BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » PENELITI UTAMA BADAN KEBIJAKAN FISKAL KEMENTERIAN KEUANGAN, PENDAPAT PRIBADI

PENELITI UTAMA BADAN KEBIJAKAN FISKAL KEMENTERIAN KEUANGAN, PENDAPAT PRIBADI

Written By gusdurian on Sabtu, 12 Maret 2011 | 15.58

Makmun Syadullah,
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah, pemerintah menargetkan, pada 2014, subsidi listrik dan minyak menjadi nol.

Namun nyatanya, meskipun Dewan Perwakilan Rakyat sudah meng- isyaratkan mendukung, pemerin- tah masih tarik-ulur dalam melak- sanakan program pembatasan konsumsi minyak bersubsidi.
Mata dunia kini terus memonitor perkembangan harga minyak.

Hal ini tidak terlepas dari begitu vitalnya peranan minyak dalam perekonomian. Banyak faktor yang menyebabkan naiknya harga “emas hitam”di pasar dunia. Di samping disebabkan oleh meningkatnya permintaan jenis minyak olahan seiring dengan cuaca dingin yang melanda Eropa dan Timur Laut Amerika, perang nilai tukar mata uang dan musim dingin awal 2011 akan terus mendongkrak harga minyak. Pergolakan harga minyak juga semakin diperparah oleh terus memanasnya situasi di Timur Tengah, yang dimulai dari gejolak di Tunisia, Mesir, Libya, bahkan tanda-tanda akan merembet ke negara-negara lain di kawasan tersebut semakin nyata. Sementara itu, kuota produksi minyak OPEC tidak bertambah karena mempertahankan kuota produksinya pada 24,84 juta barel per hari.

Sulit memprediksi kapan situasi yang memanas di kawasan Timur Tengah ini akan berhenti. Akibatnya, tidak tertutup kemungkinan sepanjang tahun ini harga minyak dunia akan terus bertengger di atas US$ 100 per barel. Untuk itu sejumlah negara, terutama negara pengimpor minyak, mungkin akan beramai-ramai merevisi kondisi fiskalnya. Sebab, neraca perdagangan tiap-tiap negara akan mengalami ketidakseimbangan yang luar biasa.

Itu karena negara yang bukan pengekspor minyak mentah tidak dapat menikmati keuntungan dari naiknya harga minyak di pasar internasional, sehingga mereka akan menguras simpanan devisa mereka untuk membiayai belanja ekonomi negara.

Sementara itu, bagi Indonesia, perkembangan harga minyak dunia perlu terus diwaspadai karena begitu signifikannya pengaruh pergolakan harga tersebut terhadap anggaran pendapatan dan belanja negara. Harga minyak yang telah menembus US$ 100 per barel secara langsung juga akan meningkatkan biaya produksi barang dan jasa serta beban hidup masyarakat, yang pada akhirnya akan memperlemah pertumbuhan ekonomi. Kenaikan harga minyak juga berpotensi menjadi petaka karena kenyataannya Indonesia saat ini sudah menjadi negara pengimpor minyak.

Kenaikan ini akan meningkatkan beban anggaran pos subsidi bahan bakar minyak, yang pada akhirnya akan meningkatkan defisit APBN. Bahkan beberapa pengamat mengingatkan bahwa pergolakan harga minyak dunia sudah menjadi “lampu ku
ning"bagi perekonomian.
Defisit anggaran APBN 2011 disusun dengan menggunakan asumsi harga minyak US$ 80 per barel, sementara realisasi harga minyak dunia sudah melenceng jauh dari asumsi. Hal ini tentunya akan berimplikasi pada meningkatnya dana subsidi bahan bakar minyak yang harus dianggarkan oleh pemerintah. Semakin tinggi deviasi harga mi nyak dunia dengan asumsi harga minyak dalam APBN, maka akan semakin besar pula subsidi yang harus diberikan. Ini tentunya sangat mengganggu perekonomian.

Menyikapi perkembangan harga minyak dunia di atas, hingga saat ini pemerintah belum akan mengubah asumsi defisit anggaran. Pemerintah masih bertahan dengan tingkat defisit sebesar 1,8 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Pertanyaannya, mungkinkah pemerintah mampu mempertahankan asumsi defisit APBN? Setidaknya jawaban atas pertanyaan ini bergantung pada empat hal: pertama, realisasi daya serap anggaran. Jika kita tengok historis tingkat penyerapan anggaran selama ini, mungkin saja pemerintah mampu mempertahankan tingkat defisit APBN. Ini sejalan dengan hasil kajian yang dilakukan oleh Bank Danamon, yang menyimpulkan bahwa realisasi defisit ang garan 2011 tercatat 1,2 persen terhadap PDB, lebih rendah dibanding proyeksi pemerintah, yakni sebesar 1,8 persen terhadap PDB.

Kedua, dampak kenaikan harga minyak terhadap APBN. Meskipun Indonesia telah menjadi nett importer minyak, disadari bahwa pergolakan harga minyak dunia tidak hanya akan berdampak pada sisi pengeluaran, yakni subsidi BBM, tapi juga
memiliki dampak terhadap penerimaan negara. Berdasarkan dokumen Nota Keuangan dan RAPBN 2011, setiap kenaikan harga minyak US$ 1 di atas asumsi US$ 80 per barel, maka defisit APBN berpotensi membengkak sebesar Rp 300 miliar.

Ketiga, dalam konteks dengan harga minyak, kita juga tidak dapat melepaskan dampak variabel nilai tukar rupiah. Terus menguatnya nilai tukar rupiah belakangan ini dapat saja menjadi berkah, tapi dapat pula menjadi petaka bagi pemerintah. Dengan terus menguatnya nilai tukar, maka impor minyak menjadi lebih murah sehingga dampak terhadap alokasi subsidi juga menurun. Namun perlu disadari pula bahwa, dalam konteks APBN, elastisitas nilai tukar rupiah tidak dapat hanya dilihat dari sisi pengeluaran, tapi harus pula diperhitungkan elastisitasnya terhadap penerimaan negara. Bahkan, dalam skala makro, perlu dihitung elastisitas nilai tukar rupiah terhadap aktivitas perekonomian, terutama aktivitas ekonomi yang berorientasi ekspor dan impor.

Keempat, terlepas dari dampak gejolak harga minyak dunia dan nilai tukar terha dap defisit APBN, keberanian pemerin tah dalam menjalankan berbagai prog ram terkait dengan road map subsidi listrik dan minyak juga akan me nentukan apakah pemerintah mampu mempertahankan tingkat defisit sebesar 1,8 persen terha dap PDB. Dalam Rencana Pem bangunan Jangka Menengah, pe merintah menargetkan, pada 2014, subsidi listrik dan minyak menjadi nol. Namun nyatanya, meskipun Dewan Perwakilan Rakyat sudah mengisyaratkan mendukung, peme rintah masih tarik-ulur dalam melaksanakan program pembatasan kon sumsi minyak bersubsidi. Padahal program pembatasan konsumsi minyak bersubsidi ini banyak sekali manfaatnya, tidak hanya mampu menghemat pengeluaran subsidi yang pada akhirnya bisa mempertahankan tingkat defisit APBN, tapi dalam jangka panjang juga akan memacu investasi di bidang renewable resources, sehingga target penurunan emisi yang telah dicanangkan Presiden sebesar 26 persen pada 2020 dapat terwujud. Akhirnya, kita berharap jangan sampai target untuk mempertahankan tingkat defisit anggaran justru akan tersandera oleh ketidakberanian pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan yang telah disusunnya.

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2011/03/12/ArticleHtmls/12_03_2011_009_022.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: