BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Pasca-Keretakan Koalisi

Pasca-Keretakan Koalisi

Written By gusdurian on Jumat, 11 Maret 2011 | 12.11

Al-Muzzammil Yusuf, ANGGOTA FRAKSI PKS DPR RI

Evaluasi terhadap Sekretariat Gabungan sebagai wujud dari pe- lembagaan koalisi yang mendukung pemerintahan SBY saat ini adalah tidak adanya agenda, struktur, dan mekanisme pengambil- an keputusan yang jelas dan mengikat. Untuk itu, setelah terjadi- nya keretakan koalisi, pemerintahan SBY ini harus mulai memba- ngun pelembagaan koalisi yang mapan.
idato resmi yang disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Selasa (2 Februari) tentang masa depan koalisi ramai menjadi pembahasan politikus dan media. Sebagai ketua koalisi, Presiden SBY menyampaikan keinginannya untuk membangun koalisi yang efektif dalam mendukung pemerintahan ke depan. Pidato ini menunjukkan bahwa ada iktikad Presiden SBY untuk menata ulang koalisi yang selama ini sudah berjalan 1,5 tahun yang dinilainya belum efektif.

Koalisi yang dibangun pada pemilu presiden 2009 ini memang harus ditata ulang karena permasalahan yang terjadi saat ini menunjukkan telah terjadi keretakan dalam koalisi pendukung pemerintah. Penyebab mendasar keretakan koalisi, menurut penulis, adalah dua hal. Pertama, belum ada kesamaan pandangan soal konsep, aturan, dan agenda utama koalisi, sehingga setiap anggota koalisi tidak dapat bekerja sama secara sinergis dalam mendukung pemerintah. Bahkan yang tampak oleh publik adalah perebutan kekuasaan antaranggota koalisi dan menegasikan peran anggota koalisi satu sama lain. Padahal koalisi tidak semata soal siapa menjabat apa dan kapan (who gets what, how and when) seperti yang didengungkan oleh Laswell, tapi harus bekerja sama untuk mewujudkan clean government dan good governance yang telah dicita-citakan dari awal pembentukan koalisi.

Kedua, tidak ada pelembagaan koalisi yang baik dalam memberdayakan potensi besar (75,5 persen kursi di DPR) yang dimiliki oleh anggota koalisi. Sedangkan syarat pelembagaan koalisi yang baik adalah membangun komunikasi yang baik antaranggota koalisi, sehingga semua anggota merasa terlibat dan dihargai dalam pengambilan keputusan. Itulah prinsip demokrasi yang harus diterapkan dalam koalisi.

Dalam hal pelembagaan koalisi ini, kita patut belajar dari praktek koalisi yang sudah mapan seperti di Jerman. Di Jerman, setelah ada kesepakatan untuk berkoalisi, tahap selanjutnya penentuan agenda-agenda utama yang akan diperjuangkan dalam koalisi yang diwujudkan dalam produk rancangan undang-undang. Koalisi mengumumkan secara terbuka kepada publik ihwal konsensus dan struktur koalisi, sehingga tidak ada yang ditutupi. Selain itu, secara teknis koalisi, di Jerman diatur bagaimana cara pengambilan keputusan da
lam koalisi dan bagaimana menyikapi perbedaan atau perselisihan antaranggota koalisi. Komunikasi antaranggota koalisi intens dilakukan untuk membahas agenda utama koalisi. Kendati Jerman menerapkan sistem parlementer, pelembagaan koalisinya dapat pula diadopsi dalam sistem presidensial.

Sistem presidensial yang diterapkan di Indonesia memungkinkan untuk menerapkan pelembagaan koalisi seperti di Jerman.
Evaluasi terhadap Sekretariat Gabungan sebagai wujud dari pelembagaan koalisi yang mendukung pemerintahan SBY saat ini adalah tidak adanya agenda, struktur, dan mekanisme pengambilan keputusan yang jelas dan mengikat. Untuk itu, setelah terjadinya keretakan koalisi, pemerintah SBY ini harus mulai membangun pelembagaan koalisi yang mapan.

Dalam menata pelembagaan koalisi yang mapan, ada empat hal yang harus diperhatikan. Pertama, membangun kembali kesepahaman bersama mewujudkan visi utama koalisi dalam mewujudkan clean government dan good governance.Visi ini harus dioperasikan dalam agenda utama koalisi, baik di pemerintahan maupun parlemen. Sebagai contoh di parlemen, agenda utama koalisi harus diarahkan untuk menghasilkan legislasi yang berpihak pada kemaslahatan publik. Banyak agenda legislasi yang sangat dekat dengan kebutuhan rakyat yang semestinya dibahas dalam koalisi secara serius dan mendalam. Agenda legislasi itu di antaranya rancangan undang-undang reformasi birokrasi dalam meningkatkan pelayanan publik dan menurunkan praktek KKN; RUU perlindungan terhadap pasar tradisional yang terancam oleh keberadaan pasar modern/mal; revisi UU pemilihan kepala daerah agar lebih efisien dan meminimalkan praktek money politics; RUU untuk pemberdayaan potensi kelautan yang jauh tertinggal; RUU Integrated Criminal Justice System untuk menegakkan supremasi hukum secara komprehensif yang akhir-akhir ini terasa karut-marut, dan lain-lain. Jika agenda besar legislasi dapat disepakati, empat tahun ke depan kita akan semakin memperkokoh regulasi reformasi, sebagai bagian yang integral dari sebuah reformasi.

Kedua, perlu disepakati struktur koalisi yang merepresentasikan anggota koalisi yang dibagi dalam tugas-tugas agenda utama koalisi. Jika struktur koalisi ini terbentuk, akan ada komunikasi yang intens dalam koalisi. Pada struktur pimpinan utama koalisi yang terdiri atas pemimpin tertinggi partai koalisi, dilakukan pertemuan khusus yang membahas dan mengevaluasi cita-cita serta agenda utama koalisi secara berkala. Pertemuan antarstruktur pimpinan utama koalisi ini sangat penting untuk menjaga komunikasi politik antaranggota koalisi, sehingga melahirkan stabilitas politik dalam koalisi. Jika ini tidak dilakukan, akan rentan terjadi kekisruhan dalam koalisi yang seharusnya tidak perlu terjadi. Keputusan penting di tingkat ini ditindaklanjuti oleh struktur di bawahnya atau oleh masing-masing partai. Ia bisa menjadi arahan untuk program eksekutif dan juga menjadi program legislatif, termasuk perda jika dibutuhkan untuk itu.

Ketiga, perbedaan sikap politik anggota koalisi yang terjadi dalam menjalankan fungsi pengawasan DPR harus tetap dihormati. Sebab, kekritisan parlemen dalam menjalankan fungsi pengawasan adalah amanah Konstitusi. Dan pengawasan adalah keniscayaan dalam demokrasi dan demi terwujudnya cita-cita clean government and good governance. Tetapi pada saat yang sama, ketika pemerintah memperjuangkan agenda utama koalisi yang sudah disepakati, setiap anggota koalisi harus berjuang mati-matian untuk mengawalnya.

Keempat, dalam proses pengambilan kebijakan koalisi, aspirasi rakyat tidak boleh dinegasikan, karena koalisi parpol merupakan representasi dari koalisi rakyat yang mendukung pemerintahan. Jadi, tiap partai koalisi harus menjaring aspirasi dari konstituennya yang kemudian menjadi pijakan kebijakan bersama dalam koalisi. Jika demikian, kebijakan partai politik tidak mudah “berbalik arah”karena adanya kepentingan sempit elite politik tertentu. Sejatinya, penentu kebijakan itu seharusnya aspirasi rakyat, bukan intervensi elite. Aspirasi itu penting bagi koalisi agar sejalan dengan logika dan naluri kepentingan rakyat, sehingga tidak terjadi defisit demokrasi yang saat ini bergejolak di negara Timur Tengah dan Afrika, yaitu ketidakhadiran partisipasi rakyat dalam pengambilan kebijakan penting yang akan merasakan imbas dari kebijakan tersebut.

Selama koalisi konsisten didasari oleh keempat hal tersebut, seharusnya tidak ada isu pemecatan dalam anggota koalisi.

Jika tata kelola koalisi ini baik dan benar, banyak hal positif dan produktif yang bisa dilakukan untuk kemaslahatan rakyat. Semoga.

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2011/03/11/ArticleHtmls/11_03_2011_011_008.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: