia terlibat dalam sesuatu yang sedemikian tak manusiawi!

Namun, tak ada keraguan sedikit pun bahwa Soeharto dan jenderal pembantunya bertanggung jawab 100 persen atas kejahatan tahap ketiga: penangkapan jutaan orang (Sudomo pernah menyebut angka 1,9 juta orang) sebagai ”terlibat” ketika hanya satu hal pasti bahwa mereka tak terlibat dalam arti apa pun.

Secara sistematis dan birokratis jutaan saudara dan saudara sebangsa dikeluarkan dari komunitas solidaritas bangsa, dihancurkan nama baiknya, dirusak keluarga dan perekonomiannya, banyak yang disiksa, perempuan diperkosa, difitnah, dirampas kebebasannya. Mereka adalah yang dianggap ”terlibat”, anak dan cucu mereka, serta mereka yang ”tidak bersih lingkungan”.

Yang golongan C, meski cukup cepat dilepaskan tetap terkena stigmatisasi, ada tanda di KTP. Pekerjaan tertentu tertutup bagi mereka, mereka harus secara teratur lapor, anak-anak mereka susah masuk sekolah. Puluhan ribu orang dari kategori B, meski tak melakukan sesuatu yang berlawanan dengan hukum, dianggap rada penting dan ditahan dalam kamp-kamp khusus, termasuk di Pulau Buru. Sisa sebanyak puluhan ribu baru dilepaskan sekitar tahun 1979 atas desakan Presiden AS Jimmy Carter.

Tak jelas mengapa kejahatan itu dilakukan. Sampai hari ini tak ada pengakuan terhadapnya. Cukup memusingkan mengapa sebagian besar bangsa Indonesia tak pernah menunjukkan tanda terkejut berhadapan dengan kekejaman dan kejahatan sedemikian banyak warga sebangsa. Soe- harto dan kawan-kawannya membawa dosa itu ke kubur mereka. Namun, mereka hanya dapat melakukannya karena merasa mendapat dukungan. Itulah yang sulit dimengerti.

Lalu apa? Bangsa lain pun ada yang mempunyai noda-noda dalam sejarahnya, misalnya bangsa Jerman. Barangkali situasi waktu itu memang dilematis.

Minimal sekarang, 45 tahun kemudian, kita seharusnya berani berhenti berbohong, berani mengakui mereka yang sampai sekarang tak mau diakui sebagai korban. Seharusnya kita bertekad bahwa kita tak akan pernah lagi mengizinkan sekelompok orang dikucilkan dari solidaritas bangsa, dibiarkan menjadi obyek kebencian, kekerasan, dan barangkali pembunuhan hanya karena berbeda kepercayaan atau keyakinan politiknya.

Franz Magnis-Suseno SJ Guru Besar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta

http://cetak.kompas.com/read/2011/03/11/04515356/45.tahun.supersemar